Gimpul bergegas keluar dari kamar sambil mengumpati calon anaknya. Baru di dalam perut saja sudah bikin ulah. Bagaimana nanti jika sudah lahir? Apakah benar-benar akan menyantap bata merah sebagai menu hariannya?
Gimpul tentu saja tidak pergi ke Tegaldlimo Kidul. Ia hanya mondar-mandir di halaman sekedar membuang waktu, seolah-olah benar-benar pergi menuruti keinginan is-terinya.
Dua jam kemudian Gimpul kembali. Jasmi yang memang menunggunya menyam-but kedatangan bata merah itu dengan penuh gairah. Bata merah yang dibungkus tas kre-sek itu disambutnya seperti menyambut bayi yang montok lucu serta menggemaskan. Gimpul mencuatkan alis melihat betapa mesra Jasmi memperlakukan bata merah itu.
Namun Jasmi tersentak, Gimpul lebih tersentak.
"Kau bohong." kata Jasmi sambil melotot.
"Bohong apa?" Gimpul heran.
"Kau tidak pergi ke sana. Ini bukan bata yang diinginkan anakmu."
Alamak, Gimpul benar-benar kaget dan menjadi penasaran. Bagaimana caranya Jasmi bisa tahu dirinya telah berbohong. Bagaimana Jasmi bisa tahu bata merah itu di-ambil dari halaman.
"Pergi." kata Jasmi tegas.
Gimpul pusing kepalanya.
"Aku? Harus pergi ke mana?"
"Ambil bata merah."
Gimpul tidak punya pilihan lain kecuali harus menuruti keinginan Jasmi itu. Ka-lau tak dituruti Gimpul cemas, soal yang sepele itu bisa menjadi besar. Maka dengan ter-paksa Gimpul membangunkan Sugino anak mbokde Kisruh untuk mengantar ke Tegal-dlimo Kidul.
Menjelang pagi Gimpul menyerahkan bata merah itu. Kali ini entah dengan pen-ciuman atau barangkali menggunakan indera ke enamnya, Jasmi percaya dan yakin bata merah yang berada dalam genggamannya berasal dari Tegaldlimo Kidul. Bata merah itu diciumi dengan mesra, dilela-lela seperti menina-bobokkan bayi. Bata merah itu diperla-kukan dengan lembut.
Melihat keanehan itu Gimpul merasa 'neg dan memilih tidur di lantai menggelar tikar.
Ketika bangun pada esok harinya Gimpul kaget melihat bata merah itu tinggal se-paruh. Jadi, benarkah Jasmi makan bata merah itu atas nama anak yang masih berada di dalam kandungan? Gimpul benar-benar ngeri. Kalau Gimpul disuruh ngrikiti bata merah itu, bukan batanya yang rompal, tetapi giginya.
"Kau benar-benar makan bata marah itu?" tanya Gimpul pada Jasmi yang tengah menyedu secangkir kopi.
Gimpul menjulurkan tangan akan menerima kopi itu.
"E’eh, ini bukan punyamu." tepis Jasmi. "Setelah puas makan bata merah, anak-mu ingin minum kopi hangat. Kalau kau mau, bikin saja sendiri."
Gimpul hanya bisa mengelus dada. Pusing kepalanya berubah menjadi migrain yang nggandoli separuh dari kepalanya. Terpaksa Gimpul bikin kopi sendiri.
Salatun yang baru saja dari jeding memberikan kerling mata padanya.
Siang harinya, pak Kampun kedatangan tamu, pak Mudjikan. Rupanya persoalan jual beli sawah telah sampai pada tahap akhir. Gimpul yang merasa berkepentingan de-ngan hal itu sangat gelisah. Namun dengan cermat Gimpul memperhatikan perkemba-ngan. Gimpul berharap Salatun bisa bekerja sesuai dengan rencana. Pendek kata entah bagaimana caranya, hasil penjualan sawah itu harus jatuh ke tangannya.
Tanjir yang paling tidak sabar. Demikian pak Mudjikan pulang, Tanjir segera me-ngorek keterangan dari pak Kampun.
"Bagaimana pak? Sudah laku sawahnya?"
"Sudah." jawab pak Kampun.
"Sudah dibayar?" Tanjir mendesak.
"Sudah." jawab pak Kampun lagi.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Dibagi saja sekarang."
Pak Kampun merasa perih ulu hatinya. Membagi uang penjualan sawah seharus-nya dengan cara yang sakral. Sawah yang dijual itu bagaimanapun juga merupakan harta pusaka yang turun temurun, diwariskan oleh generasi terdahulu.
Dahulu kala pak Kampun dan mbok Kampun menggunakan sawah itu untuk mo-dal yang kemudian berkembang. Sawah yang semula hanya satu hektar telah beranak pinak menjadi beberapa hektar. Naifnya pak Kampun sekarang harus menjualnya dan membagikan seperti membagi barang tak berharga, seperti ngedum kacang.
"Dibagi bagaimana kalau uangnya masih berupa cek seperti ini? Cek ini masih harus ditukarkan ke bank. Banknya di Banyuwangi. Setelah cek ini diuangkan baru bisa dibagi rata."
Dibagi rata? Tanjir rupanya tak senang dengan cara pembagian seperti itu.
"Dibagi rata?"
"Lha bagaimana?" pak Kampun yang kemudian merasa gumun.
"Hak anak lelaki itu tak bisa disamakan dengan anak perempuan. Jasmi dan Sala-tun itu nantinya akan ikut suaminya, mereka menjadi tanggungan suaminya."
Pak Kampun makin prihatin. Di samping serakah, Tanjir rupanya mau menang sendiri. Tentu saja pak Kampun tidak bisa membeda-bedakan semua anaknya. Semua harus mendapat pembagian sama. Tak ada yang boleh lebih dari lainnya.
Pak Kampun memandang Tanjir
"Itu namanya kau mau menang sendiri Njir. Bapak tidak bisa bertindak tidak adil seperti itu. Kamu, Jayus, Jasmi dan Salatun harus mendapatkan jumlah yang sama. Bapak tidak bisa emban cindhe emban siladan."
"Tidak bisa. Pokoknya pembagian harus menggunakan caraku."
Tanjir tak bisa menerima. Tanjir merasa pendapatnyalah yang paling benar. Kok enak Jasmi dan Salatun mendapatkan jumlah yang sama. Wanita itu nantinya akan bersu-ami. Menjadi tanggung jawab suaminyalah Jasmi dan Salatun.
"Aku kira aku sependapat dengan kang Tanjir. Memang harus begitu cara mem-bagi." Jayus yang ikut nimbrung, memberi pukulan gong besar.
"Apa Jasmi dan Salatun akan menerima cara itu? Apakah perlu dibuat geger dulu di pengadilan supaya pembagiannya jelas dan adil?"
Pak Kampun jengkel.
"Ke pengadilan?" Jayus merasa aneh.
Mengapa hal yang demikian harus dibawa ke Pengadilan?
"Ya." jawab pak Kampun tegas. "Soal ini dibawa ke pengadilan saja, biar penga-dilan yang memutuskan, kau akan mendapat berapa, Jayus akan mendapat berapa, Jasmi berapa dan Salatun berapa, termasuk Salehak, ia juga harus mendapatkan. Bapak tidak a-kan menguangkan cek ini kalau belum ada kesepakatan lebih dulu."
Bahwa Jasmi dan Salatun akan mendapat jumlah yang sama membuat Tanjir ma-rah, apalagi nama Salehak juga disebut sebagai salah seorang yang akan menerima wa-risan, membuat Tanjir seperti kebakaran jenggot.
Tanjir menggebrak meja.
"Aku sudah mengatakan berulang kali. Perempuan murahan itu hanya babu di ru-mah ini. Meski bapak telah mengambilnya sebagai isteri, aku tidak pernah menganggap-nya sebagai ibu. Ia tak boleh mendapatkan sepeserpun. Kalau sampai itu terjadi, aku akan beli bensin dan akan kubakar dia."
Sebuah ancaman mengerikan. Salehak yang menyimak pembicaraan itu dari keja-uhan tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya.
Namun entah mengapa pak Kampun kali ini tidak suka diancam, pak Kampun ti-dak suka digertak seperti itu. Anak mestinya berbakti pada orang tua, bukan memusuhi dan mendampratnya. Tanpa ada orang tua, mana ada anak? Jadi memang tidak sepatut-nya Tanjir melotot kepadanya, tak sepatutnya Tanjir menggebrak meja.
"Ooo begitu?" jawab pak Kampun tambah tidak senang. "Kau akan melakukan ancaman itu le? Boleh saja kau lakukan itu, dan aku memutuskan tidak ada pembagian warisan sama sekali. Biar kau jadi gembel kere seperti di pinggir jalan itu, aku tidak peduli."
Pak Kampun yang mulai bangkit kemarahannya itu menatap Tanjir dan Jayus de-ngan pandangan garang. Nafasnya tersengal. Apabila pak Kampun terkena serangan teka-nan darah tinggi, gawat.
Sayang Tanjir tidak bisa membaca suasana. Tanjir tambah emosi. Tanjir tak pe-duli lagi pada kuwalat, atau pada dosa karena berani pada orang tua.
"Jangan memancing kemarahanku. Aku bersungguh-sungguh dengan ancaman itu. Akan kubakar isterimu itu kalau dia kau beri warisan. Secuil sekalipun."
Tanjir kemudian meninggalkan pak Kampun yang sibuk menata degup jantung. Jayus yang agak cemas pak Kampun akan terserang bludrek segera menyusul Tanjir me-ninggalkan pak Kampun sendiri. Jasmi yang menyimak pembicaraan itu dari balik pintu sibuk mendamaikan diri pula. Akan tetapi Jasmi tetap saja nggregeli.
"Apa yang terjadi Jas?" Gimpul bertanya.
"Sawah itu sudah laku kang. Pak Mudjikan yang membeli dan dibayar kontan, na-mun masih berupa surat cek yang masih harus ditukarkan dulu di bank. Tetapi,.."
Jasmi resah. Gimpul gelisah.
"Tetapi bagaimana?" desak Gimpul.
"Kang Tanjir dan kang Jayus mau menangnya sendiri. Kang Tanjir dan kang Ja-yus berpendapat, anak perempuan tidak perlu mendapatkan warisan."
Gimpul kaget. "Alasannya?"
"Karena anak perempuan menjadi tanggungan suaminya. Karena aku akan menja-di tanggunganmu." berkata Jasmi.
Gimpul manggut-manggut. Kok indah sekali alasan itu, pikir Gimpul. Karena pe-rempuan akan menjadi tanggungan suaminya? Gimpul tersenyum.
"Akhirnya ketahuan juga belangnya.” berkata Gimpul. “Ketika dahulu kedua ka-kakmu itu ngrimuk dirimu supaya mau pulang dan bersama-sama menghadapi bapakmu, tujuannya memang agar warisan segera dibagi. Namun setelah tanah warisan itu laku, mereka mau mengangkangi sendiri. Kau yang semula dijadikan teman untuk menghadapi bapakmu, sekarang berbalik akan dijadikan musuh."
Jasmi membenarkan pendapat suaminya. Pada kenyataannya keadaan memang seperti itu.
"Dan karena kita dianggap musuh, sementara keperluan mereka sudah terpenuhi, bisa saja kita diusir, disuruh minggat dari rumah ini. Kita terpaksa usung-usung lagi. Di-tonton para tetangga lagi."
"Jadi bagaimana?" Jasmi resah.
"Tergantung pada sikap pak Kampun. Apakah bapakmu akan menuruti kehendak kedua anak lelakinya itu. Kalau pak Kampun takut pada ancaman Tanjir dan Jayus dan kemudian menuruti permintaan mereka, maka kau tidak akan mendapat apa-apa."
Jasmi kian gelisah.
"Beri aku saran kang Gimpul, apa yang harus aku lakukan, aku harus bagaima-na?"
"Aku ini hanya menantu Jas, kalau aku ikut campur, nanti disalahkan, karena uru-san ini adalah urusan keluargamu." balas Gimpul.
"Kau suamiku kang. Kau harus membantuku, berilah aku pendapat apa yang ha-rus kukerjakan?" Jasmi gelisah.
Gimpul berfikir mencoba mencarikan pemecahan yang sebaik-baiknya. Untuk le-bih meyakinkan, Gimpul meletakkan ujung telunjuknya ke kening.
"Kamu bicarakan dengan bapakmu. Jangan memusuhinya. Juga jangan memusuhi isterinya. Hanya itulah kuncinya. Yang penting sekarang bapakmu. Kalau bapakmu me-ngatakan merah, maka jadilah merah. Kalau pak Kampun mengatakan hitam, jadilah hi-tam."
Jasmi memerlukan waktu beberapa kejap untuk mencernakan pendapat suaminya itu.
"Kang Gimpul benar. Sebaiknya aku memang harus berbicara dengan bapak."
Gimpul gembira karena sarannya diterima. Dengan demikian Gimpul akan mem-peroleh informasi yang akurat mengenai gerak uang itu nantinya. Syukur seandainya pak Kampun membawa pulang uang itu semua, dan tidak perlu menyimpannya di bank. Un-tuk apa sih uang disimpan di bank, supaya aman? Ah, itu kan akal-akalannya pihak bank yang ingin cadangan uangnya banyak. Harusnya uang itu disimpan di bawah bantal saja, supaya gampang mencurinya.
"Jangan kamu tunda. Sekarang juga kau bicarakan dengan bapakmu. Ingat Jas, ja-ngan memusuhinya dan jangan memusuhi isterinya. Hanya itulah kuncinya." Gimpul me-nambahkan petunjuk.
"Ya." Jasmi menjawab.
Jasmi memang tidak menunda-nunda lagi. Jasmi bergegas menemui bapaknya.
Ketika Jasmi mengetuk pintu, Salehak yang membukanya. Jelas sekali betapa Sa-lehak gugup, sebagaimana Jasmi merasa serba salah harus berbicara dengan Ibu tirinya itu.
"Ada apa?" tanya Salehak dengan volume lirih saja.
"Maaf. Aku mau bicara dengan bapak."
Jasmi mengutarakan keperluannya dengan sikap yang agak serba salah. Salehak bingung. Pak Kampun telah berbaring. Pak Kampun tadi berpesan untuk jangan diba-ngunkan siapapun yang ingin bertemu. Pak Kampun yang tadi emosi menghadapi Tanjir dan Jayus ingin meredakan diri dengan tidur.
“Bapak sudah tidur, apakah harus aku bangunkan?" Salehak bertanya.
"Ya, bangunkan saja." jawab Jasmi.
Pak Kampun yang sebenarnya sulit tidur menerima Jasmi di kamarnya. Jasmi me-mandang tempat tidur, ada kembang kantil dan melati ditebarkan di atas tempat tidur, ba-rangkali maksudnya supaya tempat tidur itu berbau wangi. Atau boleh jadi Salehak yang merasa suaminya yang sudah tua itu bau sekali hingga diperlukan bunga kantil dan melati untuk meredam.
"Ada apa Jas?" pak Kampun langsung pada persoalan.
"Langsung saja pak.” berkata Jasmi. “Apa bapak akan membagikan warisan itu menggunakan cara yang diusulkan kang Tanjir dan kang Jayus, yang mau mengabaikan aku dan Salatun?"
Pak Kampun manggut-manggut. Resahnya tambah membuncah.
"Apa Tanjir dan Jayus menyampaikan hal itu padamu?"
"Aku mendengar pembicaraan bapak dengan mereka." jawab Jasmi.
"Sesama saudara seharusnya rukun. Kalau ada sesuatu yang menimpa, siapa lagi yang dimintai tolong kalau bukan saudara sendiri. Karena warisan, kakak dan adik bisa jadi musuh."
Pak Kampun prihatin, kisah macam itu tidak seharusnya menimpa keluarganya. Dahulu Pak Kampun berharap setelah dewasa empat anaknya akan selalu rukun, bahu membahu dalam menghadapi kesulitan hidup macam apapun. Namun mrucut saka em-banan, kenyataan yang ada tidak seperti yang diharapkan. Perpecahan terjadi karena ma-sing-masing berebut harta.
"Aku tidak tanya soal itu pak. Aku ingin tahu dengan cara bagaimana bapak akan membagi?" Jasmi mengulang.
Pak Kampun menekan dadanya yang masih nyeri.
“Bapak kecewa sekali Jas. Kau ternyata tidak ubahnya kakakmu, yang hanya me-mikirkan warisan itu."
"Masalahnya aku mendengar dengan telingaku sendiri. Kang Tanjir dan kang Ja-yus mau menang sendiri" Jasmi membela diri.
“Bapak akan bertindak seadil-adilnya, semuanya dapat. Sudah, hanya itu yang bisa kukatakan." berbicara pak Kampun.
Tidak ada pembicaraan lagi antara pak Kampun dengan Jasmi. Salehak menuntun pak Kampun yang tersengal kembali naik ke pembaringan. Salehak dan Jasmi sempat be-radu pandang. Bersamaan keduanya segera mengalihkan tatapan mata yang bersirobok itu.
Di luar pintu, Jasmi yang penasaran menempelkan telinga ke dinding. Jasmi ingin tahu apa yang akan dibicarakan Salehak dengan pak Kampun.
"Ruwet anak-anakku ‘Hak. Mereka semuanya sudah sulap pada harta sampai tak menghormati orang tua lagi."
Salehak menunduk dan kemudian memandang pak Kampun. Dari celah lobang Jasmi bisa memperhatikan adegan yang berlangsung itu.
"Akulah yang menjadi penyebab semua ini pak." ucap Salehak dengan nada serak.
Jasmi terlonjak.
"Jangan kau berpendapat seperti itu. Anak-anakku yang salah, bukan kamu."
"Sebaiknya pak Kampun jangan bersikeras untuk memberiku warisan. Mereka se-mua akan makin membenciku. Dikiranya aku mau menjadi isterimu karena mengingin-kan hartamu. Bagikan saja secara adil uang itu pada mereka semua, kalau perlu diadakan acara selamatan atau syukuran supaya uang dari warisan itu membawa berkah. Memba-wa manfaat bagi mereka semua."
Jasmi bagai dililit pesona yang tak diketahui dari mana asalnya. Jasmi tidak me-ngira Salehak mempunyai hati yang begitu bersih dan luhur. Jasmi agak terpukul. Bahwa selama ini ia berprasangka begitu buruk pada Salehak, ternyata prasangka itu salah.
"Aku justru heran mengapa orang sebaik kau justru dimusuhi ‘Hak." pak Kampun mengeluh.
Jasmi di luar merasa tersindir. Di dalam Salehak terlihat sedih.
"Sudah, jangan kau pikirkan mereka. Perkara hasil penjualan warisan itu, besok a-ku akan berbuat seadil-adilnya."
"Aku tak perlu mendapatkan apapun pak."
"Tidak bisa. Kau isteriku, kau juga harus mendapatkan." pak Kampun tetap bersi-kukuh.
Namun Salehak merasa ngeri kalau Tanjir mewujutkan ancamannya. Kalau Tanjir menyiram tubuhnya dan kemudian membakarnya, itu hal yang menakutkan sekali.
"Aku tak akan menerima pak Kampun. Sudahlah, bagikan saja kepada mereka se-mua. Aku ikhlas. Aku berkesempatan menjadi isteri pak Kampun, bagiku sudah merupa-kan anugerah. Aku hidup sebatangkara di dunia ini, lalu ada yang berkenan memungutku, hal itu sudah alhamdulillaah. Apa aku masih menginginkan yang lain? Tidak pak Kam-pun. Aku mohon pak Kampun membagikan harta warisan itu untuk mereka semua, aku tidak usah."
Jasmi terharu. Pembicaraan pak Kampun dan isteri mudanya itu mengharu-biru dan memporak-porandakan keangkuhan serta prasangkanya. Jasmi sama sekali tidak me-ngira, Salehak berhati amat mulia, begitu bersih bagaikan hati malaikat atau bidadari.
Suara Salehak yang tersendat seperti orang yang menahan tangis bagai merontok-kan isi dadanya. Ternyata, berprasangka buruk pada isteri muda pak Kampun itu meru-pakan kekeliruan yang amat besar.
"Kau ikhlas?" desak pak Kampun.
"Aku ikhlas." jawab Salehak.
"Baiklah, mungkin ada benarnya apa yang kau katakan. Uang itu aku bagikan saja semua pada mereka. Untukmu aku akan mencarikan sendiri.”
Namun jika ingat kehendak Tanjir, pak Jayus resah.
"Moga-moga Tanjir dan Jayus tidak menang-menangan. Mau menang sendiri."
"Kenapa?" tanya Salehak sambil mengusap air mata.
"Tanjir dan Jayus memiliki pendapat berbeda. Menurut mereka, anak perempuan tidak bisa menerima hak yang sama dengan anakku yang lelaki."
Salehak termangu.
"Kalau begitu caranya, kasihan Jasmi dan Salatun." kata Salehak.
"Jasmi dan Salatun anak-anakku juga. Bahkan maksudku, aku justru ingin mem-berikan sedikit lebih kepada Salatun anakku yang bungsu itu, Salatun sangat kehilangan dengan kepergian simboknya. Mungkin warisan itu akan sedikit menghiburnya. O ya, kau masih didiamkan oleh Salatun?"
"Aku berusaha ramah kepadanya, mengajaknya bicara, tetapi Salatun hanya me-njawab seperlunya. Padahal aku ingin akrab. Tidak sebagai Ibu dan anak, tetapi seperti saudara, atau teman."
Jasmi yang terus menguping nyaris tersedak. Jasmi benar-benar tidak menyangka Salehak memiliki hati yang demikian bersih, jiwa yang begitu mulia. Rasa bersalah itu kian membuncah, membeset wajahnya.
"Bagaimana dengan Jasmi? Jasmi masih judes?" tanya pak Kampun.
"Sudah tidak lagi." Salehak menjawab. "Kami hanya masih canggung."
Jasmi merasa perlu mencernakan keadaan itu.
"Kau bersabarlah. Ketelatenanmu akan meluluhkan hatinya. Mereka akan meneri-ma kehadiranmu bukan sebagai orang yang perlu dicurigai." pak Kampun berbicara sam-bil membelai rambut isterinya.
Pak Kampun mengelusnya dengan penuh kasih sayang. Salehak segera menjatuh-kan diri ke pelukan suaminya. Andaikata pak Kampun masih muda, pak Kampun tidak perlu terhuyung-huyung seperti itu. Baru beberapa saat dijadikan sandaran pak Kampun sudah tersengal.
"Kecuali dengan Tanjir dan Jayus. Aku melarang kamu akrab dengan mereka, ka-rena sangat mungkin mereka akan melahapmu. Aku cemburu sayangku."
Lhadalah, pak Kampun punya rasa cemburu?
Adegan selanjutnya? Jasmi risih mengintip, apalagi punya bapaknya. Jasmi berge-gas meninggalkan pintu kamar itu.
Dengan gontai Jasmi melangkah ke halaman. Pikirannya terus terpusat pada so-sok Salehak yang ternyata tidak seperti yang selama ini dibayangkan. Salehak mau dika-wini lelaki tua itu bukan karena hartanya, namun sekedar menitipkan awak. Demikian ju-ga dengan pak Kampun, dengan mengawini Salehak pak Kampun juga menitipkan diri.
Jadi mengapa harus risih karena pak Kampun yang sudah tua, mencoba mencari tempat untuk saling berbagi masalah, tempat untuk berbagi gelisah, sebuah hal yang ti-dak mungkin dilakukan sejak mbok Kampun tiada. Mengapa malah tidak bersyukur?
Risih karena kebetulan pilihan itu jatuh kepada Salehak, si babu yang jelita itu? Jasmi atau orang pada umumnya hanya melihat pak Kampun yang sudah tua. Jika sudah tua dengan sendirinya tidak pantas melakukan ini tak pantas melakukan itu. Pendek kata banyak hal yang tidak pantas dilakukan oleh orang tua dan hanya pantas dikerjakan o-rang-orang yang muda saja. Jika orang tua tidak tahu diri yang muda dengan enteng ber-kata, gaplek pringkilan wis tuwek pethakilan. Mereka pada umumnya lupa, bahwa orang yang sudah tua sekalipun, tidak ada yang bisa melepaskan diri dari kemauan, kehendak dan keinginan. Dan pak Kampun itu hanya manusia yang tak bisa melepaskan diri dari jeratan kemauan.
Kalau pak Kampun sudah tidak mau apa-apa, Saat itu pak Kampun sudah mati.
"Salahkah bapakku kawin lagi?" bisik Jasmi kepada diri sendiri.
Akhirnya Jasmi juga harus berfikir, kalau bapaknya tidak kawin lagi lantas ke mana harus membuang nafsu birahinya karena pada kenyataannya pak Kampun masih memiliki kemampuan untuk itu. Ke pelacuran? Tentu hal yang tak dibenarkan. Bahkan sebenarnya lebih memalukan punya bapak yang gemar keluyuran ke pelacuran. Entah apa kata orang jika pak Kampun itu gemar memanjakan diri dari pelukan pelacur satu ke pelacur yang lain. Jadi apa salahnya menerima kehadiran Salehak?
"Ternyata Salehak tidak sejahat yang kusangka. Mungkin ada benarnya. Yang dia butuhkan bukanlah kedudukan sebagai isteri pak Kampun, tetapi orang yang bisa melin-dunginya. Salehak hanyalah seorang wanita yang tidak punya sanak dan kadang. Tidak punya siapapun di dunia ini. Tidak ada jeleknya kalau aku ikhlas menerima kehadiran-nya."
Jasmi terus merenung dan berfikir, mengikuti kemanapun angannya.
"Rupanya bapak benar, dengan adanya Salehak, ada yang mengurusi bapak. ber-harap dari anak-anaknya hal itu tak mungkin."
Sepercik kesadaran bagai menyelinap di dalam hatinya. Semakin dipikir semakin membuat Jasmi merasa amat bersalah. Dan tiba-tiba saja Jasmi merasa berkewajiban un-tuk mengubah keadaan itu. Bukan hanya dirinya, namun juga Tanjir dan Jayus serta Sa-latun semua salah dalam menilai keberadaan Salehak itu. Seharusnya, dengan adanya Sa-lehak yang mau berkorban menjadi isteri pak Kampun, mereka berterimakasih.
Salatun perlu diberitahu lebih dulu.
Jasmi yang hamil muda itu menuju kamar adiknya. Pintu diketuk, agak lama ba-rulah Salatun membukanya.
"Ada apa, yu?" bertanya Salatun, Sambil menghadang di depan pintu, mengha-lang-halangi kakaknya yang bermaksud masuk.
"Kau tahu suamiku?"
"Apa aku menyembunyikan suamimu?" balas Salatun.
Jawaban berupa pertanyaan seperti itu sebenarnya merupakan indikasi adanya se-suatu yang tidak pada tempatnya. Sayang Jasmi tidak peka. Jasmi sedang pilek berat, se-hingga tidak bisa menangkap adanya bau busuk.
"Maksudku, kau tahu ke mana perginya?" tanya Jasmi.
"Tidak tahu yu. Aku ngantuk. Jangan ganggu aku, aku mau tidur."
"Ehhh, Tun." bisik Jasmi.
"Sawah sudah laku, tetapi kang Tanjir dan kang Jayus punya pendapat yang nyle-neh, kita berdua tidak akan mendapat bagian sama dengan kang Tanjir dan kang Jayus, alasannya karena kita perempuan. Menurut mereka, perempuan tak boleh menerima wa-risan.”
Rupanya berita itu tidak mengagetkan Salatun.
"Aku sudah tahu hal itu. Kang Tanjir dan kang Jayus memang mau menang sen-diri."
"Karena itu Tun, kita harus bersatu. Kalau kang Tanjir dan kang Jayus berpenda-pat seperti itu, maka kita berdua harus menentangnya. Kau mengerti Tun?"
"Ya." jawab Salatun sambil menguap lebar, memamerkan kantuknya.
"Ahhh, sudah sana tidur kamu." Jasmi jengkel.
Salatun segera menutup pintu. Jasmi yang bermaksud membicarakan Salehak lu-pa pada tujuan semula. Rasa mual kembali menyergapnya. Dengan tergesa-gesa Jasmi pergi ke jeding untuk meredakan diri. Di kamar Salatun membuka almari. Gimpul yang meringkuk segera keluar. Hampir saja Gimpul kehabisan nafas.
"Yu Jasmi mencarimu." kata Salatun.
"Biar saja." bisik Gimpul.
"Sebaiknya kau jangan lama-lama berada di sini. Seperlunya saja."
"Aku akan keluar. Tetapi ingat Tun, hanya uang penjualan sawah itu yang bisa menyelamatkan kita. Kau harus berhasil. Jangan sampai gagal."
Rupanya waktu mendekati saat kritis. Gimpul dan Salatun yang telah menyusun rencana merasa perlu mematangkan kembali rencana itu. Segala sesuatu dievaluasi lagi agar semua berjalan lancar tanpa hambatan. Pendek kata, semua uang hasil penjualan sa-wah nantinya harus bisa dikuasai untuk biaya. Salatun yang hamil tak punya pilihan lain. Kalau rencana itu sampai gagal, sebuah bencana siap mengintai.
Namun salah besar kalau beranggapan yang punya rencana itu hanya Gimpul dan Salatun. Di pihak yang lain, Jayus juga menggunakan ilmu kucing mengintai tikus men-cari saat yang tepat untuk pada saatnya menerkam.
"Peduli setan dengan semuanya. Kalau cek yang dipegang bapak itu sudah jadi u-ang maka aku harus bisa menguasai uang itu. Aku tinggal mencari kesempatan untuk me-ngambil serta mengucapkan selamat tinggal semuanya. Aku akan pergi sejauh-jauhnya dan tidak perlu pulang kembali ke sini. Besok seisi rumah ini akan gempar. Geger semu-anya. Bapak hanya bisa mencak-mencak, Tanjir hanya bisa melolong seperti anjing, Jas-mi dan Saatun hanya bisa menangis. Tetapi persetan semuanya."
Itu sebabnya, seharian Jayus tidak pergi ke mana-mana.
Jayus sibuk mondar-mandir mempelajari suasana dan jika saatnya tepat, segera mengambil tindakan.
Waktu merambat tidak tercegah oleh apapun atau siapapun. Tanjir yang merasa sudah dekat dengan saat pembagian harta warisan sibuk menghubungi teman-temannya. Sepeda motor milik Sukarjiman yang tidak dijual ditawar. Tanjir juga menawar burung kacer milik pak Ragum. Pak Ragum juga tidak bermaksud menjual, namun karena Tanjir kasmaran berat pada burung kacer itu, maka harga empat ratus ribu hanya untuk harga seekor kacer disepakati.
Gimpul meski tegang namun masih mampu menutupinya dengan sikap yang wa-jar. Sebagaimana Jayus, Gimpul tak pergi ke mana-mana. Dengan cermat Gimpul mem-perhatikan suasana, karena itu Gimpul bisa menangkap keadaan yang tidak wajar pada Jayus. Bahwa Jayus tidak pergi ke mana-mana, justru membuatnya curiga.
Salatun diam-diam juga mempersiapkan diri. Beberapa lembar pakaian yang akan dibawa telah disiapkan. Benda-benda berharga yang ia miliki telah dikemas dan dima-sukkan ke dalam kopor butut. Pendek kata Salatun siap untuk minggat setiap saat.
Jasmi sama sekali tidak berprasangka. Pada saat Gimpul berbaring di sampingnya , Jasmi memandangi wajahnya berlama-lama. Kini Jasmi tengah hamil. Beberapa bulan lagi Jasmi akan melahirkan. Jasmi berharap, jika sudah punya anak kebiasaan buruk suaminya akan berubah.
Sore beranjak malam dan esok paginya datang. Pagi beranjak siang.
"Hmmm," Gimpul berdehem.
Jasmi kaget.
"Kau kang Gimpul. Bikin kaget saja."
"Kau ini menyapu sambil melamun atau benar-benar tidak tahu kalau ada aku di sini, atau sebenarnya tahu tetapi hanya diam saja?" tanya Gimpul.
Jasmi menyeringai.
"Kamu melamun memikirkan apa?" tanya Gimpul.
“Bapak, sudah siang begini kok belum pulang. Aku gelisah, jangan-jangan terjadi sesuatu pada bapak. Padahal bapak hari ini menukarkan cek itu ke bank."
"Apanya yang kau cemaskan?" tanya Gimpul.
"Sudah sering aku dengar cerita di kota-kota besar itu. Banyak sekali kejadian o-rang yang baru saja mengambil uang di bank kena begal."
"Jangan membayangkan hal mengerikan seperti itu Jas." kata Gimpul menente-ramkan hatinya.
"Semoga saja bapak tidak bodoh." jawab Jasmi dengan nada datar, memancing Gimpul untuk mencuatkan alis.
"Tidak bodoh bagaimana?" tanya Gimpul.
"Kupikir uang sebanyak itu kalau dibawa pulang utuh tidak aman. Ehh, Apa ber-lebihan kalau aku mencurigai kemungkinan uang itu nanti dicuri?"
"Siapa yang akan mencuri?" Gimpul tiba-tiba gelisah.
"Mungkin saja kang Tanjir atau kang Jayus. Keduanya patut dicurigai. Bisa saja mereka berbuat nekad dan membawa minggat uang itu. Jika sampai hal itu terjadi, aku dan Salatun akan dapat apa?"
Gimpul merasa dadanya seperti dirambati desir. Namun bukan Gimpul kalau ti-dak bisa segera menghapus kesan itu dari wajahnya.
"Moga-moga saja hal itu tidak perlu terjadi. Tetapi kau tadi berharap semoga Ba-pak tidak bodoh, apa maksudmu?"
"Aku berharap bapak melakukan saranku dengan menyimpan uang itu di bank. Tadi aku berpesan seperti itu." ucap Jasmi.
"Mati aku." desis Gimpul dalam hati.
Bisa-bisa renca¬na yang telah disusun dengan baik itu meleset. Kalau pak Kampun menyimpan semua uang itu di bank, langkah apa yang harus diambil? Gimpul pusing tu-juh keliling memikirkan kemungkinan yang paling buruk. Gimpul sudah marang dengan rencananya, apabila Salatun tidak berhasil mencuri uang itu, maka ia akan minggat seja-uh-jauhnya, tak peduli pada Salatun yang hamil, tak peduli pula pada Jasmi yang hamil.
"Kau menyarankan seperti itu?" ada nada kecewa dalam hati Gimpul.
"Bagaimana menurut kang Gimpul?" tanya isterinya.
Siapa bilang membawa uang dalam jumlah banyak tidak aman? Ahhh, itu kan ha-nya pendapat yang terlalu berlebihan. Tentu saja pihak bank yang menggembar-gembor-kan agar menyimpan uang di bank, maksudnya memang untuk menghimpun uang seba-nyak-banyaknya. Untuk hal itu pihak akan bank memberikan bunga yang sebenarnya ti-dak ada nilainya. Coba di pasaran gelap asal punya modal dan bisa tega mau jadi ren-tenir membungakan uang, dengan bunga sepuluh persen banyak yang berebut. Bahkan dua puluh persen sebulan banyak yang menubruk.
Gimpul sangat jengkel dengan pendapat itu, jengkel kepada Jasmi yang begitu cengoh telah menyarankan kepada pak Kampun untuk menyimpan di bank. Jasmi benar-benar bodoh.
"Menyimpan uang di bank itu memang aman dan baik, tetapi mengenai kecuriga-anmu bahwa kedua kakakmu akan bertindak curang rasanya itu agak berlebihan." berkata Gimpul.
"Aku amat curiga. Jika bukan kang Tanjir pasti kang Jayus yang akan melaku-kan." Jasmi resah.
"Sudahlah, mereka tidak akan melakukan hal itu Jas." Gimpul menen¬teramkan.
Di dalam hatinya Gimpul berkata, bukan Tanjir atau Jayus yang layak dicurigai, tetapi Gimpul juga.
Tentu saja Gimpul gelisah. Gimpul terlanjur membayangkan setumpuk uang ada di benaknya, namun rencana itu bisa bubar kalau benar pak Kampun mengambil langkah seperti yang disarankan Jasmi.
Waktu bergeser, siang terlampaui dan sorepun datang, pak Kampun ternyata masih belum pulang. Hal itu memancing kegelisahan yang baru. Ada apa dengan pak Kampun? mengapa belum pulang juga? Sebagai orang yang merasa berkepentingan, Gimpul merasa jengkel pada pak Kampun yang belum pulang juga. Atas nama kepen-tingan yang sebenarnya bukan haknya itu Gimpul mengumbar curiga, jangan-jangan pak Kampun sendiri sedang memainkan kartu trufnya. Kenapa tidak? bukankah pak Kampun sekarang memiliki mainan yang menyenangkan bernama Salehak itu?
“Kurang ajar pak Kampun.” bisik Gimpul dalam hatinya.
Bukan hanya Gimpul dan Jasmi yang resah, di halaman depan Tanjir dan Jayus juga kelihatan resah dan berbisik-bisik berdua.
Entah apa yang tengah mereka perbincangkan, namun aroma rencana jahat itu be-gitu kental terlihat di rona wajah mereka. Baunya amat menyengat.
"Jas." kata Gimpul, yang amat curiga pada manuver tidak terduga yang mungkin diambil pak Kampun.
"Ada apa kang?" balas Jasmi.
"Rupanya yang perlu kau curigai justru bukan kakakmu." berkata Gimpul.
Jasmi memandang wajah suaminya yang beku, seperti mencari sesuatu di wajah itu. Namun Gimpul pintar menyembunyikannya di balik beberapa buah jerawat dan lapi-san wajah topengnya. Gimpul yang harus menjaga supaya gerak-geriknya jangan sampai kentara membuang wajah memandang halaman dan pepohonan.
"Siapa?" Jasmi terpancing.
"Bagaimana kalau pak Kampun tidak akan pulang?" bertanya Gimpul dengan wa-jah tetap ditekuk.
Butuh waktu lebih lama bagi Jasmi untuk mencerna kecurigaan yang aneh itu. Jasmi menempatkan diri di depan Gimpul, tetapi lagi-lagi Gimpul memandang jauh sam-bil berusaha keras membuang kesan dari wajahnya.
“Bapakku, tidak pulang?" Jasmi mencuatkan alis.
Tetap saja Jasmi masih belum paham ke mana arah pembicaraan Gimpul.
"Pak Kampun tidak akan pulang sampai besok, dan bahkan besoknya lagi. Atau sampai kapanpun pak Kampun tidak pulang." berkata Gimpul.
Gimpul menyuburkan prasangka itu, membuat Jasmi semakin gelisah dan tidak mampu lagi berfikir jernih. Curiga macam apa saja dengan mudah ditelannya.
"Mengapa bapak tidak pulang?" bertanya Jasmi.
"Bukankah pak Kampun punya isteri baru? Namanya orang juga lagi kasmaran dan tidak perlu mengurus anak karena sudah pada besar semuanya. Kalau Salehak mem-pengaruhinya apa yang tidak mungkin. Mungkin Salehak bilang pada pak Kampun, Ayo minggat sejauh-jauhnya, ke tempat yang aman di mana di tempat itu tidak akan diganggu oleh anak-anakmu."
Gimpul menjelaskan sebuah kemungkinan. Padahal kalimat itulah yang ia pergu-nakan merayu Salatun minggat sejauh-jauhnya, ke tempat yang tidak akan diganggu sia-papun.
Jasmi cemas. Jika pak Kampun sampai tega berbuat seperti itu, benar benar ke-terla¬luan.
"Bagaimana? Kemungkinan itu ada bukan?" desak Gimpul.
Jasmi ingat kemarin saat menguping pembicaraan pak Kampun dengan Salehak. Rasanya tak mungkin pak Kampun akan setega itu. Jasmi juga ingat bagaimana sikap Sa-lehak yang mengalah, memilih tidak menerima apapun. Namun kalau sudah berhadapan dengan uang, apalagi yang jumlahnya begitu banyak, bisa saja segalanya berubah.
"Kang Gimpul benar." Jasmi goyah. "Tetapi, apa mungkin bapak akan sanggup melakukan itu? Apakah mungkin bapak akan sanggup memutuskan hubungannya dengan anak?"
Gimpul menabur racun. Untuk urusan macam itu Gimpul memang jagonya, uru-san merayu, memfitnah dan provokator, Gimpul jagonya. Pernah pada sebuah malam ada pentas gandrung yang riuh oleh jejalan penonton. Pentas itu bubrah karena Gimpul berha-sil memancing di air keruh. Tanpa alasan yang jelas, Gimpul njotos seseorang, yang di-jotos tentu tidak terima, namun saat mau membalas, Gimpul sudah lenyap. Maka yang terjadi kemudian terjadilah tawur yang tidak jelas apa sebabnya.
"Apa yang tidak mungkin dengan dugaan itu, apalagi pak Kampun merasa diha-dapkan dengan anak-anak yang tidak menghargainya lagi seperti kang Tanjir dan kang Jayus itu? Pak Kampun beberapa hari ini sebel pada anak-anaknya yang semua memusu-hinya, hal itu memudahkan pak Kampun untuk mengambil keputusan minggat. Toh anak sudah besar semuanya, cepat atau lembat mereka akan bisa mandiri. Barangkali seperti itu pikiran bengkok yang ada di benak bapakmu. Nah, mengapa sampai petang begini ba-pakmu belum pulang. Lagi pula pak Kampun pergi dengan siapa?"
Jasmi merasa isi dadanya rontok, cemas membayangkan kemungkinan yang sangat buruk itu. Apa yang dikatakan suaminya benar semua. Bahkan Jasmi nyaris me-yakini itulah jawabannya. Pak Kampun belum pulang juga karena Pak Kampun minggat, sayonara semua anak-anaknya.
Jasmi tidak melihat betapa geram wajah Gimpul yang kecewa itu.
“Betapa bodohnya pak Kampun.” berkata Gimpul dalam hati. “Minggat mening-galkan kami semua adalah tindakan yang bodoh. Ke manapun akan aku kejar.”
Itulah Gimpul, entah bagaimana caranya ia begitu pintar mengadopsi kemarahan yang mestinya bukan haknya menjadi kemarahannya sendiri. Menurut Gimpul tindakan orang lain yang tidak sesuai dengannya adalah tindakan salah, konyol dan bahkan goblok.
"Kalau begitu, harus dicari." Jasmi melempar gagasan.
"Mencarinya ke mana? Ke kamar mayat?" balas Gimpul sekenanya. Senyumnya sinis sekali.
Jasmi gelisah, Jasmi berjalan mondar-mandir ke depan balik ke belakang lagi, ke depan lagi lalu balik ke belakang lagi. Bila Jasmi diberi kabel dan dihubungkan ke colo-kan listrik di tembok, jadilah seterika.
"Jadi bagaimana kang?" Jasmi tambah gelisah.
Gimpul tertawa getir. Cemas membayangkan angan-angannya akan kandas. Soal-nya Gimpul sadar benar, jika sampai ia gagal menguasai uang itu, ia akan dihadapkan ke-sulitan yang luar biasa. Kehamilan Salatun tidak akan bisa disembunyikan, pengadilan yang paling mengerikan harus dihadapi. Bisa jadi Tanjir dan Jayus akan mengambil lang-kah paling anarki seperti yang baru-baru ini membudaya, dengan menyiram bensin dan membakarnya. Mati dengan cara seperti itu, Gimpul ngeri sekali.
"Kita hanya bisa berharap semoga dugaan itu salah. Namun bersiaplah menghada-pi kemungkinan itu." berkata Gimpul semakin memanasi.
Jasmi menyeka keringat dinginnya yang mengembun di kening. Belum lama Jasmi kehilangan simboknya, haruskah Jasmi kehilangan pak Kampun dengan cara yang sangat tragis seperti itu?
"Lalu bagaimana dengan kami anak-anaknya?" suara Jasmi terdengar amat serak.
Kembali Gimpul tertawa, nadanya amat tak enak di telinga. Kalau saja pak Kam-pun mendengar bagaimana Gimpul tega mem¬fitnahnya, pasti akan dikepruknya kepala lelaki itu dengan alu.
"Kau sudah besar dan sudah bersuami. Dengan sendirinya kau menjadi tanggu-ngan suamimu. Bagaimana dengan Salatun? Salatun juga sudah gadis, jadi tidak perlu ada yang dipikir lagi. Maka minggatlah pak Kampun dengan tanpa meninggalkan beban. Enteng saja beliau minggat meninggalkan kita." Gimpul menyiramkan bensin.
Emosi sekali Gimpul. Bisa-bisanya Gimpul emosi. Gimpul kan hanya anak me-nantu yang tak punya hak untuk itu.
Gimpul sungguh jengkel. Cemas jika rencananya sampai gagal.
Gimpul dan Jasmi yang berbincang sambil berbisik seketika diam ketika men-dengar ada suara langkah dari ruang tengah, Rupanya Jayus yang datang. Dengan penuh curiga Jayus memandangi suami isteri yang saling berbisik itu. Rasa curiga memang sedang jadi lakon, Jasmi curiga kepada kakak-kakaknya, Jasmi kemudian curiga juga kepada bapaknya, demikian pula dengan Tanjir dan Jayus, ia curiga kalau dicurigai. Itu sebababnya melihat Jasmi dan Gimpul saling berbisik, ia curiga.
“Dari mana saja kang?" tanya Jasmi seperti hanya sekedar bertanya, daripada ti-dak ada yang ditanyakan.
"Siapa yang dari mana saja? aku berada di rumah sejak tadi.” balas Jayus.
Pertanyaan sederhana itu saja sudah mampu memancing rasa curiga di hati Jayus, sebaliknya jawaban Jayus yang seperti itu tak tercegah mengundang kecurigaan Jasmi dan Gimpul. Dan percayalah, betapa tidak menyenangkan hidup di lingkungan yang sa-ling curiga dan mencurigai. Dengan alasan yang tidak jelas curiga bisa menjadi kompor yang membakar. Hanya curiga saja, belum ada bukti, sudah menjadi pembantaian dukun santet dan sebagainya.
“Bapak belum pulang?"
Ternyata tidak hanya Gimpul dan Jasmi yang resah. Jayus juga gelisah. Dari itu saja Jasmi dan Gimpul sudah curiga.
"Belum." Jasmi menjawab pendek saja.
"Ke mana saja orang itu? Sudah petang begini masih belum pulang."
Gimpul yakin, Jayus memiliki rencana seperti dirinya. Dari gelagatnya atau dari gelisahnya tampak betapa Jayus menyembunyikan sesuatu. Hal itu menambah kadar ke-resahan Gimpul. Ibarat sebuah pertandingan siapa yang mampu bermain dengan baik dan cermat, mampu bersiasat dengan jitu dan jika perlu harus tega menjegal, maka orang itu-lah yang akan memenangkan pertandingan. "Kita lihat saja nanti, siapa yang akan me-nang." bisik Gimpul pada diri sendiri.
“Mana aku tahu?” jawab Jasmi. “Perginya saja dengan isterinya. Pergi di saat pe-gang uang banyak. Apa kang Jayus tidak mempunyai prasangka bapak tidak akan pu-lang?"
Pertanyaan Jasmi itu jelas mengadopsi pendapat Gimpul. Dengan demikian ter-lihat berapa suksesnya Gimpul sebagai provokator. Padahal seharusnya, Jasmi mencan-tumkan dengan lengkap dari mana pendapat itu berasal. Jika kelak undang-undangnya sudah dibuat, Jasmi atau siapapun tidak boleh sembarangan bertanya dengan menyembu-nyikan siapa pemilik pertanyaan dan atau yang mempunyai pendapat seperti itu.
Nah, seketika sebuah tanda tanya menggoda Jayus.
"Ada apa? Menurutmu ada apa, kenapa bapak tidak pulang?"
"Apa kau tidak merasa curiga, mengapa sampai petang begini bapak belum pu-lang? Padahal sedang ada urusan uang begitu banyak. Bagaimana kalau bapak tidak pu-lang?" bertanya Jasmi.
Jayus heran. Bukannya Jayus telmi, itu istilah dari singkatan telat mikir, akan te-tapi Jayus belum mendengar alasannya. Sebagaimana Jasmi sebelumnya, Jayus berpenda-pat tak mungkin bapaknya akan minggat.
"Tidak pulang kenapa?" ulang Jayus.
"Kalau malam ini tidak pulang, besokpun tidak pulang, bahkan sampai kapanpun tidak pulang bagaimana? kau akan mendapatkan apa? kita semua akan mendapat apa?"
Jayus menatap wajah adiknya dengan tidak berkedip. Jayus juga memandang Gimpul yang buru-buru melempar tatapan matanya ke arah lain. Jayus lebih mendekat untuk mendapatkan penjelasan yang lebih rinci.
“Bapak tidak akan pulang, katamu?" Jayus menekan.
"Mungkin bapak tidak akan pulang. Minggat sejauh-jauhnya. Bukankah bapak pu-nya isteri baru yang cantik. Tentunya menye¬nangkan menghabiskan uang itu dengan iste-rinya daripada membagi¬kan pada kita." Jasmi menjelaskan lebih gamblang lagi.
Jayus termangu mencerna hal itu, masuk akal juga.
"Gila." Jayus terlonjak. Terlonjaknya terlambat bila dihitung dari sejak kagetnya.
Penjelasan Jasmi itu bisa dirasa seperti seekor ular yang mematuk kaki. Atau petir yang meledak di siang bolong, pada saat langit bersih tidak ada mendung, artinya Jayus memang tidak siap menghadapi rasa kaget yang datangnya mendadak.
"Bagaimana? Mengapa sampai petang begini, bapak belum pulang?" Jasmi mene-kan. “Bisa jadi bapak akan melupakan kita. Bukan hal yang harus membutuhkan pertim-bangan yang terlampau rumit bagi bapak untuk memutuskan, apalagi jika mengingat ti-dak ada lagi yang perlu ditimbang. Anak-anaknya tidak ada yang berbakti, bahkan me-ngancam akan membakar isterinya. Kang Jayus dan kang Tanjir membentak-bentak ba-pak seenaknya tanpa menghargai perasaannya, jadi untuk apa pulang?”
Pertanyaan Jasmi itu semakin memancing resah. Jayus mengepalkan tangan se-perti orang yang menahan marah, atau segumpal kejengkelan. Jayus cemas rencana yang disusunnya tak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan. Apabila pak Kampun ming-gat demi memanjakan isteri barunya itu, gawat. Benar-benar gawat.
"Jika yang kau bilang itu benar, Ini bukan soal yang remeh lagi." Jayus mengge-ram. "Akan kukejar sampai di manapun kalau bapak benar-benar minggat. Orang tua tidak tahu diri. Sudah tua akan mati begitu yang dipikir hanya nafsu syahwatnya saja. Akan kucari mereka, akan kubunuh perempuan sundal itu."
Pintu butulan terbuka Salatun muncul dengan wajah cemas.
"Ada apa to kok ribut-ribut?" tanya Salatun.
Jayus butuh penyaluran, kebetulan Salatun jadi katupnya.
"Diam kamu.” bentaknya “Kamu anak kecil tahu apa.”
Salatun tentu saja kaget dibentak seperti itu. Apalagi Jayus melototkan mata.
"Apa salahku?" tanya Salatun dengan mimik heran.
Jasmi segera merengkuh adiknya. "Kamu tidak bersalah apa-apa Tun.”
Jasmi menarik Salatun untuk duduk di sebelahnya. Salatun menatap Jayus yang wajahnya bagai kepiting direbus. Wajah Jayus yang jelek itu menjadi lebih jelek lagi di saat marah seperti itu.
"Akan kucari mereka." Jayus masih kesal.
"Sebaiknya bersabar dulu kang Jayus. Dugaan itu belum tentu benar." kali ini si Gimpul nimbrung, memberikan sumbang saran.
"Belum tentu benar bagaimana?" Jayus sangat jengkel. "Sudah jelas sampai pe-tang begini bapak belum pulang, ia tentu minggat dengan sundel itu. Aku harus men-carinya."
Jayus mondar-mandir sambil sesekali mengepalkan tangannya. Matanya keme-rahan menahan kemarahan. Kedua mata itu adakalanya melotot, seperti mau lepas dari kelopaknya.
"Terus mencarinya ke mana?" tanya Gimpul.
"Mencarinya ke mana ya?" Jayus malah bingung.
"Kalau kang Jayus mau mendengar pendapatku, sebaiknya janganlah berprasang-ka buruk dulu. Ditunggu saja, siapa tahu nanti pulang." Gimpul menenangkan.
Nah itulah sisi lain dari sosok Gimpul. Tadi kepada Jasmi ia menempatkan diri sebagai provokator yang dengan culas mengipas. Giliran di depan Jayus, Gimpul bersikap sebaliknya. Di depan Jasmi membakar, di depan Jayus membujuk.
"Benar kang. Ditunggu saja." Jasmi menenteramkan.
Jayus sangat gelisah. Mulutnya ndremimil. Jayus berbicara kepada diri sendiri. Jayus lupa kalau di sekitarnya ada orang lain. "Aku menjadi sangat curiga, boleh jadi me-mang benar bapak ming¬gat. Gila, ternyata bapak lebih cerdik."
Jasmi kaget mendengar ucapan itu. Seketika alisnya mencuat njengat ke atas. Jas-mi dan Gimpul saling melirik.
"Kenapa kang?" Jasmi tidak kuasa menahan penasaran.
"Oh, ti..tidak." Jayus merasa kelepasan omong. Agak gugup Jayus menjawab per-tanyaan itu.
"Yu, bapak kenapa?" Salatun membutuhkan jawaban dengan segera.
Salatun merasa ngeri membayangkan bakal kehilangan untuk yang kedua kalinya. Dulu ia sudah kehilangan simbok, haruskah kini ia kehilangan bapaknya? Jasmi yang bisa membaca gejolak perasaan di dada adiknya segera merengkuh tubuh Salatun, dipe-luknya.
"Ini hanya sebuah dugaan Tun, masih belum tentu benar. Memang ada kemung-kinan bapak minggat bersama isteri barunya itu, tetapi belum tentu benar." Jasmi menje-laskan.
"Bapak minggat?" Salatun kaget. Wajahnya pucat.
Jasmi hanya mengangguk.
"Kita tidak punya bapak yu?" bertanya Salatun dengan mimik wajah aneh.
Mendengar pertanyaan itu Jasmi amat tersentuh. Jasmi segera meraih pundak a-diknya. Di mata Jasmi, Salatun tentu gelisah. Baru beberapa waktu yang lampau mbok Kampun pergi, haruskah kini juga kehilangan bapak?
"Kalau benar, kita memang tidak punya bapak lagi." dengan serak dan seperti sa-ngat terpaksa, Jasmi menjawab.
"Kok perkembangannya menjadi seperti ini to yu?" tanya Salatun menahan sesak di dada.
"Akan kukejar ke manapun mereka pergi. Ke liang semut sekalipun." suara Jayus terdengar sarat letupan amarah.
Suasana kemudian menjadi hening. Jam amat tua yang menempel di dinding me-njadi tempat mereka memperhatikan gerak waktu. Jam itu tetap berada di sana karena tak laku dijual. Apabila laku sepuluh ribu rupiah saja, pasti Tanjir atau Jayus berebut dulu untuk melegonya.
Jayus membawa sumpah serapahnya ke halaman, di sana ada Tanjir dengan pera-piannya. Dari jendela Jasmi mengintip. Jayus berbicara berdua dengan Tanjir, tidak jelas apa yang mereka perbincangkan.
Suasana resah kian membuncah, hati yang gelisah semakin menjadi. Jam dinding tua terus mengayunkan lengan detiknya, merambati waktu dari menit ke menit.
Gimpul pusing sekali. Uang sekian puluh juta di depan mata, bisa jadi akan lepas begitu saja dari tangannya. Padahal kalau uang itu bisa berada di tangannya, Gimpul akan melenyapkan diri seperti di telan bumi, hilang ke ujung dunia yang tidak akan bisa di-lacak siapun. Dengan uang itu Gimpul akan berfoya-foya, mencicipi dan merasakan ba-gaimana nikmatnya menjadi orang kaya. Dengan uang itu Gimpul akan memuasi diri dengan wanita-wanita yang paling cantik yang bisa dibelinya.
Kini ada kemungkinan, keinginan dan mimpinya itu akan terganjal. Betapa kece-wanya kalau sampai hal itu terjadi.
Pada saat yang amat resah membuncah demikian itulah, tiba-tiba saja terdengar sebuah mobil masuk ke halaman. Jasmi dan Gimpul tersentak. Dengan bergegas mereka berlarian menuju jendela untuk melihat siapa yang datang. Tanjir dan Jayus yang dari mula sudah berada di halaman gemetar ketika melihat ada polisi yang turun dari ken-daraan itu. Untung mereka segera menyelinap dan bersembunyi di balik kandang.
Polisi? Mengapa ada polisi? Jasmi dan Gimpul segera riuh dengan prasangka. Pintu belakang mobil itupun terbuka, pak Kampun turun sambil menggandeng Salehak.
"Ada apa bapak pulang dengan membawa polisi?" bisik Jayus cemas.
Jayus ingat beberapa hari yang lalu ia menjambret yu Sumilah di dekat bendu-ngan air Dam Limo. Akan halnya Tanjir ingat, entah sudah berapa kali ia keluar masuk rumah orang tanpa permisi alias maling. Pernah juga Tanjir dan Jayus duet, sukses mem-bawa tape rekorder dan Tivi yang kemudian dijualnya di Genteng.
Tanjir dan Jayus ingat pula saat maling di toko Babah Jing yang ada di sudut per-tigaan jalan. Saat maling itu apa yang dilakukan Tanjir sungguh keterlaluan. Menurut il-mu yang diyakini para maling, agar tak tertangkap harus buang hajat di rumah yang di-jarahnya.
Padahal saat itu Tanjir mencret.
"Siapa dari antara kita berdua yang akan ditangkap?" berbisik Tanjir.
Jika demikian, apakah kedatangan para polisi itu akan menangkapnya? Boleh jadi karena polisi sekarang pintar-pintar. Mungkin polisi sudah tahu kalau yang mencuri di toko Babah Jing juga beberapa rumah yang lain itu sebenarnya Tanjir dan Jayus.
Pak Kampun dan Salehak mempersilahkan kedua Polisi itu duduk di ruang tamu. Saat di halaman, mereka tidak melihat Tanjir dan Jayus yang dengan cepat bersembunyi di balik kandang. Mereka hanya melihat perapian yang digunakan menghangatkan tubuh di musim bediding itu.
"Apa yang dilakukan bapak itu?" Jayus gelisah.
"Tampaknya bapak sedang berusaha melindungi kita." bisik Tanjir.
"Apakah kita harus lari saja? Daripada disel?"
"Jangan dulu dan kita lihat perkembangannya. Kalau jelas kedua Polisi itu memang bermaksud menangkap kita, kita bisa bersembunyi." berkata Tanjir.
Tanjir dan Jayus benar-benar gelisah.
Mereka tidak menyangka perbuatan jahat yang pernah mereka lakukan telah dien-dus polisi. Untuk beberapa saat pak Kampun berbincang dengan ke dua orang polisi itu. Sesekali dari ruang tamu itu terdengar suara tertawa yang berderai. Suasana perbinca-ngan yang terasa akrab itu justru membuat Jasmi dan Gimpul heran. Meski dari balik din-ding mereka mencoba menyimak pembicaraan yang sedang terjadi, akan tetapi mereka tidak berhasil mengetahui apa isi pembicaraan pak Kampun dengan para tamunya.
Polisi-polisi itu tidak berlama-lama, sejenak kemudian mereka telah berpamitan. Jasmi bergegas menemui bapaknya.
"Dua polisi tadi mau apa? Siapa yang mau ditangkap?" Jasmi tidak kuasa mena-han rasa penasaran.
Pak Kampun yang kemudian malah merasa heran.
"Menangkap siapa?"
Jasmi diam. Hanya alisnya yang kemudian mencuat.
"Mana Tanjir dan Jayus?" tanya pak Kampun.
Jasmi dan Salatun saling pandang.
"Jadi ke dua polisi itu mencari kang Tanjir dan kang Jayus?" tanya Salatun.
Pak Kampun bertambah heran. Tentu saja polisi itu tidak bermaksud menangkap Tanjir dan Jayus. Kedatangannya untuk mengawal pak Kampun yang membawa uang da-lam jumlah banyak. Maklum sekarang perampokan terhadap nasabah bank sedang mera-jalela. Semula pak Kampun akan menerima uang cash dari mencairkan cek, tiba-tiba pak Mudjikan berubah pikiran. Pagi itu pak Mudjikan mengajak pak Kampun ke Jember untuk menengok orang sakit sekalian mencairkan cek itu di Genteng. Pak Mudjikan yang membutuhkan pengawalan polisi karena mengambil uang kontan cukup banyak untuk membayar para nelayan yang telah setor ikan laut kepadanya. Pak Mudjikan kemudian meminta kepada para Polisi itu untuk mengantar pak Kampun pulang.
Demikianlah kejadiannya.
"Mengapa kau mengira polisi itu akan menangkap Tanjir dan Jayus?" tanya pak Kampun.
Jasmi dan Salatun saling pandang. Salatun mengangkat bahu.
"Kang Tanjir dan kang Jayus ketakutan, mereka bersembunyi. Mereka yang ma-ling di toko Babah Jing beberapa hari yang lalu." Salatun menjelaskan.
Pak Kampun kaget.
"Dari mana kau tahu itu?" desak pak Kampun.
"Mereka sendiri yang bilang seperti itu." jawab Jasmi. "Maksudku, aku mende-ngar pembicaraan mereka."
“Yang mbegal yu Siti Sumilah di bendungan Dam Limo itu juga.” Salatun me-nambahkan. “Kang Jayus yang melakukan.”
Pak Kampun menekan dadanya yang tiba-tiba amat nyeri. Pak Kampun memang sudah mendengar cerita seram yang menimpa Babah Jing. Maling yang kurang ajar itu bukan hanya menguras isi tokonya, namun meninggalkan kotoran manusia di sana. Dan yang melakukan semua itu ternyata anaknya sendiri. Pak Kampun juga sudah mendengar cerita tentang yu Sumilah yang dicegat perampok di bendungan, siapa mengira yang melakukan itu anak-anaknya.
"Astagfirullah Aladzim, Tanjir dan Jayus melakukan perbuatan seperti itu?" tanya pak Kampun dengan nada suara bergetar.
Pak Kampun sama sekali tak menyangka punya anak maling.
"Jadi benarkah pak? Polisi tadi sedang mencari kang Tanjir dan kang Jayus?" Jasmi mendesak.
"Mana ke dua kakakmu itu, panggil dia kesini." perintah pak Kampun.
Jasmi atau Salatun tidak perlu beranjak memanggil, karena Tanjir dan Jayus nye-lonong masuk. Semua perhatian memang tertuju pada sebuah tas besar yang tergeletak di atas meja. Cek sudah diuangkan, dan uangnya satu tas penuh. Siapa yang tak tergoda me-lihat uang yang sebanyak itu.
Dengan sekuat tenaga Gimpul menghapus kesan apapun dari wajahnya. Namun dengan cermat Gimpul membaca suasana. Dengan teliti pula Gimpul membaca gelagat aneh di wajah Tanjir dan Jayus. Jelas Jayus merencanakan sesuatu yang mungkin tidak akan terduga. Itu sebabnya Gimpul dengan seksama dan penuh perhitungan memperhati-kan perkembangan keadaan.
Pak Kampun memandang Tanjir dan Jayus dengan kecewa. Kecewa sekali. Seba-gai seorang bapak pak Kampun tidak pernah membayangkan di antara anaknya akan ada yang berprofesi maling.
"Kau tahu dua orang polisi yang datang ke sini tadi?" bertanya pak Kampun pada Tanjir dan Jayus.
Tanjir tak menjawab. Jayus memandang Tanjir. Kedatangan Polisi tadi masih me-nyisakan degup jantung.
"Mereka mau apa?" Jayus yang bertanya.
Pak Kampun benar-benar merasakan dadanya sesak. Kecewa sekali.
"Pertanyaanmu itu sebenarnya sudah kamu ketahui jawabnya. Kamu sebenarnya sudah tahu apa keperluan mereka."
Jayus maupun Tanjir bertambah gugup.
Salatun menggamit Jasmi. Jasmi menggamit tangan Gimpul. Gimpul memanda-ngi Jayus. Mata Jayus melirik Tanjir, mata Tanjir meilirik tas.
"Mereka mau apa?" Tanjir cemas.
"Polisi itu datang kemari, karena ada hubungannya dengan pencurian di toko Ba-bah Jing." jawab pak Kampun.
Pak Kampun ingin mendapat keyakinan, bahwa memang benar Tanjir dan Jayus-lah pelaku pencurian yang menghebohkan itu. Seketika wajah Tanjir dan Jayus menjadi pucat. Situasi yang mereka hadapi tambah gawat. Dari wajah yang berubah itu, pak Kam-pun bisa mendapatkan kesimpulannya.
"Maling, di toko Babah Jing?" Tanjir pura-pura kaget.
"Aku tidak mengira dua orang anakku telah menjadi maling, pencuri. Memalu-kan. Apa salahku sehingga aku mempunyai anak yang perbuatannya seperti itu? Kalian mengaku apa tidak?" bertanya pak Kampun dengan amat berwibawanya.
Tanjir yang biasa membentak bapaknya itu kini terbungkam.
"Sebenarnya polisi tadi mau apa?" tanya Jayus.
"Mereka mencari kalian. Pertanyaan peristiwa di toko Babah Jing dan penjambre-tan yang menimpa Sumilah di bendungan, jawabannya ada di rumah ini.” jawab pak Kampun singkat dan tegas.
Gugup di wajah dua anak lelaki pak Kampun itu dengan jelas terbaca. Namun mana ada maling yang mau mengaku. Kalau semua maling mengaku, maka gedung ta-hanan tentu akan penuh sesak.
"Kami tidak melakukan apa-apa. Polisi itu salah alamat."
"O ya? Apakah kau merasa yakin? Kalau kau merasa yakin bapak akan mengan-tarmu ke kantor polisi. Katakan bantahanmu itu pada polisi itu."
"Waaaah, jangan." jawab Tanjir.
"Kalau tak merasa bersalah mengapa kau takut?" desak pak Kampun.
"Mengaku saja." tambah Jasmi.
Pada dasarnya Tanjir gampang gugup. Ditekan seperti itu, keluar pengakuannya.
"Iya, kami memang melakukan." jawab Tanjir tersendat.
Jayus tentu saja jengkel pada Tanjir. Jayus ingin tetap bersikukuh pada penola-kannya, sebaliknya Tanjir dengan begitu cepat mengaku. Dengan kasar Jayus menyikut Tanjir, sejenak kakak dan adik ini beradu melotot.
"Itu perbuatan gila. Pak Kampun mempunyai anak jadi maling, mau diletakkan di mana wajah bapakmu ini?" suara pak Kampun terdengar amat serak.
Suasana rumah pak Kampun seketika menjadi hening. Senyap sekali. Pak Kam-pun kembali cemas. Jika seperti itu keadaan kedua anak lelakinya, lantas akan jadi apa-kah jika uang penjualan sawah itu dibagi. Uang itu tentu akan ludes tanpa tanggung ja-wab.
Pak Kampun menebar pandang, dadanya kian nyeri.
"Hasil penjualan sawah batal aku bagikan." kata pak Kampun.
Tanjir dan Jayus kaget.
"Kenapa?" tanya Tanjir.
"Apa jadinya dengan uang ini kalau aku bagikan sekarang? aku tidak keberatan kalau warisan kalian minta sebagai modal untuk berdagang atau untuk bekal hidup. Seba-liknya aku tidak ikhlas kalau uang itu hanya untuk foya-foya, kau habiskan di meja judi."
Tanjir tidak bisa menerima itu.
"Tidak bisa." Tanjir mulai galak. "Aku membutuhkan uang itu."
"Aku juga." desak Jayus.
"Baiklah. Aku ingin mendengar, menurut rencanamu uang itu akan kau perguna-kan untuk apa atau bagaimana?"
"Aku akan pergi jauh." jawab Tanjir. Pak Kampun tersenyum sinis.
"Karena kamu takut pada polisi itu? Jadi uang itu hanya untuk ongkos minggat? Haruskah aku membagikan warisan dengan alasan semacam itu? Tak adakah alasan yang lain yang enak di dengar dan menyejukkan telinga?"
"Aku tidak peduli. Pokoknya aku minta warisan." Tanjir ngotot.
"Aku juga." kata Jayus.
"Dan aku tetap pada pendirianku. Cara membagi warisan itu dengan aturan yang betul. Anak perempuan tidak bisa menerima jumlah yang sama dengan anak lelaki. Karena anak perempuan itu akan menjadi tanggungan suaminya." tambah Tanjir.
Gimpul yang menunduk itu mendongak sedikit dan melirik pada Tanjir.
Gimpul bermaksud menyunggingkan senyum sinis, namun tidak berani. Kalau se-nyum sinisnya sampai ketahuan, bisa-bisa celurit yang berbicara.
"Kalau mau ngotot begitu, biar pengadilan nanti yang memutuskan." jawab pak Kampun enteng.
"Menunggu pengadilan?" tanya Jayus.
"Ya." jawab pak Kampun seperti sekenanya. "Kurasa jika pengadilan yang memu-tuskan pasti adil. Apapun keputusan pengadilan itu akan kulaksanakan dengan sebaik-ba-iknya."
Jasmi manggut-manggut sependapat dengan pendapat bapaknya. Tanjir dan Jayus terpaksa mengumpat di dalam hati. Keduanya resah memikirkan waktu yang akan berla-rut dan terlampau lama. Apalagi polisi sudah membaui perbuatan mereka. Artinya, sece-pat-cepatnya mereka harus segera pergi jauh meninggalkan Tegaldlimo.
Pak Kampun tidak memerlukan jawaban lagi. Pak Kampun beranjak berdiri sam-bil membawa tas yang diduga berisi uang itu. Pak Kampun masuk ke kamar diikuti oleh isterinya.
"Pak, tunggu dulu." teriak Tanjir.
"Aku letih, besok pembicaraan ini dilanjutkan." jawab pak Kampun.
Jayus maupun Tanjir bermaksud memaksakan pembicaraan itu, namun pak Kam-pun sudah keburu menutup pintu dan menguncinya.
Jasmi memandang penuh cemas. Khawatir kalau Jayus dan Tanjir akan kehila-ngan kendali. Namun dugaan Jasmi ternyata salah, Tanjir maupun Jayus tidak menggedor pintu. Mereka ngeloyor pergi ke halaman dan melanjutkan duduk berdua menghangatkan diri di depan api.
Sebenarnyalah keadaan rumah pak Kampun malam itu bagaikan dilingkupi udara yang gerah. Sampai larut Jasmi tidak bisa memejamkan mata. Perilaku Tanjir dan Jayus sungguh mencurigakan. Itu sebabnya Jasmi mondar-mandir seperti seterika.
"Kau tidak tidur Jas? Ini sudah agak malam." tanya suaminya.
"Aku tidak akan tidur malam ini kang, sekalian tirakatan. Aku curiga kang Tanjir dan kang Jayus akan melakukan sesuatu. Aku harus berjaga-jaga. Kau juga kang, kita melekan semalam suntuk." berkata Jasmi.
Gimpul mengangguk.
"Kau benar. Aku akan menemanimu." balas Gimpul.
"Aku punya usul. Kau sebaiknya berjaga di luar saja. Bagaimana?"
Sebenarnya itu gagasan yang sangat bagus. Pucuk dicinta ulam tiba. Bukankah dengan demikian peluang Gimpul untuk beraksi semakin luas?
"Kenapa aku berjaga di luar?" tanya Gimpul.
Gimpul tentu saja tidak pergi ke Tegaldlimo Kidul. Ia hanya mondar-mandir di halaman sekedar membuang waktu, seolah-olah benar-benar pergi menuruti keinginan is-terinya.
Dua jam kemudian Gimpul kembali. Jasmi yang memang menunggunya menyam-but kedatangan bata merah itu dengan penuh gairah. Bata merah yang dibungkus tas kre-sek itu disambutnya seperti menyambut bayi yang montok lucu serta menggemaskan. Gimpul mencuatkan alis melihat betapa mesra Jasmi memperlakukan bata merah itu.
Namun Jasmi tersentak, Gimpul lebih tersentak.
"Kau bohong." kata Jasmi sambil melotot.
"Bohong apa?" Gimpul heran.
"Kau tidak pergi ke sana. Ini bukan bata yang diinginkan anakmu."
Alamak, Gimpul benar-benar kaget dan menjadi penasaran. Bagaimana caranya Jasmi bisa tahu dirinya telah berbohong. Bagaimana Jasmi bisa tahu bata merah itu di-ambil dari halaman.
"Pergi." kata Jasmi tegas.
Gimpul pusing kepalanya.
"Aku? Harus pergi ke mana?"
"Ambil bata merah."
Gimpul tidak punya pilihan lain kecuali harus menuruti keinginan Jasmi itu. Ka-lau tak dituruti Gimpul cemas, soal yang sepele itu bisa menjadi besar. Maka dengan ter-paksa Gimpul membangunkan Sugino anak mbokde Kisruh untuk mengantar ke Tegal-dlimo Kidul.
Menjelang pagi Gimpul menyerahkan bata merah itu. Kali ini entah dengan pen-ciuman atau barangkali menggunakan indera ke enamnya, Jasmi percaya dan yakin bata merah yang berada dalam genggamannya berasal dari Tegaldlimo Kidul. Bata merah itu diciumi dengan mesra, dilela-lela seperti menina-bobokkan bayi. Bata merah itu diperla-kukan dengan lembut.
Melihat keanehan itu Gimpul merasa 'neg dan memilih tidur di lantai menggelar tikar.
Ketika bangun pada esok harinya Gimpul kaget melihat bata merah itu tinggal se-paruh. Jadi, benarkah Jasmi makan bata merah itu atas nama anak yang masih berada di dalam kandungan? Gimpul benar-benar ngeri. Kalau Gimpul disuruh ngrikiti bata merah itu, bukan batanya yang rompal, tetapi giginya.
"Kau benar-benar makan bata marah itu?" tanya Gimpul pada Jasmi yang tengah menyedu secangkir kopi.
Gimpul menjulurkan tangan akan menerima kopi itu.
"E’eh, ini bukan punyamu." tepis Jasmi. "Setelah puas makan bata merah, anak-mu ingin minum kopi hangat. Kalau kau mau, bikin saja sendiri."
Gimpul hanya bisa mengelus dada. Pusing kepalanya berubah menjadi migrain yang nggandoli separuh dari kepalanya. Terpaksa Gimpul bikin kopi sendiri.
Salatun yang baru saja dari jeding memberikan kerling mata padanya.
Siang harinya, pak Kampun kedatangan tamu, pak Mudjikan. Rupanya persoalan jual beli sawah telah sampai pada tahap akhir. Gimpul yang merasa berkepentingan de-ngan hal itu sangat gelisah. Namun dengan cermat Gimpul memperhatikan perkemba-ngan. Gimpul berharap Salatun bisa bekerja sesuai dengan rencana. Pendek kata entah bagaimana caranya, hasil penjualan sawah itu harus jatuh ke tangannya.
Tanjir yang paling tidak sabar. Demikian pak Mudjikan pulang, Tanjir segera me-ngorek keterangan dari pak Kampun.
"Bagaimana pak? Sudah laku sawahnya?"
"Sudah." jawab pak Kampun.
"Sudah dibayar?" Tanjir mendesak.
"Sudah." jawab pak Kampun lagi.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Dibagi saja sekarang."
Pak Kampun merasa perih ulu hatinya. Membagi uang penjualan sawah seharus-nya dengan cara yang sakral. Sawah yang dijual itu bagaimanapun juga merupakan harta pusaka yang turun temurun, diwariskan oleh generasi terdahulu.
Dahulu kala pak Kampun dan mbok Kampun menggunakan sawah itu untuk mo-dal yang kemudian berkembang. Sawah yang semula hanya satu hektar telah beranak pinak menjadi beberapa hektar. Naifnya pak Kampun sekarang harus menjualnya dan membagikan seperti membagi barang tak berharga, seperti ngedum kacang.
"Dibagi bagaimana kalau uangnya masih berupa cek seperti ini? Cek ini masih harus ditukarkan ke bank. Banknya di Banyuwangi. Setelah cek ini diuangkan baru bisa dibagi rata."
Dibagi rata? Tanjir rupanya tak senang dengan cara pembagian seperti itu.
"Dibagi rata?"
"Lha bagaimana?" pak Kampun yang kemudian merasa gumun.
"Hak anak lelaki itu tak bisa disamakan dengan anak perempuan. Jasmi dan Sala-tun itu nantinya akan ikut suaminya, mereka menjadi tanggungan suaminya."
Pak Kampun makin prihatin. Di samping serakah, Tanjir rupanya mau menang sendiri. Tentu saja pak Kampun tidak bisa membeda-bedakan semua anaknya. Semua harus mendapat pembagian sama. Tak ada yang boleh lebih dari lainnya.
Pak Kampun memandang Tanjir
"Itu namanya kau mau menang sendiri Njir. Bapak tidak bisa bertindak tidak adil seperti itu. Kamu, Jayus, Jasmi dan Salatun harus mendapatkan jumlah yang sama. Bapak tidak bisa emban cindhe emban siladan."
"Tidak bisa. Pokoknya pembagian harus menggunakan caraku."
Tanjir tak bisa menerima. Tanjir merasa pendapatnyalah yang paling benar. Kok enak Jasmi dan Salatun mendapatkan jumlah yang sama. Wanita itu nantinya akan bersu-ami. Menjadi tanggung jawab suaminyalah Jasmi dan Salatun.
"Aku kira aku sependapat dengan kang Tanjir. Memang harus begitu cara mem-bagi." Jayus yang ikut nimbrung, memberi pukulan gong besar.
"Apa Jasmi dan Salatun akan menerima cara itu? Apakah perlu dibuat geger dulu di pengadilan supaya pembagiannya jelas dan adil?"
Pak Kampun jengkel.
"Ke pengadilan?" Jayus merasa aneh.
Mengapa hal yang demikian harus dibawa ke Pengadilan?
"Ya." jawab pak Kampun tegas. "Soal ini dibawa ke pengadilan saja, biar penga-dilan yang memutuskan, kau akan mendapat berapa, Jayus akan mendapat berapa, Jasmi berapa dan Salatun berapa, termasuk Salehak, ia juga harus mendapatkan. Bapak tidak a-kan menguangkan cek ini kalau belum ada kesepakatan lebih dulu."
Bahwa Jasmi dan Salatun akan mendapat jumlah yang sama membuat Tanjir ma-rah, apalagi nama Salehak juga disebut sebagai salah seorang yang akan menerima wa-risan, membuat Tanjir seperti kebakaran jenggot.
Tanjir menggebrak meja.
"Aku sudah mengatakan berulang kali. Perempuan murahan itu hanya babu di ru-mah ini. Meski bapak telah mengambilnya sebagai isteri, aku tidak pernah menganggap-nya sebagai ibu. Ia tak boleh mendapatkan sepeserpun. Kalau sampai itu terjadi, aku akan beli bensin dan akan kubakar dia."
Sebuah ancaman mengerikan. Salehak yang menyimak pembicaraan itu dari keja-uhan tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya.
Namun entah mengapa pak Kampun kali ini tidak suka diancam, pak Kampun ti-dak suka digertak seperti itu. Anak mestinya berbakti pada orang tua, bukan memusuhi dan mendampratnya. Tanpa ada orang tua, mana ada anak? Jadi memang tidak sepatut-nya Tanjir melotot kepadanya, tak sepatutnya Tanjir menggebrak meja.
"Ooo begitu?" jawab pak Kampun tambah tidak senang. "Kau akan melakukan ancaman itu le? Boleh saja kau lakukan itu, dan aku memutuskan tidak ada pembagian warisan sama sekali. Biar kau jadi gembel kere seperti di pinggir jalan itu, aku tidak peduli."
Pak Kampun yang mulai bangkit kemarahannya itu menatap Tanjir dan Jayus de-ngan pandangan garang. Nafasnya tersengal. Apabila pak Kampun terkena serangan teka-nan darah tinggi, gawat.
Sayang Tanjir tidak bisa membaca suasana. Tanjir tambah emosi. Tanjir tak pe-duli lagi pada kuwalat, atau pada dosa karena berani pada orang tua.
"Jangan memancing kemarahanku. Aku bersungguh-sungguh dengan ancaman itu. Akan kubakar isterimu itu kalau dia kau beri warisan. Secuil sekalipun."
Tanjir kemudian meninggalkan pak Kampun yang sibuk menata degup jantung. Jayus yang agak cemas pak Kampun akan terserang bludrek segera menyusul Tanjir me-ninggalkan pak Kampun sendiri. Jasmi yang menyimak pembicaraan itu dari balik pintu sibuk mendamaikan diri pula. Akan tetapi Jasmi tetap saja nggregeli.
"Apa yang terjadi Jas?" Gimpul bertanya.
"Sawah itu sudah laku kang. Pak Mudjikan yang membeli dan dibayar kontan, na-mun masih berupa surat cek yang masih harus ditukarkan dulu di bank. Tetapi,.."
Jasmi resah. Gimpul gelisah.
"Tetapi bagaimana?" desak Gimpul.
"Kang Tanjir dan kang Jayus mau menangnya sendiri. Kang Tanjir dan kang Ja-yus berpendapat, anak perempuan tidak perlu mendapatkan warisan."
Gimpul kaget. "Alasannya?"
"Karena anak perempuan menjadi tanggungan suaminya. Karena aku akan menja-di tanggunganmu." berkata Jasmi.
Gimpul manggut-manggut. Kok indah sekali alasan itu, pikir Gimpul. Karena pe-rempuan akan menjadi tanggungan suaminya? Gimpul tersenyum.
"Akhirnya ketahuan juga belangnya.” berkata Gimpul. “Ketika dahulu kedua ka-kakmu itu ngrimuk dirimu supaya mau pulang dan bersama-sama menghadapi bapakmu, tujuannya memang agar warisan segera dibagi. Namun setelah tanah warisan itu laku, mereka mau mengangkangi sendiri. Kau yang semula dijadikan teman untuk menghadapi bapakmu, sekarang berbalik akan dijadikan musuh."
Jasmi membenarkan pendapat suaminya. Pada kenyataannya keadaan memang seperti itu.
"Dan karena kita dianggap musuh, sementara keperluan mereka sudah terpenuhi, bisa saja kita diusir, disuruh minggat dari rumah ini. Kita terpaksa usung-usung lagi. Di-tonton para tetangga lagi."
"Jadi bagaimana?" Jasmi resah.
"Tergantung pada sikap pak Kampun. Apakah bapakmu akan menuruti kehendak kedua anak lelakinya itu. Kalau pak Kampun takut pada ancaman Tanjir dan Jayus dan kemudian menuruti permintaan mereka, maka kau tidak akan mendapat apa-apa."
Jasmi kian gelisah.
"Beri aku saran kang Gimpul, apa yang harus aku lakukan, aku harus bagaima-na?"
"Aku ini hanya menantu Jas, kalau aku ikut campur, nanti disalahkan, karena uru-san ini adalah urusan keluargamu." balas Gimpul.
"Kau suamiku kang. Kau harus membantuku, berilah aku pendapat apa yang ha-rus kukerjakan?" Jasmi gelisah.
Gimpul berfikir mencoba mencarikan pemecahan yang sebaik-baiknya. Untuk le-bih meyakinkan, Gimpul meletakkan ujung telunjuknya ke kening.
"Kamu bicarakan dengan bapakmu. Jangan memusuhinya. Juga jangan memusuhi isterinya. Hanya itulah kuncinya. Yang penting sekarang bapakmu. Kalau bapakmu me-ngatakan merah, maka jadilah merah. Kalau pak Kampun mengatakan hitam, jadilah hi-tam."
Jasmi memerlukan waktu beberapa kejap untuk mencernakan pendapat suaminya itu.
"Kang Gimpul benar. Sebaiknya aku memang harus berbicara dengan bapak."
Gimpul gembira karena sarannya diterima. Dengan demikian Gimpul akan mem-peroleh informasi yang akurat mengenai gerak uang itu nantinya. Syukur seandainya pak Kampun membawa pulang uang itu semua, dan tidak perlu menyimpannya di bank. Un-tuk apa sih uang disimpan di bank, supaya aman? Ah, itu kan akal-akalannya pihak bank yang ingin cadangan uangnya banyak. Harusnya uang itu disimpan di bawah bantal saja, supaya gampang mencurinya.
"Jangan kamu tunda. Sekarang juga kau bicarakan dengan bapakmu. Ingat Jas, ja-ngan memusuhinya dan jangan memusuhi isterinya. Hanya itulah kuncinya." Gimpul me-nambahkan petunjuk.
"Ya." Jasmi menjawab.
Jasmi memang tidak menunda-nunda lagi. Jasmi bergegas menemui bapaknya.
Ketika Jasmi mengetuk pintu, Salehak yang membukanya. Jelas sekali betapa Sa-lehak gugup, sebagaimana Jasmi merasa serba salah harus berbicara dengan Ibu tirinya itu.
"Ada apa?" tanya Salehak dengan volume lirih saja.
"Maaf. Aku mau bicara dengan bapak."
Jasmi mengutarakan keperluannya dengan sikap yang agak serba salah. Salehak bingung. Pak Kampun telah berbaring. Pak Kampun tadi berpesan untuk jangan diba-ngunkan siapapun yang ingin bertemu. Pak Kampun yang tadi emosi menghadapi Tanjir dan Jayus ingin meredakan diri dengan tidur.
“Bapak sudah tidur, apakah harus aku bangunkan?" Salehak bertanya.
"Ya, bangunkan saja." jawab Jasmi.
Pak Kampun yang sebenarnya sulit tidur menerima Jasmi di kamarnya. Jasmi me-mandang tempat tidur, ada kembang kantil dan melati ditebarkan di atas tempat tidur, ba-rangkali maksudnya supaya tempat tidur itu berbau wangi. Atau boleh jadi Salehak yang merasa suaminya yang sudah tua itu bau sekali hingga diperlukan bunga kantil dan melati untuk meredam.
"Ada apa Jas?" pak Kampun langsung pada persoalan.
"Langsung saja pak.” berkata Jasmi. “Apa bapak akan membagikan warisan itu menggunakan cara yang diusulkan kang Tanjir dan kang Jayus, yang mau mengabaikan aku dan Salatun?"
Pak Kampun manggut-manggut. Resahnya tambah membuncah.
"Apa Tanjir dan Jayus menyampaikan hal itu padamu?"
"Aku mendengar pembicaraan bapak dengan mereka." jawab Jasmi.
"Sesama saudara seharusnya rukun. Kalau ada sesuatu yang menimpa, siapa lagi yang dimintai tolong kalau bukan saudara sendiri. Karena warisan, kakak dan adik bisa jadi musuh."
Pak Kampun prihatin, kisah macam itu tidak seharusnya menimpa keluarganya. Dahulu Pak Kampun berharap setelah dewasa empat anaknya akan selalu rukun, bahu membahu dalam menghadapi kesulitan hidup macam apapun. Namun mrucut saka em-banan, kenyataan yang ada tidak seperti yang diharapkan. Perpecahan terjadi karena ma-sing-masing berebut harta.
"Aku tidak tanya soal itu pak. Aku ingin tahu dengan cara bagaimana bapak akan membagi?" Jasmi mengulang.
Pak Kampun menekan dadanya yang masih nyeri.
“Bapak kecewa sekali Jas. Kau ternyata tidak ubahnya kakakmu, yang hanya me-mikirkan warisan itu."
"Masalahnya aku mendengar dengan telingaku sendiri. Kang Tanjir dan kang Ja-yus mau menang sendiri" Jasmi membela diri.
“Bapak akan bertindak seadil-adilnya, semuanya dapat. Sudah, hanya itu yang bisa kukatakan." berbicara pak Kampun.
Tidak ada pembicaraan lagi antara pak Kampun dengan Jasmi. Salehak menuntun pak Kampun yang tersengal kembali naik ke pembaringan. Salehak dan Jasmi sempat be-radu pandang. Bersamaan keduanya segera mengalihkan tatapan mata yang bersirobok itu.
Di luar pintu, Jasmi yang penasaran menempelkan telinga ke dinding. Jasmi ingin tahu apa yang akan dibicarakan Salehak dengan pak Kampun.
"Ruwet anak-anakku ‘Hak. Mereka semuanya sudah sulap pada harta sampai tak menghormati orang tua lagi."
Salehak menunduk dan kemudian memandang pak Kampun. Dari celah lobang Jasmi bisa memperhatikan adegan yang berlangsung itu.
"Akulah yang menjadi penyebab semua ini pak." ucap Salehak dengan nada serak.
Jasmi terlonjak.
"Jangan kau berpendapat seperti itu. Anak-anakku yang salah, bukan kamu."
"Sebaiknya pak Kampun jangan bersikeras untuk memberiku warisan. Mereka se-mua akan makin membenciku. Dikiranya aku mau menjadi isterimu karena mengingin-kan hartamu. Bagikan saja secara adil uang itu pada mereka semua, kalau perlu diadakan acara selamatan atau syukuran supaya uang dari warisan itu membawa berkah. Memba-wa manfaat bagi mereka semua."
Jasmi bagai dililit pesona yang tak diketahui dari mana asalnya. Jasmi tidak me-ngira Salehak mempunyai hati yang begitu bersih dan luhur. Jasmi agak terpukul. Bahwa selama ini ia berprasangka begitu buruk pada Salehak, ternyata prasangka itu salah.
"Aku justru heran mengapa orang sebaik kau justru dimusuhi ‘Hak." pak Kampun mengeluh.
Jasmi di luar merasa tersindir. Di dalam Salehak terlihat sedih.
"Sudah, jangan kau pikirkan mereka. Perkara hasil penjualan warisan itu, besok a-ku akan berbuat seadil-adilnya."
"Aku tak perlu mendapatkan apapun pak."
"Tidak bisa. Kau isteriku, kau juga harus mendapatkan." pak Kampun tetap bersi-kukuh.
Namun Salehak merasa ngeri kalau Tanjir mewujutkan ancamannya. Kalau Tanjir menyiram tubuhnya dan kemudian membakarnya, itu hal yang menakutkan sekali.
"Aku tak akan menerima pak Kampun. Sudahlah, bagikan saja kepada mereka se-mua. Aku ikhlas. Aku berkesempatan menjadi isteri pak Kampun, bagiku sudah merupa-kan anugerah. Aku hidup sebatangkara di dunia ini, lalu ada yang berkenan memungutku, hal itu sudah alhamdulillaah. Apa aku masih menginginkan yang lain? Tidak pak Kam-pun. Aku mohon pak Kampun membagikan harta warisan itu untuk mereka semua, aku tidak usah."
Jasmi terharu. Pembicaraan pak Kampun dan isteri mudanya itu mengharu-biru dan memporak-porandakan keangkuhan serta prasangkanya. Jasmi sama sekali tidak me-ngira, Salehak berhati amat mulia, begitu bersih bagaikan hati malaikat atau bidadari.
Suara Salehak yang tersendat seperti orang yang menahan tangis bagai merontok-kan isi dadanya. Ternyata, berprasangka buruk pada isteri muda pak Kampun itu meru-pakan kekeliruan yang amat besar.
"Kau ikhlas?" desak pak Kampun.
"Aku ikhlas." jawab Salehak.
"Baiklah, mungkin ada benarnya apa yang kau katakan. Uang itu aku bagikan saja semua pada mereka. Untukmu aku akan mencarikan sendiri.”
Namun jika ingat kehendak Tanjir, pak Jayus resah.
"Moga-moga Tanjir dan Jayus tidak menang-menangan. Mau menang sendiri."
"Kenapa?" tanya Salehak sambil mengusap air mata.
"Tanjir dan Jayus memiliki pendapat berbeda. Menurut mereka, anak perempuan tidak bisa menerima hak yang sama dengan anakku yang lelaki."
Salehak termangu.
"Kalau begitu caranya, kasihan Jasmi dan Salatun." kata Salehak.
"Jasmi dan Salatun anak-anakku juga. Bahkan maksudku, aku justru ingin mem-berikan sedikit lebih kepada Salatun anakku yang bungsu itu, Salatun sangat kehilangan dengan kepergian simboknya. Mungkin warisan itu akan sedikit menghiburnya. O ya, kau masih didiamkan oleh Salatun?"
"Aku berusaha ramah kepadanya, mengajaknya bicara, tetapi Salatun hanya me-njawab seperlunya. Padahal aku ingin akrab. Tidak sebagai Ibu dan anak, tetapi seperti saudara, atau teman."
Jasmi yang terus menguping nyaris tersedak. Jasmi benar-benar tidak menyangka Salehak memiliki hati yang demikian bersih, jiwa yang begitu mulia. Rasa bersalah itu kian membuncah, membeset wajahnya.
"Bagaimana dengan Jasmi? Jasmi masih judes?" tanya pak Kampun.
"Sudah tidak lagi." Salehak menjawab. "Kami hanya masih canggung."
Jasmi merasa perlu mencernakan keadaan itu.
"Kau bersabarlah. Ketelatenanmu akan meluluhkan hatinya. Mereka akan meneri-ma kehadiranmu bukan sebagai orang yang perlu dicurigai." pak Kampun berbicara sam-bil membelai rambut isterinya.
Pak Kampun mengelusnya dengan penuh kasih sayang. Salehak segera menjatuh-kan diri ke pelukan suaminya. Andaikata pak Kampun masih muda, pak Kampun tidak perlu terhuyung-huyung seperti itu. Baru beberapa saat dijadikan sandaran pak Kampun sudah tersengal.
"Kecuali dengan Tanjir dan Jayus. Aku melarang kamu akrab dengan mereka, ka-rena sangat mungkin mereka akan melahapmu. Aku cemburu sayangku."
Lhadalah, pak Kampun punya rasa cemburu?
Adegan selanjutnya? Jasmi risih mengintip, apalagi punya bapaknya. Jasmi berge-gas meninggalkan pintu kamar itu.
Dengan gontai Jasmi melangkah ke halaman. Pikirannya terus terpusat pada so-sok Salehak yang ternyata tidak seperti yang selama ini dibayangkan. Salehak mau dika-wini lelaki tua itu bukan karena hartanya, namun sekedar menitipkan awak. Demikian ju-ga dengan pak Kampun, dengan mengawini Salehak pak Kampun juga menitipkan diri.
Jadi mengapa harus risih karena pak Kampun yang sudah tua, mencoba mencari tempat untuk saling berbagi masalah, tempat untuk berbagi gelisah, sebuah hal yang ti-dak mungkin dilakukan sejak mbok Kampun tiada. Mengapa malah tidak bersyukur?
Risih karena kebetulan pilihan itu jatuh kepada Salehak, si babu yang jelita itu? Jasmi atau orang pada umumnya hanya melihat pak Kampun yang sudah tua. Jika sudah tua dengan sendirinya tidak pantas melakukan ini tak pantas melakukan itu. Pendek kata banyak hal yang tidak pantas dilakukan oleh orang tua dan hanya pantas dikerjakan o-rang-orang yang muda saja. Jika orang tua tidak tahu diri yang muda dengan enteng ber-kata, gaplek pringkilan wis tuwek pethakilan. Mereka pada umumnya lupa, bahwa orang yang sudah tua sekalipun, tidak ada yang bisa melepaskan diri dari kemauan, kehendak dan keinginan. Dan pak Kampun itu hanya manusia yang tak bisa melepaskan diri dari jeratan kemauan.
Kalau pak Kampun sudah tidak mau apa-apa, Saat itu pak Kampun sudah mati.
"Salahkah bapakku kawin lagi?" bisik Jasmi kepada diri sendiri.
Akhirnya Jasmi juga harus berfikir, kalau bapaknya tidak kawin lagi lantas ke mana harus membuang nafsu birahinya karena pada kenyataannya pak Kampun masih memiliki kemampuan untuk itu. Ke pelacuran? Tentu hal yang tak dibenarkan. Bahkan sebenarnya lebih memalukan punya bapak yang gemar keluyuran ke pelacuran. Entah apa kata orang jika pak Kampun itu gemar memanjakan diri dari pelukan pelacur satu ke pelacur yang lain. Jadi apa salahnya menerima kehadiran Salehak?
"Ternyata Salehak tidak sejahat yang kusangka. Mungkin ada benarnya. Yang dia butuhkan bukanlah kedudukan sebagai isteri pak Kampun, tetapi orang yang bisa melin-dunginya. Salehak hanyalah seorang wanita yang tidak punya sanak dan kadang. Tidak punya siapapun di dunia ini. Tidak ada jeleknya kalau aku ikhlas menerima kehadiran-nya."
Jasmi terus merenung dan berfikir, mengikuti kemanapun angannya.
"Rupanya bapak benar, dengan adanya Salehak, ada yang mengurusi bapak. ber-harap dari anak-anaknya hal itu tak mungkin."
Sepercik kesadaran bagai menyelinap di dalam hatinya. Semakin dipikir semakin membuat Jasmi merasa amat bersalah. Dan tiba-tiba saja Jasmi merasa berkewajiban un-tuk mengubah keadaan itu. Bukan hanya dirinya, namun juga Tanjir dan Jayus serta Sa-latun semua salah dalam menilai keberadaan Salehak itu. Seharusnya, dengan adanya Sa-lehak yang mau berkorban menjadi isteri pak Kampun, mereka berterimakasih.
Salatun perlu diberitahu lebih dulu.
Jasmi yang hamil muda itu menuju kamar adiknya. Pintu diketuk, agak lama ba-rulah Salatun membukanya.
"Ada apa, yu?" bertanya Salatun, Sambil menghadang di depan pintu, mengha-lang-halangi kakaknya yang bermaksud masuk.
"Kau tahu suamiku?"
"Apa aku menyembunyikan suamimu?" balas Salatun.
Jawaban berupa pertanyaan seperti itu sebenarnya merupakan indikasi adanya se-suatu yang tidak pada tempatnya. Sayang Jasmi tidak peka. Jasmi sedang pilek berat, se-hingga tidak bisa menangkap adanya bau busuk.
"Maksudku, kau tahu ke mana perginya?" tanya Jasmi.
"Tidak tahu yu. Aku ngantuk. Jangan ganggu aku, aku mau tidur."
"Ehhh, Tun." bisik Jasmi.
"Sawah sudah laku, tetapi kang Tanjir dan kang Jayus punya pendapat yang nyle-neh, kita berdua tidak akan mendapat bagian sama dengan kang Tanjir dan kang Jayus, alasannya karena kita perempuan. Menurut mereka, perempuan tak boleh menerima wa-risan.”
Rupanya berita itu tidak mengagetkan Salatun.
"Aku sudah tahu hal itu. Kang Tanjir dan kang Jayus memang mau menang sen-diri."
"Karena itu Tun, kita harus bersatu. Kalau kang Tanjir dan kang Jayus berpenda-pat seperti itu, maka kita berdua harus menentangnya. Kau mengerti Tun?"
"Ya." jawab Salatun sambil menguap lebar, memamerkan kantuknya.
"Ahhh, sudah sana tidur kamu." Jasmi jengkel.
Salatun segera menutup pintu. Jasmi yang bermaksud membicarakan Salehak lu-pa pada tujuan semula. Rasa mual kembali menyergapnya. Dengan tergesa-gesa Jasmi pergi ke jeding untuk meredakan diri. Di kamar Salatun membuka almari. Gimpul yang meringkuk segera keluar. Hampir saja Gimpul kehabisan nafas.
"Yu Jasmi mencarimu." kata Salatun.
"Biar saja." bisik Gimpul.
"Sebaiknya kau jangan lama-lama berada di sini. Seperlunya saja."
"Aku akan keluar. Tetapi ingat Tun, hanya uang penjualan sawah itu yang bisa menyelamatkan kita. Kau harus berhasil. Jangan sampai gagal."
Rupanya waktu mendekati saat kritis. Gimpul dan Salatun yang telah menyusun rencana merasa perlu mematangkan kembali rencana itu. Segala sesuatu dievaluasi lagi agar semua berjalan lancar tanpa hambatan. Pendek kata, semua uang hasil penjualan sa-wah nantinya harus bisa dikuasai untuk biaya. Salatun yang hamil tak punya pilihan lain. Kalau rencana itu sampai gagal, sebuah bencana siap mengintai.
Namun salah besar kalau beranggapan yang punya rencana itu hanya Gimpul dan Salatun. Di pihak yang lain, Jayus juga menggunakan ilmu kucing mengintai tikus men-cari saat yang tepat untuk pada saatnya menerkam.
"Peduli setan dengan semuanya. Kalau cek yang dipegang bapak itu sudah jadi u-ang maka aku harus bisa menguasai uang itu. Aku tinggal mencari kesempatan untuk me-ngambil serta mengucapkan selamat tinggal semuanya. Aku akan pergi sejauh-jauhnya dan tidak perlu pulang kembali ke sini. Besok seisi rumah ini akan gempar. Geger semu-anya. Bapak hanya bisa mencak-mencak, Tanjir hanya bisa melolong seperti anjing, Jas-mi dan Saatun hanya bisa menangis. Tetapi persetan semuanya."
Itu sebabnya, seharian Jayus tidak pergi ke mana-mana.
Jayus sibuk mondar-mandir mempelajari suasana dan jika saatnya tepat, segera mengambil tindakan.
Waktu merambat tidak tercegah oleh apapun atau siapapun. Tanjir yang merasa sudah dekat dengan saat pembagian harta warisan sibuk menghubungi teman-temannya. Sepeda motor milik Sukarjiman yang tidak dijual ditawar. Tanjir juga menawar burung kacer milik pak Ragum. Pak Ragum juga tidak bermaksud menjual, namun karena Tanjir kasmaran berat pada burung kacer itu, maka harga empat ratus ribu hanya untuk harga seekor kacer disepakati.
Gimpul meski tegang namun masih mampu menutupinya dengan sikap yang wa-jar. Sebagaimana Jayus, Gimpul tak pergi ke mana-mana. Dengan cermat Gimpul mem-perhatikan suasana, karena itu Gimpul bisa menangkap keadaan yang tidak wajar pada Jayus. Bahwa Jayus tidak pergi ke mana-mana, justru membuatnya curiga.
Salatun diam-diam juga mempersiapkan diri. Beberapa lembar pakaian yang akan dibawa telah disiapkan. Benda-benda berharga yang ia miliki telah dikemas dan dima-sukkan ke dalam kopor butut. Pendek kata Salatun siap untuk minggat setiap saat.
Jasmi sama sekali tidak berprasangka. Pada saat Gimpul berbaring di sampingnya , Jasmi memandangi wajahnya berlama-lama. Kini Jasmi tengah hamil. Beberapa bulan lagi Jasmi akan melahirkan. Jasmi berharap, jika sudah punya anak kebiasaan buruk suaminya akan berubah.
Sore beranjak malam dan esok paginya datang. Pagi beranjak siang.
"Hmmm," Gimpul berdehem.
Jasmi kaget.
"Kau kang Gimpul. Bikin kaget saja."
"Kau ini menyapu sambil melamun atau benar-benar tidak tahu kalau ada aku di sini, atau sebenarnya tahu tetapi hanya diam saja?" tanya Gimpul.
Jasmi menyeringai.
"Kamu melamun memikirkan apa?" tanya Gimpul.
“Bapak, sudah siang begini kok belum pulang. Aku gelisah, jangan-jangan terjadi sesuatu pada bapak. Padahal bapak hari ini menukarkan cek itu ke bank."
"Apanya yang kau cemaskan?" tanya Gimpul.
"Sudah sering aku dengar cerita di kota-kota besar itu. Banyak sekali kejadian o-rang yang baru saja mengambil uang di bank kena begal."
"Jangan membayangkan hal mengerikan seperti itu Jas." kata Gimpul menente-ramkan hatinya.
"Semoga saja bapak tidak bodoh." jawab Jasmi dengan nada datar, memancing Gimpul untuk mencuatkan alis.
"Tidak bodoh bagaimana?" tanya Gimpul.
"Kupikir uang sebanyak itu kalau dibawa pulang utuh tidak aman. Ehh, Apa ber-lebihan kalau aku mencurigai kemungkinan uang itu nanti dicuri?"
"Siapa yang akan mencuri?" Gimpul tiba-tiba gelisah.
"Mungkin saja kang Tanjir atau kang Jayus. Keduanya patut dicurigai. Bisa saja mereka berbuat nekad dan membawa minggat uang itu. Jika sampai hal itu terjadi, aku dan Salatun akan dapat apa?"
Gimpul merasa dadanya seperti dirambati desir. Namun bukan Gimpul kalau ti-dak bisa segera menghapus kesan itu dari wajahnya.
"Moga-moga saja hal itu tidak perlu terjadi. Tetapi kau tadi berharap semoga Ba-pak tidak bodoh, apa maksudmu?"
"Aku berharap bapak melakukan saranku dengan menyimpan uang itu di bank. Tadi aku berpesan seperti itu." ucap Jasmi.
"Mati aku." desis Gimpul dalam hati.
Bisa-bisa renca¬na yang telah disusun dengan baik itu meleset. Kalau pak Kampun menyimpan semua uang itu di bank, langkah apa yang harus diambil? Gimpul pusing tu-juh keliling memikirkan kemungkinan yang paling buruk. Gimpul sudah marang dengan rencananya, apabila Salatun tidak berhasil mencuri uang itu, maka ia akan minggat seja-uh-jauhnya, tak peduli pada Salatun yang hamil, tak peduli pula pada Jasmi yang hamil.
"Kau menyarankan seperti itu?" ada nada kecewa dalam hati Gimpul.
"Bagaimana menurut kang Gimpul?" tanya isterinya.
Siapa bilang membawa uang dalam jumlah banyak tidak aman? Ahhh, itu kan ha-nya pendapat yang terlalu berlebihan. Tentu saja pihak bank yang menggembar-gembor-kan agar menyimpan uang di bank, maksudnya memang untuk menghimpun uang seba-nyak-banyaknya. Untuk hal itu pihak akan bank memberikan bunga yang sebenarnya ti-dak ada nilainya. Coba di pasaran gelap asal punya modal dan bisa tega mau jadi ren-tenir membungakan uang, dengan bunga sepuluh persen banyak yang berebut. Bahkan dua puluh persen sebulan banyak yang menubruk.
Gimpul sangat jengkel dengan pendapat itu, jengkel kepada Jasmi yang begitu cengoh telah menyarankan kepada pak Kampun untuk menyimpan di bank. Jasmi benar-benar bodoh.
"Menyimpan uang di bank itu memang aman dan baik, tetapi mengenai kecuriga-anmu bahwa kedua kakakmu akan bertindak curang rasanya itu agak berlebihan." berkata Gimpul.
"Aku amat curiga. Jika bukan kang Tanjir pasti kang Jayus yang akan melaku-kan." Jasmi resah.
"Sudahlah, mereka tidak akan melakukan hal itu Jas." Gimpul menen¬teramkan.
Di dalam hatinya Gimpul berkata, bukan Tanjir atau Jayus yang layak dicurigai, tetapi Gimpul juga.
Tentu saja Gimpul gelisah. Gimpul terlanjur membayangkan setumpuk uang ada di benaknya, namun rencana itu bisa bubar kalau benar pak Kampun mengambil langkah seperti yang disarankan Jasmi.
Waktu bergeser, siang terlampaui dan sorepun datang, pak Kampun ternyata masih belum pulang. Hal itu memancing kegelisahan yang baru. Ada apa dengan pak Kampun? mengapa belum pulang juga? Sebagai orang yang merasa berkepentingan, Gimpul merasa jengkel pada pak Kampun yang belum pulang juga. Atas nama kepen-tingan yang sebenarnya bukan haknya itu Gimpul mengumbar curiga, jangan-jangan pak Kampun sendiri sedang memainkan kartu trufnya. Kenapa tidak? bukankah pak Kampun sekarang memiliki mainan yang menyenangkan bernama Salehak itu?
“Kurang ajar pak Kampun.” bisik Gimpul dalam hatinya.
Bukan hanya Gimpul dan Jasmi yang resah, di halaman depan Tanjir dan Jayus juga kelihatan resah dan berbisik-bisik berdua.
Entah apa yang tengah mereka perbincangkan, namun aroma rencana jahat itu be-gitu kental terlihat di rona wajah mereka. Baunya amat menyengat.
"Jas." kata Gimpul, yang amat curiga pada manuver tidak terduga yang mungkin diambil pak Kampun.
"Ada apa kang?" balas Jasmi.
"Rupanya yang perlu kau curigai justru bukan kakakmu." berkata Gimpul.
Jasmi memandang wajah suaminya yang beku, seperti mencari sesuatu di wajah itu. Namun Gimpul pintar menyembunyikannya di balik beberapa buah jerawat dan lapi-san wajah topengnya. Gimpul yang harus menjaga supaya gerak-geriknya jangan sampai kentara membuang wajah memandang halaman dan pepohonan.
"Siapa?" Jasmi terpancing.
"Bagaimana kalau pak Kampun tidak akan pulang?" bertanya Gimpul dengan wa-jah tetap ditekuk.
Butuh waktu lebih lama bagi Jasmi untuk mencerna kecurigaan yang aneh itu. Jasmi menempatkan diri di depan Gimpul, tetapi lagi-lagi Gimpul memandang jauh sam-bil berusaha keras membuang kesan dari wajahnya.
“Bapakku, tidak pulang?" Jasmi mencuatkan alis.
Tetap saja Jasmi masih belum paham ke mana arah pembicaraan Gimpul.
"Pak Kampun tidak akan pulang sampai besok, dan bahkan besoknya lagi. Atau sampai kapanpun pak Kampun tidak pulang." berkata Gimpul.
Gimpul menyuburkan prasangka itu, membuat Jasmi semakin gelisah dan tidak mampu lagi berfikir jernih. Curiga macam apa saja dengan mudah ditelannya.
"Mengapa bapak tidak pulang?" bertanya Jasmi.
"Bukankah pak Kampun punya isteri baru? Namanya orang juga lagi kasmaran dan tidak perlu mengurus anak karena sudah pada besar semuanya. Kalau Salehak mem-pengaruhinya apa yang tidak mungkin. Mungkin Salehak bilang pada pak Kampun, Ayo minggat sejauh-jauhnya, ke tempat yang aman di mana di tempat itu tidak akan diganggu oleh anak-anakmu."
Gimpul menjelaskan sebuah kemungkinan. Padahal kalimat itulah yang ia pergu-nakan merayu Salatun minggat sejauh-jauhnya, ke tempat yang tidak akan diganggu sia-papun.
Jasmi cemas. Jika pak Kampun sampai tega berbuat seperti itu, benar benar ke-terla¬luan.
"Bagaimana? Kemungkinan itu ada bukan?" desak Gimpul.
Jasmi ingat kemarin saat menguping pembicaraan pak Kampun dengan Salehak. Rasanya tak mungkin pak Kampun akan setega itu. Jasmi juga ingat bagaimana sikap Sa-lehak yang mengalah, memilih tidak menerima apapun. Namun kalau sudah berhadapan dengan uang, apalagi yang jumlahnya begitu banyak, bisa saja segalanya berubah.
"Kang Gimpul benar." Jasmi goyah. "Tetapi, apa mungkin bapak akan sanggup melakukan itu? Apakah mungkin bapak akan sanggup memutuskan hubungannya dengan anak?"
Gimpul menabur racun. Untuk urusan macam itu Gimpul memang jagonya, uru-san merayu, memfitnah dan provokator, Gimpul jagonya. Pernah pada sebuah malam ada pentas gandrung yang riuh oleh jejalan penonton. Pentas itu bubrah karena Gimpul berha-sil memancing di air keruh. Tanpa alasan yang jelas, Gimpul njotos seseorang, yang di-jotos tentu tidak terima, namun saat mau membalas, Gimpul sudah lenyap. Maka yang terjadi kemudian terjadilah tawur yang tidak jelas apa sebabnya.
"Apa yang tidak mungkin dengan dugaan itu, apalagi pak Kampun merasa diha-dapkan dengan anak-anak yang tidak menghargainya lagi seperti kang Tanjir dan kang Jayus itu? Pak Kampun beberapa hari ini sebel pada anak-anaknya yang semua memusu-hinya, hal itu memudahkan pak Kampun untuk mengambil keputusan minggat. Toh anak sudah besar semuanya, cepat atau lembat mereka akan bisa mandiri. Barangkali seperti itu pikiran bengkok yang ada di benak bapakmu. Nah, mengapa sampai petang begini ba-pakmu belum pulang. Lagi pula pak Kampun pergi dengan siapa?"
Jasmi merasa isi dadanya rontok, cemas membayangkan kemungkinan yang sangat buruk itu. Apa yang dikatakan suaminya benar semua. Bahkan Jasmi nyaris me-yakini itulah jawabannya. Pak Kampun belum pulang juga karena Pak Kampun minggat, sayonara semua anak-anaknya.
Jasmi tidak melihat betapa geram wajah Gimpul yang kecewa itu.
“Betapa bodohnya pak Kampun.” berkata Gimpul dalam hati. “Minggat mening-galkan kami semua adalah tindakan yang bodoh. Ke manapun akan aku kejar.”
Itulah Gimpul, entah bagaimana caranya ia begitu pintar mengadopsi kemarahan yang mestinya bukan haknya menjadi kemarahannya sendiri. Menurut Gimpul tindakan orang lain yang tidak sesuai dengannya adalah tindakan salah, konyol dan bahkan goblok.
"Kalau begitu, harus dicari." Jasmi melempar gagasan.
"Mencarinya ke mana? Ke kamar mayat?" balas Gimpul sekenanya. Senyumnya sinis sekali.
Jasmi gelisah, Jasmi berjalan mondar-mandir ke depan balik ke belakang lagi, ke depan lagi lalu balik ke belakang lagi. Bila Jasmi diberi kabel dan dihubungkan ke colo-kan listrik di tembok, jadilah seterika.
"Jadi bagaimana kang?" Jasmi tambah gelisah.
Gimpul tertawa getir. Cemas membayangkan angan-angannya akan kandas. Soal-nya Gimpul sadar benar, jika sampai ia gagal menguasai uang itu, ia akan dihadapkan ke-sulitan yang luar biasa. Kehamilan Salatun tidak akan bisa disembunyikan, pengadilan yang paling mengerikan harus dihadapi. Bisa jadi Tanjir dan Jayus akan mengambil lang-kah paling anarki seperti yang baru-baru ini membudaya, dengan menyiram bensin dan membakarnya. Mati dengan cara seperti itu, Gimpul ngeri sekali.
"Kita hanya bisa berharap semoga dugaan itu salah. Namun bersiaplah menghada-pi kemungkinan itu." berkata Gimpul semakin memanasi.
Jasmi menyeka keringat dinginnya yang mengembun di kening. Belum lama Jasmi kehilangan simboknya, haruskah Jasmi kehilangan pak Kampun dengan cara yang sangat tragis seperti itu?
"Lalu bagaimana dengan kami anak-anaknya?" suara Jasmi terdengar amat serak.
Kembali Gimpul tertawa, nadanya amat tak enak di telinga. Kalau saja pak Kam-pun mendengar bagaimana Gimpul tega mem¬fitnahnya, pasti akan dikepruknya kepala lelaki itu dengan alu.
"Kau sudah besar dan sudah bersuami. Dengan sendirinya kau menjadi tanggu-ngan suamimu. Bagaimana dengan Salatun? Salatun juga sudah gadis, jadi tidak perlu ada yang dipikir lagi. Maka minggatlah pak Kampun dengan tanpa meninggalkan beban. Enteng saja beliau minggat meninggalkan kita." Gimpul menyiramkan bensin.
Emosi sekali Gimpul. Bisa-bisanya Gimpul emosi. Gimpul kan hanya anak me-nantu yang tak punya hak untuk itu.
Gimpul sungguh jengkel. Cemas jika rencananya sampai gagal.
Gimpul dan Jasmi yang berbincang sambil berbisik seketika diam ketika men-dengar ada suara langkah dari ruang tengah, Rupanya Jayus yang datang. Dengan penuh curiga Jayus memandangi suami isteri yang saling berbisik itu. Rasa curiga memang sedang jadi lakon, Jasmi curiga kepada kakak-kakaknya, Jasmi kemudian curiga juga kepada bapaknya, demikian pula dengan Tanjir dan Jayus, ia curiga kalau dicurigai. Itu sebababnya melihat Jasmi dan Gimpul saling berbisik, ia curiga.
“Dari mana saja kang?" tanya Jasmi seperti hanya sekedar bertanya, daripada ti-dak ada yang ditanyakan.
"Siapa yang dari mana saja? aku berada di rumah sejak tadi.” balas Jayus.
Pertanyaan sederhana itu saja sudah mampu memancing rasa curiga di hati Jayus, sebaliknya jawaban Jayus yang seperti itu tak tercegah mengundang kecurigaan Jasmi dan Gimpul. Dan percayalah, betapa tidak menyenangkan hidup di lingkungan yang sa-ling curiga dan mencurigai. Dengan alasan yang tidak jelas curiga bisa menjadi kompor yang membakar. Hanya curiga saja, belum ada bukti, sudah menjadi pembantaian dukun santet dan sebagainya.
“Bapak belum pulang?"
Ternyata tidak hanya Gimpul dan Jasmi yang resah. Jayus juga gelisah. Dari itu saja Jasmi dan Gimpul sudah curiga.
"Belum." Jasmi menjawab pendek saja.
"Ke mana saja orang itu? Sudah petang begini masih belum pulang."
Gimpul yakin, Jayus memiliki rencana seperti dirinya. Dari gelagatnya atau dari gelisahnya tampak betapa Jayus menyembunyikan sesuatu. Hal itu menambah kadar ke-resahan Gimpul. Ibarat sebuah pertandingan siapa yang mampu bermain dengan baik dan cermat, mampu bersiasat dengan jitu dan jika perlu harus tega menjegal, maka orang itu-lah yang akan memenangkan pertandingan. "Kita lihat saja nanti, siapa yang akan me-nang." bisik Gimpul pada diri sendiri.
“Mana aku tahu?” jawab Jasmi. “Perginya saja dengan isterinya. Pergi di saat pe-gang uang banyak. Apa kang Jayus tidak mempunyai prasangka bapak tidak akan pu-lang?"
Pertanyaan Jasmi itu jelas mengadopsi pendapat Gimpul. Dengan demikian ter-lihat berapa suksesnya Gimpul sebagai provokator. Padahal seharusnya, Jasmi mencan-tumkan dengan lengkap dari mana pendapat itu berasal. Jika kelak undang-undangnya sudah dibuat, Jasmi atau siapapun tidak boleh sembarangan bertanya dengan menyembu-nyikan siapa pemilik pertanyaan dan atau yang mempunyai pendapat seperti itu.
Nah, seketika sebuah tanda tanya menggoda Jayus.
"Ada apa? Menurutmu ada apa, kenapa bapak tidak pulang?"
"Apa kau tidak merasa curiga, mengapa sampai petang begini bapak belum pu-lang? Padahal sedang ada urusan uang begitu banyak. Bagaimana kalau bapak tidak pu-lang?" bertanya Jasmi.
Jayus heran. Bukannya Jayus telmi, itu istilah dari singkatan telat mikir, akan te-tapi Jayus belum mendengar alasannya. Sebagaimana Jasmi sebelumnya, Jayus berpenda-pat tak mungkin bapaknya akan minggat.
"Tidak pulang kenapa?" ulang Jayus.
"Kalau malam ini tidak pulang, besokpun tidak pulang, bahkan sampai kapanpun tidak pulang bagaimana? kau akan mendapatkan apa? kita semua akan mendapat apa?"
Jayus menatap wajah adiknya dengan tidak berkedip. Jayus juga memandang Gimpul yang buru-buru melempar tatapan matanya ke arah lain. Jayus lebih mendekat untuk mendapatkan penjelasan yang lebih rinci.
“Bapak tidak akan pulang, katamu?" Jayus menekan.
"Mungkin bapak tidak akan pulang. Minggat sejauh-jauhnya. Bukankah bapak pu-nya isteri baru yang cantik. Tentunya menye¬nangkan menghabiskan uang itu dengan iste-rinya daripada membagi¬kan pada kita." Jasmi menjelaskan lebih gamblang lagi.
Jayus termangu mencerna hal itu, masuk akal juga.
"Gila." Jayus terlonjak. Terlonjaknya terlambat bila dihitung dari sejak kagetnya.
Penjelasan Jasmi itu bisa dirasa seperti seekor ular yang mematuk kaki. Atau petir yang meledak di siang bolong, pada saat langit bersih tidak ada mendung, artinya Jayus memang tidak siap menghadapi rasa kaget yang datangnya mendadak.
"Bagaimana? Mengapa sampai petang begini, bapak belum pulang?" Jasmi mene-kan. “Bisa jadi bapak akan melupakan kita. Bukan hal yang harus membutuhkan pertim-bangan yang terlampau rumit bagi bapak untuk memutuskan, apalagi jika mengingat ti-dak ada lagi yang perlu ditimbang. Anak-anaknya tidak ada yang berbakti, bahkan me-ngancam akan membakar isterinya. Kang Jayus dan kang Tanjir membentak-bentak ba-pak seenaknya tanpa menghargai perasaannya, jadi untuk apa pulang?”
Pertanyaan Jasmi itu semakin memancing resah. Jayus mengepalkan tangan se-perti orang yang menahan marah, atau segumpal kejengkelan. Jayus cemas rencana yang disusunnya tak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan. Apabila pak Kampun ming-gat demi memanjakan isteri barunya itu, gawat. Benar-benar gawat.
"Jika yang kau bilang itu benar, Ini bukan soal yang remeh lagi." Jayus mengge-ram. "Akan kukejar sampai di manapun kalau bapak benar-benar minggat. Orang tua tidak tahu diri. Sudah tua akan mati begitu yang dipikir hanya nafsu syahwatnya saja. Akan kucari mereka, akan kubunuh perempuan sundal itu."
Pintu butulan terbuka Salatun muncul dengan wajah cemas.
"Ada apa to kok ribut-ribut?" tanya Salatun.
Jayus butuh penyaluran, kebetulan Salatun jadi katupnya.
"Diam kamu.” bentaknya “Kamu anak kecil tahu apa.”
Salatun tentu saja kaget dibentak seperti itu. Apalagi Jayus melototkan mata.
"Apa salahku?" tanya Salatun dengan mimik heran.
Jasmi segera merengkuh adiknya. "Kamu tidak bersalah apa-apa Tun.”
Jasmi menarik Salatun untuk duduk di sebelahnya. Salatun menatap Jayus yang wajahnya bagai kepiting direbus. Wajah Jayus yang jelek itu menjadi lebih jelek lagi di saat marah seperti itu.
"Akan kucari mereka." Jayus masih kesal.
"Sebaiknya bersabar dulu kang Jayus. Dugaan itu belum tentu benar." kali ini si Gimpul nimbrung, memberikan sumbang saran.
"Belum tentu benar bagaimana?" Jayus sangat jengkel. "Sudah jelas sampai pe-tang begini bapak belum pulang, ia tentu minggat dengan sundel itu. Aku harus men-carinya."
Jayus mondar-mandir sambil sesekali mengepalkan tangannya. Matanya keme-rahan menahan kemarahan. Kedua mata itu adakalanya melotot, seperti mau lepas dari kelopaknya.
"Terus mencarinya ke mana?" tanya Gimpul.
"Mencarinya ke mana ya?" Jayus malah bingung.
"Kalau kang Jayus mau mendengar pendapatku, sebaiknya janganlah berprasang-ka buruk dulu. Ditunggu saja, siapa tahu nanti pulang." Gimpul menenangkan.
Nah itulah sisi lain dari sosok Gimpul. Tadi kepada Jasmi ia menempatkan diri sebagai provokator yang dengan culas mengipas. Giliran di depan Jayus, Gimpul bersikap sebaliknya. Di depan Jasmi membakar, di depan Jayus membujuk.
"Benar kang. Ditunggu saja." Jasmi menenteramkan.
Jayus sangat gelisah. Mulutnya ndremimil. Jayus berbicara kepada diri sendiri. Jayus lupa kalau di sekitarnya ada orang lain. "Aku menjadi sangat curiga, boleh jadi me-mang benar bapak ming¬gat. Gila, ternyata bapak lebih cerdik."
Jasmi kaget mendengar ucapan itu. Seketika alisnya mencuat njengat ke atas. Jas-mi dan Gimpul saling melirik.
"Kenapa kang?" Jasmi tidak kuasa menahan penasaran.
"Oh, ti..tidak." Jayus merasa kelepasan omong. Agak gugup Jayus menjawab per-tanyaan itu.
"Yu, bapak kenapa?" Salatun membutuhkan jawaban dengan segera.
Salatun merasa ngeri membayangkan bakal kehilangan untuk yang kedua kalinya. Dulu ia sudah kehilangan simbok, haruskah kini ia kehilangan bapaknya? Jasmi yang bisa membaca gejolak perasaan di dada adiknya segera merengkuh tubuh Salatun, dipe-luknya.
"Ini hanya sebuah dugaan Tun, masih belum tentu benar. Memang ada kemung-kinan bapak minggat bersama isteri barunya itu, tetapi belum tentu benar." Jasmi menje-laskan.
"Bapak minggat?" Salatun kaget. Wajahnya pucat.
Jasmi hanya mengangguk.
"Kita tidak punya bapak yu?" bertanya Salatun dengan mimik wajah aneh.
Mendengar pertanyaan itu Jasmi amat tersentuh. Jasmi segera meraih pundak a-diknya. Di mata Jasmi, Salatun tentu gelisah. Baru beberapa waktu yang lampau mbok Kampun pergi, haruskah kini juga kehilangan bapak?
"Kalau benar, kita memang tidak punya bapak lagi." dengan serak dan seperti sa-ngat terpaksa, Jasmi menjawab.
"Kok perkembangannya menjadi seperti ini to yu?" tanya Salatun menahan sesak di dada.
"Akan kukejar ke manapun mereka pergi. Ke liang semut sekalipun." suara Jayus terdengar sarat letupan amarah.
Suasana kemudian menjadi hening. Jam amat tua yang menempel di dinding me-njadi tempat mereka memperhatikan gerak waktu. Jam itu tetap berada di sana karena tak laku dijual. Apabila laku sepuluh ribu rupiah saja, pasti Tanjir atau Jayus berebut dulu untuk melegonya.
Jayus membawa sumpah serapahnya ke halaman, di sana ada Tanjir dengan pera-piannya. Dari jendela Jasmi mengintip. Jayus berbicara berdua dengan Tanjir, tidak jelas apa yang mereka perbincangkan.
Suasana resah kian membuncah, hati yang gelisah semakin menjadi. Jam dinding tua terus mengayunkan lengan detiknya, merambati waktu dari menit ke menit.
Gimpul pusing sekali. Uang sekian puluh juta di depan mata, bisa jadi akan lepas begitu saja dari tangannya. Padahal kalau uang itu bisa berada di tangannya, Gimpul akan melenyapkan diri seperti di telan bumi, hilang ke ujung dunia yang tidak akan bisa di-lacak siapun. Dengan uang itu Gimpul akan berfoya-foya, mencicipi dan merasakan ba-gaimana nikmatnya menjadi orang kaya. Dengan uang itu Gimpul akan memuasi diri dengan wanita-wanita yang paling cantik yang bisa dibelinya.
Kini ada kemungkinan, keinginan dan mimpinya itu akan terganjal. Betapa kece-wanya kalau sampai hal itu terjadi.
Pada saat yang amat resah membuncah demikian itulah, tiba-tiba saja terdengar sebuah mobil masuk ke halaman. Jasmi dan Gimpul tersentak. Dengan bergegas mereka berlarian menuju jendela untuk melihat siapa yang datang. Tanjir dan Jayus yang dari mula sudah berada di halaman gemetar ketika melihat ada polisi yang turun dari ken-daraan itu. Untung mereka segera menyelinap dan bersembunyi di balik kandang.
Polisi? Mengapa ada polisi? Jasmi dan Gimpul segera riuh dengan prasangka. Pintu belakang mobil itupun terbuka, pak Kampun turun sambil menggandeng Salehak.
"Ada apa bapak pulang dengan membawa polisi?" bisik Jayus cemas.
Jayus ingat beberapa hari yang lalu ia menjambret yu Sumilah di dekat bendu-ngan air Dam Limo. Akan halnya Tanjir ingat, entah sudah berapa kali ia keluar masuk rumah orang tanpa permisi alias maling. Pernah juga Tanjir dan Jayus duet, sukses mem-bawa tape rekorder dan Tivi yang kemudian dijualnya di Genteng.
Tanjir dan Jayus ingat pula saat maling di toko Babah Jing yang ada di sudut per-tigaan jalan. Saat maling itu apa yang dilakukan Tanjir sungguh keterlaluan. Menurut il-mu yang diyakini para maling, agar tak tertangkap harus buang hajat di rumah yang di-jarahnya.
Padahal saat itu Tanjir mencret.
"Siapa dari antara kita berdua yang akan ditangkap?" berbisik Tanjir.
Jika demikian, apakah kedatangan para polisi itu akan menangkapnya? Boleh jadi karena polisi sekarang pintar-pintar. Mungkin polisi sudah tahu kalau yang mencuri di toko Babah Jing juga beberapa rumah yang lain itu sebenarnya Tanjir dan Jayus.
Pak Kampun dan Salehak mempersilahkan kedua Polisi itu duduk di ruang tamu. Saat di halaman, mereka tidak melihat Tanjir dan Jayus yang dengan cepat bersembunyi di balik kandang. Mereka hanya melihat perapian yang digunakan menghangatkan tubuh di musim bediding itu.
"Apa yang dilakukan bapak itu?" Jayus gelisah.
"Tampaknya bapak sedang berusaha melindungi kita." bisik Tanjir.
"Apakah kita harus lari saja? Daripada disel?"
"Jangan dulu dan kita lihat perkembangannya. Kalau jelas kedua Polisi itu memang bermaksud menangkap kita, kita bisa bersembunyi." berkata Tanjir.
Tanjir dan Jayus benar-benar gelisah.
Mereka tidak menyangka perbuatan jahat yang pernah mereka lakukan telah dien-dus polisi. Untuk beberapa saat pak Kampun berbincang dengan ke dua orang polisi itu. Sesekali dari ruang tamu itu terdengar suara tertawa yang berderai. Suasana perbinca-ngan yang terasa akrab itu justru membuat Jasmi dan Gimpul heran. Meski dari balik din-ding mereka mencoba menyimak pembicaraan yang sedang terjadi, akan tetapi mereka tidak berhasil mengetahui apa isi pembicaraan pak Kampun dengan para tamunya.
Polisi-polisi itu tidak berlama-lama, sejenak kemudian mereka telah berpamitan. Jasmi bergegas menemui bapaknya.
"Dua polisi tadi mau apa? Siapa yang mau ditangkap?" Jasmi tidak kuasa mena-han rasa penasaran.
Pak Kampun yang kemudian malah merasa heran.
"Menangkap siapa?"
Jasmi diam. Hanya alisnya yang kemudian mencuat.
"Mana Tanjir dan Jayus?" tanya pak Kampun.
Jasmi dan Salatun saling pandang.
"Jadi ke dua polisi itu mencari kang Tanjir dan kang Jayus?" tanya Salatun.
Pak Kampun bertambah heran. Tentu saja polisi itu tidak bermaksud menangkap Tanjir dan Jayus. Kedatangannya untuk mengawal pak Kampun yang membawa uang da-lam jumlah banyak. Maklum sekarang perampokan terhadap nasabah bank sedang mera-jalela. Semula pak Kampun akan menerima uang cash dari mencairkan cek, tiba-tiba pak Mudjikan berubah pikiran. Pagi itu pak Mudjikan mengajak pak Kampun ke Jember untuk menengok orang sakit sekalian mencairkan cek itu di Genteng. Pak Mudjikan yang membutuhkan pengawalan polisi karena mengambil uang kontan cukup banyak untuk membayar para nelayan yang telah setor ikan laut kepadanya. Pak Mudjikan kemudian meminta kepada para Polisi itu untuk mengantar pak Kampun pulang.
Demikianlah kejadiannya.
"Mengapa kau mengira polisi itu akan menangkap Tanjir dan Jayus?" tanya pak Kampun.
Jasmi dan Salatun saling pandang. Salatun mengangkat bahu.
"Kang Tanjir dan kang Jayus ketakutan, mereka bersembunyi. Mereka yang ma-ling di toko Babah Jing beberapa hari yang lalu." Salatun menjelaskan.
Pak Kampun kaget.
"Dari mana kau tahu itu?" desak pak Kampun.
"Mereka sendiri yang bilang seperti itu." jawab Jasmi. "Maksudku, aku mende-ngar pembicaraan mereka."
“Yang mbegal yu Siti Sumilah di bendungan Dam Limo itu juga.” Salatun me-nambahkan. “Kang Jayus yang melakukan.”
Pak Kampun menekan dadanya yang tiba-tiba amat nyeri. Pak Kampun memang sudah mendengar cerita seram yang menimpa Babah Jing. Maling yang kurang ajar itu bukan hanya menguras isi tokonya, namun meninggalkan kotoran manusia di sana. Dan yang melakukan semua itu ternyata anaknya sendiri. Pak Kampun juga sudah mendengar cerita tentang yu Sumilah yang dicegat perampok di bendungan, siapa mengira yang melakukan itu anak-anaknya.
"Astagfirullah Aladzim, Tanjir dan Jayus melakukan perbuatan seperti itu?" tanya pak Kampun dengan nada suara bergetar.
Pak Kampun sama sekali tak menyangka punya anak maling.
"Jadi benarkah pak? Polisi tadi sedang mencari kang Tanjir dan kang Jayus?" Jasmi mendesak.
"Mana ke dua kakakmu itu, panggil dia kesini." perintah pak Kampun.
Jasmi atau Salatun tidak perlu beranjak memanggil, karena Tanjir dan Jayus nye-lonong masuk. Semua perhatian memang tertuju pada sebuah tas besar yang tergeletak di atas meja. Cek sudah diuangkan, dan uangnya satu tas penuh. Siapa yang tak tergoda me-lihat uang yang sebanyak itu.
Dengan sekuat tenaga Gimpul menghapus kesan apapun dari wajahnya. Namun dengan cermat Gimpul membaca suasana. Dengan teliti pula Gimpul membaca gelagat aneh di wajah Tanjir dan Jayus. Jelas Jayus merencanakan sesuatu yang mungkin tidak akan terduga. Itu sebabnya Gimpul dengan seksama dan penuh perhitungan memperhati-kan perkembangan keadaan.
Pak Kampun memandang Tanjir dan Jayus dengan kecewa. Kecewa sekali. Seba-gai seorang bapak pak Kampun tidak pernah membayangkan di antara anaknya akan ada yang berprofesi maling.
"Kau tahu dua orang polisi yang datang ke sini tadi?" bertanya pak Kampun pada Tanjir dan Jayus.
Tanjir tak menjawab. Jayus memandang Tanjir. Kedatangan Polisi tadi masih me-nyisakan degup jantung.
"Mereka mau apa?" Jayus yang bertanya.
Pak Kampun benar-benar merasakan dadanya sesak. Kecewa sekali.
"Pertanyaanmu itu sebenarnya sudah kamu ketahui jawabnya. Kamu sebenarnya sudah tahu apa keperluan mereka."
Jayus maupun Tanjir bertambah gugup.
Salatun menggamit Jasmi. Jasmi menggamit tangan Gimpul. Gimpul memanda-ngi Jayus. Mata Jayus melirik Tanjir, mata Tanjir meilirik tas.
"Mereka mau apa?" Tanjir cemas.
"Polisi itu datang kemari, karena ada hubungannya dengan pencurian di toko Ba-bah Jing." jawab pak Kampun.
Pak Kampun ingin mendapat keyakinan, bahwa memang benar Tanjir dan Jayus-lah pelaku pencurian yang menghebohkan itu. Seketika wajah Tanjir dan Jayus menjadi pucat. Situasi yang mereka hadapi tambah gawat. Dari wajah yang berubah itu, pak Kam-pun bisa mendapatkan kesimpulannya.
"Maling, di toko Babah Jing?" Tanjir pura-pura kaget.
"Aku tidak mengira dua orang anakku telah menjadi maling, pencuri. Memalu-kan. Apa salahku sehingga aku mempunyai anak yang perbuatannya seperti itu? Kalian mengaku apa tidak?" bertanya pak Kampun dengan amat berwibawanya.
Tanjir yang biasa membentak bapaknya itu kini terbungkam.
"Sebenarnya polisi tadi mau apa?" tanya Jayus.
"Mereka mencari kalian. Pertanyaan peristiwa di toko Babah Jing dan penjambre-tan yang menimpa Sumilah di bendungan, jawabannya ada di rumah ini.” jawab pak Kampun singkat dan tegas.
Gugup di wajah dua anak lelaki pak Kampun itu dengan jelas terbaca. Namun mana ada maling yang mau mengaku. Kalau semua maling mengaku, maka gedung ta-hanan tentu akan penuh sesak.
"Kami tidak melakukan apa-apa. Polisi itu salah alamat."
"O ya? Apakah kau merasa yakin? Kalau kau merasa yakin bapak akan mengan-tarmu ke kantor polisi. Katakan bantahanmu itu pada polisi itu."
"Waaaah, jangan." jawab Tanjir.
"Kalau tak merasa bersalah mengapa kau takut?" desak pak Kampun.
"Mengaku saja." tambah Jasmi.
Pada dasarnya Tanjir gampang gugup. Ditekan seperti itu, keluar pengakuannya.
"Iya, kami memang melakukan." jawab Tanjir tersendat.
Jayus tentu saja jengkel pada Tanjir. Jayus ingin tetap bersikukuh pada penola-kannya, sebaliknya Tanjir dengan begitu cepat mengaku. Dengan kasar Jayus menyikut Tanjir, sejenak kakak dan adik ini beradu melotot.
"Itu perbuatan gila. Pak Kampun mempunyai anak jadi maling, mau diletakkan di mana wajah bapakmu ini?" suara pak Kampun terdengar amat serak.
Suasana rumah pak Kampun seketika menjadi hening. Senyap sekali. Pak Kam-pun kembali cemas. Jika seperti itu keadaan kedua anak lelakinya, lantas akan jadi apa-kah jika uang penjualan sawah itu dibagi. Uang itu tentu akan ludes tanpa tanggung ja-wab.
Pak Kampun menebar pandang, dadanya kian nyeri.
"Hasil penjualan sawah batal aku bagikan." kata pak Kampun.
Tanjir dan Jayus kaget.
"Kenapa?" tanya Tanjir.
"Apa jadinya dengan uang ini kalau aku bagikan sekarang? aku tidak keberatan kalau warisan kalian minta sebagai modal untuk berdagang atau untuk bekal hidup. Seba-liknya aku tidak ikhlas kalau uang itu hanya untuk foya-foya, kau habiskan di meja judi."
Tanjir tidak bisa menerima itu.
"Tidak bisa." Tanjir mulai galak. "Aku membutuhkan uang itu."
"Aku juga." desak Jayus.
"Baiklah. Aku ingin mendengar, menurut rencanamu uang itu akan kau perguna-kan untuk apa atau bagaimana?"
"Aku akan pergi jauh." jawab Tanjir. Pak Kampun tersenyum sinis.
"Karena kamu takut pada polisi itu? Jadi uang itu hanya untuk ongkos minggat? Haruskah aku membagikan warisan dengan alasan semacam itu? Tak adakah alasan yang lain yang enak di dengar dan menyejukkan telinga?"
"Aku tidak peduli. Pokoknya aku minta warisan." Tanjir ngotot.
"Aku juga." kata Jayus.
"Dan aku tetap pada pendirianku. Cara membagi warisan itu dengan aturan yang betul. Anak perempuan tidak bisa menerima jumlah yang sama dengan anak lelaki. Karena anak perempuan itu akan menjadi tanggungan suaminya." tambah Tanjir.
Gimpul yang menunduk itu mendongak sedikit dan melirik pada Tanjir.
Gimpul bermaksud menyunggingkan senyum sinis, namun tidak berani. Kalau se-nyum sinisnya sampai ketahuan, bisa-bisa celurit yang berbicara.
"Kalau mau ngotot begitu, biar pengadilan nanti yang memutuskan." jawab pak Kampun enteng.
"Menunggu pengadilan?" tanya Jayus.
"Ya." jawab pak Kampun seperti sekenanya. "Kurasa jika pengadilan yang memu-tuskan pasti adil. Apapun keputusan pengadilan itu akan kulaksanakan dengan sebaik-ba-iknya."
Jasmi manggut-manggut sependapat dengan pendapat bapaknya. Tanjir dan Jayus terpaksa mengumpat di dalam hati. Keduanya resah memikirkan waktu yang akan berla-rut dan terlampau lama. Apalagi polisi sudah membaui perbuatan mereka. Artinya, sece-pat-cepatnya mereka harus segera pergi jauh meninggalkan Tegaldlimo.
Pak Kampun tidak memerlukan jawaban lagi. Pak Kampun beranjak berdiri sam-bil membawa tas yang diduga berisi uang itu. Pak Kampun masuk ke kamar diikuti oleh isterinya.
"Pak, tunggu dulu." teriak Tanjir.
"Aku letih, besok pembicaraan ini dilanjutkan." jawab pak Kampun.
Jayus maupun Tanjir bermaksud memaksakan pembicaraan itu, namun pak Kam-pun sudah keburu menutup pintu dan menguncinya.
Jasmi memandang penuh cemas. Khawatir kalau Jayus dan Tanjir akan kehila-ngan kendali. Namun dugaan Jasmi ternyata salah, Tanjir maupun Jayus tidak menggedor pintu. Mereka ngeloyor pergi ke halaman dan melanjutkan duduk berdua menghangatkan diri di depan api.
Sebenarnyalah keadaan rumah pak Kampun malam itu bagaikan dilingkupi udara yang gerah. Sampai larut Jasmi tidak bisa memejamkan mata. Perilaku Tanjir dan Jayus sungguh mencurigakan. Itu sebabnya Jasmi mondar-mandir seperti seterika.
"Kau tidak tidur Jas? Ini sudah agak malam." tanya suaminya.
"Aku tidak akan tidur malam ini kang, sekalian tirakatan. Aku curiga kang Tanjir dan kang Jayus akan melakukan sesuatu. Aku harus berjaga-jaga. Kau juga kang, kita melekan semalam suntuk." berkata Jasmi.
Gimpul mengangguk.
"Kau benar. Aku akan menemanimu." balas Gimpul.
"Aku punya usul. Kau sebaiknya berjaga di luar saja. Bagaimana?"
Sebenarnya itu gagasan yang sangat bagus. Pucuk dicinta ulam tiba. Bukankah dengan demikian peluang Gimpul untuk beraksi semakin luas?
"Kenapa aku berjaga di luar?" tanya Gimpul.
0 komentar:
Posting Komentar