Pages

Selasa, 02 Agustus 2011

Balada Gimpul 4

Jasmi menebarkan pandangannya ke segenap sudut rumah dan pekarangan. Ru-mah yang ditinggalkannya tidak berubah tetap seperti dulu. Hanya rumput-rumput tum-buh agak liar, maklum tidak ada yang berkesempatan mengurus. Tanjir dan Jayus tentu larut dengan kecewanya hingga tidak peduli dengan rumput.
Jasmi mendadak menekan dada meredakan rasa nyeri karena bayangan simbok-nya tiba-tiba muncul. Jasmi merasa amat berdosa karena beranggapan kematian simbok-nya adalah karena memaksa kawin dengan Gimpul, lelaki yang jelas tidak disukai mbok Kampun.
“Bapak ada?" Jasmi bertanya.
"Ada." Salatun menjawab pendek.
“Bapak tidak sedang pergi, apa tidak ke pasar sapi?”
Jasmi agak heran karena Salatun menggeleng.
"Sejak punya isteri bapak ada di rumah terus. Malah sering di kamar terus."
Rupanya pak Kampun sedang asyik berbulan madu, atau tepatnya lebih memen-tingkan bulan madu daripada pergi ke pasar sapi.
"Kau ya omong-omongan dengan Ibumu?" Jasmi memancing.
Salatun seperti orang yang menahan geli.
"Ibu apa?" jawabnya ketus.
Kehadiran ibu baru memang tidak mungkin menghapus ibu yang lama, yang su-dah amat lekat bau susur dan dubangnya. Yang sudah dihafal bau kecut ketiaknya, yang sudah dihafal warna omelannya, yang sudah jelas kasih dan sayangnya. Kehadiran ibu ba-ru itu bagi Salatun hanya sesuatu yang terasa risih, seperti rasa gatal di dubur, tidak diga-ruk rasanya gatal, mau digaruk tempatnya di situ.
“Ora sudi. Aku tidak pernah menganggapnya sebagai Ibuku. Aku tidak berbicara dengan perempuan itu." Salatun menambah.
Jawaban itu membuat Jasmi merasa senang. Menurut Jasmi, memang seharusnya begitu.
"Bagus sekali Tun. Kita jangan sampai menganggap perempuan murahan itu se-bagai pengganti simbok. Simbok kita hanya satu, dan sudah meninggalkan kita. Jadi ti-dak ada simbok lagi."
Laki-laki kawin lagi setelah ditinggal isteri, rasanya itu hal yang biasa. Pada mu-lanya Jasmi ingin menganggap perkawinan bapaknya yang kedua ini juga sebagai sebuah hal yang biasa, yang tidak ada anehnya. Akan tetapi hubungan emosional yang telah ter-jalin menyebabkan Jasmi tergiring untuk mewakili kecemburuan ibunya yang telah tiada. Meski ibunya tiada, tidak seharusnya dianggap tidak ada.
"Matamu mbendul Tun?" Jasmi melihat ada bekas tangis di wajah adik bungsu-nya.
“Semalam aku ingat simbok.” jawab Salatun. “Rasanya sulit dipercaya simbok sudah pergi meninggalkan kita. Rasanya seperti sedang pergi entah kemana, tetapi tidak pernah kembali."
Jasmi tidak ingin membicarakan hal itu lebih lanjut. Segera diraihnya Salatun dan dipeluknya. Sebenarnyalah kesedihan Salatun adalah kesedihan yang juga dirasakannya. Air mata Salatun menjadi air matanya pula.
“Aku akan menemui bapak." kata Jasmi.
"Kau akan bertengkar dengan bapak karena bapak kawin lagi?"
"Kau lihat saja nanti. Apakah aku akan bertengkar atau tidak." jawab Jasmi.
Jasmi beranjak menuju rumah dan sejenak kemudian telah berada di ruang tamu. Namun demi Tuhan, Jasmi merasa amat asing, seperti berada di rumah orang lain. Jasmi merasa amat canggung. Dinding maupun tembok seperti tidak lagi ramah, tanah tem-patnya berpijak serasa bergoyang.
Tiba-tiba saja pintu tengah terbuka. Salehak yang ber¬maksud masuk ke ruangan itu tertegun. Jasmi memandanginya dengan seksama bahkan penuh selidik. Pantas Tanjir dan Jayus nyaris bacokan memperebutkannya. Pantas pula pak Kampun lupa diri, ternya-ta batur yang bernama Salehak itu memang cantik.
Salehak tersenyum di antara ramah dan canggung, dan kemudian menutup pintu kembali.
Jasmi layak merasa curiga. Ada apa wanita yang secantik itu memilih pak Kam-pun daripada salah seorang dari kedua anaknya. Apa bukan karena harta? Curiganya me-njadi-jadi.
Sejenak kemudian pak Kampun muncul.
"Kamu Jas? Naik apa?" pak Kampun membuka percakapan.
"Naik Ojek." Jasmi menjawab pendek.
"Sudah menerima titipan uang dari bapak untuk rumah tanggamu?"
"Sudah." jawab Jasmi pendek pula.
Tetapi Jasmi tak bermaksud bercerita tentang uang yang telah habis dibakar Gim-pul di meja judi.
Jasmi memandang pak Kampun dengan pandangan yang aneh.
"Kau kenapa?" tanya pak Kampun.
“Bapak kawin lagi?"
Jasmi tidak kuasa menahan lebih lama, langsung berbicara ke persoalan utama.
Pak Kampun manggut-manggut dan tersenyum.
“Bapak belum sempat memberitahu kamu. Maksud bapak nanti saat selamatan bapak memintamu pulang."
Jasmi ingin mendapat jawaban yang lebih tegas.
"Belum genap empat puluh hari kematian simbok, bapak sudah kawin lagi?"
Alasan apa yang akan dipergunakan pak Kampun menghadapi gugatan anak pe-rempuannya itu?
“Bapak kesepian setelah meninggalnya simbokmu, jadi bapak kawin lagi. Seka-rang bapak sudah tidak kesepian lagi. malah ada yang mengurus, dan segala sesuatunya akan berjalan dengan baik. Apakah menurutmu ada hal yang tidak benar jika bapak ka-win lagi?”
Jasmi tak puas dengan jawaban itu.
“Bapak sudah menghitung segala sesuatunya?" desaknya.
"Tentu saja sudah Jas."
"Dan bapak sudah menghitung baru berapa hari yang lampau simbok meninggal?"
Pak Kampun tahu ke arah mana protes anaknya itu.
Kalau dipikir memang tidak patut. Isteri belum lama pergi pak Kampun sudah ke-belet kawin lagi. Seolah kematian isterinya memang diharapkan.
"Memang belum genap empat puluh hari."
Dada Jasmi mengombak, emosinya sedikit terpancing.
"Apa pantas itu pak? Dan apa pantas bapak kawin lagi. Bapak sudah tua."
Pak Kampun telah berusia sekitar enam puluhan tahun. Tepatnya tidak ada yang tahu karena jika ditanya kapan tanggal kelahirannya, pak Kampun tidak bisa menjawab. Akan tetapi kabarnya kelahiran pak Kampun bersamaan dengan meletusnya Gunung Ke-lud dekat Kediri. Dari sana sebenarnya bisa dilacak berapa usia pak Kampun. Yang jelas, usia enam puluh tahun itu sudah tergolong kakek-kakek. Banyak orang seumur itu di-panggil Embah kakung oleh cucunya. Apakah pantas kakek-kakek seperti itu kawin lagi? Apalagi berebut isteri dengan anaknya.
"Memang tidak pantas Jas. Soal belum empat puluh hari simbokmu, bapak sudah minta ijin pada simbokmu. Bapak telah pergi ke kuburan untuk nyekar. Simbokmu sa-ngat maklum kalau aku merasa amat kehilangan dengan kepergiannya. Simbokmu tidak keberatan bapak kawin lagi."
Wah, alasan apa itu? Antik banget? Sudah minta ijin ke kuburan? Bagaimana mbok Kampun bisa tahu dan maklum?
Jasmi melenguh sinis.
“Lantas, soal pantas dan tidak bapak kawin lagi. Namanya bapak ini juga seorang lelaki. Dan lelaki itu kepanggonan nafsu birahi. Lalu ke mana bapak harus menyalurkan Jas?"
Untuk pertanyaan itu Jasmi memang tidak punya jawabnya. Apa kalau sudah ka-kek-kakek tak punya nafsu. Kalau kakek-kakek tak boleh membuang limbah, lantas akan diapakan limbahnya itu? Apa swalayan? Pak Kampun itu orang yang lugu. Swalayan un-tuk urusan itu bagaimana caranya, pak Kampun tidak tahu.
Namun ada hal yang membuat Jasmi risih.
“Apa bapak tidak merasa malu jadi omongan orang se desa? Semua orang di Te-galdlimo dari ujung ke ujung membicarakan bapak."
Rupanya pak Kampun benar-benar tengah bergairah, tubuh boleh tua, namun jiwa harus muda.
Jawabnya,
"Mereka yang berbicara riuh itu sedang iri Jas. Yang muda-muda iri karena kalah bersaing denganku. Pak Kampun yang sudah tua ini, ternyata masih bisa kawin dengan gadis yang masih muda dan cantik kinyis-kinyis. Yang tua-tua juga iri karena aku kalau butuh pijit sewaktu-waktu tidak perlu bingung. Dengan setia Salehak akan memijiti tu-buhku yang sudah renta ini. Bapak sudah tua Jas. Bapak tidak menghendaki apa-apa. Te-tapi bahwa ada yang mau kepada bapak, merawat bapak yang mulai sakit-sakitan ini, Ba-pak sudah matur nuwun."
Ucapan pak Kampun seperti sebuah sindiran yang menyentuh hatinya. Pak Kam-pun memang sudah tua, dan pada galibnya orang kalau sudah tua itu membutuhkan per-lindungan pada yang muda-muda. Anak-anaknya? Mereka sibuk dengan urusannya sendi-ri. Jadi apa salah kalau pak Kampun mencari orang yang bisa memberikan perhatian ke-padanya. Menemani menghabiskan sisa sisa umurnya di saat senja. Seharusnya anak-a-naknya berterimakasih kepada Salehak yang mau berkorban melakukan itu.
"Tetapi cerita yang beredar ngisin-isini pak, memalukan." kata Jasmi.
"Kenapa?" tanya pak Kampun.
“Bapak berebut batur dengan anak-anaknya."
Pak Kampun terdiam.
"Apa kata bapak perihal itu? Banyak orang ngrasani dengan amat riuh, bapak, kang Tanjir dan kang Jayus berebut seorang batur. Dan bapak yang memenangkan pere-butan itu. Bapak tidak malu dengan gunjingan itu?"
Ternyata makhluk bernama malu itu telah terbang entah ke mana. Yang jelas ja-waban pak Kampun tidak kalah slebornya.
"Untuk apa bapak malu? Soal kedua kakakmu itu seperti tidak ada perempuan lain saja" enteng jawabnya.
Jasmi terperangah mendengar jawaban itu.
Tidak disangkanya pak Kampun akan menyediakan jawaban macam itu, sekali¬gus indikasi yang membenarkan terjadinya perebutan trophy bernama Salehak.
Juga indikasi bapaknya lupa diri.
“Bapak bisa saja mengatakan demikian. Tetapi kang Tanjir dan kang Jayus me-ngatakan bapak tidak tahu malu. Belum lagi entah bagaimana lagi kata para tetangga”
Jasmi menatap bapaknya seperti berusaha mengorek isi kalbunya.
"Sudahlah Jasmi. Bapak hanya meminta jangan ada yang salah paham terhadap perkawinan bapak ini. Bapak kawin bukan karena bapak tidak tahu malu tetapi justru ka-rena bapak ini sudah tua. Coba kau pikir, siapa yang ngurusi bapak setelah simbokmu pergi? Siapa yang ngladeni bapak untuk makan dan keperluan yang lain? Jadi apa salah-nya kalau bapak kawin? kau malu bapak kawin lagi Jas?"
Jasmi menyimak. Ada rasa tidak senang terhadap jawaban itu.
"Lagi pula siapa bilang aku telah melupakan simbok¬mu? kau hanya mengukur de-ngan waktu yang hanya empat puluh hari itu? Simbokmu telah memberikan empat orang anak kepadaku. Jadi Bagaimana mungkin bapakmu melupakan. Bapakmu tidak mungkin melupakannya Jas. Kalau sekarang bapak kawin lagi, kebetulan ada yang mau dengan Bapak. Kalau bapak menunda, bisa mrucut Jas."
"Aku justru merasa curiga." Jasmi mulai meningkatkan pembicaraan, lebih me-ngarah pada persoalan yang dibawanya.
"Apa yang kau curigai?" selidik pak Kampun.
"Kok ada gadis yang mau kawin dengan lelaki tua seperti bapak. Tidak mungkin kalau tidak ada maunya. Pasti gadis itu punya pamrih. Tak mungkin tidak."
Pak Kampun mencuatkan alis.
"Salehak punya pamrih?"
Jasmi siap memberikan tekanan yang lebih tajam.
"Pasti dia menyembunyikan sesuatu atau pasti punya maksud tertentu. Kalau ia perempuan waras, ia tidak mungkin mau kawin dengan lelaki yang pantas disebut seba-gai kakeknya. Ia cantik seperti itu."
Pak Kampun yang merasa mengenal Salehak luar dan dalam tentu saja tidak bisa menerima tuduhan itu. Lagi pula pak Kampun pernah berjanji pada Salehak, akan me-njadi orang pertama yang memberikan pengayoman apabila ada pihak yang tidak senang dengan perkawinan mereka. Pendek kata, rawe rawe rantas, malang malang putung.
"Salehak tidak punya pamrih apa-apa kecuali hanya meni¬tipkan awak. Ia anak ke-srakat, hidupnya nelangsa karena sudah tak punya bapak dan Ibu lagi, bahkan sanak dan kadangnya tidak ada yang peduli. Jadi ia menitipkan diri mencari perlindungan, sebalik-nya aku juga menitipkan diriku kepadanya. Dengan mengawininya berarti ada yang me-ngurusku. Jangan kau mencurigai yang tidak betul."
Ada rasa geli bercampur jengkel. Apa yang diucapkan pak Kampun itu bagi Jasmi hanya abang-abang lambe, daripada tidak ada yang diomongkan. Bagi Jasmi, Salehak yang secantik itu hidupnya kesrakat omong kosong. Salehak dengan mental rendahan se-perti itu, hanya dengan jual diri bisa jadi uang. Maka alasan bapaknya itu hanya gombal saja.
"Aku tidak melarang kalau bapak kawin lagi, tetapi ia begitu muda. Ia bahkan pantas kusebut sebagai adikku. Bagaimana aku bisa menyebutnya sebagai simbok? Ba-pak tidak memikir hal itu?" desaknya.
"Ya jangan dipikir." jawab pak Kampun dengan tenang.
“Bapak kebangeten." Jasmi meletup.
Pak Kampun tersenyum.
"Agaknya ada hal lainnya yang membuatmu merasa cemas berlebihan seperti itu Jas. Aku merasa masih ada yang kau sembunyikan, kau tidak mengatakannya dengan blak-blakan. Ada apa? kau mau bicara soal warisan bukan?"
Jasmi kaget dan tertegun. Begitu tajamnyakah panggraita yang dimiliki pak Kampun hingga bisa membaca isi hati orang. Jasmi belum mengucapkan, namun pak Kampun telah mendahului menyebut.
"Ya. Kami mau bicara soal warisan." jawab Jasmi tegas.
Rupanya pembicaraan yang terjadi antara pak Kampun dengan Jasmi ada yang menguping dari luar pintu. Tanpa kulonuwun pintu dibuka, Tanjir dan Jayus langsung nimbrung pada pembicaraan yang berlangsung. Suasana makin hening saja. Anak-anak pak Kampun itu seperti mengadili ayahnya.
"Jadi soal warisan. Benar begitu Njir?"
“Ya. Kami mau membicarakan soal warisan." langsung saja Tanjir menuju ke persoalan utama.
Pandangan matanya menyiratkan rasa tak begitu senang kepada pak Kampun. Ja-yus tak kalah sangar. Kakak beradik yang semula bengkerengan seperti anjing dan kucing itu ternyata bisa akur menghadapi bapaknya.
"Maunya bagaimana?" tanya pak Kampun kurang begitu senang.
"Sudah waktunya bapak membagi warisan. Aku butuh modal bekerja, demikian juga dengan Jayus."
Pak Kampun kurang begitu berkenan pada cara Tanjir meminta warisan itu.
"Simbokmu belum empat puluh hari kalian sudah mulai bertengkar soal warisan."
Bicara soal simboknya yang belum genap empat puluh hari meninggal, tentu saja menjadi bumerang yang menerjang pak Kampun sendiri.
“Mbok ngaca di depan cermin. Belum empat puluh hari bapak kawin lagi." Se-rang Jayus.
Pak Kampun glagepan.
"Waaaah, itu soal lain." pak Kampun dengan alasannya.
"Pokoknya kami ingin, agar warisan segera diserahkan pada kami."
Pada kondisi yang lumrah, orang tua dengan senang hati serta penuh kebahagiaan akan memberikan bekal kepada anak-anaknya berupa warisan yang mungkin berujut tanah pekarangan atau sawah, juga ilmu. Dengan bekal yang diberikan itu diharapkan bi-sa dijadikan modal atau bekal hidup sang anak dalam mengarungi kehidupan yang masih panjang dan penuh tantangan. Pada sebuah kondisi, orang tua akan sampai pada tahapan di mana orang tua seperti tidak peduli lagi dengan diri sendiri, yang penting bagaimana dengan anak. Kesedihan anak adalah kesedihan orang tuanya.
Akan tetapi pada pak Kampun, ada faktor siluman yang ikut berbicara. Sebagai o-rang tua yang merasa berhak dihormati anak-anaknya, pak Kampun kurang begitu senang pada cara Tanjir dan Jayus meminta warisan. Lebih dari itu ada rasa cemas di hati pak Kampun pada tanggung-jawab anak-anaknya terhadap warisan yang dibagi-bagi itu. Bisa-bisa ludes untuk banting kartu. Utamanya Tanjir dan Jayus yang bisa lupa diri dan betah melek dua hari dua malam saat membanting kartu. Uang jutaan bisa hanya bernilai kertas belaka.
Situasi yang sulit itu menyudutkan pak Kampun.
“Bapak tak mungkin ingkar. Bapak mencari kekayaan, mengum¬pulkan sawah dari membeli di sana-sini itu untuk bekal kalian semua. Tetapi, bapak merasa saat ini wak-tunya kurang tepat."
Pak Kampun siap mengurai alasan, Jayus lebih dulu membrondongnya,
"Kenapa waktunya kurang tepat? Menunggu bapak semakin terlena pada isteri ba-pak itu, dan kami hanya akan mengais sisa-sisanya?"
Pak Kampun merasa gerah dan kurang senang. Pak Kampun berusaha menyabar-kan diri.
“Masalahnya bapak masih mencemaskan kebiasaanmu gemar berjudi itu. Kalau warisan kuberikan sekarang, akan habis dipermainan gembrek dan sebagainya itu."
"Itu hanya alasan yang dicari-cari." Tanjir menyergap.
"Pokoknya harus diselesaikan sekarang. Kalau bapak mati sewaktu-waktu tidak a-kan menimbulkan persoalan" tambah Jayus.
Jasmi tersentak, pak Kampun juga kaget. Astaghfirullahaladzim, tega nian Jayus mengucapkan semuanya itu. Kalimat yang kasar untuk diucapkan anak kepada orang tu-anya. Sangat tak patut dan berbobot kuwalat.
Pak Kampun terdiam. Namun meski jantungnya gronjalan pak Kampun harus mengakui, apa yang dikatakan Tanjir itu ada benarnya. Kematian bisa datang sewaktu-waktu dan menimpa siapapun, apalagi pak Kampun sudah tua. Semakin tua tentu sema-kin dekat dengan garis finish kematian. Kalau kematian mendadak menjemput padahal masih ada urusan duniawi yang harus diselesaikan, waaaaah.
“Pokoknya aku menghendaki, warisan segera dibagi." ucapan Jayus selanjutnya terasa lebih brangasan.
Tanjir rupanya benar-benar sakit hati melihat pak Kampun merenggut mimpinya mengawini Salehak.
"Warisan dibagikan, Lha bapak sendiri?" tanya pak Kampun.
Jayus muncrat sinisnya.
"Nah benar kan? bapak akhirnya bertanya begitu, artinya bapak juga bertanya ba-gaimana dengan Salehak? Secuilpun harta tak boleh ada yang diberikan kepada Salehak."
Pak Kampun yang barangkali telah menjanjikan sesuatu kepada isteri barunya itu, tentu tidak bisa menerima rambu-rambu yang dibuat Jayus. Sebagai isteri, Salehak tentu berhak atas sebagian warisan.
"Ya tidak bisa. Salehak itu isteriku. Ia berhak mendapat warisan dari suaminya. Bahkan jika kalian mau menang-menangan, semisal bapak akan mewariskan semuanya kepada Salehak kalian mau apa?"
Gawat. Pak Kampun tak membaca tingkat emosi yang memanas pada anak mba-repnya.
"Apa?"
Tanjir dan Jayus terlonjak bersamaan.
“Bapak akan mewariskan semua harta kepada Salehak semua? Begitu mau ba-pak? Kalau kubunuh Salehak itu bapak akan dapat apa? bapak akan ngeloni bangkai-nya?" kata Tanjir kasar sekali.
Pak Kampun sedih melihat anak-anaknya sudah deksura, berani kurang ajar kepa-da orangtua. Pak Kampun merasa ulu hatinya nyeri dan serasa teriris sembilu. Jasmi me-nunduk, rasa iba kepada ayahnya mekar.
"Yang bapak ucapkan tadi hanya perumpamaan bahwa bapak harus bertindak adil , bertindak adil jangan sampai ada yang dirugikan termasuk juga Salehak. Karena se-muanya mempunyai hak. Kalian berempat mempunyai hak karena kalian adalah anak-anakku. Salehak juga punya hak karena isteriku."
"Kalau Salehak ikut-ikutan terima warisan, dia akan kubunuh." Tanjir mengobral ancaman yang nggegirisi.
Ancaman Tanjir itu rupanya bukan ancaman kosong. Tanjir keluar dari ruangan itu disusul Jayus.
Suasana menjadi sangat hening.
Pak Kampun kemudian berubah menjadi patung batu duduk termangu tidak pu-nya kekuatan untuk berbicara lagi. Juga ketika Jasmi berpamitan pulang pak Kampun ha-nya melirik. Anggukan kepalanya lunglai sekali.
"Aku pulang Tun" Jasmi pamitan pada Salatun.
"Aku ikut yu" kata Salatun yang tak betah berada di rumah.
"Jangan Tun. Kau harus berkorban. Kaulah penyejuk rumah ini. Kalau kau pergi, kasihan bapak”
"Apa benar aku sebagai penyejuk hati bapak?" Salatun merasa tidak yakin. "Bu-kankah ada Salehak yang menyita perhatiannya?"
Sepanjang perjalanan pulang naik ojek Jasmi banyak berfikir. Segala macam ke-kisruhan yang terjadi pada awalnya berasal dari dirinya. Kalau saja Jasmi tidak ngotot ka-win dengan Iwan “Gimpul” Marjuni, maka barangkali simboknya akan berumur panjang, dan dengan demikian tidak perlu hadir sumber kekisruhan, pihak lain yang bernama Sa-lehak itu. Jasmi lupa, bahwa di belakang semua itu ada dalang yang mengatur jalannya kehidupan, siapa lagi kalau bukan Sang Maha Dalang.
Jujur Jasmi mengakui, Jasmilah pemicu dari segala kekisruhan yang terjadi. Pe-ngakuan itu membuat dadanya terasa nyeri oleh penyesalan. Namun apa bisa dikata, nasi telah menjadi bubur.
Sesampai di rumah kontrakannya yang amat sederhana Jasmi dibuat heran oleh perubahan suaminya.
"Kau kecapekan Jas?" tanya Gimpul.
"Bukan hanya badanku yang pegel semua kang, tetapi juga isi dadaku. Jiwaku le-tih." jawab Jasmi sambil menjatuhkan diri di kursi.
"Soal apa yang terjadi di rumah itu nanti saja Jas, Ceritanya nanti saja, Sekarang mari aku pijiti awakmu. Bagian mana yang pegal?"
Tentu saja Jasmi gembira melihat suaminya begitu sayang dan penuh perhatian seperti itu. Apalagi ketika Jasmi menebarkan pandang ke segenap sudut dan ruang.
"Waaaah, rumah jadi bersih kang?" mata Jasmi berbinar-binar.
"Soalnya dari tadi aku resik-resik. Biar sedap dipandang."
Jasmi tentu saja senang. Tetapi siapa tahu Gimpul melakukan semua itu karena ada maunya.
"O ya, kau mau makan?"
"Makan?" Jasmi kaget.
Gimpul memberi senyum sumringah.
"Aku sudah mengira kalau kau akan pulang sore, jadi aku masak sore. Sekarang baru saja matang. Kita makan ya Jas? Kali ini, biarlah aku yang ngladeni kamu."
"Boleh," Jasmi senang dimanjakan seperti itu.
Gimpul memanjakan isterinya membuat Jasmi merasa heran namun juga bahagia. Dalam pandangan mata Jasmi suaminya telah berubah sikapnya. Bahkan Jasmi belum bercerita apa-apa ketika Gimpul kemudian menyeretnya ke kamar. Seolah cerita apapun tidak penting dibandingkan kebutuhan mereka akan olah as¬mara.
Gimpul rupanya dengan sepenuh hati menggiring isterinya agar mau bercerita hasil rembukan soal warisan tanpa harus memancingnya.
"Kau tidak ingin dengar cerita yang kubawa pulang dari rumah kang?" Justru Jas-mi yang terpancing ingin bercerita.
"Tidak usah. Aku tak ingin mendengar apapun." jawab Gimpul.
"Aku yang justru ingin bercerita, dengarkan."
"Baik, bagaimana?" Gimpul menempatkan diri dengan baik.
Tentu saja Gimpul tak ingin ada sekalimatpun dari cerita isterinya yang lolos dari telinganya.
“Bapak tidak punya pilihan, akhirnya harus menyetujui tuntutan anak-anaknya bahwa warisan harus segera dibagi. Mungkin aku akan mendapatkan petak tanah sebelah kiri, juga seperempat bagian dari seluruh sawah."
Sebenarnya belum ada pembicaraan seperti itu. Akan tetapi Jasmi telah memper-kirakan bapaknya nanti memang dengan terpaksa akan membagikan semua kekayaan. Dan Jasmi membayangkan pekarangan yang sebelah mana yang akan didapat, atau sawah sebelah mana yang akan diberikan kepada dirinya.
Angan-angan macam itulah yang didulangkan kepada suaminya.
"Dibagi berupa tanah?" Gimpul heran terhadap cara pembagian yang seperti itu.
"Ya." Jasmi menjawab.
“Waaah, mana bisa adil itu Jas?"
Jasmi yang kemudian merasa heran.
"Kalau begitu caranya, nanti akan timbul kisruh lagi. Akan geger lagi."
"Kok bisa?" desak Jasmi.
"Nilai tanah berlainan. Tanah yang letaknya di tepi jalan tentu harganya lebih ma-hal jika dibanding dengan tanah yang letaknya agak ke dalam, jauh dari jalan."
Jasmi manggut-manggut, bisa menerima alasan itu.
"Kalau menurut kang Gimpul, bagaimana cara membagi yang seadil-adilnya?"
"Kalaupun dibagi berupa tanah, harus dinilai dengan adil, berapa harga tanah yang jauh dari jalan dan berapa harga tanah yang dekat dengan jalan. Sama-sama seluas satu hektar, kalau di tepi jalan, harganya bisa dua kali lipat harga yang jauh dari jalan."
Benar juga, pikir Jasmi.
"Kalau menurutku, ada cara yang lebih adil." Gimpul melanjutkan,
"Bagaimana?" tanya Jasmi.
"Semua warisan itu diuangkan, kalau sudah berupa uang, baru dibagi. Semua mendapat bagian yang sama. Jika dibagi berupa tanah, repot Jas. Usulkan saja supaya semuanya dijual dan dibagi berupa uang. Dengan uang, kau bisa membeli tanah lagi yang harganya lebih murah. Dengan sendirinya kau mungkin akan mempunyai tanah pekara-ngan atau mungkin sawah yang lebih luas."
Sebuah saran yang menarik. Jasmi diam merenungkan hal itu.
"Pendapatku masuk akal apa tidak?" desak Gimpul.
"Masuk akal." jawab Jasmi.
"Sampaikan itu pada kang Tanjir dan Jayus, atau sampaikan kepada ayahmu."
Namun Jasmi ragu.
"Apa gagasan macam ini akan bisa diterima?" tanyanya.
"Kalau berupa tanah Jas, kau bakal diakali oleh kedua kakakmu yang nampaknya serakah itu. Tetapi kalau sudah berupa uang dan uangnya kamu pegang, mereka bisa a-pa?"
"Uang bisa hilang." bantah Jasmi.
"Siapa bilang uang bisa hilang. Itu kalau kau menyimpan duit itu di bawah kasur. Bodoh sekali kalau mempunyai duit banyak disimpan di rumah. Ketahuan maling bisa di-curi, ketahuan rampok bisa digarong. Duit banyak itu supaya aman disimpan di bank. Masuk akal apa tidak?"
"Ya."
"Nah, menurut hematku, perlu kau sampaikan gagasan itu kepada pak Kampun. Atau lebih bagus lagi kalau kau sampaikan pada Tanjir dan Jayus. Mereka tentu senang kalau tanah warisan itu dibagi berupa uang. Uang itu luwes Jas, dibentuk apa saja bisa.”
"Dibuang dalam sekejab di meja judi juga bisa." Jasmi memberi gong.
"Orang yang menghabiskan uang sebanyak itu di meja judi tentu orang yang bo-doh. Ingat Jasmi, jangan sampaikan pada siapa¬pun gagasan cerdas itu datangnya dari diri-ku, nanti bisa salah paham semua”
Banyak hal yang kemudian terjadi. Akhirnya Gagasan cerdas itu oleh Jasmi di-sampaikan pada Tanjir dan Jayus. Kakak beradik itu menelan mentah-mentah tanpa per-timbangan lagi. Uang memang luwes digunakan apapun. Ditekuk macam apapun gam-pang, dijadikan motor atau beras juga gampang.
Beberapa hari kemudian, Jasmi dan Gimpul boyongan. Kali ini mereka lakukan karena sudah mendapat jaminan tidak akan diusir oleh Tanjir dan Jayus lagi. Beberapa tetangga menjadikan kepulangan Jasmi dan suaminya sebagai santapan empuk untuk bergunjing sebagaimana mereka riuh ngrumpi manakala pak Kampun yang tua itu meng-gaet babunya sendiri.
Sebenarnya pak Kampun akan membagi warisan itu berujud tanah apa adanya. Sawah dipecah-pecah dan didaftarkan ke Notaris, bagian mana yang punya Tanjir, bagian mana yang punya Jayus, Jasmi maupun Salatun. Namun Tanjir dan Jayus yang adakala-nya harus dengan menggertak dan mengancam, bersikukuh supaya semua dijual. Pemba-gian warisan harus berujut uang.
Tetapi menjual sawah tentu saja tidak seperti menjual tempe tahu atau mur-baut sepeda. Tidak seketika laku. Butuh beberapa hari dan bahkan bulan untuk menawarkan-nya ke mana-mana, pada orang-orang yang punya duit dan bermaksud beli sawah.
Keluarga pak Kampun itupun menjadi keluarga yang janggal. Salehak jarang ke-luar dari kamar karena takut pada Tanjir dan Jayus. Akan halnya Jasmi kalau berpapasan dengannya lebih suka menghindar atau membuang pandang. Berbicara cukup seperlunya saja. Untuk menyebut isteri bapaknya dengan panggilan simbok, amat canggung. Jadi ti-dak pernah memanggil atau menyebut nama.
Akan halnya Salatun, gadis itu senang Mbakyunya kembali. Salatun menganggap Jasmi itu sebagai figur yang menggantikan simboknya yang telah tidak ada. Mening-galnya mbok Kampun menyebabkan Salatun tidak mau sekolah lagi. Bagi Salatun seko-lah tidak ada guna dan manfaatnya lagi. Namun bila ditelusuri, Salatun telah kehilangan semangatnya, gairahnya lenyap bersamaan dengan kepergian simboknya. Dengan demi-kian cita-cita pak Kampun mempunyai anak sarjana, setidaknya lulusan IKIP seperti yang diangankan, keinginan itu tidak akan menjadi kenyataan.
Di sebuah sore.
"Mau ke mana Tun?" tanya Jasmi.
"Aku akan menjenguk simbok yu." jawab adiknya.
Tentu saja yang dimaksud Salatun adalah pergi ke kuburan, di mana mbok Kam-pun disemayamkan. Untuk hal tersebut Salatun telah menyiapkan kembang kenanga, ma-war dan melati yang dimasuk¬kan ke dalam toples kaca diisi air. Disiram dengan air dan kembang seperti itu, simboknya tentu akan senang.
"Tidak ikut yu? aku membawa bunga cukup banyak." pinta Salatun.
"Badanku kotor semua Tun. Kau berangkat saja sendiri."
Salatun memang melihat tubuh Jasmi kotor. Seharian Jasmi seperti orang yang gi-la bekerja dengan membersihkan halaman rumah dari rumput. Naifnya, Gimpul hanya memandang saja apa yang dikerjakan isterinya dari kejauhan. Gimpul gundah karena ho-binya mengocok kartu tidak mendapat penyaluran.
"Baik yu." Salatun berangkat sendiri.
Entah apa sebenarnya yang ada dalam benak Gimpul, ada sesuatu yang mekar di kepalanya setiap melihat adik iparnya. Bagaimana rasanya kalau adik ipar itu dicicipi? Itulah pikiran ngeres yang ada di dalam kepalanya yang berisi segala macam biang ke-bejadan.
"Ke mana adikmu itu?" tanya Gimpul.
"Ke kuburan, kangen pada simbok." Jasmi menjawab tanpa prasangka.
Gimpul manggut-manggut.
"Aku perlu mengingatkan kamu Jas sebaiknya kau juga ke kuburan. Doakan sim-bokmu, sekaligus minta pada simbokmu, supaya jalan hidupmu lancar dan murah rejeki. Minta pada simbokmu supaya dilindungi dan cepat kaya."
Jasmi tersenyum.
"Mendoakan orang yang sudah mati itu memang benar kang. Apalagi anak men-doakan orang tuanya, itu wajib hukumnya. Tetapi kalau minta doa justru kepada orang sudah mati, musrik namanya."
Waah, pendapat apa pula ini? Gimpul membutuhkan waktu beberapa kejab untuk merenungkan. Gimpul yang agamanya cethek tentu saja bingung mencernanya.
"Orang mati tidak bisa memberi apa-apa kang." Jasmi menerangkan.
Setelah menangkap apa maksudnya Gimpul manggut-manggut.
"Apapun pendapatmu itu, tidak ada salahnya kalau kau ke kubu¬ran."
"Besok sore saja, sekarang aku sedang sibuk” Jasmi menjawab sambil mengibas-kan pakaiannya yang berlepotan tanah.
Keningnya penuh keringat menambah kecantikannya.
"Besok aku temani. Aku pinjam bendonya itu Jas."
"Untuk apa?"
"Aku mau cari bambu, kandang ayam itu nampaknya perlu diperbaiki."
Jasmi tersenyum senang. Bahwa Gimpul mulai belajar menyesuaikan diri dengan keluarga pak Kampun itu membuat Jasmi merasa senang.
"Apa kau bisa? Cara pegang bendo yang benar saja kau tidak bisa kok mau mem-betulkan kandang." ledek Jasmi.
"Ahh lihat saja nanti. Tak ada salahnya kan kalau menco¬ba?"
Dengan bendo di tangan Gimpul memang pergi ke pekarangan. Jasmi memanda-ngi suaminya yang benar-benar memotong bambu. Namun sejenak kemudian tidak ada seorangpun yang melihat Gimpul menyelinap entah pergi ke mana.
Yang jelas pada saat Salatun sampai di kuburan, Salatun kaget melihat seseorang berada di sana.
"Kok kau berada di sini kang Gimpul?" tanya Salatun dengan nada senang.
Gimpul pura-pura masih kaget.
"Kau sendiri? kau kok juga berada di sini Tun?" Gimpul mengumbar ekspresi ke-heranan.
"Aku mau nyekar simbok. Kang Gimpul sendiri mau apa?"
Gimpul menyeringai. Seringai kakak ipar pada adik ipar.
"Sama, tetapi sejak tadi aku kebingungan, sebelah mana kuburannya."
"Kang Gimpul akan nyekar simbok?" Jasmi kaget.
"Ya. Apa ada yang salah?" jawab Gimpul.
"Apa yang mendorong kang Gimpul nyekar simbok?"
Gimbul duduk di atas salah satu kuburan. Sayang sekali Gimpul tidak tahu tata-cara berada di kuburan. Bahwa yang mati dan dikubur di tempat itu adalah manusia, ha-rusnya juga dihormati. Mentang-mentang sudah mati lalu diduduki seenaknya. Kalau ke-sambet tahu rasa.
"Perkawinanku dengan mbakyumu belum mendapat restu dari simbok. Lagi pula, aku menganggap simbokmu seperti orang tuaku sendiri. Jadi apa salahnya Tun?"
Sebuah jawaban yang menyenangkan. Tidak disangka oleh Salatun di kuburan itu ia bertemu dengan Gimpul yang bermaksud kirim doa.
"Bawa kembang setaman kang?" tanya Salatun.
Gimpul tentu tidak membawa kembang.
"Yang penting itu kan niatnya, bukan kembangnya Tun. Sebelah mana kuburan simbok?"
Salatun bertambah senang hatinya karena Gimpul menyebut simbok bukan Sim-bokmu. Jika simbokmu berarti masih belum menjadi simboknya Gimpul, masih menjadi orang lain.
"Itu, kuburan simbok yang sebelah sana." jawabnya.
"Ayo." ajak Gimpul sambil mengulurkan tangan.
Salatun tersadar, ada yang tidak patut dilakukan kakak iparnya itu.
"Jangan pegang tanganku kang,"
Gimpul tersenyum.
"Kau adikku, apa salahnya aku tuntun?"
Gimpul tidak melepaskan genggaman tangannya.
Pada akhir¬nya Salatun tak mempersoalkan lagi genggaman tangan itu.
"Sebelah mana kuburan simbok?"
"Itu yang di sana."
Tiba-tiba saja Gimpul berhenti melangkah. Pandangannya tertuju pada sebuah a-rah.
"Ada ular." bisiknya.
Salatun kaget. Tangannya berpegangan lebih kencang. Dan tentu saja Gimpul me-manfaatkan kesempatan itu untuk memeluk pinggang.
"Mana ularnya?" desis Salatun yang amat cemas.
"Kau lihat itu, melingkar itu apa bukan ular?"
Memang benar ular yang cukup besar, melingkar melilit salah satu batu nisan.
"Ya Allah, kang." Salatun makin cemas.
Namun sebenarnya ular itu hanya diam. Mungkin sedang tidur.
"Jangan khawatir Tun, aku akan melindungimu." Gimpul berbisik dekat sekali de-ngan telinga.
Dengan adanya ular itu Gimpul memang untung besar. Salatun yang takut diam saja dipeluknya. Salatun bahkan tidak sadar disaat dicium keningnya. Salatun mengira, barangkali semua yang dilakukan Gimpul itu masih dalam rangka melindunginya dari ular.
Gimpul menyeringaikan diri. Mungkin ular itu telah disogoknya atau Gimpul ada-lah penjilmaan dari ular itu sendiri. Ya siapa yang tahu.
"Ular itu, tidak akan mengganggu kita kang?"
"Tidak. Ular itu kekenyangan. Ia tidak akan mengganggu kecuali kalau diganggu. Baginya manusia itu seperti saudara tuanya, kalau berpapasan dengan manusia, ular lebih senang pergi daripada meng¬ganggu. Tenang saja."
"Untung aku bertemu dengan kang Gimpul."
Gimpul menjawab dengan senyum. “Untung ada ular” berkata Gimpul dalam hati.
"Sekarang berdoalah."
"Jaga aku ya kang."
"Jangan khawatir, kau kujaga."
Dengan khusuk Salatun berdoa. Salatun yang merasa sangat kehilangan dengan kepergian simboknya itu bahkan sampai menitikkan air mata. Gimpul dengan penuh ke-sabaran menunggu. Namun Salatun semakin larut, membuat Gimpul bagai tidak sabar. Waktu terlalu lama lewat. Kalau dibiarkan Salatun bisa tertidur dan bangun esok pagi-nya.
Manakala Gimpul menyentuh pundaknya Salatun terkejut dan tersadar. Matanya berkaca-kaca, basah air mata.
"Hari makin sore Tun, kita harus segera pulang."
Salatun memandangi kuburan simboknya.
"Kasihan simbok." katanya nyaris berbisik.
"Simbokmu justru telah berbebas dari segala keruwetan duniawi Tun. Simbokmu sudah berada di alam langgeng, di sana tenang dan damai. Justru karena itu jangan kau menangis lagi. Tangismu hanya akan menyebabkan perjalanan simbokmu seperti tersen-dat, ibarat langkah kaki yang kesrimpet."
Nasehat yang menyejukkan.
Salatun bisa menerima nasehat itu. Memang tak seharusnya menangisi orang yang telah pergi menghadap Illahi. Perjalanannya bisa tersendat karena masih digondeli oleh kerabat yang tertinggal.
"Rasanya seperti baru kemarin, rasanya simbok masih hidup. Tetapi sebenarnya simbok sudah tidak ada. Bagaikan mimpi saja kang Gimpul." isak gadis itu.
"Kau harus mengikhlaskan simbokmu Tun. Ayo,"
“Mbok, aku pulang ya mbok." Salatun mohon diri.
"Ya" jawab Gimpul sambil menggandeng lengan Salatun.
Dasar Gimpul play boy. Gimpul tidak seke¬dar menuntun namun juga mengusap lembut tangan adik iparnya itu. Gawatnya, Salatun hanya diam. Gimpul mengartikan hal itu sebagai pertanda tertentu. Sebagai seorang lelaki yang berpengalaman Gimpul sangat tahu, kalau dilanjutkan Salatun tak akan menolak. Gawat.
"Mengapa berhenti?" bertanya Salatun saat mereka akan keluar dari wilayah ku-buran yang penuh dengan bau wangi bunga semboja. Bunga khas kuburan.
"Ular tadi sudah pergi Tun." jawab Gimpul sambil memperhatikan di mana tadi ular besar itu berada.
"Aku tak melihatnya lagi. Ke mana dia kang?"
Ular yang semula melilit batu nisan itu sudah tidak ada. Mung¬kin karena tugasnya membantu gimpul sudah selesai dia pergi.
"Ada yang bilang, bertemu dengan ular atau burung gagak, katanya merupakan perlambang yang kurang bagus. Apakah menurutmu juga benar begitu kang?" tanya Sa-latun.
"Siapa yang bilang?" Gimpul membalas.
"Orang-orang tua percaya hal seperti itu."
"Aku tak percaya." jawab Gimpul pendek. "Tempat ini sepi ya?"
"Namanya juga kuburan." kata Salatun.
Kalau saja tempat yang sepi itu bisa dimanfaatkan.
"Kalau malam, tempat ini berubah menjadi tempat yang menakutkan. Ehhhh, ta-nganmu halus sekali Tun."
Kalimat yang tiba-tiba berubah arah itu membuat Salatun bingung. Apa maunya?
"Aku mengatakan yang sebenarnya Tun. Kulitmu memang halus. Aku tidak ber-maksud memuji tetapi mengatakan keadaan yang sesungguhnya. Kau pandai merawat diri Tun. Tetapi kalau kau sering turun ke sawah dan ikut bercocok-tanam, maka tangan-mu akan menja¬di gelap. Seperti tanganku ini misalnya. Boleh aku mencium jemarimu Tun?"
Salatun kian bingung. Laki-laki yang di depannya itu Gimpul, kakak iparnya. Apa pantas ia mengijinkan. Sayang sekali Salatun tidak ingat mbok Rikin. Kalau saja baya-ngan mbok Rikin muncul selintas saja, Salatun pasti akan menepis tangan kurang ajar itu.
"Boleh bukan? aku sama sekali tak menyimpan maksud kasar atau nakal. Aku ha-nya penasaran dengan tanganmu yang begini halus. Boleh aku mencium tanganmu?"
Kurang ajar. Gimpul benar-benar tahu kalau telapak tangan meru¬pakan anggauta badan yang peka. Salatun mrinding ketika Gimpul menciumnya. Salatun hanya bisa ge-metar ketika Gimpul tidak sekedar mencium tangannya tetapi juga mencium pipinya. Sa-latun terkejut dan hanya bisa terkunci otaknya ketika Gimpul kemudian mencium bibir-nya. Itu pengalaman pertama bagi Salatun. Pengalaman yang tidak akan terlupakan. Sa-latun hanya menunduk.
Begitu rapi Gimpul menyembunyikan senyumnya, senyum lelaki yang merasa berhasil mempedaya seorang gadis, menempatkan dalam genggaman. Salatun menunduk, malu sekali. Malu karena tadi telah melayani ciuman itu, membalasnya dengan amat bergairah.
"Kau belum pernah dicium lelaki Tun?" tanya Gimpul.
Salatun tak menjawab, namun kemudian menggeleng.
"Betul?" desak Gimpul.
"Belum." jawabnya seperti berbisik.
"Jadi, aku orang pertama yang menciummu?" desak Gimpul.
"Ya."
Gimpul tersenyum senang. Salatun kembali diraih dan dipeluk dengan lekat. Ba-rangkali saja arwah mbok Kampun terbelalak menyaksikan adegan itu. Dulu Jasmi, apa sekarang giliran adiknya yang akan menjadi korban?
Kurang-ajarnya lagi hal itu dilakukan di kuburan. Alamak.
"Terimakasih. Ini merupakan kebanggaan bagiku. Kebanggaan yang tak terkira."
"Aku takut," Salatun tak bisa menutupi rasa cemasnya.
"Jangan takut Tun, kita harus menyimpan rapat-rapat rahasia ini. Kita menyim-pannya sebagai rahasia kita berdua. Jangan sampai bocor."
Salatun mengangguk.
Bagaimanapun, apa yang dilakukan Gimpul kepadanya, meski hanya sebuah ci-uman meninggalkan gemuruh yang luar biasa di dada Salatun yang seumur-umur belum pernah mengalami hal itu kecuali hanya membayangkan saja di saat tergolek sendiri di tempat tidur atau di saat melamun.
Gadis anak bungsu pak Kampun itu gelisah dan kebingungan. Salatun tidak ba-nyak bicara ketika sampai di rumah. Salatun langsung masuk ke dalam kamar dan me-ngunci diri.
Akan halnya Iwan “Gimpul” Marjuni, serigala berbulu domba itu mulai menyu-sun rencana dengan rapi. Di depannya ada seekor kelinci kecil yang siap untuk disantap. Hanya dengan sedikit ketelatenan, Salatun pasti bakal menjadi korbannya yang ke sekian kalinya.
Malam turun dengan mendung sangat tebal, suara petir beberapa kali terdengar. Bulan lenyap entah ke mana. Dingin musim bediding serasa mulai menusuk tulang. Se-tiap pagi minyak klentik selalu membeku oleh bediding itu.
"Apa yang kau lamunkan Jas?" Gimpul merasa heran melihat isterinya melamun.
Jasmi resah.
"Sedang memikir apa?" desak Gimpul.
"Suasana rumah ini sudah seperti neraka."
"Kenapa?" tanya Gimpul.
"Apakah kau menganggap keadaan ini tidak seperti berada di neraka kang?"
Memang seperti berada di neraka. Gimpul mengetahui itu. Akan tetapi demi sebu-ah rencana yang sangat penting dan tidak boleh gagal, Gimpul bertahan sekuat-kuatnya. Panas neraka macam apapun harus dihadapi.
"Aku masih menganggapnya sebagai keadaan yang wajar. Kalau kau mengang-gapnya sebagai berada di neraka, pendapat orang memang berbeda. Rambut kepala sama hitamnya, tetapi isi kepala tak pernah sama."
“Bapak mendiamkan aku." Jasmi berkata datar.
Gimpul kaget.
"Kenapa?" tanya Gimpul heran.
Tadi siang pak Kampun masih mau berbincang dengan Jasmi, sekarang sudah ti-dak mau lagi. Ada apa?
“Bapak marah karena tadi aku nylathu isterinya. Gara-garanya aku lihat kalung milik simbok dipakainya. Karena hal itu bapak tidak mau berbicara kepadaku. Dengan kang Tanjir dan kang Jayus bapak juga tak mau bicara. Seisi rumah ini semuanya neng-nengan. Tidak saling berbicara. Pada bisu semuanya. Dulu ketika simbok masih ada, su-asana seperti ini sama sekali tak pernah terjadi. Ini gara-gara perempuan itu."
Gimpul merasa ada yang janggal, mengapa isteri pak Kampun yang harus disalah-kan, dijadikan paran tutuhan. Harusnya Jasmi menyalahkan bapaknya yang tak tahu diri.
"Kau sendiri menurutku salah."
"Kok bisa?"
"Apa salahnya kalau kau menerima kehadiran Ibu tirimu? Toh pada kenyataannya bapakmu telah mengambilnya sebagai isteri. Mau apa lagi?"
"Aku tidak mungkin menerima hal itu kang."
"Itu salahmu. Kalau kau bisa menerima kehadiran Salehak itu sebagai simbokmu, mau mengajaknya berbicara meski sekedar basa-basi. Bapakmu pasti senang hatinya. Mengalah sedikit apa salahnya?” berkata Gimpul.
Berbaik-baik dengan Ibu tirinya? Bahkan menganggapnya sebagai Ibu tiri saja Jasmi tak sudi. Bahwa Salehak itu memakai kalung milik simboknya benar-benar mem-buat sakit perasaannya. Kok ya tega-teganya pak Kampun melukai hati anaknya dengan memberikan kalung milik almarhumah mbok Kampun kepada isteri barunya itu.
Petir meletup menggelegar. Jasmi kaget.
"Rupanya mau hujan Jas."
"Para petani pasti senang. Gluduk terdengar, artinya hujan akan segera turun dan sawah bisa ditanami lagi. Aku capek resik-resik dari tadi, rasanya ngantuk sekali."
"Tidurlah Jas. Jangan pikirkan apapun."
"Mau memijiti aku kang?" pinta Jasmi dengan manja.
"Boleh. Namun kalau kau nanti sudah tidur aku pergi." Jasmi kaget.
"Pergi ke mana?"
"Aku tadi sudah janjian dengan Sumarto dan Pardi Kitin akan jagongan di gardu." jawab Gimpul sambil mulai memijit.
"Jagongan apa?" desak Jasmi yang cemas kalau hobi suaminya kumat.
"Hanya jagongan saja."
"Pasti mau main." desak Jasmi.
"Aku tidak akan main lagi Jas. Kau sendiri melihat dalam beberapa hari ini apa-kah aku main kartu? Lagi pula uang yang mana akan kupergunakan main?"
Jasmi memang senang melihat perubahan suaminya.
"Tetapi mau hujan kang."
"Tidak apa-apa. Tidurlah."
"Punggungku."
"Ya."
Jasmi memang kecapekan dan dengan gampangnya ia pulas ke dalam mimpi. Gimpul tersenyum melihat isterinya sudah mendengkur halus. Sebuah rencana telah me-ngeram di dalam benaknya, rencana jahat dan keji. Apa yang dikatakan kepada isterinya bahwa ia akan menemui Sumarto dan Pardi adalah omong kosong.
Hujan kemudian turun deras. Dengan mengendap-endap lewat tritisan Gimpul mendekati jendela adik iparnya. Gimpul yang melewati kamar pak Kampun menyempat-kan mengintip. Terlihat dengan jelas pak Kampun tidur pulas, namun Gimpul tidak meli-hat Salehak.
Dengan pelan dan hati-hati Gimpul mengetuk jende¬la. Salatun yang tengah bera-ngan-angan kaget dibuatnya. Salatun mempertajam telinga.
"Tun, buka jendelanya, ini aku, Gimpul." Salatun mendengar kalimat itu dengan jelas.
Salatun amat gelisah. Apa sebenarnya yang dimaui kakak iparnya itu.
"Tun, buka, ini aku”
Barangkali karena pertimbangan akal warasnya sedang tidak jalan, Salatun mem-buka jendela.
"Ada apa?" Salatun bertanya cemas.
Hujan turun semakin deras, petir meledak dengan keras. Cahayanya muncrat me-nerangi wajah Gimpul.
"Kang Gimpul mau apa?" Salatun kian resah.
"Aku akan masuk. Aku akan menemanimu." jawab Gimpul sekenanya.
Salatun kaget.
"Kang Gimpul, jangan,"
Terlambat bagi Salatun untuk menyadari apa yang terjadi karena Iwan “Gimpul” Marjuni kemudian telah masuk ke kamarnya melalui jendela itu. Gimpul bergegas menu-tup jendela dan mematikan lampu. Suasana kemudian menjadi gelap gulita.
Benar-benar gawat. Gimpul rupanya tidak puas hanya dengan isterinya yang su-dah cantik itu. Gimpul masih ingin mencicipi iparnya. Hujan deras benar-benar memban-tu niat jahatnya. Salatun hanya bingung ketika Gimpul meraih tubuhnya dan mende¬kap-nya.
"Mengapa kau masuk ke dalam kamarku?" tanya Salatun agak kurang senang.
"Di luar hujan deras sekali Tun." bisik Gimpul.
"Mengapa karena hujan kau ke sini?"
"Aku ingin menemani kamu. Atau tepatnya aku ingin kau temani aku. Kita lewati malam ini bersama-sama, tentu menyenangkan sekali." jawab Gimpul.
Salatun mrinding. Melewati malam bersama seorang lelaki, hal yang selama ini belum pernah dilakukan.
"Kalau yu Jasmi tahu kau masuk ke kamarku bagaimana?"
Bodoh sekali Salatun. Seharusnya Salatun mengusir kakak iparnya itu agar ke-luar, bukan soal bagaimana kalau Jasmi sampai tahu suaminya masuk ke kamarnya.
"Mbakyumu tidak akan menduga aku masuk ke kamarmu Tun. Jasmi mengira aku sedang berada di gardu dengan kang Pardi Kitin. Jasmi sekarang sedang tidur pulas apalagi sedang hujan deras. Jangan khawatir dan tenang saja. Yang penting sekarang kau enak dan aku juga kepenak. Kita lanjutkan kembali apa yang tadi telah kita lakukan di kuburan simbokmu."
Salatun kian mrinding. Kuburan simboknya disebut membuat Salatun merasa sa-ngat bersalah.
"Kalau yu Jasmi tiba-tiba mengetuk pintu?" gelisahnya.
"Tenang saja, aku bisa bersembunyi di kolong tempat tidur."
"Kalau diintip?" Salatun terus mendesak.
"Aku akan keluar melalui jendela. Sudah, jangan cemas."
"Tetapi aku takut kang Gimpul."
"Apanya yang harus ditakutkan? Keadaan di luar sangat berpihak pada kita. Hujan amat deras, udara dingin, mbakyumu bablas tidur pulas. Tanjir dan Jayus juga tidak ada, mereka sedang sibuk main kartu di rumah orang yang sedang mantu, dan pak Kampun tentu sedang sibuk dengan mainan barunya. Salehak tentu menyebabkan telinganya ku-rang jelas menangkap apa yang terjadi di kamar belakang ini. Ayo."
Salatun kaget. "Ayo apa?"
"Peluk aku. Aku peluk kau."
Bulu kuduk Salatun bangkit semua. Gadis itu makin takut.
"Jangan kang, nanti aku hamil."
"Kalau hanya dipeluk saja tidak akan menyebabkan hamil. Kalau hanya diam, justru akan membuatmu hamil." Gimpul ngeyel.
"Keluarlah kang, jangan ganggu aku." pinta Salatun memelas.
"Waaaah, aku sudah berada di sini. Rugi kalau aku keluar begitu saja. Ingat, tadi aku telah mengajarimu saat di kuburan?"
"Tetapi aku takut kang, takut sekali."
Hanya saja, Gimpul adalah lelaki yang sangat berpengalaman, ia tahu bagaimana cara menenangkan korbannya hingga tidak sadar akan masuk ke dalam jebakan yang te-lah disiapkan. Apalagi kelinci dan serigala itu sudah berada dalam satu kandang.
"Kau cantik Tun. Aku selalu gelisah memikirkanmu. Rasanya aku tidak akan te-nang seumur hidupku." puisinya mulai keluar.
"Mengapa?" pertanyaan yang lugu sekali dari Salatun.
"Karena kau cantik." jawab Gimpul.
"Bohong. Yu Jasmi jauh lebih cantik dariku. Siapapun tahu hal itu." bantah Sala-tun yang memang sadar atas kecantikan yang dimiliki kakaknya.
"Jasmi memang cantik, aku merasa sangat beruntung menjadi suaminya." Gimpul menjawab.
Jawaban yang membuat Salatun heran.
"Mengapa kau masih menghendaki aku?" desak salatun.
"Karena, seperti jangan tempe dan jangan terong itu."
Salatun tambah penasaran. Apa hubungannya dengan jangan tempe dan jangan te-rong?
"Kenapa dengan jangan tempe dan jangan terong?" kejarnya.
"Aku memang suka dengan jangan tempe. Rasanya enak dan membuat perut me-njadi lega. Tetapi makan jangan tempe terus setiap hari ya bosanlah, sekali waktu ingin makan jangan terong."
Gila, Salatun dianggapnya jangan terong. Jasmi yang meskipun cantik, tetapi ka-rena hanya ia menu hariannya setiap hari, dianggapnya dia jangan tempe, menu yang ha-rus disantap setiap hari, jadi membosankan, gawat.
Diibaratkan seperti itu semestinya Salatun marah. Ee, ternyata tidak.
Betapa malangnya Jasmi. Jasmi telah kecolongan, suaminya selingkuh justru de-ngan adik kandungnya sendiri. Jasmi yang cantik, Jasmi yang bentuk bibirnya bikin ce-dut-cenut lelaki. Wajahnya yang ayu tercetak dalam mimpi setiap lelaki yang punya de-gup syahwat cukup tinggi.
Di saat di bilik yang lain gairah suaminya menggebu terhadap adiknya sendiri, Jasmi justru sedang mimpi kebanjiran. Tentu saja Jasmi mimpi banjir, karena kamarnya trocoh, hujan yang deras menerobos genting yang pecah, bocor itu menetes mengenai tubuhnya. Tetes-tetes lainnya bahkan mengenai keningnya. Namun Jasmi tidak ingin ba-ngun. Ia larut dalam mimpi banjirnya.
Barangkali mimpi itu perlambang atas apa yang berlangsung. Gimpul terus men-desak. Salatun penjaga gawang yang terus bertahan.
"Jangan kang Gimpul aku tidak mau. Cukup sampai di sini saja, jangan diterus-kan lagi."
Sesaat setelah ikut larut, rupanya Salatun masih punya kesadaran untuk bertahan. Bukan hanya melawan Gimpul namun melawan nafsunya sendiri.
"Lawanlah perasaanmu yang mengganjal itu. Lawan, serta ikuti saja keinginan-mu." Gimpul jengkel dan tidak telaten.
"Itu bujukan setan, bagaimana aku bisa mengikuti bujukan setan?"
Akhirnya Salatun menemukan ketegarannya.
Ketika bayangan simboknya muncul, Salatun makin bisa bersikap tegar dan tegas.
”Yang rasanya enak-enak kok mesti bujukan setan, pendapat apa itu?" Gimpul berargumentasi ngawur.
"Keluarlah kang Gimpul, atau aku akan berteriak."
"Tidak ada yang akan mendengar teriakanmu. Ayolah sayang, Ayolah wong ayu, turutilah brantaningtyas ingsun."
Walah-walah, brantaningtyas ingsun?
"Aku tidak mau" jawab Salatun tegas sambil membenahi diri.
Akhirnya Gimpul melihat, rayuan apapun yang digunakan tidak akan mempan. Kali ini terpaksa gagal. Mungkin lain kali berhasil. Kalau mundur, tidak apalah, mundur untuk menang.
"Baiklah Tun" kata Gimpul kecewa."Bagaimana kalau lain kali. Saat ini aku tahu kau sedang gugup dan sama sekali tidak siap. Lain kali kau mau bukan?"
"Lain kali aku mau, kang Gimpul."
"Janjimu kuanggap hutang dan pasti kutagih kalau tiba saatnya." kata Gimpul.
Salatun merasa bulu kuduk di punggungnya bangkit serentak.
Gimpul agak kecewa, namun Gimpul menganggap itu wajar. Pertama tidak mau, lama-lama nanti akan mau juga. Sabar dulu, tidak perlu grusa-grusu. Yang penting bu-kankah hatinya telah berhasil digerogoti. Bagi Gimpul, yang penting, bukankah tadi Sala-tun sudah diciumnya? Itu sebuah awal yang baik.
"Bukan main, lumayan. Aku telah mendapat kesempatan mencium adik ipar. Bah-kan Salatun tadi mengimbangiku penuh gairah. Aku rasa perempuan di mana saja sama. Pertama tidak mau tetapi lama-lama nanti malah menuntut dan minta tambah. Yang bia-sanya ketagihan itu wanita, bukan kaum lelaki."
Wong edan. Gimpul kranjingan, punya pendapat kok seperti itu. Kaum wanita layak tersinggung.
"Sekarang Salatun telah berada di dalam genggamanku, hanya tinggal menunggu waktu saja untuk memetik. Tidak perlu dipaksa untuk disembelih, kelak ia akan menyo-dorkan diri disembelih. Setelah itu, sasaranku berikutnya adalah mertuaku yang cantik itu."
Ha? Mertua yang cantik? Kalau benar memang itu rencana Gimpul selanjutnya, tentulah Salehak yang dimaksud, isteri pak Kampun yang semula memiliki jabatan babu itu. Apa sih maunya Gimpul itu sebenarnya? Sekedar menjelajah dari ruang ke ruang? Bahkan kalau almarhumah mbok Kampun masih hidup akan dihinggapinya pula?
Gimpul masuk ke dalam rumah yang memang tidak dikunci. Kalau ada maling masuk ke rumah, sama sekali tidak akan mengalami kesulitan. Tetapi apa yang akan di-curi di rumah yang tidak ada apa-apanya itu. TV bertenaga aki (karena listrik belum masuk di rumah terpencil di ujung sawah itu) tidak ada karena sudah diangkuti oleh Ta-njir dijadikan uang. Bahkan kursi penjalin satu setel yang berada di ruang tamu, ujung-ujungnya diangkut Jayus yang takut didahului kakaknya.
Gimpul tertegun ketika melintasi kamar belakang. Gila, di sana kedua mertuanya tidur. Apa Gimpul mencoba peruntungan dengan menggerayangi mertuanya pula?
Oo tidak, ternyata tidak. Gimpul masuk ke dalam kamarnya sendiri. Gimpul yang kepalanya sedang pusing itu tertegun melihat isterinya tidur dengan sembarangan. Basah lagi.
Gimpul memandang langit-langit kamar menelusuri dari arah mana air yang bo-cor dan menetes tepat di paha isterinya itu berasal.
"Kasur sudah kumal bocor semuanya. Sudah begitu isteriku masih bisa tidur nye-nyak tidak terganggu. Bahkan masih sempat-sempatnya tersenyum. Mimpi apa dia?"
Jasmi yang dibangunkan terkejut. Kaget karena merasa tubuhnya basah kuyup.
"Trocoh Jas, gentingnya bocor" Jasmi memandang ke atas.
"Aku kira kebanjiran, rupanya trocoh”
"Yang kebangeten itu kamu, sudah trocoh seperti itu kok tidak mau bangun”
Kalau sudah larut dalam tidur memang bisa apa? Rumah terbakarpun bisa tidak tahu. Tahu-tahu ketika api sudah mengepung rapat.
"Lepas pakaianmu Jas, ganti yang kering" kata Gimpul.
Jasmi menurut. Jasmi melucuti diri sendiri.
"Tunggu" tiba-tiba Gimpul mencegah.
"Ada apa?" tanya isterinya.
"Jangan dulu.” jawab suaminya.
Wong edan.
Akan tetapi itulah “Gimpul”, yang dengan rapi menyembunyikan bau selingkuh-nya di punggung isteri, dengan rapi membungkusnya hingga tidak kelihatan. Dengan be-ringas Gimpul mengerjakan tugasnya, akan tetapi itupun sudah selingkuh, karena yang dibayangkan bukan wajah Jasmi tetapi wajah adiknya, atau bahkan wajah bintang film.
Selingkuh memang banyak ragamnya. Hanya dengan membayangkan wajah orang lainpun sudah termasuk selingkuh.
"Malam ini kau lain sekali." puji Jasmi pada suaminya.
Gimpul yang rebah merasa punggungnya basah. Mau digeser ke mana lagi kasur itu kalau segenap sudut ruang bocor semua.
"Tidak tahulah, mungkin karena pengaruh udara yang sejuk karena hujan turun, mungkin juga karena obat yang kuminum tadi, pengaruhnya seperti ini."
Jasmi kaget. Obat?
"Yang kau minum obat apa?" Jasmi bertanya.
"Di meja tadi ada pil, Pil Tuntas."
Pil tuntas? Lhadalah, itu namanya keladuk kebat kliwat. Pil tuntas itu untuk wani-ta, bukan untuk Gimpul. Tentu saja jawaban itu membuat Jasmi terperangah.
"Itu pil untuk wanita, kau minum?" tanya Jasmi, Gimpul yang heran.
"Pil Tuntas, untuk menuntaskan segala sesuatu bukan?" tanya Gimpul.
Jasmi termangu karena merasa tidak tahu jawabnya.
Sang waktu terus bergerak laju sebagaimana tugasnya menapaki ruang, menjadi-kan hari ini menjadi kemarin, menjadikan kemarin menjadi lusa yang lalu, menjadikan segala peristiwa menjadi sejarah. Menjadikan malam berlalu mendekati arah pagi.
Gimpul yang mengidap insomnia matanya kancilen tidak bisa tidur. Pada umum-nya orang yang banyak masalah memang dekat dengan penyakit itu. Tak bisa tidur meski mengantuk. Sebaliknya dengan Jasmi yang blek-sek, begitu mencium bantal langsung le-lap.
Gimpul membiarkan pikirannya melayang ke mana-mana.
"Masalahnya barang baru." berkata Gimpul pada diri sendiri di dalam hati. "Ma-salahnya aku menginginkan sekali barang baru. Aku tidak pernah puas. Aku harus men-dapatkannya. Aku tidak peduli bahwa Salatun adalah adik iparku. Entah mengapa meski ia kalah cantik dari Jasmi, bayangannya selalu membangkitkan gairahku lebih dahsyat dan lebih parah. Ohhh Salatun pujaan hatiku, Engkaulah bintang gemerlapan harapanku, kaulah kekasihku hingga sundul langit. Kelak kau harus menjadi milikku. Harus."
Gimpul berpuisi segala.
Dasar lelaki. Lelaki seperti Gimpul sebaiknya memang dikubur hidup-hidup. Biar mampus saja dia. Ia telah menyengsarakan banyak orang. Gadis-gadis bahkan para janda menjadi tidak aman kalau berdekatan dengannya. Berbahaya.
Pagi berikutnya adalah pagi yang cerah. Jasmi membiarkan suaminya tidur. Ke-tika matahari baru terbit, Gimpul yang bersusah payah memejamkan mata baru berhasil menerobos menjelajahi mimpi.
Di halaman Salatun termangu.
"Pagi ini sikapmu kok nganeh-anehi, ada apa? Kamu sakit ya Tun?" tanya Jasmi pada adiknya yang lesu.
Tentu saja Salatun lesu ingat adegan horor yang dialaminya semalam. Bagaimana sebaiknya, apakah disampaikan kepada Jasmi perbuatan Gimpul itu? Kalau ia melapor-kan, lantas apa yang bakal terjadi? Apakah tak akan menyebabkan terjadinya perang ba-

Related Post



0 komentar:

Posting Komentar

About Me

Powered By Blogger