Pages

Rabu, 03 Agustus 2011

Balada Gimpul 5

ratayudha antara Jasmi dengan suaminya? Bisa geger dan akan menjadi santapan tetang-ga.
Salatun harus menimbang kembali sebelum mengambil keputusan.
"Ada apa Tun? Sejak kau ke kuburan kemarin, kau kelihatan murung. Ayo Tun, bicaralah. Kita di rumah ini memang seperti hidup di dalam neraka. Justru karena itu kita harus saling berbagi cerita. Kalau kau punya masalah, ceritakan kepadaku, sebaliknya ka-lau aku ada masalah, aku juga akan berbagi denganmu."
Kalau perbuatan Gimpul itu diceritakan pada isterinya, dijamin akan geger. Se-perti orang yang makan buah simalakama, mau begini salah, mau melakukan itu salah. Dimakan sakit mata, tak dimakan sakit perut. Pilih yang mana?
"Aku tidak apa-apa yu." jawab Salatun datar.
Rupanya Salatun memilih merahasiakan kejadian semalam.
"Ingat pada simbok?" desak Jasmi.
"Ya." jawab Salatun sambil mengangguk.
"Simbok sudah tak ada Tun. Aku tahu kau sangat kehilangan. Tetapi, kalau waktu terus berlalu, kita harus melihat kenyataan simbok memang telah pergi meninggalkan kita selamanya. Jadi tidak ada pilihan lain kecuali harus ikhlas. Mau ikut aku ke tegalan Tun?"
"Mau apa?" Salatun sangat tidak bersemangat.
"Cari daun sembukan. Untuk bikin bothok."
"Malas yu. Aku akan ke kuburan simbok lagi saja."
"Tun," Jasmi iba sekali pada adiknya itu.
"Di sana aku merasa tenang. Di sana aku dekat dengan simbok."
"Baiklah, nanti kita berdua. Setelah aku selesai masak. Atau kau ingin berangkat lebih dulu, nanti kususul. Kembangnya biar aku yang bawa."
"Jangan yu, kita berdua berangkat bersama. Aku menunggu yu Jasmi selesai."
"Kalau begitu, ikut saja ke tegalan ya?"
Salatun menggeleng. Malas.
"Tidak yu. Aku tidak ikut kau ke tegalan. Aku menunggu saja di sini saja."
Jasmi memandangi adiknya.
"Kau ingin hari ini aku masak apa?"
"Terserah yu Jasmi."
"Bagaimana kalau jangan bung? aku akan menyuruh suamiku untuk mencarikan rebung. Bukankah jangan bung kesukaanmu?"
Bung itu singkatan rebung, bambu muda yang bisa dimasak. Banyak orang yang bilang jangan suka makan jangan bung karena akan rai gedek. Bambu kalau dianyam kan jadi gedek? Tetapi bung juga jadi sandangan nama, Bung Karno, Bung Hatta, atau “Ada apa bung?”
“Terserah yu Jasmi." Salatun amat tidak bergairah.
"Baiklah." jawab Jasmi yang langsung ngeloyor pergi.
Salatun ingat semalam. Tanpa dipancing dadanya mengombak gelisah. Salatun merasa risih. Apa yang dilakukan Gimpul padanya benar-benar tidak patut. Salatun yang larut mengimbangi permainan itu juga merasa tidak patut. Pada ujungnya Salatun seperti jijik pada diri sendiri.
"Apa yang harus kulakukan?" Salatun gelisah. "Apakah aku harus diam membiar-kan perbuatan kang Gimpul yang kurang ajar itu? Atau apakah sebaiknya kulaporkan saja pada isterinya? Apakah yang terjadi kalau kulaporkan pada yu Jasmi?, yu Jasmi dan kang Gimpul pasti bertengkar. Suasana di rumah ini akan menjadi semakin kisruh dan semakin usrek. Ah, jadi serba salah aku jadinya. Mau begini salah, mau begitu juga salah. Bagai-mana sebaiknya?"
Beban yang sungguh sangat berat. Salatun mendekap wajah. Kalau sudah demiki-an, Salatun ingat simboknya. Mata Salatun berkaca-kaca.
"Simbok, apakah yang harus kulakukan menghadapi keadaan yang membingung-kan ini? Simbok, tolonglah aku mbok. Bagaimana caranya aku menghindari keadaan ini? Bagaimana caranya mbok?" mata gadis itu mengaca.
Matahari memanjat agak tinggi ketika Tanjir serta Jayus yang telah berubah me-njadi kalong, pulang. Anak lelaki pak Kampun itu makin tidak peduli dengan apapun, ke-cuali mengumbar kegemaran di tempat-tempat orang punya hajat. Gandrung yang pentas di Rogojampi sekalipun pasti didatangi. Kalau sudah turun menari Tanjir bisa lupa diri sebagaimana Jayus jika larut dengan kartu remi atau domino. Semalaman Tanjir dan Jayus tidak pulang, biasanya dibayar dengan tidur ngedhur sehari suntuk untuk kemudian pergi lagi di malam berikutnya.
Pak Kampunlah yang kemudian sering mengelus dada karena jika dua anak lela-kinya itu minta uang selalu seketika dan tidak bisa ditunda.
Tanjir berjalan melintas tidak peduli pada Salatun yang tengah duduk melamun di atas dingklik kayu yang telah lapuk. Namun sejenak kemudian, Jayus yang justru mende-katinya.
"Tun" kata Jayus pelan.
Salatun mendongak.
"Apa?" tanya Salatun agak ketus.
"Kamu punya uang?" tanya Jayus.
Salatun hanya menoleh. Wajahnya beku.
"Ehhh, kamu punya uang apa tidak?" Jayus mendesak.
"Tidak." jawab Salatun tegas.
Jayus memandang Salatun, bukan ke tubuhnya atau ke mukanya tetapi pada an-ting-anting dan kalung yang dikenakannya. Jika anting-anting itu harganya paling hanya tujuh puluh puluh ribu rupiah. Tetapi kalau kalungnya, bisa tiga ratus ribu rupiah atau le-bih, paling tidak ada enam sampai sepuluh gram. Jika diuangkan lumayan. Bisa untuk tambahan modal.
"Kalau begitu bagaimana dengan kalung itu?"
Salatun mencuatkan alis.
"Kenapa dengan kalungku?"
“Aku butuh uang. Aku pinjam."
"Enak saja pinjam kalung. Tidak bisa." Salatun ketus.
"Aku butuh sekali Tun." desak Jayus.
"Kalau pinjam, kau tidak pernah mengembalikan."
"Tun, aku sangat butuh uang untuk modal. Besok pasti kukembalikan. Atau, kau minta aku kembalikan dua kali lipat, kalung yang lebih besar dan gelang kroncong sekali-an?" Jayus merayu.
"Dikembalikan kalau imitasi apa gunanya?"
Salatun membuang muka dan kemudian beranjak pergi. Namun dengan cekatan Jayus memegang lengannya. Salatun menepis.
"Kalungmu aku pinjam." kali ini Jayus berkata agak sangar.
"Kalung dipinjam itu kan maunya kang Jayus" kata Salatun ketus. "Mauku tidak boleh."
Jayus jengkel.
"Gelang yang dulu kau pinjam saja belum kau kembalikan. Ayo, mana gelangku?"
Jayus menyeringai. Matanya tak beranjak dari kalung yang dipakai adiknya. Ingin rasanya Jayus membetot saja kalung itu, seperti yang beberapa malam lalu pernah ia la-kukan terhadap seorang pejalan yang lewat sebelah bendungan Dam Limo.
Pada saat itu maghrib baru saja berlalu. Jayus duduk-duduk di pagar jembatan. Lalu ada seorang wanita berjalan dari arah timur sendirian. Jayus segera menutup wajah dengan sarung seperti film ninja. Dengan cekatan dia menghadang, menodongkan pisau dan membetot kalung yang dipakai orang itu, kemudian lari ke arah utara untuk kemu-dian melenyapkan diri di selokan. Wanita yang dijambretnya itu sebenarnya masih te-tangga sendiri, yang langsung melolong-lolong minta tolong dan bahkan lapor Polisi segala.
Peristiwa penjambretan yang baru untuk pertama kali terjadi di Tegaldlimo yang semula aman-aman saja itu langsung membuat geger, bikin gempar. Segenap penduduk dari Jatirejo sampai Kalipait memperbincangkan. Maklum, peristiwa kecil apapun untuk desa seukuran Tegaldlimo akan menjalar ke mana-mana seiring dengan tiupan angin.
Kalung hasil jambretan itu esok harinya dijual ke toko emas. Hasil penjualan ka-lung itu bisa dijadikan modal untuk duduk bersila membanting kartu, minum ciu dan rokok, sisanya untuk pil koplo.
Mula-mula Jayus menang banyak. Jayus tentu tidak lupa sebagian dari uang itu dipergunakan menyalurkan hobby beratnya, kelonan. Namanya juga uang diperoleh dari cara yang tidak betul, ketika duduk bersila lagi di hari berikutnya nasibnya apes, uangnya ludes tak menyisakan sepeserpun kecuali hanya segala macam sumpah serapah dan ber-bagai gagasan untuk segera mendapatkan uang lagi dengan cara singkat dan cepat. Apa-pun caranya.
Namun, ketika beberapa hari kemudian, setelah masa inkubasi sekitar tiga empat hari berlangsung, Jayus mulai bernanah. Bercak nanah begitu meriah membentuk gambar pulau-pulau di celananya, diiringi rasa nyeri dan perih. Jayus tidak punya sepeserpun uang untuk berobat kecuali segumpal sumpah serapah kepada pelacur yang telah menu-larinya.
Kali ini kalung yang dikenakan Salatun amat menggodanya. Entah bagaimana ca-ranya, kalung adiknya itu harus bisa jadi miliknya dan dengan segera dijadikan uang. De-ngan uang itu Jayus bisa pergi berobat, kalau ada sisanya untuk duduk bersila, atau bisa juga dibalik, uang itu untuk duduk bersila dulu dan hasilnya untuk beli obat.
Kalau ternyata ludes?
O ya, pernah ada saran dari temannya untuk minum sari tumbukan laos dicampur enjet. Menurut temannya, ramuan dengan komposisi seperti itu diyakini bisa menyem-buhkan Jayus dari gonorrheanya. Jayus muntah-muntah sampai tercekik ketika minum ramuan itu, tentu saja, kapur kok di buat jamu.
Setelah sehari berlalu, sakitnya malah menjadi-jadi,
"Berikan kalungmu." ancam Jayus dengan sangar.
Gila. Kali ini bukan pinjam malah memaksa, dengan mata yang melotot segala.
"Cepat, lepas kalungmu" disusul dengan bentakan.
Salatun malas melayani kakaknya yang kumat itu. Salatun bermaksud ngeloyor menyelamatkan diri dari perampokan itu. Tetapi dengan kasar Jayus menangkap tangan-nya dan membetot kalungnya. Kalung itupun putus.
Salatun tidak bisa menguasai diri. Gadis bernasib malang itu menangis. Salatun menangis bukan menangisi kalungnya tetapi oleh perbuatan kakaknya yang tega terhadap dirinya.
Kalau kalung itu sih sebenarnya, imitasi.
Jayus tak peduli Salatun, Jayus ngeloyor masuk rumah. Siangnya Jayus merah pa-dam manakala sudah capek-capek bersepeda sampai di Purwoharjo, nafasnya kreng-gosan karena mengayuh menempuh jarak dua-puluhan kilometer yang adakalanya harus dengan pringisan karena sakitnya, sesampai di tempat tujuan harus merasakan malu luar biasa, wajahnya menebal melebihi tebal dinding, di saat pemilik toko menolak kalung itu karena imitasi.
Jayus marah sekali, tetapi mau marah kepada siapa? Marah kepada Salatun yang tidak mau jujur soal kalung yang ternyata hanya rongsokan itu?
"Bangsat" umpat Jayus kasar.
Setiap kali kayuhan pedalnya sakitnya luar biasa. Untuk setiap jarak seratus me-ter, Jayus pasti menyempatkan mengumpat sekali.
“Dancuk.” serapahnya kasar.
Dengan demikian bisalah dihitung entah berapa kali Jayus mengumpat di sepa-njang perjalanan pulang ke Tegaldlimo dengan kondisi jalan yang gronjalan.
"Kalungmu mana?" tanya Jasmi yang melihat adiknya tidak memakai kalung lagi.
"Dibetot Jayus." jawab Salatun.
Jasmi kaget.
"Kapan?" tanya Jasmi.
"Tadi " jawab adiknya.
Jasmi hanya bisa menelan getir. Sudah seperti itukah keadaan rumah di mana sau-dara telah menjadi perampok atas sedulur sendiri.
"Berapa gram kalungmu?" tanya Jasmi selanjutnya.
"Imitasi" jawab Salatun.
"Ha? Imitasi?" Jasmi kaget.
Jasmi tertegun sejenak dan kemudian tidak kuasa menahan geli. Seketika tawanya berderai. Salatun yang semula mbesengut ikut tersenyum, bahkan ikut larut dengan tawa-nya yang berderai. Jasmi sibuk membayangkan betapa akan merah padam wajah kakak-nya itu di saat menjual kalung yang ternyata imitasi itu.
"Tadi aku lihat kang Jayus nggenjot sepeda." kata Jasmi.
"Ke Purwoharjo." jawab adiknya.
"Untuk menjual kalung itu?" Jasmi geli.
"Ada urusan apa lagi kalau bukan itu. Makin hari kang Jayus makin ketagihan sa-ja. Dulu gelangku diminta. Bahkan aku curiga penjambretan yang menimpa yu Siti Su-milah di bendungan Dam Limo pelakunya kang Jayus juga."
Tentu Jasmi amat kaget. Peristiwa penjambretan yang terjadi malam itu memang menggegerkan. Jasmi juga ikut nanggap yu Sumilah yang menjadi korban penjambretan itu. Siapa mengira pelakunya adalah kakaknya sendiri.
"Apa benar kang Jayus Tun?" desaknya.
"Malam itu aku lihat kang Jayus berlepotan lumpur. Coba Kamu pikir, habis me-lakukan apa dia. Menurut yu Sumilah saat itu penjambretnya lari ke utara dan lenyap di sawah. Kemudian aku melihat kang Jayus pulang lewat sawah di belakang itu dengan berlepotan lumpur. Apa hubungannya?”
"Astaghfirullah Aladzim." Jasmi mendesis.
Kalau dipikir, kepulangan Jasmi menuruti kehendak Tanjir dan Jayus ternyata merupakan langkah keliru. Suasana di rumahnya, rumah yang semula ditempatinya di Te-galdlimo kidul jauh lebih sejuk dari suasana sekarang yang penuh dengan berbagai masa-lah. Semua penghuni rumah tidak punya tatanan lagi, semuanya berbuat semaunya sen-diri.
Akan halnya pak Kampun yang makin jengkel, tidak peduli lagi dengan apapun yang terjadi, tidak peduli bagaimana dengan anak-anaknya.
Jasmi yang kemudian merasa seperti sapi perah karena harus ngladeni kedua ka-kaknya yang keblinger itu. Pernah pada suatu hari Jasmi memasak seadanya, maksudnya hanya untuk dirinya dan suaminya. Namun nasi belum matang sudah dibuat jungkir balik oleh Tanjir dan Jayus yang dokoh lekoh sekali dalam mengisi perut.
Sayur bening yang tak seberapa ludes tanpa sisa.
Situasi tambah menyebalkan karena Tanjir dan Jayus dan bahkan juga suaminya menganggap siang hari adalah waktu untuk tidur. Bangun hanyalah untuk mengisi perut. Begitu seterusnya.
Seperti pada siang itu, Jayus yang marah-marah karena tertipu oleh kalung imitasi mbarang-amuk dengan mengobrak-abrik dapur. Mana Jasmi tahan menghadapi keadaan yang seperti itu.
Bagaimana dengan pak Kampun? Pak Kampun yang sebal di rumah adakalanya memilih mengajak isterinya untuk menginap di losmen yang ada di kota Jajag. Di sana pak Kampun merasa tenang dan tidak terganggu. Aneh juga dengan pak Kampun, seu-mur-umur orang yang lugu seperti pak Kampun itu belum pernah berurusan dengan hotel, sekarang sebentar-sebentar check in ke Jajag atau malah pantai Grajagan.
Malam berikutnya adalah malam ketika pak Kampun dan Salehak tidak ada. Se-jak siang pak Kampun serimbit telah pergi ke Grajagan, di sana ada hotel kelas dua puluh lima ribuan yang bisa dipergunakan berasyik-masuk sambil menikmati debur gemuruh ombak laut selatan. Sejak sore pula Gimpul pamit pergi. Jasmi mengijinkan karena Gim-pul pamit menemui pak Ngadimin untuk meminta pekerjaan di perusahaan tegel milik-nya. Kalau Gimpul mau bekerja di perusahaan tegel itu meski hanya sebagai tenaga ka-sar, itu sudah perkembangan bagus, dari pada nganggur.
Namun sebenarnya, ke mana Gimpul? Salatun telah berketetapan hati tidak akan membuka jendela kalau Gimpul mengetuknya. Salatun berketetapan tak akan mengulangi kesalahan yang telah diperbuatnya. Peristiwa di malam sebelumnya tak boleh terulang lagi. Itulah sebabnya jendela dikuncinya dengan rapat, bahkan diikat dengan kawat. Pintu dikunci dan masih ditambah dengan palang kayu yang kuat. Pendek kata Gimpul tidak akan bisa masuk ke kamar itu.
Akan tetapi betapa terperanjatnya Salatun melihat Gimpul nongol dari kolong tempat tidurnya.
"Sssssst” Gimpul menempelkan telunjuk ke bibir, isyarat agar Salatun tidak ber-suara.
Rupanya Gimpul yang berpamitan ke rumah pak Ngadimin itu sekedar alasan be-laka. Gimpul menyelinap melalui pintu samping dan beberapa saat lamanya bertahan ber-sembunyi di kolong tempat tidur iparnya. Baru nongol saat merasa semua aman.
Di luar langit digerayangi mendung tebal. Seperti kemarin, petir mulai berlaga. Kilat muncrat memuntahkan cahaya gemerlap, menjadi saksi atas semua peristiwa yang bakal terjadi.
"Kau, bersembunyi di bawah tempat tidurku?" Salatun benar-benar tercekat.
Salatun panik. Namun dengan segera Gimpul meraih dan memeluknya agar Sa-latun tenang dan tidak panik.
Malam itu barangkali akan menjadi malam yang tidak bisa dilupakan Salatun. Se-perti malam sebelumnya, hujan deras turun lagi. Gimpul sungguh merasa terbantu oleh keadaan itu.
"Kau mau apa?" Salatun gugup.
"Jasmi lelap. Aku gunakan kesempatan ini untuk menemanimu lagi. Kemarin hu-jan deras, sekarang hujan deras. Keadaan benar-benar bersahabat dengan kita. Aku te-mani kau untuk menagih janjimu."
Ha? Menagih janji? Salatun gemetar. Salatun pucat. Harusnya Salatun berteriak, tetapi Salatun bodoh sekali. Ia tak melakukan itu. Keadaan serba salah yang dihadapinya menuntunnya mengambil pilihan yang salah pula.
"Jangan kang. Aku takut." Salatun amat cemas. "Kalau yu Jasmi sampai tahu, bisa geger.”
Gimpul hanya tertawa. Gimpul mana peduli.
“Bapak dan Ibu tirimu tidak ada. Tanjir dan Jayus sudah minggat entah ke mana, dan mbakyumu pulas karena pengaruh obat."
"Obat?" Salatun kaget.
Gimpul tak perlu bercerita tentang obat apa yang diminum oleh Jasmi. Kebetulan tadi Jasmi mengeluh sakit kepala, Gimpul memberinya pil koplo seperempat tablet. Ten-tu saja Jasmi jadi koplo. Dari mana Gimpul dapat pil koplo? Ahhh gampang, Pil Koplo kan sudah tersebar di mana-mana.
“Terus, kau mau apa?" Salatun masih dengan kecemasannya.
“Melanjutkan yang kita lakukan semalam." pendek saja kata Gimpul.
Salatun tambah panik menjadi-jadi.
"Aku mencintaimu Tun." Gimpul mulai menyerang dengan jurus rayuan maut.
Untuk hal yang demikian itu, Gimpul telah mengoleksi berbagai jurus maut. Ting-gal comot sesuai kebutuhan.
"Sekarang tahulah aku, bahwa sebenarnya kaulah yang aku cintai Tun, bukan ka-kakmu." yang ini jurus gombal.
"Jangan kang." Salatun mencoba mencegah.
"Aku menginginkan kamu Tun, Ayolah. Aku akan mengajarimu."
Walah-walaah, Gimpul menganggap hal itu sebagai sebuah pelajaran? Pelajaran apa? Di sekolah manapun ilmu macam itu rasanya tidak pernah diajarkan.
Suasana tambah gawat. Salatun bingung.
"Jangan kang Gimpul. Kalau aku sampai hamil bagaimana.?"
Hamil di luar pernikahan memang layak dicemaskan. Namun Gimpul mengang-gap enteng hal itu.
"Aku bertanggung jawab."
Enak saja Gimpul dengan jawaban itu. Bertanggung-jawab maksudnya kalau ada apa-apanya bertanggung-menjawab. Bertanggung-menjawab dan tanggung jawab jelas berbeda arti.
"Bertanggung-jawab bagaimana? kau kan suami yu Jasmi." Salatun mendesak.
"Kalau sampai kau hamil, maka aku akan ceraikan kakakmu dan aku mengawini-mu. Aku akan mengentaskanmu dari lubang penderitaan ini Tun, atau kita bisa minggat sejauh-jauhnya, minggat ke tempat yang tidak akan bisa dijangkau orang lain, di mana di tempat itu kita bisa hidup amat bahagia. Mau kan?"
Sayang, Salatun seperti orang yang kekurangan waktu untuk mencerna kalimat itu. Kalau saja Salatun mau merenung sejenak saja, betapa akan kelihatan jelas gombal-nya.
"Aku tidak mau merusak kebahagiaan rumah tangga kakakku."
Salatun kemudian duduk di pembaringan. Gimpul memeluknya, sama sekali tidak terlintas bayangan Jasmi di benaknya.
"Aku hanya menagih janjimu Tun. Aku tidak akan menagih kalau kau tidak berja-nji." desak Gimpul.
"Hanya berciuman. Jangan lebih ya kang,"
Namun ciuman adalah awal dari segalanya. Ciuman menggiring nafsu untuk me-njamah tahapan berikutnya. Sehingga Salatun sendiri yang kemudian menghendaki. Apa-lah artinya Salatun, seorang gadis ingusan yang tidak tahu apa-apa di hadapan Gimpul, laki-laki yang telah banyak mengenyam asam garam. Semuanya kemudian berakhir de-ngan senyum puas di sudut bibirnya, senyum yang agak ditelan.
Salatun yang kemudian digulung sesal. Salatun menangis. Sayang hujan deras menutupi tangis gadis itu.

***


BARA TANAH WARISAN
Gimpul amat gugup. Sebisa-bisanya Gimpul berusaha menenangkan Salatun yang sesenggukan. Namun air mata yang mengalir bukan sungai yang bisa dibendung. Salatun menangis sejadi-jadinya.
"Sudahlah jangan menangis. Tidak ada yang perlu ditangisi. Semuanya sudah ter-jadi." saat apa yang diinginkan telah diperoleh, begitu gampangnya Gimpul berkata se-perti itu.
"Mengapa kau lakukan itu padaku kang Gimpul? Mengapa?"
Nasi telah menjadi bubur. Salatun mengutuk dirinya, namun segalanya telah terla-njur.
"Kau tega kang Gimpul." Salatun terguguk.
Gimpul membelai rambutnya.
"Karena kita saling menghendaki Tun dan karena kita saling mencintai, juga kare-na memang sudah menjadi takdir kita."
Alasan apa pula itu, Gimpul beranggapan apa yang terjadi itu karena takdir? Ka-rena sudah dikehendaki oleh garis hidup?
"Kau harus mengawiniku kang Gimpul. Kau harus bertanggung jawab atas perbu-atanmu."
Gimpul bingung, namun segera disediakannya sebuah jawaban.
"Oo, tentu Tun, aku tentu akan mengawinimu. Aku pasti bertanggung-jawab."
Gimpul akan bertanggung jawab padahal ia telah punya isteri, dan isteri Gimpul itu adalah kakak Salatun. Bagaimana model dari tanggung jawab itu? Menceraikan Jasmi agar bisa mengawini Salatun? Apakah hal itu mungkin? Atau tanggung jawab dalam ben-tuk lain, yaitu kalau sampai Salatun hamil Gimpul bertanggung-jawab untuk menggugur-kan bayinya. Begitu?
"Kita harus membicarakan sekarang kang. Kau harus menyampaikan kepada yu Jasmi sekarang juga. Bapak juga harus diberitahu."
Gimpul benar-benar membaca situasi gawat, situasi yang berbahaya. Kalau sam-pai Salatun melapor pada Mbakyunya, waaaah, benar-benar akan terjadi perang. Hal itu harus dicegah. Tidak boleh terjadi. Enak yang dirasa hanya beberapa menit, apakah Gim-pul harus menanggung beban yang seberat Gunung Raung?
Jangan ngangsi.
"Jangan sekarang," Gimpul berbisik. "Ini bukan saat yang tepat untuk membica-rakan itu. Kita tunggu saja, apakah kau hamil atau tidak, kalau tidak hamil, tak perlu harus ada tanggung-jawab to? Kalau kau hamil, barulah kita bicarakan."
Nah kan?
Itulah Gimpul, sejenis lelaki berkarakter bajing loncat, yang dengan seenak sen-diri dan tanpa pertimbangan, serta tidak menggunakan moral jenis apapun, dengan sangat tega menodai adik ipar yang mestinya harus dianggap adik sendiri. Ketika Salatun me-nuntutnya untuk bertanggung jawab, Gimpul berusaha mengelak menghindarinya. Yang enak-enak Gimpul mau, yang tidak enak tunggu dulu. Sayangnya Gimpul terlahir dengan membawa jenis kelamin lelaki, coba kalau perempuan, Gimpul tentu hamil kleleran.
"Sudah, jangan menangis. Aku akan kembali ke kamarku."
Sesudah kebutuhannya terpenuhi, enteng Gimpul berpamitan.
"Jangan menangis. Nanti kedengaran Mbakyumu."
Apa yang terjadi itu memang harus menyebabkan Salatun membulatkan tekadnya minta tanggung-jawab. Enak saja Gimpul menyengat seperti tawon, setelah ngentup ter-bang begitu saja. Lha kalau yang disengat lalu bengkak bagaimana? Apalagi ini bukan ta-won, ini soal Gimpul yang sudah ngentup dirinya.
"Pokoknya kau harus bertanggung jawab kang Gimpul” Salatun terus mendesak.
Gimpul yang akan pergi itu digondelinya.
"Aku tentu akan mengawinimu Tun. Seperti yang kujanjikan, kita akan menjadi suami isteri. Tetapi kita tidak boleh bodoh. Jika mempersoalkan hal ini sekarang, jelas sangat bodoh. Bisa geger nantinya. Kita harus menunggu saat yang tepat Tun."
Gimpul tidak sabar lagi, rasanya ingin segera meninggalkan tempat itu, semakin cepat makin baik. Akan tetapi Salatun tetap memegangi tangannya. Salatun tidak membi-arkan Gimpul pergi.
Kok enak.
Salatun yang menangis itu menyebabkan Gimpul cemas. Kalau sampai suara tangis itu kedengaran Jasmi, kan gawat.
Malang tidak bisa ditolak, untung tidak bisa diraih. Rupanya pil koplo yang dimi-numkan kepada Jasmi tidak berpengaruh sama sekali. Jasmi entah mengapa merasa pe-rutnya mendadak amat mual dan muntah-muntah. Dengan sendirinya pil koplo yang baru saja hancur di lambung ikut terbuang keluar. Hanya sebagian kecil yang sempat masuk ke usus dan membuat kepalanya pusing.
Jasmi yang kebelet pipis merangkak keluar, bermaksud ke jeding di belakang. Bi-asanya Jasmi berani pergi ke jeding sendiri. Namun karena hujan dan suasana gelap, Jasmi bermaksud minta kepada Salatun mengantarnya. Pada saat itulah Jasmi mendengar lamat-lamat suara Salatun menangis, di sela suara gemuruh hujan yang terus diguyurkan dari langit yang robek.
"Salatun, buka pintunya. Kau menangis ada apa?" bertanya Jasmi.
Salatun kaget dan seketika pucat.
Demikian juga dengan Gimpul bagaikan disengat kalajengking, menjadi bingung. Gimpul bergegas berusaha membuka jendela, tetapi malang, karena gugupnya, Gimpul yang bermaksud meloloskan diri itu malah terjerembab. Suara itu terdengar oleh Jasmi di luar.
"Tun, ada apa kamu menangis? Suara apa itu?"
Salatun gugup, Gimpul tambah gugup.
"Mati aku, bagaimana ini?" Gimpul berpanik-panik.
Namun bukan Gimpul namanya kalau tak melihat peluang. Gimpul segera me-rangkak dan melenyapkan diri di kolong tempat tidur.
Salatun kebingungan, bahkan untuk menata degup jantungnya sendiri Salatun se-perti tidak tahu bagaimana caranya.
"Tun, buka pintunya." suara Jasmi kembali terdengar.
Salatun membuka pintu. Tangisnya dihapus dengan lengannya. Jasmi yang meme-gang lampu teplok memandangi wajah adik dan kemudian melongok ke dalam kamar. Dengan cahaya lampu teplok itu Jasmi melakukan pemeriksaan.
Sayang sekali Jasmi agak pusing, sayang sekali Jasmi tidak melongok ke kolong.
"Kau ingat simbok lagi?" Jasmi bertanya.
Salatun menunduk tidak menjawab.
Jasmi menepuk-nepuk pundak adiknya.
"Sudahlah, jangan terlalu diingat, kasihan simbok yang perjalanannya ke alam ba-qa malah tersendat." hiburnya.
"Aku,...." suara Salatun terdengar serak.
Salatun sudah berketetapan untuk menceritakan apa yang terjadi pada kakaknya itu.
"Sudah, jangan bersedih. Kepergian simbok sudah menjadi kehendak dari Tuhan Yang Mahaesa. Kita harus ikhlas menerima kenyataan itu."
Salatun mendongak, memandang kakaknya dengan tatapan mata yang berkaca-kaca. Salatun ingin sekali berteriak keras, meneriakkan perbuatan Gimpul yang telah me-ngurang-ajari dirinya. Namun suara yang mestinya akan terlontar lantang itu tertelan, te-rasa kaku di tenggorokan. Seperti gumpalan bakso yang terjebak di lorong itu, membuat leher seperti tercekik.
"Aku mau ke jeding Tun, temani aku." pinta Jasmi pada adiknya.
Jasmi lupa. Mestinya Jasmi menanyakan suara apa yang kedengaran gaduh tadi. Kalau saja Jasmi menanyakan itu, mungkin akan menjadi kunci yang membuka katub-ka-tub emosi adiknya yang macet.
Dengan masih bingung, Salatun mengantar kakaknya ke jeding yang letaknya ter-pisah di belakang. Harus menggunakan payung untuk sampai ke jeding itu. Namun ka-rena tidak ada payung, Jasmi yang sudah tidak betah langsung jongkok di depan pintu.
Kesempatan yang ada itu dimanfaatkan oleh Gimpul untuk menyelinap keluar da-ri kamar yang tiba-tiba penuh dengan aroma ketegangan itu. Merasa berhasil meloloskan diri Gimpulpun lega. Tetapi belumlah lega sepenuhnya karena Gimpul cemas seandainya Salatun menceritakan apa yang terjadi.
Jasmi kembali ke kamarnya membaringkan diri. Sejenak kemudian terdengar pintu yang diketuk dan panggilan suaminya. Jasmi segera membuka pintu dan menyam-but kepulangan suaminya dengan sebuah pelukan.
Akan halnya Salatun, malangnya gadis itu. Dengan mata berkaca-kaca, Salatun si-buk memperhatikan bercak-bercak yang ada di sepreinya. Salatun tidak kuat menahan diri. Gadis itu meringkuk di sudut pembaringan sambil mendekap wajah. Dari sela-sela jemarinya tetes-tetes air matanya runtuh ikut menodai seprei.
Namun naifnya Salatun, manakala apa yang terjadi itu terulang kembali keesokan harinya. Jika malam pertama diwarnai dengan tangis, maka tak ada tangis lagi untuk ma-lam kedua, ke tiga dan seterusnya. Hari itu setangkai kembang melati telah layu. Kum-bang kurang ajar telah menyengat dan meninggalkan entupnya. Di setiap kesempatan dalam kesempitan Gimpul selalu menyelinap serta membagikan tumpahan nafsunya pada Salatun.
Sungguh perbuatan yang ceroboh, karena apa yang mereka lakukan tanpa perlin-dungan, hal yang mungkin saja menyebabkan seseorang menjadi hamil.
Pada sebuah malam yang lain, Gimpul kembali menyelinap ke kamar adik ipar-nya.
"Kupikir kau tak menemuiku kang."
Nah lihatlah, telah ada perubahan bukan? Salatun malam ini berbeda sekali de-ngan Salatun beberapa malam yang lalu. Salatun bukan lagi Salatun yang lugu. Salatun yang sekarang sudah bisa berfikir bengkok. Betapa besar andil yang diberikan Gimpul untuk membentuk Salatun yang baru.
"Kalau aku sudah berjanji aku akan menyelinap, aku pasti menyelinap. Masalah-nya, aku harus menunggu mbakyumu pulas dulu." Gimpul berusaha memberikan alasan.
Salatun merajuk. "Rasanya hati ini sakit."
Sakit? Kenapa? Soal apa lagi yang tumbuh dan berkembang di dada Salatun itu? Biasanya, sebuah situasi selalu membutuhkan solusi. Salatun punya masalah, menuntut Gimpul untuk memberikan jalan keluarnya. Kalau solusi belum didapat atau karena satu dan lain hal tak mungkin didapat, akan menyebabkan isi dada terasa nyeri seperti yang dialami Salatun saat itu.
"Sakit kenapa?" bisik Gimpul.
"Telah kuserahkan segala yang kumiliki kepada kang Gimpul. Tetapi kau suami kakakku. Ini menyakitkan sekali."
Rupanya dengan kondisinya yang sekarang, Salatun tak ingin mendapat jatah ha-nya di saat Gimpul punya waktu. Salatun menginginkan semuanya. Ingin menjadi isteri sepenuhnya, dengan demikian tak perlu kucing-kucingan lagi, tidak perlu sembunyi-sem-bunyi.
Gimpul terpaksa harus meredam.
"Percayalah Tun, kelak akan tiba saatnya, kita akan hidup bersama. Kelak aku pasti akan menyingkirkan kakakmu, dan menggantikannya dengan menempatkan kau di sebelahku. Sebuah tempat yang amat terhormat."
Semakin tidak keruan saja pikiran Gimpul itu. Kecemasan yang pernah disampai-kan mbok Kampun dulu ternyata benar adanya. Kehadiran Gimpul ke dalam rumah itu akan menjadi sumber kekacauan. Akan rusak semua.
Pikiran Salatun semakin bengkok pula.
"Kapan itu kang?"
Salatun benar-benar telah teracuni. Gagasan Gimpul yang bermaksud menggusur Jasmi dan menempatkan dirinya menduduki jabatan isteri, benar-benar berubah menjadi obsesi. Apa salahnya kalau impian diubah menjadi kenyataan?
Namun di samping mengobral janji Gimpul juga pintar mengulurnya. Dijereng-jereng seperti permen karet yang bisa molor ke sana molor ke sini, sesuai kebutuhan.
"Tak mungkin sekarang Tun. Kita harus mencari waktu yang tepat dan sebaik-baiknya. Kita tidak boleh sembarangan. Kita harus menunggu saat yang pas, dengan per-hitungan yang cermat."
"Lantas rencana kang Gimpul?"
"Rencana kita nanti adalah kita minggat. Minggat sejauh-jauhnya, ke tempat yang tidak mungkin didatangi keluargamu. Di sana kita akan bahagia untuk selamanya. Tanpa ada yang mengusik dan mengganggu kita."
Itulah angan-angan yang ditaburkan dengan begitu indah. Seolah angan-angan itu bila bisa diujutkan, maka selesai segalanya. Padahal, untuk semua itu butuh biaya bukan?
"Tidak adakah cara lain yang lebih baik dari cara itu kang Gimpul?"
Salatun rupanya cemas membayangkan minggat, yang artinya harus berpisah dari orang tua dan saudara-saudaranya.
"Cara apa?" tanya Gimpul.
Memang tidak ada cara lain selain minggat. Meminta pada Jasmi agar mengi-khlaskan suaminya mengawini adiknya merupakan hal yang mustahil. Bagi Gimpul sih, andaikata kakak beradik itu bersedia dimadu, sungguh amat indah dan bagus. Tinggal menggilir dan membuat jadwal.
"Kalau saja aku tidak perlu minggat meninggalkan keluargaku, dan aku tidak perlu bermusuhan dengan yu Jasmi." Salatun berandai-andai.
“Tidak mungkin Tun. Kita tidak mungkin bisa bersatu dengan cara itu. Satu-satu-nya cara hanyalah Kita pergi sejauh-jauhnya. Mungkin ke Sabang atau Merauke. Di sana kita bisa berkata lantang peduli setan dengan kakak-kakakmu, bahkan peduli setan de-ngan Jasmi dan bahkan ayahmu. Di tempat yang baru nanti, kita hidup kecukupan dan kaya-raya, apa tidak enak?"
Gimpul menerawang mengikuti angan-angannya, Salatun mengekor di belakang-nya.
"Mengenai kakakmu? Perempuan mana yang ikhlas suaminya direbut perempuan lain meski perempuan itu adalah adiknya." lanjut Gimpul.
"Untuk bisa kaya butuh kerja keras kang." kata Salatun.
Ini dia. Memang ke sana sebenarnya Gimpul bermaksud menggiring persoalan. Ji-ka Salatun berada dalam pengaruh dan genggamannya, mengapa tidak dimanfaatkan.
Gimpul berbisik,
"Bukankah bapakmu akan menjual sawah? Bukankah kau nanti akan mendapat-kan hakmu? Semuanya itu, bisa kita gunakan sebagai modal Tun."
Salatun yang lugu, benar benar telah jatuh ke dalam pengaruh Gimpul. Salatun benar-benar tidak mampu menangkap bau busuk di balik kalimat yang dirangkai begitu indah itu.
"Segala sesuatu memang butuh pengorbanan. Kau percaya kan?" Gimpul semakin mempertajam, menanam pengaruh.
"Ya." jawab Salatun.
"Seperti kalau kita ingin hidup bersama, kita ingin kaya, juga butuh pengorbanan. Kau sependapat?"
Gimpul terus menggiring, seperti layaknya pemain bola yang berusaha membobol gawang lawan. Soal gawang Salatun beberapa kali kebobolan. Terlalu gampang menggi-ring bola itu bagi Gimpul.
"Kau sependapat dengan yang kukatakan?"
"Ya." jawab Salatun.
"Pada saat yang tepat nanti, kita minggat." berkata Gimpul.
"Kapan itu kang?" tanya Salatun.
"Pada saat tanah sawah yang dijual itu laku dan telah menjadi duit. Saat itu kita minggat."
Ada desir serasa merambati permukaan hati anak bungsu pak Kampun itu. Butuh sejenak waktu untuk menghapusnya.
"Dengan membawa lari uang itu?"
"Bagaimana kalau ya?"
Sebuah pemecahan yang menarik. Soal bagaimana dengan Tanjir dan Jayus, Sala-tun selama ini sudah amat sebel dengan kedua kakak lelakinya itu. Jadi apa salahnya ka-lau dibalas. Peduli setan dengan kang Tanjir dan kang Jayus, ora dulur-duluran. Kalau sawah nanti sudah laku, uang hasil penjualan itu dicuri, kemudian minggat sejauh-jauh-nya. Bisa apa Tanjir dan Jayus. Lantas bagaimana dengan pak Kampun? Ahhh, persetan pula dengan pak Kampun yang egois dan tidak tahu diri itu. Bukankah pak Kampun ter-lampau larut dengan mainan barunya yang cantik jelita itu. Pada kenyataannya pak Kam-pun tidak memikirkan anak bungsunya, jadi untuk apa Salatun peduli?
Dengan amat sukses Gimpul membentuk pola pikir yang demikian itu.
"Aku sedang memikirkannya. Tetapi berjanjilah kepadaku kang dengan disaksi-kan yang berada di atas."
Nampaknya Salatun masih menyimpan secuil keraguan.
"Aku harus berjanji apa Tun?"
"Kau tak akan meninggalkan aku. Kau akan mengawiniku, mengajakku kemana-pun kau nantinya pergi."
"Tentu Tun. Tentu. Sumpah demi Allah" Gimpul tidak perlu berfikir terlampau lama untuk bersumpah atau berjanji.
Sumpah atau berjanji itu mudah, soal menepati adalah soal lain. Ada banyak o-rang yang sebenarnya konyol karena berfikir janji harus ditepati. Janji boleh-boleh saja ditepati, tetapi pada suatu kondisi nanti, janji itu untuk diingkari. Percayalah.
Gimpul dan Salatun yang kelonan itu tiba-tiba diam karena lamat-lamat terdengar suara pintu yang dibuka di kejauhan.
"Ada yang membuka pintu. Nampaknya dari kamarmu. Jangan jangan yu Jasmi tahu kalau kau berada di sini?" Salatun cemas.
"Tidak, ia tidak tahu kalau aku menyelinap ke sini." jawab Gimpul.
"Cepat keluar kang." Salatun gelisah.
"Aku akan bersembunyi di bawah amben."
"Jangan, nanti kalau yu Jasmi melongok bagaimana?"
Kemudian terdengar suara langkah yang diseret.
"Tun... Salatun." Salatun gugup.
Apa yang terjadi itu seperti pengulangan apa yang dulu pernah terjadi.
"Kang, keluarlah. Berbahaya kalau sampai yu Jasmi tahu kau berada di sini."
"Tun, buka pintunya Tun." Salatun tak segera membuka pintu untuk memberi ke-sempatan kepada Gimpul keluar dari jendela.
Salatun membuka pintu dengan perasaan tegang. Jasmi langsung nyelonong ma-suk.
"Ada apa yu?" Salatun gugup.
"Aku mau tidur denganmu saja."
"Lho, kenapa?"
"Suamiku belum kembali entah ke mana. Tadi aku mimpi buruk dan rasanya nge-ri sekali. Temani aku ya Tun."
"Baik." jawab Salatun agak gugup.
"Tempat tidurmu kok acak-acakan sekali?"
"Iya." jawab Salatun pendek.
Jasmi tertawa. "Mengapa saja kamu?"
"Aku tidak melakukan apa-apa kok yu. Sungguh, sumpah."
Salatun menjadi gugup dan merasa harus mengeluarkan sumpah untuk meyakin-kan kakaknya. Justru pakai sumpah-sumpah segala itu seharusnya Jasmi merasa curiga.
"Aku ingat simbok. Hanya itu." kata Salatun selanjutnya.
"Baunya agak aneh."
Gawat. Jasmi ternyata punya hidung yang peka. Sebuah bau yang amat khas, bau yang amat dikenalinya. Tetapi bau apa ya?
"Sudah beberapa hari ini aku tidak menjemur kasur, baunya ya seperti itu. Wangi ya?" bisa juga Salatun bercanda.
"Agak pesing," Jasmi menimpali sambil tertawa.
"Kemarin aku ngompol yu, tadi siang mau menjemur kasur mendung terus. Aku matikan lampu ya yu."
Salatun yang cemas Jasmi banyak melihat kejanggalan di kamar itu segera meni-up lampu ublik yang melekat di dinding. Jasmi yang tidak terbiasa tidur di kegelapan se-ketika kebingungan.
"Lho Tun, jangan dimatikan." cegah Jasmi tetapi terlambat.
"Supaya bisa tidur. Jika ada nyala lampu, mataku ikut ikutan menyala. Kalau ge-lap baru bisa tidur."
"Aku malah tak bisa tidur. Rasanya tidak bisa bernafas. Nyalakan lagi Tun."
"Ahhhh, kau ini ngrusuhi saja. Kalau mau terang ya tidur di kamarmu sana saja."
Salatun ngotot tidak mau menyalakan lagi lampu ubliknya. Terpaksa Jasmi yang mengalah. Jasmi terpaksa harus keluar dari kamar adiknya itu. Baru di tengah pintu tiba-tiba Jasmi merasakan mual yang akhir-akhir ini dialaminya mengganggu lagi.
"Huuukkkk." Jasmi mau muntah.
Salatun kaget.
"Yu, kau kenapa?" Salatun bertanya.
"Masuk angin yu?"
Jasmi berpegangan daun pintu. Salatun segera membantunya memapah ke kamar-nya.
"Kau kenapa yu, sakit?" tanya Salatun.
"Aku hamil." bisik Jasmi.
Salatun terlonjak. Jawaban itu membuat Salatun menggigil.
Jasmi hamil? Seketika keringat dingin membasahi punggung dan telapak tangan-nya. Salatun tegang dengan perasaan campur aduk. Ada rasa bersalah dan gelisah di hati-nya karena telah tega berkhianat terhadap kakaknya sendiri. Jasmi hamil, di belakang Jasmi Salatun sibuk berbagi birahi dengan kakak iparnya. Apakah tidak keterlaluan na-manya, jika Salatun dan Gimpul meneruskan rencana minggat meninggalkan Jasmi yang sedang hamil? Salatun duduk di bibir pembaringan. Dengan lembut Salatun memijiti lengan kakaknya. Untunglah lampu ublik di kamar itu menyala redup saja. Kalau lampu itu menyala terang, akan terlihat betapa aneh ekspresi wajah Salatun itu.
"Sudah berapa bulan yu?" tanya Salatun.
"Dua bulan." jawab Salatun pendek.
"Kang Gimpul sudah kau beritahu?"
"Belum." jawab Jasmi.
"Kenapa yu?" desak Salatun.
"Entahlah bagaimana sebenarnya perasaanku ini Tun. Aku tidak tahu apakah aku sedang merasa bahagia atau cemas." berkata Jasmi, nadanya datar.
Salatun heran.
Jasmi melanjutkan, "Kalau aku punya anak, pada kenyataannya kang Gimpul se-perti itu. Kang Gimpul belum punya pekerjaan."
Jasmi menatap langit-langit ruang dengan tatapan kosong, seperti tidak bergairah. Salatun termangu. Salatun kemudian menunduk. Rasa bersalahnya kian membuncah. Ji-ka Salatun tetap melanjutkan rencananya dengan Gimpul, dosa macam apa yang bakal di-pikulnya. Jasmi terangsang untuk muntah lagi. Salatun memijiti lehernya lengkap dengan segala kepanikan. Rasanya Salatun tidak tahan dan ingin berteriak sekeras-kerasnya untuk membongkar segala beban yang ada, namun mulutnya terkunci.
Lehernya serasa kelu.
Setelah Jasmi tertidur Salatun kembali ke kamarnya. Gimpul kembali menyelinap ke sana. Dengan segera Gimpul melihat perubahan sikap yang terjadi pada Salatun.
"Ada apa?" tanya Gimpul.
"Yu Jasmi hamil." jawab Salatun pendek.
Gimpul kaget. "Apa kau bilang?" bisiknya.
"Yu Jasmi hamil." Gimpul menggigil.
Jasmi hamil, ternyata itu bukan berita yang membuatnya senang tetapi malah ke-takutan. Hamil itu apa artinya? Hamil itu persiapan seorang wanita untuk menjadi Ibu, Hamil itu persiapan seorang lelaki untuk menjadi ayah. Harus siap menyongsong kehadi-ran makhluk baru bernama bayi. Padahal pada makhluk bernama bayi, Gimpul ngeri se-kali. Takut pada tanggung jawab untuk membesarkannya, takut disebut bapak dan seba-gainya. Gimpul tidak habis mengerti, mengapa banyak sekali suami yang mengaku baha-gia saat mendengar isteri membisikkan untuk pertama kali warta kehamilannya.
Agak lama Gimpul memandangi Salatun.
"Yu Jasmi tadi mual-mual. Yu Jasmi mengatakan kalau itu pertanda kehamilan-nya yang sudah dua bulan." berkata Salatun.
"Jasmi tidak pernah bilang kalau hamil." lirih sekali suara Gimpul.
"Semua angan-angan gombal itu dibubarkan saja kang." tiba-tiba saja Salatun me-lontarkan isi hatinya yang tidak terduga.
Salatun tak bisa menguasai diri. Matanya membasah. Tiba-tiba saja datangnya ke-sadaran itu. Apa yang dijanjikan Gimpul selama ini, semuanya omong kosong belaka. Ti-ba-tiba pula datangnya kesadaran, betapa selama ini dirinya telah dikupluki Gimpul. Sa-latun bahkan harus kehilangan harta yang paling berharga dan dimilikinya, kehormatan-nya. Kehormatan itu telah direnggut oleh lelaki yang tidak berhak sama sekali. Alasan apakah sebenarnya yang harus dipergunakan Salatun untuk mau meladeni kakak iparnya, atau alasan apa yang dipergunakan Gimpul untuk menjamahnya?
Semakin menyadari semua itu, Salatun menggigil. Gimpul merayap mendekat, menyentuh pundaknya. Namun dengan kasar Salatun menepis.
"Pergi."
Kali ini Salatun membentak, dengan volume suara yang sangat keras membuat Gimpul benar-benar ciut nyali dan dengan terbirit-birit keluar dari ruangan itu. Gimpul tahu, kalau diladeni bisa jadi Salatun akan berteriak-teriak lepas kendali dan memba-ngunkan Jasmi. Hingga kemudian terbongkarlah semuanya. Kalau Tanjir dan Jayus tidak terima dan kemudian membantainya, nyali yang mana yang akan digunakan menghadapi keadaan itu?
Gimpul lari terbirit-birit sambil terkencing-kencing dari kamar Salatun, tidak me-lewati pintu yang telah terbuka, tetapi melewati jendela. Demikian gugupnya Gimpul itu sehingga lagi-lagi terjerembab di luar jendela. Tubuhnya terguling-guling menerjang po-hon salak. Padahal salak ada durinya.
Hari-hari berikutnya banyak dihiasi oleh suara muntah muntah. Gimpul berubah pula perangainya. Apabila semula Gimpul banyak omong melayani isterinya, maka kali ini Gimpul lebih banyak diam.
Gimpul sama sekali tidak senang melihat isterinya hamil. Padahal di saat yang de-mikian Jasmi justru banyak membutuhkan perhatian suaminya. Salatun berubah total. Sa-latun tidak mau lagi diajak bicara oleh Gimpul. Salatun juga tak mau diajak bicara oleh Tanjir dan Jayus, juga bapaknya didiamkan. Salatun benar-benar berubah menjadi gadis pemurung dan beringas yang tak peduli apapun dan siapapun.
Yang paling prihatin terhadap perubahan Salatun adalah Jasmi. Namun Salatun ti-dak mau membagi beban pikirannya pada Jasmi.
Pak Kampun? Pak Kampun akhir-akhir ini banyak pergi. Pak Kampun bahkan menjadi pelanggan tetap sebuah losmen yang terletak di tepi laut di kawasan wisata Gra-jagan. Kalau sore hari sulit mencari pak Kampun, maka di hotel itu pasti ditemukan. Ka-lau pak Kampun tetap mengambil jalan seperti itu, setiap hari menginap di hotel, maka kebangkrutan jelas berada di gerbang matanya.
Pada sebuah hari setelah lama ditunggu, orang yang tertarik pada sawah yang di-tawar-tawarkan itu datang. Sawah milik pak Kampun yang ada beberapa hektar itu mes-tinya bisa laku dua ratus juta. Namun pak Mudjikan itu hanya menawar seratus lima pu-luh juta. Pak Kampun yang tahu sawahnya bisa laku pada harga lebih dari harga tersebut bertahan tak menyetujui tawaran. Namun Tanjir dan Jayus yang misuh-misuh membuang segala macam sumpah serapah, membuat pak Kampun bertambah risih dan kehilangan perhitungan bisnis.
Akhirnya diputuskan oleh pak Kampun, seratus lima puluh juta itu disetujui. Na-mun pak Mudjikan meminta waktu beberapa hari lagi untuk melakukan pembayaran.
Hukum alam rupanya masih nimbrung. Salatun mula-mula tidak punya prasangka apa-apa atas dirinya. Namun kemudian, kecemasan yang luar biasa menggelutnya, me-ringkus tubuhnya dengan lekat. Apa masalahnya? Ternyata akhir-akhir ini juga Salatun mual-mual.
Salatun menghitung waktu, ternyata sepekan lamanya tamu bulanan yang mes-tinya hadir mengunjunginya itu tidak datang, ditunggu-tunggu tidak kunjung datang.
"Kau kenapa, Tun?" desak Jasmi yang tidak menyimpan prasangka. "Masuk angin ya?"
Salatun diam, juga ketika Jasmi mengambil uang logam seratus rupiah dan lepek dengan minyak kelapa. Kerokan itu sedikit meredakan keinginan untuk muntah.
"Bagaimana sekarang?" tanya Jasmi.
"Agak kepenak." jawab Salatun yang gegernya sekarang loreng-loreng seperti kulit macan karena kerokan itu.
Salatun yang kalut kembali membaringkan diri serta meminta kakaknya untuk meninggalkan sendiri di kamar itu. Manakala sendiri, Salatun kembali digelut gelisah. Kalau benar dirinya hamil, apalagi dengan tanda-tanda yang begitu jelas lantas bagaima-na cara mengatasinya. Perutnya makin lama akan semakin membesar. Dengan cara baga-imana menyembunyikan perut yang abuh akibat dientup Gimpul itu. Gimpul harus ber-tanggung jawab. Apa boleh buat, Gimpul harus bertanggung jawab. Tidak peduli Gimpul adalah suami dari mbakyunya, tidak peduli mbakyunya tengah hamil. Namun layaknya orang yang berani menghamili maka orang tersebut harus berani pula bertanggung jawab.
Pada sebuah kesempatan.
"Apa?" Gimpul kaget.
"Aku hamil." Salatun mempertegas.
Hal itu membuat Gimpul pias. Bibirnya bergetar-getar panik. Bahwa Jasmi hamil telah membuatnya tidak senang. Sekarang Salatun melapor hamil pula. Bagaimana ini?
"Aku menuntut tanggung jawab." kata Salatun tanpa nada mesra sama sekali. Se-mua ucapannya penuh dengan tekanan dan tegas tanpa memberi kesempatan kepada Gimpul untuk mengelak. Gimpul menunduk, Gimpul segera berfikir. Langkah apa lagi yang harus dilakukan untuk menghindari keadaan ini?
"Kau harus mengawiniku."
Gimpul gugup.
"Waduh Tun, bagaimana mungkin?" Gimpul mencoba mengelak dari tanggung ja-wab.
"Aku tidak peduli entah bagaimana caranya. Pokoknya aku tidak mau hamil se-perti ini. Aku harus punya suami." serang iparnya.
Gimpul menata diri, degup jantungnya masih berlarian.
"Tun," kata Gimpul. "Bukannya aku akan lari dari tanggung jawab, sama sekali ti-dak. Akan tetapi marilah kita berfikir bagaimana caranya aku mengawinimu? Apakah aku harus melamarmu kepada pak Kampun? Jasmi juga sedang hamil."
Salatun benar-benar tidak senang dengan jawaban itu. Tatapan matanya amat si-rik tertuju kakak iparnya. Enak saja dulu ia methingkring memanjat tubuhnya seperti memanjat pohon kelapa. Sekarang setelah hamil, Gimpul akan coba-coba mengelak.
"Kau mau mengawini aku apa tidak?" tanya Salatun tegas.
"Kita harus memecahkan masalah ini Tun. Tenanglah. Mari kita cari jalan peme-cahan yang paling enak."
"Mengawini aku apa tidak? Kalau kau tidak mau mengawini aku, aku akan berte-riak sekarang juga. Aku akan beritahu kang Tanjir kang Jayus dan yu Jasmi." Salatun me-ngancam.
Benar-benar sebuah ancaman yang mengerikan kalau sampai hal itu terjadi.
Ada juga penyesalan di dalam hati Gimpul mengapa dulu melakukan semuanya itu. Sekarang Gimpul harus memetik buah dari perbuatannya. Enak hanya sejenak tidak enaknya sundul telak. Andai saja dulu ia tidak tergoda Salatun, tak mungkin akan seperti ini. Gimpul malah menyalahkan Salatun meski dalam hatinya. “Harusnya waktu itu ia menolak. Ia mau, sekarang setelah akibatnya seperti ini, menuntut tanggung-jawab. Kok enak?”
Gimpul amat gugup bergegas meraih Salatun.
"Kita bicarakan semua ini dengan tenang Salatun. Berbicaranya juga jangan ke-ras-keras nanti kedengaran mbakyumu."
Salatun agak tenang.
"Bagaimana kalau kita lanjutkan rencana kita yang dulu, kita minggat sejauh-ja-uhnya ke suatu tempat di mana tidak akan ada orang yang mengusik kita. Kita minggat ke Surabaya atau ke Jakarta. Di Surabaya atau di Jakarta kita bisa hidup tenang. Pak Kampun tidak akan mungkin menemukan kita. Bagaimana?"
Salatun yang amat pusing memikirkan perutnya yang telah berisi bakal bayi terpa-ku pada pemecahan yang harus diambil untuk mengatasi keadaan yang sangat darurat itu karena sang waktu terus berjalan. Kalau saja sang waktu bisa diajak kompromi untuk berhenti. Atau apabila seperti komputer bisa di-undo.
"Maukah kau melakukan sesuatu sebagi modal cinta kita?" bisik Gimpul.
Melihat Salatun hanya diam, Gimpul kembali menanamkan pengaruh.
"Apa?" tanya Salatun.
Nada suaranya mulai melunak.
"Beberapa hari lagi kalau sawah yang dijual itu sudah jadi uang, kau harus bisa mencurinya. Dengan uang itu kita minggat. Kita tak perlu peduli dengan siapapun. Ba-gaimana?"
Benar-benar sebuah gagasan gila. Salatun melihat hanya itu pemecahan yang se-baik-baiknya. Untuk menutup aib itu memang harus berani minggat. Konsekwensi dari minggat adalah harus tega dan persetan dengan orang lain. Persetan dengan Jasmi, per-setan dengan Tanjir dan Jayus, persetan dengan pak Kampun yang makin lekat dengan Salehak, di mana ada pak Kampun di sana ada Salehak, keduanya nempel terus, melekat seperti perangko. Persetan semuanya juga berarti harus bisa mencuri semua uang hasil penjualan sawah.
Untuk minggat itu butuh modal sebagaimana untuk hidup sehari-hari butuh ma-kan.
Lalu apa sebenarnya gagasan yang bersembunyi di dalam lipatan hati Gimpul itu? Jurus apakah yang harus diambil untuk menghadapi Jasmi dan Salatun yang sama-sama hamil? Bagaimana kalau upaya Salatun menguasai uang penjualan sawah itu tidak ber-hasil? Tidak ada jurus lain kecuali melarikan diri.
Gimpul terlalu takut menghadapi gegeran manakala rahasia kehamilan Salatun terbongkar. Apabila Tanjir dan Jayus menggoroknya, Gimpul ngeri membayangkan itu. Melihat kasar dan beringasnya, tidak mungkin Tanjir dan Jayus tidak menggoroknya. Ndugal macam apapun mereka, bila melihat adiknya dinistakan seperti itu tentu tidak akan terima. Itu artinya, bisa pothol ndhasnya Gimpul.
Gimpul membelai rambut Salatun dengan lembut. Salatun yang merasa beban di dadanya amat sesak berjejal-jejal itu tidak bisa menguasai diri dan segera menjatuhkan diri ke dalam pelukan kakak iparnya itu. Tangisnya terurai, akan tetapi Salatun bersedia meredam isak tangis itu atas permintaan Gimpul.
"Kau bisa melakukan itu? Hanya uang itu yang bisa menyelamatkan kebersamaan kita. Untuk minggat kita butuh ongkos. Sesampai di tempat tujuan kita butuh uang untuk membangun rumah, beli mobil dan biaya hidup sehari-hari. Bagaimana?"
Dalam situasi yang sangat sulit semacam itu masih sempat-sempatnya Gimpul be-rangan-angan soal mobil. Tetapi sebenarnya angan-angan itu logis. Sebab, jika uang pe-njualan sawah itu bisa dikuasai, jelas bisa menyisihkan sebagian untuk beli mobil yang murahan, yang harganya sekitar sepuluh juta.
Mobil apa seharga itu? Yang penting mobil. Kalau perlu nyicil, mula-mula mur dan bautnya, lalu ban, lalu stir, lalu kaca spion. Salatun mencerna alasan itu, mengunyah-kunyah, dirasakan memang benar semua.
Alasan yang dikatakan Gimpul itu benar semuanya. Memang tidak ada pilihan la-in kecuali harus mencuri uang itu. Rencana itu tidak boleh tertunda, semakin hari pe-rutnya akan semakin membesar. Tentunya hanya soal waktu belaka, pada saatnya nanti rahasia tentang perutnya yang telah berisi jabang bayi itu akan terbongkar, bau busuk itu akan menyebar. Salatun tidak bisa membayangkan bagaimana harus menghadapi mbak-yunya. Salatun juga tidak bisa membayangkan, bagaimana cara menyembunyikan wajah-nya.
"Aku harus mencuri uang itu?" tanya Salatun lirih.
Melihat kegamangan Salatun itu, Gimpul merasa perlu mengobral janji.
"Aku akan membawamu ke Surabaya. Atau ke Jakarta. Jakarta kota yang sangat besar. Di tempat macam itu peluang untuk kita akan terbuka amat lebar, asal ada modal. Di samping itu di Jakarta ada tugu Monas, pucuknya terbuat dari emas. Bayangkan Tun, di Jakarta emas hanya dianggap remeh seperti itu. Di sini?"
Benar-benar sebuah bujukan yang sangat menggemparkan dan canggih. Salatun kian larut.
"Jadi bagaimana? kau sanggup?"
"Untukmu, aku akan melakukan apapun kang Gimpul."
Nah. Benar kan? Rayuan Gimpul menjerat sasaran. Untuk Gimpul, Salatun sang-gup melakukan apapun. Padahal rayuan yang digunakan suami Jasmi itu rayuan yang mu-rahan saja.
"Terimakasih Tun, Ai laf yu." Gimpul berbahasa Inggris.
"Mi tu." Balas Salatun sambil berbisik. Maksudnya “Me too.”
"Terima ini dan simpan. Kelak pada saatnya kau bisa menggunakan untuk mem-perlancar operasi."
"Apa ini kang?" Salatun penasaran.
"Pil koplo." jawab Gimpul. "Jika diminum, akan menyebabkan siapa yang memi-numnya akan mengantuk luar biasa, atau istilah tepatnya teler. Jika pak Kampun dan Bu Salehak teler, maka dengan mudah kau bisa mengambil uang itu."
"Apa yang harus aku lakukan dengan obat ini?" tanya Salatun yang masih belum paham.
"Ingat Tun, kalau sawah itu sudah jadi uang, entah bagaimana caranya, bapak dan Ibu tirimu harus meminumnya. Itu kesempatanmu mengambil uang itu. Perkara Tanjir, Jayus dan Jasmi, mereka menjadi bagianku."
Gimpul beranggapan salah satu masalah telah diatasi untuk sementara waktu. Na-mun itu belum berarti Gimpul merasa tenang dan menang. Karena lamat-lamat Gimpul membayangkan malapetaka menghadang. Masalahnya bagaimana Gimpul harus bisa me-nyiasatinya. Jika tidak ada yang luar biasa maka rencananya mungkin akan berjalan de-ngan baik. Tetapi bagaimana jika pak Kampun menyimpan uang itu tidak di bawah bantal, tetapi di bank?
Gimpul resah membayangkan kemungkinan itu.
Gimpul memandang Salatun dengan tatapan mata mesra. Sayang sekali Salatun tak tahu apa yang ada di benak Gimpul tak sama dengan yang tersirat di wajah. Jika Gimpul merasa sebel pada Jasmi yang hamil, maka sebenarnya Gimpul juga sebel terha-dap Salatun yang hamil. Malam itu, setelah Gimpul memberikan kehangatan, Salatun bi-sa tidur dengan tenang.
Setidak-tidaknya, gelisah yang menghantuinya telah memperoleh jalan pemeca-han. Mungkin karena janji-janji yang ditabur Gimpul merupakan obat yang mujarab, Sa-latun tidak mual-mual lagi.
Namun bukan hanya Salatun yang membutuhkan kehangatan.
"Kang Gimpul," kata Jasmi mesra.
Jasmi yang hamil muda sebagaimana para isteri yang hamil muda, ingin dimanja suaminya.
"Apa?" tanya Gimpul datar saja.
"Aku ingin makan bata merah." kata Jasmi.
Gimpul terlonjak.
"Apa?" Gimpul dengan wajah bingungnya.
"Aku ingin makan bata merah."
Gila. Apa-apaan ini? Jasmi ingin makan bata merah?
Bukannya Gimpul tidak bisa memenuhi keinginan isterinya. Bata merah toh ber-serakan di mana-mana. Tetapi makan bata merah? Gimpul menggigil. Gimpul tahu ke-anehan macam itu adalah bagian kehamilan isterinya. Orang hamil memang suka ngidam yang aneh-aneh. Tetapi makan bata merah? Apa tidak keterlaluan?
Gimpul bingung seperti orang tolol. Gimpul melongok bawah tempat tidur dan segera meraih bata merah. Gimpul ngeri membayangkan Jasmi akan mbrakoti bata me-rah itu , Gimpul menyodorkan benda itu pada isterinya.
"Bukan yang ini." kata Jasmi dengan kerling mata manja.
"Kau benar-benar ingin makan bata?" tanya Gimpul.
"Bukan aku, anak kita." jawab Jasmi.
Gimpul menggigil. Baru di dalam perut sudah berulah seperti itu, minta makan bata merah. Lalu bagaimana nanti kalau sudah lahir, apa tidak menjadi monster yang me-nakutkan?
Gimpul tidak tahu semua itu bisa jadi hanya perlambang saja. Mungkin saja to a-naknya nanti lahir laki-laki. Bata merah itu menjadi perlambang kelak anaknya akan jadi tukang batu. Ahli jiwa mengatakan, bakat manusia bisa dideteksi sejak dini, misalnya kalau Ibu hamil ngidam menciumi roda sepeda anaknya akan menjadi tukang becak, atau kalau ngidam mencuci pakaian, kelak anaknya akan menjadi babu.
"Anakmu, ingin makan bata?" desak Gimpul semakin penasaran.
"Ya." jawab Jasmi. "Tetapi bukan batu bata yang itu."
Gimpul mencuatkan alis.
"Lalu?" Gimpul masih penasaran.
"Batu bata di rumah kita yang dulu, di Tegaldlimo Kidul."
Gimpul manggut-manggut. Itulah rupanya yang menjadi salah satu sebab menga-pa Gimpul tidak suka pada perempuan hamil. Perut yang membesar ke depan seperti gen-derang merupakan pemandangan yang tak begitu sedap.
Itu menurut Gimpul.
"Besok aku akan ke sana." jawab Gimpul sambil merebahkan diri.
"Sekarang." kata Jasmi.
Gimpul kaget. Sekarang?
Malam-malam seperti ini minta dicarikan bata merah, bukan sembarang bata me-rah karena harus diambil dari rumah yang dulu ditempatinya di Tegaldlimo Kidul? Jasmi mendorong suaminya yang sudah berbaring.
"Sekarang." desaknya.
Gimpul tambah bingung.
"Aku harus mengambil bata merah ke ke sana sekarang?" desaknya.
"Ini bukan kemauanku kang Gimpul. Ini keinginan anak kita. Dia ingin makan bata merah." jawab Jasmi.
Amit-amit. Kalau Jasmi ngidam ingin makan mangga muda itu lumrah. Yang ini ngidam bata merah. Bata merah itu harus diambil di rumah Tegaldlimo Kidul. Padahal jarak yang harus ditempuh dengan jalan kaki lumayan jauh, apalagi harus lewat sawah. Jarak yang sanggup meretakkan tulang.
"Tunggu apa lagi kang Gimpul? Cepatlah."
"Ya. Ya." jawab Gimpul agak panik.

Related Post



0 komentar:

Posting Komentar

About Me

Powered By Blogger