Akhirnya Pak Kampun memang mengawinkan anaknya dengan si Iwan “Gimpul” Marjuni, tanpa dirayakan seperti pada umumnya tetangga yang lain, bahkan hajatan yang paling sederhana yang dihadirinya sebulan yang lalu saat Kemi dikawin Torong, hiburan-nya kaset dengan empat corong yang diarahkan ke empat penjuru, melantunkan dangdut-an yang murah meriah. Hajatan yang paling sederhana seperti itu sama sekali tidak ada.
Harapan Jasmi akan menarik arisan berupa kado-kado yang terkumpul dari para tamu tidak menjadi kenyataan. Sungguh sebuah upacara perkawinan menyedihkan. Bah-kan para tetangga bertanya-tanya dalam hati, ada apa di balik perkawinan yang aneh itu. Mengapa pak Kampun tidak mengadakan upacara perkawinan besar-besaran, apalagi me-ngingat ini mantu yang pertama baginya. Lagi pula, bukankah pak Kampun baru saja panen kedelai yang hasilnya cukup bagus?
Jasmi kawin dengan Gimpul hanya dengan selamatan yang sederhana alakadar-nya, itupun mbok Kampun selalu menekuk wajah. Dari pagi hingga sore mbok Kampun hanya mencureng dengan wajah disaput mendung tebal. Mbok Kampun sungguh kecewa melihat anak gadisnya itu naik pelaminan dengan seorang pemuda yang kehadirannya merupakan sebuah aib. Mbok Kampun kumat jantungnya saat mbok Rikin yang ikut si-buk di dapur tertawa cekikikan, mungkin geli melihat Jasmi anak mbok Kampun akhir-nya dikawin Gimpul. Padahal terakhir, sepekan yang lampau Gimpul menyelinap ke ru-mahnya, kali ini hanya dengan diiming-imingi selembar uang sepuluh ribuan untuk me-mijit tubuhnya dan selanjutnya.
Jasmi seperti tercekik ketika akhirnya pak naib mengesahkan dirinya sebagai seo-rang isteri menyandang derajad "Bu Gimpul” Baru saja upacara itu rampung mbok Rikin sudah nyelonong duluan menjadi orang pertama yang memberikan selamat kepada te-manten berdua.
"Selamat Jas, selamat Pul, selamat menempuh hidup baru." ucap mbok Rikin pe-nuh semangat.
Mbok Rikin benar-benar bikin malu dan merah wajah Jasmi, karena mengucap-kan selamat itu sambil memberikan salam tempel berupa selembar uang lima ribu. Yang lebih tak sopan karena salam tempel itu tidak dibungkus amplop. Dan mbok Rikin adalah satu-satunya orang yang menyumbang pada pernikahan itu.
Dengan merah padam Jasmi menyerahkan uang itu kepada Salatun.
Sungguh sebuah suasana yang sangat muram. Lima orang tetangga yang diundang untuk menjadi saksi pernikahan itu seperti tak tega memakan berkat yang disuguhkan.
Satu-satunya orang yang menganggap perkawinan itu harus dipestakan, hanyalah Tanjir, kakak tertuanya yang mengundang beberapa temannya untuk keplek. Saat di ru-ang depan pak Naib melantunkan nasehat dan doa, Tanjir dan teman-temannya memban-ting kartu menggilir kocokan. Yang kalah mengumpat, yang menang juga mengumpat. Udut klepas-klepus digilir dengan minuman keras cap Gembok Merah. Beberapa di an-taranya sudah ada yang miring, ngomong tidak jelas. Pengaruh minuman keras Cap Gembok dicampur abu rokok itu menambah suasana menjadi lebih muram.
Sorenya.
"Kamu kenapa mbokne?" bertanya pak Kampun pada isterinya yang duduk mela-mun di belakang.
Mbok Kampun tidak mengalihkan pandang dari arah sumur. Mbok Kampun diam tidak menjawab. Selama sekian tahun lamanya ia berumah tangga hingga mempunyai empat anak, dua lelaki dan dua perempuan, tidak pernah pak Kampun melihat isterinya begitu sedih, begitu kecewa.
Pak Kampun segera duduk di sebelahnya dan mencoba menghibur.
”Jangan melihat pilihan apa yang dijalani anakmu itu sebagai sebuah sebuah ke-keliruan mbokne, karena lahir, kawin dan mati itu merupakan rahasia Gusti Allah. Mung-kin sudah jodohnya, jadi harus diikhlaskan. Sudah takdir mau apa lagi?” hiburnya.
Sudah takdir? mbok Kampun meronta dan tidak begitu percaya. Apakah kalau su-dah takdir tidak bisa disiasati? Lagi pula yang ngomong takdir itu biasanya untuk meng-hibur diri. Kalau terbentur sesuatu yang tidak dikehendaki selalu takdir yang dijadikan paran tutuhan, dijadikan kambing hitam. Bagi mbok Kampun masalahnya jelas bukan takdir. Kalau Jasmi mau, kalau Jasmi teguh, ia tak akan terjerembab ke kubangan nista. Apa yang diperoleh setelah menjadi isteri Gimpul kalau bukan nista? Bukan nista untuk Jasmi saja, juga untuk orang tuanya.
Namun mbok Kampun menyimpan gejolak itu rapat-rapat. Matanya tidak berke-dip memandang bibir sumur? Tergoda akan masuk sumurkah mbok Kampun? O, tentu saja tidak. Hanya kebetulan saja mbok Kampun duduk dengan pandangan lurus ke su-mur.
Mbok Kampun ingat beberapa bulan yang lalu, saat mbok Rikin datang dan tanpa risih memamerkan cupang yang carut-marut di lehernya. Tentu saja saat itu mbok Kam-pun heran karena setahunya mbok Rikin itu sudah beberapa tahun menjanda, suaminya mati dalam kecelakaan di Bali, mati sia-sia karena diterjang truck yang melaju kencang dengan rem blong. Itupun suaminya mati saat berboncengan dengan wanita lain, entah siapa wanita lain itu sampai sekarang tidak diketahui jati-dirinya. Polisi tidak berhasil menguak jati-dirinya.
Kala itu,
"Dengan siapa kau melakukan yu Rikin ?" bertanya mbok Kampun sangat heran dan geli.
Yu Rikin tua, tetapi tua-tua keladi, semakin tua semakin menjadi. Mbok Rikin tersenyum bangga.
"Dengan Gimpul." jawabnya enteng.
"Hah ? Dengan Gimpul ?" mbok Kampun kaget.
Tentu saja mbok Kampun kaget karena Gimpul itu masih sangat muda, maksud-nya, kalau dibanding dengan mbok Rikin Gimpul itu layak menjadi cucunya. Mbok Kam-pun terkikik-kikik mendengar itu. Mbok Kampun tidak kuat menahan diri dan segera lari ke belakang rumah dan masuk ke jeding. Begitu berada di jeding isi perutnya tiba-tiba tumpah ruah seperti perempuan hamil muda.
Soal itulah yang menyebabkan mbok Kampun selalu terangsang untuk muntah se-tiap mendengar nama Gimpul disebut. Dasar lagi apes, Gimpul itu sekarang malah jadi menantunya.
Mbok Rikin kemudian bertutur dengan riang. Betapa hanya dengan uang lima pu-luh ribu yang dilambai-lambaikan ia berhasil mengundang kucing cluthak bernama Gim-pul itu datang ke rumahnya. Tanpa selembar lima puluh ribu itu, jangan harap Gimpul mau mendekat. Bahkan seandainya diobral gratis sekalipun, siapa orangnya yang akan mendekat? Apalagi mbok Rikin punya obsesi, jika pada umumnya para hidung belang berkelamin jantan suka daun muda, mbok Rikin tidak mau kalah. Mbok Rikin merasa perlu mengacak menu hariannya dengan lalapan seorang pemuda yang perkasa. Mbok Rikin kemudian segera menempatkan diri sebagai dendeng. Yang namanya kucing, den-deng basipun diterkam.
Pada awalnya umpan itu lima puluh-ribuan, namun berikutnya dengan selembar dua puluh ribuanpun Gimpul mau menyelinap lewat pintu belakang rumahnya.
Betapa dahsyatnya kucing itu menerkam, amit-amit, dengan tanpa risih mbok Ri-kin menceritakan dengan blak-blakan kepada mbok Kampun. Mbok Rikin tidak sadar ji-ka cerita saru yang dipaparkannya itu sebenarnya membuat mbok Kampun yang men-dengarkan mendadak sakit perut dan sekuat tenaga menahan diri supaya tidak muntah.
Di ujung ceritanya mbok Rikin menutup dengan tawaran.
"Bagaimana? Kamu mau mencoba?"
Oleh pertanyaan itu mbok Kampun tentu terlonjak seperti ada seekor ular yang ti-ba-tiba muncul dan sudah dekat sekali dengan kakinya. Mbok Kampun masih tak percaya. Mbok Kampun gemetar ketika sekali lagi mbok Rikin mengulang tawarannya.
"Kalau kau mau, aku yang akan mengatur. Kamu boleh melakukannya di tem-patku. Kujamin aman dan tidak akan ada yang mengganggu." lanjut mbok Rikin.
Mulut mbok Kampun benar-benar terkunci seperti dibelenggu sebuah gembok se-besar kepalan tangan. Dada perempuan tua itu mengombak, namun mbok Rikin sungguh tidak tanggap dengan apa yang berada di dalam dada mbok Kampun.
“Apakah kamu masih melakukan dengan suamimu?" bertanya mbok Rikin mem-buat membuat mbok Kampun kaget.
Kenyataannya sudah lama sekali mbok Kampun tidak campur dengan suaminya, entah sejak kapan mbok Kampun lupa dan bahkan tidak memikirkan lagi kebutuhan yang satu itu. Biarlah yang muda-muda saja yang butuh, dirinya sudah tidak karena sudah wa-rek , sudah tuwuk.
"Aku sudah tua yu. Masa aku masih harus memikirkan hal seperti itu. Anak sudah empat besar semua, malu." jawab mbok Kampun.
"Suamimu sudah lama tidak menyentuhmu?" desak mbok Rikin makin tidak tahu diri.
Risih sekali mbok Kampun. Wanita tua yang di masa mudanya tentu berwajah ayu karena mempunyai keturunan seperti Jasmi dan Salatun yang berwajah cantik itu, sebenarnya tidak ingin pembicaraan itu berkelanjutan. Namun pertanyaan mbok Rikin itu terpaksa harus dijawabnya meski dengan sebuah gelengan kepala.
Mbok Rikin tersenyum.
"Tidak ada salahnya kau mencoba ‘Pun. Kalau suamimu sudah malas menyentuh-mu, sebenarnya hidupmu sudah berakhir. Apa salahnya kalau kau mencoba. Gimpul itu hebat sekali, ia sanggup membuat aku menjadi seperti muda kembali dan bergairah. Un-tuk menjadi muda dan bergairah, omong kosong dengan segala macam jamu yang dita-warkan pabrik-pabrik itu. Ya Gimpul itulah jamunya, jamu yang sangat mujarab untuk kita perempuan yang sudah tua ini”
Makan jamu lelaki muda? Memang pada sebagian orang ada anggapan seperti itu. Jika ada lelaki sudah beranak-pinak dan dibelakangnya berbaris sederet cucu dan bahkan mungkin buyut, lelaki itu masih mencari perawan, maka yang dilakukannya itu, harap maklum, hanya sekedar dijadikan jamu, supaya badan sehat perkasa, hidup menjadi ber-gairah. Kalaupun karena sudah tua penampilan menjadi jelek dan tentu saja mana ada gadis cantik yang mau menanggapinya, maka ada kios-kios tertentu yang melayani penju-alan jamu seperti itu, bahkan lengkap dengan bumbu-bumbunya : shipilis dan gonorrhea, bahkan siapa tahu bumbu impor yang bernama Aids itu sudah didatangkan pula ke kios-kios seperti itu.
Tidak jauh dari Tegaldlimo ke arah Muncar, ada kios ilegal macam itu yang bia-sanya menjadi jujugan para pengojek iseng. Tentu saja untuk merasakan jamu itu harus membayar. Akan tetapi untunglah yang datang ke tempat macam itu masih pada punya pikiran waras, setidak-tidaknya niatnya ke tempat itu bukan beli jamu, tetapi sekedar membuang limbah. Bukankah dalam tatanan kehidupan, sebenarnya harus ada katup-ka-tup yang secara otomatis terbentuk sebagai sarana pembuangan limbah?
Tawaran mbok Rikin kepada mbok Kampun untuk mencoba lalapan lelaki muda itu sungguh membekas, menjadi sebuah bentuk kelainan jiwa yang diidapnya. Ingat Gim-pul mbok Kampun langsung menggigil. Bertemu Gimpul mbok Kampun ingin muntah. Bisa dibayangkan betapa siang tadi saat mbok Kampun harus bertahan menyaksikan a-naknya dinikahkan, sebenarnya dengan sekuat tenaga menahan diri untuk tidak muntah.
"Aku tak ingin dia di sini. Suruh dia pergi." mbok Kampun yang diam itu akhir-nya mau bicara.
Pak Kampun tentu saja kaget.
"Kau ini bagaimana?" tanya suaminya.
Mbok Kampun kukuh pada pendiriannya membuat suaminya bingung dan hanya bisa mengelus dada. Dengan dada mengombak suara agak serak mbok Kampun melotot pada suaminya.
"Kalau si Adol Bagus itu tidak pergi, maka aku yang akan pergi dari rumah ini."
Gawat.
Pak Kampun prihatin, karena mengusir Gimpul sama artinya dengan mengusir a-nak sendiri. Jasmi baru saja kawin, apa salahnya Gimpul berada di rumah itu. Bagaima-napun juga memang timbul sebuah pertanyaan, apa yang dilakukan Gimpul setelah dia mengawini anaknya? Apakah Gimpul akan memboyong isterinya pergi entah ke mana, atau malah Gimpul ikut numpang di Wisma Mertua Indah? Betapapun repotnya, namun pak Kampun memang harus menengahi keadaan itu.
Pada sebuah kesempatan disampaikan kemauan isterinya itu kepada Jasmi. Jasmi tentu saja kaget. Namun Jasmi rupanya bisa berfikir tenang dan tidak menanggapi ke-adaan itu dengan emosi. Jasmipun segera berbicara dengan suaminya.
Gimpul terpaksa tersenyum penuh rasa kecut. Pada awalnya ia sudah memba-yangkan bahwa sebagian dari kesulitan akan teratasi dengan numpang tinggal di Wisma Mertua Indah, namun ternyata yang namanya mertua itu keberatan ketempatan Gimpul.
Maka di saat akan maghrib Jasmi berkemas mengumpulkan pakaian yang akan dibawanya. Dalam hati Jasmi merasa sedih mengapa simboknya tega kepadanya, ikhlas melihat Jasmi pergi daripada Gimpul ikut tinggal di rumah itu. Salatunpun ikut bersedih-hati. Dengan mata berkaca-kaca Salatun membantu mbakyunya mengatur benda-benda miliknya dengan memasuk-masukkan ke dalam tas dan koper tua.
Namun Pak Kampun tetap saja seorang ayah yang tidak tega melihat anaknya per-gi dalam keadaan seperti itu. Pak Kampun merasa dadanya sesak seperti seorang lelaki yang kapedhotan sih, cemas memikirkan bagaimana nasib Jasmi nantinya. Maka tanpa setahu isterinya, Pak Kampun menyelipkan sebuah amplop yang berisi uang.
Dalam suasana yang muram suram Jasmi meninggalkan rumah itu. Dan pak Kam-pun merasa ada sesuatu yang hilang. Jasmi baginya anak yang paling dikasihi daripada a-nak-anak yang lain, hanya karena nyawa Jasmi itu nyawa saringan. Dulu waktu masih bo-cah Jasmi pernah sakit keras terkena penyakit typhus nyaris mati. Pontang-panting pak Kampun berusaha menyelamatkan anaknya itu.
Kini Jasmi telah pergi. Rasanya rumah menjadi makin suram setiap pak Kampun melihat dua anak lelakinya yang agak keblinger. Tanjir anak lelaki tertuanya, yang diga-dang-gadang bakal menjadi cagak rumah itu mempunyai kegemaran yang berlebihan terhadap judi. Sabung ayam atau domino dan remi menjadi santapannya. Pak Kampun sudah tidak bisa mengingatkan lagi karena Tanjir bisa marah kalau dilarang. Kalau sudah marah, Tanjir sanggup melakukan apapun. Sebagaimana kalau Tanjir minta uang tidak diberi, maka ancamannya, rumah akan dibakar.
Sebaliknya dengan Jayus anak lelakinya yang kedua. Bulan yang lalu Jayus jadi paran tutuhan, dicari orang karena menghamili gadis. Untung saja Jayus bisa berkelit karena yang melakukan dengan gadis itu bukan hanya dirinya tetapi beramai-ramai de-ngan teman-temannya.
Pak Kampun sungguh pusing tujuh keliling memikirkan dua anak lelakinya itu yang ternyata perkembangannya jauh dari apa yang diharapkan orang tua. Anak gadisnya yang tinggal hanya Salatun. Setelah anak-anaknya yang lain ternyata gagal, pak Kampun hanya tinggal berharap kepada Salatun. Moga-moga saja Salatun bisa menyelesaikan sekolahnya dengan lancar dan kemudian melanjutkan sekolahnya lebih tinggi di IKIP PGRI. Bukan main, mempunyai anak kuliah di IKIP PGRI betapa bangganya. Apalagi jika nanti anak perempuannya itu sudah menjadi guru dan menyandang gelar sarjana.
Hari-hari berlalu. Jasmi telah menjadi Bu Gimpul. Disebut Bu Gimpul boleh, Nyonya Gimpul juga boleh, atau mbok Gimpul boleh. Keinginannya berumah tangga telah terpenuhi. Sekarang ia seorang isteri. Sekarang Jasmi punya suami dan dengan demikian sah-sah saja ia melakukan apapun dengan suaminya. Untuk kebutuhan nafsu tidak perlu lagi melakukan zinah, segalanya telah berubah menjadi halal. Hampir sebulan sudah, Jasmi melewati hidup sebagai seorang isteri di sebuah rumah milik keponakan Gimpul di Tegaldlimo Kidul yang tak terpakai karena pemiliknya sibuk mencari uang dengan menjadi TKI di Taiwan.
Namun tetap saja Jasmi tersentak, karena angan-angannya tentang rumah-tangga tidak sesuai dengan kenyataan. Suami-suami yang lain setiap hari berangkat bekerja dan sore harinya pulang menyerahkan hasil memeras keringat pada isterinya. Uang itu ke-mudian dibelanjakan berbagai keperluan rumah tangga. Meski serba kekurangan namun dengan kebahagiaan dan rasa syukur biasanya berapapun penghasilan yang diperoleh sang suami, akan diatur sedemikian rupa oleh sang isteri. Dijereng-jereng ngalor ngidul seperti permen karet, agar cukup untuk semua kebutuhan rumah tangga.
Itulah, Si Jasmi yang dulu pernah berfikir, setelah menjadi isteri maka semuanya akan berjalan sebagaimana mestinya. Jasmi tidak mengira kalau ia akan dihadang oleh berbagai persoalan. Uang pemberian ayahnya mengucur dengan deras karena Gimpul sering minta cukup banyak yang katanya untuk modal, entah modal apa, namun besoknya semua uang itu ludes. Gimpul pulang dengan wajah kuyu kurang tidur, dan Jasmi akhir-nya tahu, Gimpul membakar uang itu dalam perjudian.
Jasmi melihat kecemasan yang pernah diutarakan Salatun dulu ternyata benar adanya. Kecemasan simboknya juga benar. Jasmi hanya bisa mengelus dada. Perkawi-nannya dengan laki-laki yang menjadi pilihan sendiri ternyata harus dihadapkan pada kenyataan yang tidak terduga. Manakala akhirnya uang habis, maka Jasmi hanya bisa sambat kepada bapaknya. Dengan kearifan seorang bapak yang sangat mencintai anak-nya, pak Kampun memberi lagi uang untuk anak perempuannya yang baru jadi temanten itu.
Lama-lama Jasmi jengkel dan risih karena dengan tidak merasa sungkan Gimpul bahkan mengambil uang di dompet tanpa memberitahu dan sembunyi-sembunyi. Biasa-nya jumlahnya cukup besar, untuk kemudian tidak bersisa sama sekali di esok harinya. Padahal uang itu pemberian pak Kampun untuk biaya hidup sebulan, bisa hangus tanpa sisa hanya dalam waktu dua atau tiga hari.
Laki-laki itu sungguh kebangeten. Lumuhnya setengah mati. Sudah berulang kali Jasmi mendorongnya agar bekerja sebagaimana layaknya suami yang harus menghidupi keluarganya, bekerja apapun asal halal, akan tetapi Gimpul mempunyai gengsi yang sa-ngat tinggi. Angan-angan Gimpul tentang kerja tidak seperti orang lain yang mengguna-kan prinsip kerja keras mumpung masih muda. Angan-angan Gimpul terlampau muluk, kerja enak di belakang meja duduk di kursi empuk dengan gaji banyak. Daripada tidak bekerja seperti yang diangankan, ya lebih baik menganggur saja sekalian, bukankah se-telah ada isteri hidupnya sekarang agak lumayan? Ada yang mencucikan pakaian, ada yang memasak menyiapkan makan, ada mertua yang memasok uang kebutuhan hidup se-tiap hari dan ada yang ditiduri. Kan sudah lumayan daripada sebelum kawin dulu?
Didorong oleh isterinya, Gimpul mencoba-coba pergi ke kecamatan dan sowan ke pak Camat. Gimpul mengajukan permohonan bisa mengabdi bekerja di kantor itu. Mak-sud Gimpul ingin bekerja yang berkaitan dengan tulis menulis padahal sebenarnya Gim-pul bisa mengukur diri, bahwa ia yang hanya lulusan SMP tidak punya kemampuan ter-hadap jenis pekerjaan yang sangat diminatinya itu. Namun Gimpul punya anggapan bah-wa semuanya bisa dipelajari, orang-orang di kantor kecamatan itu pasti akan membim-bingnya sampai dia bisa. Kalau masih juga tidak bisa, toh pekerjaan itu nantinya bisa di-limpahkan kepada yang bisa.
“Apalagi kalau punya anak buah, kan bisa tinggal perintah pada anak buah.” ber-kata Gimpul pada diri sendiri sambil tersenyum.
Gimpul barulah terpukul hatinya ketika Pak Camat mau menerima lamarannya bukan sebagai pegawai kantor yang duduk di belakang meja, tetapi sebagai tukang kebun dan pesuruh. Gimpul mencak-mencak dan pak Camat segera mengusirnya.
Bekerja apa yang bisa mengasilkan banyak uang? Ahaaa, bekerja di bank. Gimpul ingat saat ada urusan ke kantor kelurahan sempat melongok BRI Kecamatan yang ge-dungnya menjadi satu dengan kantor kelurahan itu, betapa banyak uang di tempat itu, bertumpuk-tumpuk. Dengan sangat prigel pegawai kantor itu menghitung segebok uang dua puluhan ribu dengan lima jari telunjuknya. Dulu Gimpul merasa heran dan dibuat takjub, kok bisa ya menghitung uang dengan begitu cepat hanya dengan menggunakan li-ma jari.
Sesampai di rumah Gimpul mencoba pada sebuah buku. Pada mulanya agak sulit namun semakin lama bisa. Bahkan kemudian hari ia cukup prigel menghitung lembaran kertas dengan cara itu. Kemampuan itu sering pula ia pamerkan kepada kawannya yang lain.
Suatu hari Gimpul punya lima puluh ribu yang terdiri dari seratusan semua hingga menjadi tebal. Dengan gesit Gimpul menghitung menggunakan jari, seperti sulap saja la-yaknya, membuat teman yang lain mlongo terheran-heran.
"Kok kamu bisa menghitung dengan cara seperti itu?" tanya Sukarjito heran.
"Aku dulu kan pegawai bank" jawab Gimpul dengan bangga tanpa menyebut di bank mana dulu ia pernah bekerja.
Sukarjito yang pernah melihat cara menghitung seperti itu dilakukan kasir bank, pikirnya, hanya orang yang pernah berkecimpung di bank yang bisa melakukan ketram-pilan itu. Sukarjito percaya pada bualan Gimpul. Untuk percaya pada sebuah bualan me-mang tidak perlu berfikir keras. Biar saja Gimpul membual.
Dengan modal kemampuan menghitung uang itulah, Gimpul pergi ke kantor BRI dan langsung menemui boss di sana minta pekerjaan. Gimpul telah menyiapkan uang dua puluh lima ribu yang dipinjamnya dari Jasmi untuk didemonstrasikan ke kepala BRI. O-rang nomor satu di BRI Kecamatan itu memang terkagum-kagum dengan kemampuan Gimpul itu. Kekagumannya bisa diukur dari seberapa keras ia menggeleng-gelengkan ke-pala.
Ketika lamarannya tidak ditanggapi, Gimpul langsung pergi entah ke mana sam-pai sore belum kembali.
Jasmi gelisah. Padahal tadi pagi Gimpul telah pinjam uang padanya untuk de-monstrasi di kantor BRI. Sampai hari menjadi gelap begini kok belum pulang? Ke mana Gimpul?
Ke mana lagi kalau bukan pergi ngeplek kartu?
Judi adalah saudara sekandung dengan pelacuran. Konon kabarnya, umurnya su-dah setua bumi ini.
Jika dipikir-pikir kasihan Jasmi yang telah salah pilih. Suami yang dicintainya, yang dipilih dengan pengorbanan berat itu ternyata bukan jenis lelaki yang bisa sembada dan nyembadani. Jasmi ngeres hatinya menyaksikan kenyataan yang ternyata amat pahit untuk ditelan.
Jasmi menunggu sampai malam Gimpul belum pulang juga, Jasmi yang sudah mendapatkan informasi suaminya berada di mana, bergegas menyusul. Gimpul yang se-dang asyik tentu saja tak senang. Gimpul meninggalkan teman-temannya yang melanjut-kan mengocok kartu.
"Kenapa kau menyusul kemari?" tanya Gimpul.
"Pulanglah kang." ucap Jasmi serak. Matanya kemerahan.
Gimpul tidak senang disuruh pulang. Ia sudah terlampau asyik dengan perjudian yang berlangsung, lebih dari itu ia sudah kalah banyak. Tiba-tiba isterinya datang menyu-sul, tentu saja membuat Gimpul jengkel.
"Kau membuat nasibku sial saja Jas. Aku sudah kalah banyak sekali. Aku harus menebus kekalahanku, kau malah menyusul. Disusul perempuan di saat main judi itu bisa menjadi pertanda sial, tahu?" kata Gimpul yang jengkel.
Jasmi menunduk, matanya mengambang basah. Gimpul memandangi isterinya dengan tak berkedip.
"Kau bawa uang?" tanya Gimpul.
Ditanya seperti itu Jasmi merasa dadanya tambah sesak. Kebetulan sebenarnya bagi Gimpul, pada saat ia butuh tambahan modal isterinya datang. Bahkan bukankah kalung yang dipakai Jasmi sebenarnya juga bisa dijadikan tambahan modal.
"Kang Gimpul, pulanglah."
Gimpul menyeringai.
"Tidak Jas, permainan belum selesai. Aku kalah banyak. Aku harus menebus ke-kalahan itu. Berikan kalungmu itu untuk tambahan modal. Nanti kalau menang akan kubelikan yang lebih besar, sebesar rantai sepeda."
Jasmi kecewa sekali. Pelahan Jasmi menggeleng. Matanya basah.
"Kau akan semakin kalah kang, tidak menang tetapi malah semakin kalah. Per-cayalah."
Gimpul makin tidak telaten. Di ruang tengah perjudian berhenti sejenak menung-gu Gimpul. Gimpulpun gelisah. Rasa-rasanya ia ingin membetot saja kalung kecil yang dipakai Jasmi itu. Kalau dijual kalung itu bisa laku dua ratus ribu. Lumayan.
"Aku kalah banyak Jas. Terasa menyakitkan sekali jika berhenti hanya sampai di sini. Aku harus menebus kekalahan. Jika kau punya uang, berikan padaku. Kalau tak bawa uang, lepas kalung yang kau pakai itu”
Jasmi menunduk. Dengan tatapan mata yang agak aneh ia memandang wajah sua-minya.
"Kang.” ucap Jasmi terbata-bata. “Baru saja ada orang yang datang menyusul ke rumah memberitahu kalau simbok meninggal."
***
BARATAYUDA
Gimpul sedikit terlonjak tetapi tidak terlampau kaget. Mbok Kampun meninggal dunia? Sejenak Gimpul seperti berusaha keras untuk berfikir, apakah yang dimaksud me-ninggal itu? Mengapa mbok Kampun meninggal, atau kalau sudah meninggal bagaima-na? Gimpul memejamkan mata, isi kepalanya masih terkunci karena masih tersita per-hatiannya oleh kartu-kartu remi atau kekalahan yang dideritanya.
Akan tetapi segera saja Gimpul mendapatkan jawaban, seperti ada celah di dalam rongga otaknya yang bisa dilewati. Soal meninggal dunia atau mati, bukankah setiap o-rang pasti akan mengalami jika saatnya sudah tiba. Semua orang yang berlari dalam per-juangan mempertahankan hidup akan sampai di tujuan. Akan mati, jadi apa anehnya apa-bila mbok Kampun mati? Orang sedang duduk santai saja bisa tamat. Bahkan kematian itu sebenarnya juga sangat bermanfaat. Coba kalau tidak ada orang yang mati sementara kelahiran terus berlangsung, bakal penuh sesak bumi ini. Jadi di mana letak keanehan be-rita kematian mbok Kampun itu?
Mata Gimpul agak berkunang-kunang saat memandangi Jasmi.
"Simbokmu?" tanya Gimpul.
"Ya. Gusti sudah mundhut simbok." jawab Jasmi dengan suara amat serak.
Gimpul manggut-manggut.
"Lha terus? Mau apa?" tanya Gimpul datar.
Pertanyaan Gimpul terasa aneh di telinga isterinya. Jasmi memandang suaminya dengan tatapan mata bingung. Jasmi sendiri yang kaget saat berita kematian itu ternyata tidak terlampau mengagetkan suaminya. Padahal yang mati itu mbok Kampun, mertu-anya sendiri.
"Tega kau berkata begitu." suara Jasmi terdengar amat parau.
Namun Gimpul memang punya latar belakang mengapa ia tak begitu kaget de-ngan kematian mertuanya. Gimpul tidak perlu merasa sedih, bahkan jika perlu warta ke-matian mbok Kampun itu harus disyukuri. Mbok Kampun mertua yang sama sekali tidak menghargai keberadaan menantunya. Mertua macam itu mati? Syukurlah, dengan demi-kian tidak perlu lagi berurusan dengan orang itu.
"Bagiku apa artinya? Bagaimana sikap simbokmu selama ini padaku? kau melihat sendiri bukan?" enteng sekali Gimpul berkata.
Jasmi kaget oleh argumentasi yang nyleneh itu.
"Tetapi ia simbokku kang Gimpul. Ia Ibuku. Mertuamu. Ia sudah dipundut Gusti Allah." serak suara Jasmi.
Gimpul memandang isterinya dengan tidak senang.
"Lha terus mau apa?" tanya Gimpul.
Jasmi terpaksa menahan sesak nafas. Haruskah keadaan itu dimaklumi hanya de-ngan sebuah alasan : dari mulut suaminya menyembur bau minuman keras?
Jasmi menggeleng.
"Kita disusul kang, kita harus pulang. Apa kata orang kalau kita tidak datang?"
Sebenarnya sih, di sela-sela otaknya yang tumpul karena pengaruh judi dan minu-mannya, Gimpul mampu sedikit berfikir, memang aneh kalau dia tidak datang pada upa-cara kematian mertuanya. Kalau ada orang punya gawe meski tak diundang Gimpul tanpa malu-malu pasti datang, sebaliknya apakah dalam kematian harus memerlukan unda-ngan? Apalagi itu mertua sendiri?
Gimpul gelisah memandang kalung yang dipakai isterinya, Gimpul juga gelisah karena di dalam teman-temannya menunggu.
"Kau pulang saja duluan Jas, nanti aku akan menyusulmu. Aku harus menyelesa-ikan permainan itu. O ya, tinggalkan kalungmu itu untuk tambahan modalku. Nanti kalau menang akan kubelikan kalung yang lebih mahal dan lebih besar, sebesar rantai kapal la-ut. Sumpah, percayalah."
Jasmi kecewa sekali. Begitu kecewanya Jasmi hingga ia tidak bereaksi apapun ketika Gimpul melepas kalung yang dipakainya. Jasmi menunduk untuk memberi kesem-patan airmatanya runtuh di bumi. Gimpul sama sekali tidak peduli ketika dengan langkah gontai Jasmi meninggalkan tempat itu. Jika Jasmi nantinya sampai di rumah, maka orang akan menduga tangisnya adalah tangis seorang anak yang kehilangan orang tua, padahal sebagian tangisnya karena perilaku Gimpul.
Gimpul telah kembali berkumpul dengan teman-temannya. Senyumnya merekah karena Gimpul telah memegang seuntai kalung. Dengan tambahan modal itu ia akan me-nuntaskan permainan, kekalahan harus ditebus kembali.
"Kenapa isterimu menyusul?" bertanya Supoyo, pemilik rumah yang menyediakan tempat untuk berjudi itu.
"Simboknya mati." jawab Gimpul enteng.
Semua yang berada di ruangan itu tersentak.
"Kita bubar.” kata Mulyadi.
Mulyadi sebenarnya sedang mencari alasan agar permainan itu diakhiri saja kare-na dia sudah menang banyak. Kalau permainan itu dilanjutkan, boleh jadi nasib akan be-rubah. Ia yang sudah menang bisa saja kalah.
Mendengar usulan yang tidak menyenangkan itu Gimpul meradang.
"Tidak bisa. Aku kalah banyak enak saja kau mengusulkan permainan dihentikan. Tidak bisa. Kalau bubar, bisa kubunuh kau."
Gimpul sangat emosi. Mulyadi dan Supoyo saling pandang. Bagi orang yang larut dalam judi, jatuhnya bom nuklir mungkin hanya sebuah gangguan kecil, yang tidak perlu menjadi sebab dihentikannya permainan itu, apalagi hanya sekedar matinya mbok Kam-pun, mertua yang amat dibencinya.
Namun Supoyo, meski gemar berjudi tetapi masih punya hati nurani. Setidak-ti-daknya untuk mengingatkan Gimpul, bahwa tak patut dia bersikap seperti itu.
"Yang meninggal itu mertuamu Pul, kau tetap melanjutkan permainan ini?." de-sak Supoyo.
Jawaban Gimpul membuat segenap orang yang ada di dalam lingkaran perjudian itu miris,
"Aku tak peduli siapapun yang mati. Jangankan mbok Kampun yang hanya mer-tua tidak tahu diri itu, seandainya orang tuaku sendiri yang mati, aku tak peduli."
Seandainya orang tua sendiri yang mati itu memang tidak akan pernah terjadi ka-rena mereka sekian tahun yang lalu telah mati ngenes memikirkan perilaku anaknya.
Cep klakep, tidak ada lagi yang menjawab. Mulyadi yang baru menang segera mengocok kartu. Setan burik seperti memanaskan keadaan, karena setelah mendapatkan kabar kematian mertuanya, nasib Gimpul justru menjadi baik. Giliran Gimpul yang me-nang, Gimpul mulai tersenyum. Pada kocokan kedua lagi-lagi seperti terjadi keajaiban seolah nasib baik berpindah tempat berpihak pada Gimpul. Permainan tambah panas, dan nampaknya sampai pagi sekalipun perjudian itu tidak akan selesai. Gimpul tersenyum dan tersenyum, minuman keras di gelas kembali ditenggaknya.
Gimpul glegeken. “Hoiiiiik.”
Kematian mbok Kampun memang layak ditangisi. Salatun tak henti-hentinya me-nangis. Salatun si anak ragil itu benar-benar terguncang jiwanya ditinggalkan Ibu terka-sihnya. Pak Kampun yang sekian lamanya mendampingi dan didampingi oleh isteri ter-cinta itu seperti tidak percaya isterinya pergi dengan tiba-tiba.
Tanjir dan Jayus dengan mendadak disentakkan oleh keadaan yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan. Ketika simboknya pergi, dengan tiba-tiba mereka merasa ber-dosa karena selama ini mereka banyak mengecewakan simboknya.
Akan tetapi yang paling terpukul adalah Jasmi. Jasmi punya penilaian sendiri me-ngapa simboknya mati. Jasmi merasa dirinya penyebab kematian mbok Kampun. Mbok Kampun terlampau sedih karena Jasmi kawin dengan lelaki yang amat tidak disukainya, perkawinan yang harus ditebus dengan harga yang sangat mahal. Jasmi menggigil menge-nang kematian simboknya yang jelas akibat dari perbuatannya. Seandainya Jasmi tidak ngotot kawin dengan Gimpul, mungkin simboknya masih berumur panjang.
Dalam hidupnya mbok Kampun wanita yang ramah, mudah bergaul dengan siapa saja. Jika ada tetangga punya hajat mantu, mbok Kampun pasti datang meski tidak mene-rima ulem. Jika ada kerabat desa yang meninggal, maka mbok Kampun pasti berada di antara para pelayat. Kini mbok Kampun memetik hasilnya. Tiba gilirannya mbok Kam-pun ajal, para pelayat yang berdatangan memberikan penghormatan tumplek blek meme-nuhi halaman.
Namun tak tercegah pula kasak-kusuk di antara mereka, karena belum lama ber-selang mbok Kampun mantu, kini beberapa hari kemudian mbok Kampun meninggal. Terdapat sebuah kepercayaan yang masih berlaku di masyarakat etnis Jawa tentang na-gadina, di mana perkawinan Jasmi dan Gimpul sebenarnya tidak pas jika ditinjau dengan hitungan nagadina itu. Jasmi pihak wanita tinggal di arah utara, Gimpul pihak laki-laki tinggal di selatan, maka perkawinan yang terjadi pada mereka harus ditebus dengan kematian, lihat saja dalam waktu dekat pasti ada yang mati.
Dan ternyata benar, mbok Kampunlah yang mati.
Namun ada pula yang kasak-kusuk dengan riuh karena tidak melihat Gimpul. Ma-ka wajar jika lahir pertanyaan ada apa dengan Gimpul atau di mana Gimpul kok tidak ke-lihatan batang hidungnya? Tidak begitu lama kemudian kasak-kusuk dengan tanda tanya yang besar itu ada yang bisa menjawab, Gimpul sedang berjudi.
Para pelayat banyak yang ikut bersedih mendengar kisah itu. Setiap kali Jasmi ter-lihat melintas, kasak-kusuk bagai terpancing.
Seisi rumah pak Kampun tersaput mendung, dan kebetulan layaknya, mendung yang sebenarnya sedang lewat. Burung gagak yang biasanya jarang muncul terdengar ber-kaok-kaok keras di sebelah selatan. Lagi-lagi di antara para takziah ada yang mencoba menghubungkan suara burung gagak itu dengan kematian yang baru terjadi itu.
Jasmi terus menangis. Namun nasi telah menjadi bubur. Jasmi tidak mengira be-gitu mahal harga yang harus ditebusnya untuk kawin dengan lelaki yang ternyata berasal dari golongan keblinger yang jelas menjadi penyebab kematian simboknya.
Setelah layon disemayamkan di kuburan Kampung Limo, siang hari segera di-susul oleh datangnya petang. Ternyata Gimpul belum juga muncul diri. Pak Kampun ha-nya bisa mengelus dada melihat nasib anaknya yang begitu buruk. Menantu yang satu ini benar-benar tidak ngajeni wong tuwa.
Pada sebuah kesempatan setelah tahlil dipanggilnya Jasmi.
"Ada apa pak?" tanya Jasmi.
Di hadapan bapaknya Jasmi selalu merasa mendapatkan keteduhan pengayoman.
"Bagaimana dengan keluargamu?" tanya pak Kampun dengan tenang.
Jasmi hanya bisa menunduk. Jasmi merasa bukan pertanyaan itu yang seharusnya ditanyakan bapaknya, tetapi “Mengapa suamimu belum muncul diri? Mana dia?”
"Baik pak." jawab Jasmi berusaha tenang, namun tetap tidak kuasa menahan diri, terlihat dari suaranya yang serak dan bergetar.
"Tampaknya perutmu belum isi?" lagi-lagi pertanyaan pak Kampun mengagetkan.
Jasmi yang semula menunduk itu menengadahkan diri dan memandangi bapak-nya.
"Aku minta maaf pak. Dulu aku berbohong" ucap Jasmi serasa pasrah, penuh mu-atan penyesalan.
Namun penyelasan itu artinya? Nasi telah menjadi bubur. Segalanya telah terla-njur. Dan apa yang terlanjur itu selalu tidak bisa diulang kembali, apa lagi jika apa yang terlanjur itu berkait dengan kematian, dengan noda atau penyesalan. Pepatah mengata-kan, sesal kemudian tak berguna.
"Dari semula aku memang sudah menduga kalau kau belum hamil. Tetapi tak apa , hal itu tak perlu dipersoalkan lagi. Yang penting sekarang, keadaan yang harus diperbai-ki. Suamimu sudah dapat pekerjaan apa belum?" tanya pak Kampun.
Jasmi menggeleng.
Satu-satunya pekerjaan yang dikuasai suaminya hanyalah berjudi dan membual. Jika sudah berjudi Gimpul ternyata betah melek sampai dua hari dua malam, dan sebagai tebusannya juga betah tidur ngedhur dua hari dua malam, seperti membayar lunas mele-kan yang dilakukannya. Juga dalam hal membual Gimpullah jagonya. Siapapun orangnya yang belum kenal Gimpul, tentu percaya dengan bualan Gimpul. Pernah Gimpul mem-bual yang agak keterlaluan, kepada kenalan barunya dia mengaku petugas intel.
"Kunci keluarga itu adalah adanya penghasilan. Suamimu harus kau buka mata-nya agar mau bekerja. Kalau sebuah rumah tangga tidak didukung oleh hal itu, maka ru-mah tangga itu akan gampang ambruk, akan mudah muncul godaan." Pak Kampun mem-berikan wejangannya.
Tepat. Benar apa yang dikatakan pak Kampun. Jasmi sungguh merasakan kebena-ran yang terkandung dalam ucapan bapaknya itu. Sampai jeleh Jasmi memberikan doro-ngan kepada Gimpul untuk mengubah nasib, bahkan dengan berjualan kecil-kecilan, na-mun tetap saja Gimpul bergeming. Maunya Gimpul adalah pekerjaan yang terhormat. Sa-at melihat acara televisi di rumah tetangga, sebenarnya telah mengusik keinginan Gimpul , betapa senangnya seandainya ia bisa seperti bintang dalam sinetron yang ditontonnya itu. Memakai dasi, bersepatu dan punya mobil.
Pada suatu hari Gimpul pinjam dasi pada pak Solekan Guru SMP yang setiap Jum' at dan Sabtu nyambi ngojek di Kalipahit. Dasi itu dikenakan sambil mematut diri di depan kaca.
Oleh pertanyaan bapaknya itu Jasmi tak tahan, meski sebenarnya ia tidak ingin mengungkapkan, namun akhirnya dikeluarkan juga isi hatinya.
"Bekerja apa to pak? Keinginannya bekerja hanya di kantoran, seperti temannya yang menjadi pegawai di kecamatan itu. Kalau mau mendirikan pracangan, ia malu."
"Pilih malu atau kelaparan?" bertanya pak Kampun.
Jasmi hanya bisa menghela desah.
"Begini saja Jas, simbokmu sudah tidak ada. Salatun masih kaget karena ditinggal pergi simboknya. Maka sebaiknya kau pulang saja. Kau tempati kamar yang di depan itu bersama suamimu."
Sebuah usul yang sungguh simpatik dan menyejukkan.
"Kami....pulang?" tanya Jasmi seperti tidak percaya,
"Ya. Sambil aku akan mengajari suamimu bagaimana cara berdagang. Dagang sa-pi, atau dagang kambing atau nebas sawah. Suamimu mungkin perlu dituntun agar bisa bekerja." lanjut pak Kampun.
Atas ijin dari bapaknya itu maka sepekan kemudian setelah kematian simboknya, Jasmi dan Gimpul pulang dan menempati kamar depan. Tanjir yang mendapat laporan dari Jayus mencak-mencak seperti munyuk terkena tulup. Dengan clurit di tangan kanan Tanjir berteriak. Gimpul gugup sekali.
"Jas, ke sini kamu." teriak Tanjir pada adiknya.
Jasmi datang mendekat dengan perasaan was-was.
"Ada apa?" tanya Jasmi.
Tanjir melotot, membuat Jasmi amat ngeri. Apalagi Tanjir memegang clurit.
"Siapa yang mengijinkan kau menempati kamar depan?" keras suara Tanjir.
Tanjir malang kerik, matanya yang melotot seperti akan terlepas dari embanan-nya. Gimpul yang melihat adegan itu benar-benar rontok nyalinya. Gimpul tak menyang-ka, kakak iparnya ternyata amat mengerikan.
"Memang kenapa kang Tanjir?" tanya Jasmi dengan heran.
"Kamar itu akan kutempati. Aku yang akan pakai. Kau boleh minggat ke mana kau suka, kau tidak berhak lagi tinggal di rumah ini.” meledak Tanjir.
Jasmi kebingungan dan tidak tahu harus berkata apa. Gimpul yang merasa ngeri hanya memandang dari kejauhan tidak berani menengahi. Bahkan seandainya Tanjir itu menghajar isterinya, Gimpul mungkin lari terbirit-birit.
Namun Jasmi yang telah merasa mendapat ijin dari bapaknya, apalagi kamar yang akan ditempati itu dulu adalah kamarnya, tidak mau mengalah begitu saja.
"Kau ini mendem atau bagaimana? bapak yang menyuruh aku menggunakan ka-mar itu. Aku salah seorang anaknya, aku berhak untuk tinggal di rumah ini."
Namun rupanya Tanjir punya alasan sendiri untuk tidak suka dengan kepulangan adiknya itu. Kematian mbok Kampun mewariskan kebenciannya terhadap Gimpul. Tanjir berpendapat, simboknya mati akibat lonthe lanang itu. Dulu mbok Kampun yang benci setengah mati kepada Gimpul. Dengan kematian mbok Kampun persoalan benci itu ter-nyata tidak selesai dengan kepergian orangnya, kebencian itu ternyata disuarakan Tanjir, bahkan dengan teriakan yang lebih lantang.
Tanjir semakin meninggikan malang keriknya. Suaranya kasar dan keras. Ujung hidungnya mekar. "Setelah apa yang kau lakukan, kau merasa pantas untuk tetap tinggal di rumah ini Jasmi? Apalagi dengan membawa lonthe lanang itu?"
Jasmi kaget,
"Kang,.." Jasmi merasa tercekik lehernya.
"Malam nanti kamar itu akan aku pakai." berkata Tanjir tegas, tidak memberikan kesempatan untuk tawar menawar.
"Lha aku menggunakan kamar sebelah mana?" desak Jasmi.
"Mau tidur di emperan atau di mana, terserah."
Retak hati Jasmi. Ia semakin merasa terbuang. Seolah memang tidak ada tempat baginya. Sayang sekali Jasmi menghadapi Tanjir hanya sendirian. Kalau saja ada bapak-nya, setidak-tidaknya ada yang akan membela. Jasmi melihat Jayus juga bersikap serupa. Sebagaimana Tanjir, Jayus melihat Jasmi dan suaminya yang menjadi penyebab kemati-an Ibunya.
Namun Jasmi tidak mau mengalah begitu saja. Jasmi masih mencoba melawan.
"Tak bisa kang Tanjir. Aku tak mau kau atur seperti itu. Aku juga anak pak Kam-pun, bapak sendiri sudah menyuruhku memakai kamar depan itu. Jangan main perintah seenak wudelmu sendiri."
Namun sikap Tanjir benar-benar kaku. Biasanya Tanjir memang tidak segan-se-gan menggampar adiknya itu kalau Jasmi melakukan sesuatu yang tidak disenanginya.
"Kamu dengar Jas? Kamu boleh pulang tetapi hanya kamu, tidak untuk suamimu. Kalau dengan suamimu, kau boleh tinggal di manapun tetapi tidak di rumah ini." benar-benar keras dan kasar suara Tanjir.
Jasmi merasakan dadanya makin perih. Perihal Gimpul yang menjadi penyebab kematian simboknya, itu bukan hanya pendapat Tanjir, bahkan suara hatinya sendiri de-ngan jujur mengakui, gara-gara Jasmi kawin dengan Gimpul itulah mbok Kampun jatuh sakit dan kemudian mati. Betapapun pahitnya, memang itulah kenyataannya.
Apaboleh buat, dengan hati yang perih Jasmi dan Gimpul boyongan lagi. Semua barang yang dibawa dinaikkan lagi ke atas dokar. Jasmi begitu larut hingga air matanya jatuh menitik. Gimpul mungkin jengkel karena ia sudah capek usung-usung, namun ha-rus pergi lagi, apalagi di bawah tatapan mata aneh para tetangga. Di sudut hatinya Gim-pul menyimpan sakit hati karena disebut lonthe lanang. Jika Gimpul punya keberanian, pasti akan disobeknya mulut lancang yang berani memaki lonthe lanang itu.
Para tetangga kiri kanan yang sebelumnya ikut membantu mengemas barang-ba-rang saat Jasmi memutuskan pulang, mereka kaget melihat Jasmi kembali dengan tangis tersedu-sedu. Apa yang dirasakan Jasmi barangkali bisa diibaratkan orang akan naik haji yang sudah terlanjur pamit tetangga kiri kanan namun tidak jadi berangkat karena berada dalam daftar tunggu. Malu sekali.
Esoknya, masih pagi-pagi sekali pak Kampun datang. Jasmi tidak kuasa menahan tangisnya.
"Aku sudah memarahi Tanjir. Dia tidak akan berani lagi mengusirmu." berkata pak Kampun.
Sesak tarikan nafas yang dirasakan Jasmi. Dengan mata memerah sisa kesedihan, Jasmi menggeleng. Jasmi yang terlanjur patah arang, menolak permintaan bapaknya itu.
"Pulanglah." desak pak Kampun. "Rumah menjadi kacau balau dengan kepergian simbokmu. Tak ada yang memasak dan ngurusi yang lain-lain. Salatun masih larut de-ngan kesedihannya. Kau sangat dibutuhkan di rumah”
Jasmi memandang bapaknya dengan tatapan mata tak berkedip. Tiba-tiba saja Jasmi merasa, bapaknya demikian cepat menua. Baru beberapa hari ditinggal pergi sim-boknya, rasa-rasanya rambut bapaknya berubah memutih semuanya, tulang pipinya ce-kung.
"Tidak pak. Kang Tanjir tidak menghendaki aku berada dirumah, biar saja aku i-kut suami. Lagi pula sudah menjadi kewaji¬ban seorang isteri untuk ikut suami, ke neraka sekalipun." berkata Jasmi.
Pak Kampun berusaha menelan kata-kata anaknya itu. Apabila Gimpul menantu yang sembada, pak Kampun tak akan terlampau gelisah. Tetapi malangnya Gimpul bukan lelaki yang sembada, suami yang bisa ngayomi isteri apapun yang terjadi.
Pak Kampun hanya bisa menghela resah. Sejak kematian isterinya memang ba-nyak hal yang berubah di dalam rumah. Setidak-tidaknya segala sesuatu seperti tidak ber-jalan sebagaimana seharusnya. Untuk kebutuhan makan sehari-hari, terpaksa meminta bantuan tetangga untuk memasak.
Salatun masih larut dalam kesedihan. Salatun benar-benar merasa kehilangan de-ngan kepergian simboknya. Si anak ragil itu berubah menjadi pemurung. Jasmi juga me-lihat hal itu.
“Bapak harus mencari batur." ucap Jasmi.
Pak Kampun memandang Jasmi. Namun pak Kampun tak berkomentar apapun.
Jasmi melanjutkan,
"Kang Tanjir tidak menghendaki aku pulang. Jika Salatun masih larut dalam ke-sedihannya, sebaiknya bapak ngingu batur, untuk memasak mencuci dan sebagainya."
Sebuah gagasan yang memang masuk di akal. Maka demikianlah, pak Kampun menganggap menggaji seorang bedinde memang merupakan jalan pemecahan yang se-baik-baiknya.
Atau mungkin kawin lagi? Dengan kawin lagi bukankah pemecahan masalah juga selesai? Dengan punya isteri lagi berarti ada orang yang akan menggantikan kedudukan mbok Kampun? Ahh, terlampau dini untuk kawin lagi. Isterinya mati belum genap empat puluh hari, sungguh tidak patut kalau terlintas pikiran macam itu.
Beberapa hari kemudian, hari masih pagi ketika sebuah dokar berhenti di depan rumah, mengagetkan Jasmi yang melamun. Pandangan Jasmi pada adiknya sekaligus me-njadi sebuah pertanyaan. Salatun tidak menunggu terlalu lama untuk segera menerangkan apa yang terjadi.
"Di rumah sekarang sudah ada batur. Batur yang cantik sekali." Salatun membuka cerita.
Jasmi kaget.
"O ya? Batur cantik? Siapa?" tanya Jasmi.
“Cah Rogojami, namanya Salehak. Tadi malam kang Tanjir dan kang Jayus pe-rang baratayuda gara-gara batur itu." jelas Salatun.
Jasmi kaget. Batur sampai menyebabkan dua kakaknya berkelahi, apa persoalan-nya?
Jasmi yang mengusulkan kepada bapaknya agar mempekerjakan batur, maksud-nya batur yang lumrah saja. Batur yang tidak lumrah itu ya seperti yang ada di sinetron atau film, contohnya Inem pelayan seksi itu. Artinya jika batur itu cantik, malah bisa me-njadi sumber masalah. Sudah banyak cerita tentang perselingkuhan antara majikan de-ngan babu. Juga sudah banyak cerita tentang babu cantik yang menjadi penyebab keti-dak-tenteraman.
"Kenapa?" desak Jasmi.
Salatun membuang pandang ke kejauhan, seperti membuang sesuatu yang meng-gelisahkan hatinya.
"Karena baturnya cantik dan nggregetke. Sing rumangsa dadi lanang mbingu-ngi" jawab Salatun.
Jasmi lebih kaget lagi.
"Terus?"
"Aku tidak kerasan di rumah yu. Aku ikut kamu saja. Mana suamimu?"
Jasmipun gelisah. Ayahnya telah menggaji seorang batur sebagaimana saran yang diberikannya. Akan tetapi batur itu menyebabkan dua saudaranya bertengkar. Kalau Ta-njir yang brangasan, berkelahi dengan Jayus yang juga brangasan, akan seperti apa ke-adaan di rumah? Rumah yang berubah suram itu akan menjadi sebuah neraka yang pa-nasnya mampu mengilas siapapun yang tinggal dalam rumah itu.
"Yu Jasmi, aku boleh ikut kamu di sini?." Salatun mende¬sak.
"Kamu ini bagaimana? bapak tidak ada temannya malah Kamu tinggal pergi. Ka-lau aku dan kang Gimpul, sudah terlanjur basah kuyup maka biarlah kami seberangi se-kalian. Sebaliknya kami tidak mungkin pulang dan tinggal di rumah karena kang Tanjir sikapnya seperti itu. Kami di sini hidup sengsara Tun, suamiku tak beker¬ja. Yang bekerja membanting tulang aku. Kau lihat di depan itu, aku jualan."
Salatun memandang ke arah yang ditunjuk. Di atas meja memang ada beberapa barang dagangan yang tak seberapa nilainya. Beberapa buah toples berisi permen, bebe-rapa mainan murahan yang digantung-gantung. Juga karet gelang yang diikat-ikat.
Salatun agak heran,
“Kang Gimpul mengijinkan?" tanyanya.
Jasmi mengangguk mendahului jawabnya.
“Ya, akhirnya mengijinkan. Habis mau makan apa kalau tak bekerja?, mau makan lungka?"
Namun Salatun memandang dagangan itu dengan tatapan bergairah. Bisa mem-bantu jualan mbakyunya bagi Salatun tidak ubahnya mendapatkan sebuah mainan yang menyenangkan.
“Aku ikut kau yu, aku akan membantumu jualan." berkata Salatun dengan penuh semangat. Salatun membayangkan, jualannya nanti akan laris dan semakin laris, kemu-dian akan berubah menjadi sebuah toko yang besar, dan akhirnya semakin besar seperti swalayan yang ada di Banyuwangi kota.
Jasmi menggeleng.
“Jangan Tun aku keberatan. Lebih baik kau tinggal di rumah. Setidak-tidaknya kau akan bisa menjadi air penyejuk rumah itu sepe¬ninggal simbok. Kasihan bapak kalau kau tinggal di sini." berkata Jasmi dalam keprihatinan yang berharga amat mutlak.
“Aku merasa ngeri melihat kang Tanjir dan kang Jayus penthelengan saling be-rebut perhatian Salehak batur genit itu." berkata Salatun.
Sebenarnya Jasmi heran. Seperti apakah ujut lahiriah batur itu sampai-sampai dua kakaknya sanggup bermusuhan bahkan saling ancam akan bacok-bacokan?
“Apakah dia cantik?" tanya Jasmi penasaran.
“Ya." jawab Salatun. "Sangat cantik. Aku dan yu Jasmi saja kalah cantik, Mmm, anu, wajahnya sepeti siapa ya? Mmmm, o ya, seperti bintang pilem yang membintangi iklan samphoo yang rambutnya digeraikan begini itu lho.”
Jasmi gelisah. Seberapa parah sebenarnya persoalan yang berkembang di rumah, apakah kehadiran pembantu rumah tangga itu telah menjadi api di dalam sekam yang siap berkobar setiap saat? Siap membakar hangus siapapun, menjadi provokator yang mendorong kakak beradik Tanjir dan Jayus untuk memulai perang baratayudha?”
Nampaknya memang demikian. Kehadiran pembantu bernama Salehak yang ujut lahiriahnya memang cantik itu membuat gerah seisi rumah. Pada suatu saat Tanjir baru saja dari sumur. Salehak sedang menjemur setumpuk pakaian setelah mencucinya di su-ngai. Salehak sendiri dalam keadaan basah kuyup mencetak lekuk-lekuk tu¬buhnya de-ngan sempurna. Itulah sebabnya pikiran Tanjir menjadi ngeres, gelisah dan serba salah. Begini salah, begitu salah. Laki-laki yang banyak memiliki kukul di wajahnya itu kebi-ngungan sendiri. Tanjir merasa akan menjadi gila kalau tidak mendapat kesempatan me-nyalurkan hasratnya pada pembantu rumah tangga itu.
Namun bukan hanya Tanjir yang kalang kabut. Jayus tidak kalah ngeres gara-gara melihat keadaan Salehak pada saat mengepel lantai. Lantai yang meski dari tegel namun jarang dipel itu menjadi bersih dengan kedatangan Salehak.
Sebagaimana kakaknya, maka Jayus telah sampai pada pilihan yang tak bisa dita-war, entah bagaimana caranya Jayus harus bisa memiliki pembantu rumah-tangga itu.
Bagaimana dengan Salehak? Prawan osing itu sungguh bikin gemes siapapun. Su-lit untuk dimengerti mengapa gadis yang secantik Salehak, pantat berbentuk bulat, kalau berjalan menimbulkan gempa di sekujur tubuhnya, tatapan mata yang sayu sejuk dan cara bicara yang lembut seperti putri Solo, mengapa gadis secantik itu mau jadi babu?
Salehak meski cantik bernasib sungguh malang. Belum lama berselang bapak Ibu-nya mati susul-menyusul. Sang bapak mati karena tertimpa pohon kelapa saat berteduh dari hujan. Sang isteri mungkin karena rasa cintanya menyusul kepergian suaminya, de-ngan meninggalkan Salehak hidup sendiri di dunia ini.
Apa boleh buat, karena waktu terus berjalan, segala hal terus berputar, perjalanan hidup selalu dikawal oleh berbagai kebutuhan, maka Salehak tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus bekerja, bekerja apapun bahkan sebagai babu sekalipun.
Pilihan telah jatuh. Tawaran untuk bekerja sebagai babu di rumah pak Kampun itu diterimanya dengan senang hati. Dengan bekerja membabu setidak-tidaknya bisa ma-kan setiap hari. Syukurlah jika nanti anak majikan ada yang kesengsem kepadanya dan kemudian memungutnya, menaikkan pangkat dari babu menjadi isteri.
Sebenarnya ada beberapa lelaki yang ingin mengawini Salehak. Namun kalau sudah berbicara soal lelaki, Salehak yang lembut sejuk bisa berubah menjadi judes. Salah seorang lelaki yang ingin mengawininya itu bernama Sutrimo, orang Penataban yang bekerja sebagai tukang patri kemasan dan mangkalnya di Pasar kota Banyuwangi. Sa-yang Sutrimo lelaki yang nggratil, tangan¬nya gemar ketrampilan diimbangi pula dengan mulut yang suka omong jorok.
Omongan jorok itu dibalas dengan dampratan dan segala jenis sumpah serapah o-leh Salehak. Trimo terpaksa mundur sambil membalas menyumpah-serapahi dengan se-gala macam kutukan. Sumpah serapah khas osing,
“Aja payu rabi sira ya. Muga byain pilih-pilih tebu, ‘sing entuk pucuke entuka bongkote."
Apakah serapah macam itu bisa bermuatan kutukan? Mungkin saja tidak. Namun akan menjadi lain soalnya jika berbicara dengan orang osing yang kebetulan punya jiwa bengkak seperti Trimo itu. Kalau dendam tidak segan-segan menabur tembang keme-nyan, kalau cinta ditolak, tidak segan menabur tembang jaran goyang. Dan kalau tem-bang jaran goyang bermuatan jampi-jampi japa mantra itu cukup manjur, maka boleh ja-di orang yang menjadi sasaran tembang jaran goyang itu akan berbalik tergila-gila kepada orang yang semula ditolaknya, atau bisa lebih parah malah menjadi gila, menyu¬sur jalan menyanyikan tembang kalong embat-embat, sambil menarik tali yang pada ujungnya te-rikat beberapa biji kaleng kosong, menimbulkan suara riuh di sepanjang jalan yang di-lewatinya.
Dengan keadaan seperti itulah Salehak memilih pergi meninggalkan Rogojampi dan ikhlas menjadi babu di rumah pak Kampun.
Hari-hari belum genap pada hitungan jari ke dua belah tangan, akan tetapi kehadi-ran Salehak itu mampu membuat suasana rumah pak Kampun tegang.
Tanjir yang mengetahui Jayus naksir berat pada babu cantik itu telah mengasah pedang. Jayuspun tidak mau surut. Untuk hal yang lain boleh saja Jayus menepi, namun untuk bisa menda¬patkan babu cantik bernama Salehak itu Jayus rela berkalang tanah dan mempertaruhkan selembar nyawa yang dimilikinya.
Itu sebabnya sebuah celurit diasahnya.
Celurit madura melawan caluk osing, siapa yang akan mendahului membenam-kan benda tajam itu ke dalam perut pesaingnya? Jayus ataukah Tanjir? Siapa yang bakal memenangkan persaingan perebutan piala cantik dengan jabatan babu bernama Salehak itu?
Pada sebuah saat, di mana pak Kampun sedang tidak berada di rumah, Tanjir dan adiknya telah saling berhadapan. Tanjir memandang Jayus yang memegang celurit di ta-ngan kanannya. Celurit itu diasah mengkilap. Tanjir bisa mengukur, kalau saja ayunan celurit itu menyambar kepalanya hanya dengan sekali tebas saja, maka kepala itu akan berpisah dan mengucapkan selamat tinggal kepada gembungnya. Tanjir ngeri memba-yangkan hal itu akan terjadi pada dirinya.
Namun sebaliknya Jayus juga sadar, bahwa caluk panjang di tangan kakaknya itu sangat tajam. Caluk yang terbuat dari per praho¬to itu telah diasah mengkilap. Jayus per-nah mengintip saat Tanjir melakukan tes terhadap caluk kebanggaannya. Sekali ayun pohon pisang sebesar pelukan, langsung putus. Kalau caluk itu diayun menyambar pe-rutnya, maka isi ususnya akan terburai keluar. Jayus pernah mendengar kisah tentang Haryo Penangsang yang mati dengan usus terburai dibabat tombak oleh Sutowijoyo. Ja-yus tentu tidak menginginkan hal itu terjadi pada dirinya.
Karena Tanjir melakukan tes caluk, maka Jayus mengadakan tes clurit pula, po-hon pisang yang berada di sebelahnya dibabat putus dengan sekali tebas pula.
Jika hanya ada dua pilihan yang tidak bisa dihindarinya, dibunuh atau membunuh, maka apa boleh buat, lebih baik membunuh daripada dibunuh. Seperti prinsip tentara itu, lebih baik menda¬hului membunuh musuh daripada kedahuluan mati konyol diberondong peluru musuh.
“Asu," Tanjir mengumpat kasar.
“Kamu yang asu." Balas Jayus tidak mau kalah.
“Bajingan kowe." Tanjir tidak mampu menahan emosinya. “Jancuk”
Tanjir sangat marah melihat Jayus itu menjadi pesaingnya. Tanjir agak kecewa melihat kenyataan, Salehak yang dibidiknya itu lebih dekat dan akrab dengan Jayus. Dari segi tongkrongan Jayus memang lebih tampan darinya.
Diumpat amat kasar macam itu tentu saja Jayus tidak bisa menerima.
“Kowe yang bajingan.... Ayo, kamu mau apa?" begitu ganas Jayus menjawab um-patan kakaknya itu.
Dengan amat waspada tangan kanannya menggenggam gagang celurit. Kalau Ta-njir sampai mengayunkan pedangnya, maka Jayus akan menghindar sambil balas menye-rang. Jayus yakin, ayunan celuritnya pasti akan mampu merobek perut saudaranya itu.
Akan tetapi sebagaimana Jayus yang memilih menunggu, maka Tanjir sebenarnya juga ragu. Ada rasa ngeri dan takut kalau perkelahian berebut babu itu sampai terjadi. Rupanya di balik kegarangannya, baik Tanjir maupun Jayus masih menyimpan secuil si-kap pengecut, jirih wedi getih. Pedang ataupun celurit buatan Madura dengan ujung lan-cip itu hanya sebagai alat untuk menggertak. Namun jika harus menggunakan, nanti dulu.
“Jangan kau dekati dia." ancam Tanjir.
Jayus meremehkan ancaman itu.
“Justru kau yang jangan dekati dia."
“Tak bacok kowe." ancam Tanjir.
Jayus bergeming di tempatnya.
“Bacoken, kalau ingin kubabat endhasmu, ha?"
Mendengar suara kedua kakaknya bertengkar dan masing-masing telah mengge-nggam pedang membuat Salatun ketakutan dan sebisa-bisa berusaha melerai mereka.
“Berhenti." teriak Salatun.
Teriakan Salatun itu menjadi semacam tombol yang secara otomatis menghenti-kan mereka. Baik Tanjir maupun Jayus yang sebenarnya tidak berani menanggung resiko mampus dalam perkelahian, segera saja memanfaatkan kesempatan itu untuk ngeloyor pergi. Untung ada Salatun yang memisahkan mereka, kalau tidak, betapa sulitnya men-cari alasan untuk menghindar dari perkelahian itu tanpa kehilangan muka.
Keadaan rumah macam itulah yang menye¬babkan Salatun merasa tidak betah dan pergi ke rumah kakaknya.
Rupanya Tanjir sadar sepenuhnya, bahwa segala sesuatunya tergantung pada Sa-lehak sendiri. Kalau ia berhasil menghadang Jayus, apalah artinya itu kalau ternyata Sale-hak tidak mau kepadanya. Itulah sebabnya Tanjir berusaha menanamkan pengaruh pada prawan osing bernama Salehak yang punya tahi lalat di dagu itu.
“Hmmm,.." Tanjir berdehem mengejutkan Salehak.
Salehak menabur senyum, membuat Tanjir kalang kabut.
“Ohhh, kang Tanjir? Ada apa kang?" tanya Salehak ramah.
Tanjir membalas senyum itu.
“Kau sedang apa? Okey"
Tanjir membuka percakapan dengan pertanyaan yang sangat wagu. Mestinya Ta-njir tidak perlu bertanya, karena Tanjir tahu apa yang dikerjakan Salehak. Lagi pula ke-napa harus menggunakan kata Okey?
“Aku menghangatkan makanan, kang." jawab Salatun.
Tanjir memandang babu Salehak dari ujung kepala hingga kaki dengan lahap. Sa-lehak terpaksa menundukkan wajah.
“Aku dhemen padamu Hak. Bagaimana? Okey"
Ditanya seperti itu Salehak mendongak. Cara Tanjir mengungkapkan isi hatinya terlampau kasar dan langsung tanpa diberi awalan terlebih dulu. Seolah juga bermuatan ancaman, "Awas kamu kalau tidak mau."
“Apakah kau mau dhemenan dengan aku Hak? Kita saling dhemen. Bagaimana? Apakah kau bersedia? Okey?"
Kata okey saat itu sedang populer di ruang pergaulan Tanjir. Itulah sebabnya se-dikit-sedikit Tanjir menggunakan kata-kata itu. Mesti adakalanya tidak pada tempatnya, seperti misalnya pada kalimat, “Kau okay mau ke mana ha okay?.” Sekali waktu sempat juga muncul kata-kata Mek, maksudnya Mac. Maka sedikit-sedikit Hai mek, jangan dong mek, bahkan ketika bahasa gaul anak-anak muda Jakarta begitu populer, sedikit-sedikit dong dan deh. “Ahhh, jangan begitu dong deh!” atau “Gilo le, lagi enak-enak tidur di ba-ngunan.” Maksudnya : Gila lu, lagi enak-enak tidur dibangunin.
Cemas kalau tidak berhasil Tanjir lebih memberikan tekanan. Salehak menunduk. Salehak tiba-tiba ingat Sutrimo yang juga pernah menyampaikan minatnya untuk dheme-nan. Namun Sutrimo suka misuh dan kasar. Salehak melihat sosok macam itu pada diri Tanjir. Sebenarnya kalau boleh memilih, Salehak tentu akan menjatuhkan pilihannya pa-da Jayus yang lebih tampan dan halus perangainya daripada Tanjir.
“Aku masih bocah kang, aku belum tahu apa-apa." Salehak menjawab.
Tanjir merasa ada sebuah penolakan. Tanjir cemas.
“Jangan khawatir, Nanti akhirnya kau akan tahu apa-apa. Mau ya? kau jadi kepu-nyaanku mau ya?" Tanjir memberondongkan peluru rayuannya. Rayuan yang terasa wa-gu.
Salehak menunduk, bingung dia. Tanjir menjulurkan tangan maksudnya akan me-ngelus pipi, Salehak surut selangkah. Biasanya kalau diperlakukan seperti itu, Salehak bi-sa berubah menjadi prawan beringas, akan tetapi kali ini Salehak terpaksa harus berfikir dua kali. Salehak tentu tidak mau kehilangan pekerjaan karena, misalnya sampai diusir dari rumah itu.
“Aku hanya batur kang." Salehak berbicara sambil menghindar.
Kalau hanya itu alasannya, Tanjir jelas tidak peduli batur. Bukankah batur itu bu-kan species alien yang harus dihindari. Batur bukan jenis penyakit menular yang harus di-usir? Batur itu manusia juga. Apalagi batur cantik seperti Salehak, batur secantik itu ha-rus dilestarikan.
“Tidak apa-apa.” ucap Tanjir. “Sekarang kau jadi batur. Namun nanti kalau kamu sudah jadi kepunyaan diriku, kamsudku eh maksudku menjadi isteriku, derajadmu akan naik tidak batur lagi tetapi Bu Tanjir. Mau ya jadi dhemenanku? Ingat, kalau Jayus ku-nyuk itu mencoba merayumu, kau jangan mau. Kau harus menjadi dhemenanku. Kau de-ngar itu?"
Salehak tidak menjawab, ia diam. Salehak agak takut karena dari mulut Tanjir ada bau nafas yang aneh. Bau alkohol? rasanya bukan.
“Siapapun yang akan mencoba mengusikmu, akan kubunuh. Okey?" Tanjir me-lanjutkan.
Bagaimanapun ancaman itu mengerikan. Tentu saja Salehak ketakutan. Dulu di Srono pernah terjadi dua orang pemuda saling berbunuh hanya karena berebut perhatian seorang wanita. Apakah hal itu harus terulang kembali dengan dirinya sebagai obyek yang diperebutkan?
Lebih jauh Salehak merasa ngeri kalau ingat kejadian setahun yang lalu. Sese-orang dibunuh beramai-ramai karena dituduh dukun santet. Hanya karena suka membual punya kemampuan supranatural, bisa nyantet, bisa membuat dagangan jadi laris, maka dibantailah orang itu oleh tetangganya yang sesama dukun yang merasa iri melihat kelarisan praktek dukun pesaingnya. Padahal menurut Salehak yang amat mengenal o-rang itu, dia membuka praktek menjadi dukun karena ada pasarnya, karena banyak yang membutuhkan, karena banyak orang goblok yang percaya dukun, dan terakhir karena duitnya. Apakah dia benar-benar bisa memasukkan bongkahan kaca, jarum, serpih kain ke perut orang, itu sih omong kosong.
Kebetulan juga Salehak menyimpan pengalaman mengerikan di benaknya. Sale-hak melihat dengan mata dan kepalanya sendiri seseorang dibakar massa karena keper-gok mengambil mangga milik tetangga. Celakanya mengambilnya tanpa permisi alias menyolong. Celakanya lagi beberapa hari sebelumnya di Lemahbang, tempat kejadian itu , banyak terjadi maling dan kecurian yang menyebabkan setan burik dengan gampang menempatkan diri sebagai provokator mengipasi keadaan.
Harapan Jasmi akan menarik arisan berupa kado-kado yang terkumpul dari para tamu tidak menjadi kenyataan. Sungguh sebuah upacara perkawinan menyedihkan. Bah-kan para tetangga bertanya-tanya dalam hati, ada apa di balik perkawinan yang aneh itu. Mengapa pak Kampun tidak mengadakan upacara perkawinan besar-besaran, apalagi me-ngingat ini mantu yang pertama baginya. Lagi pula, bukankah pak Kampun baru saja panen kedelai yang hasilnya cukup bagus?
Jasmi kawin dengan Gimpul hanya dengan selamatan yang sederhana alakadar-nya, itupun mbok Kampun selalu menekuk wajah. Dari pagi hingga sore mbok Kampun hanya mencureng dengan wajah disaput mendung tebal. Mbok Kampun sungguh kecewa melihat anak gadisnya itu naik pelaminan dengan seorang pemuda yang kehadirannya merupakan sebuah aib. Mbok Kampun kumat jantungnya saat mbok Rikin yang ikut si-buk di dapur tertawa cekikikan, mungkin geli melihat Jasmi anak mbok Kampun akhir-nya dikawin Gimpul. Padahal terakhir, sepekan yang lampau Gimpul menyelinap ke ru-mahnya, kali ini hanya dengan diiming-imingi selembar uang sepuluh ribuan untuk me-mijit tubuhnya dan selanjutnya.
Jasmi seperti tercekik ketika akhirnya pak naib mengesahkan dirinya sebagai seo-rang isteri menyandang derajad "Bu Gimpul” Baru saja upacara itu rampung mbok Rikin sudah nyelonong duluan menjadi orang pertama yang memberikan selamat kepada te-manten berdua.
"Selamat Jas, selamat Pul, selamat menempuh hidup baru." ucap mbok Rikin pe-nuh semangat.
Mbok Rikin benar-benar bikin malu dan merah wajah Jasmi, karena mengucap-kan selamat itu sambil memberikan salam tempel berupa selembar uang lima ribu. Yang lebih tak sopan karena salam tempel itu tidak dibungkus amplop. Dan mbok Rikin adalah satu-satunya orang yang menyumbang pada pernikahan itu.
Dengan merah padam Jasmi menyerahkan uang itu kepada Salatun.
Sungguh sebuah suasana yang sangat muram. Lima orang tetangga yang diundang untuk menjadi saksi pernikahan itu seperti tak tega memakan berkat yang disuguhkan.
Satu-satunya orang yang menganggap perkawinan itu harus dipestakan, hanyalah Tanjir, kakak tertuanya yang mengundang beberapa temannya untuk keplek. Saat di ru-ang depan pak Naib melantunkan nasehat dan doa, Tanjir dan teman-temannya memban-ting kartu menggilir kocokan. Yang kalah mengumpat, yang menang juga mengumpat. Udut klepas-klepus digilir dengan minuman keras cap Gembok Merah. Beberapa di an-taranya sudah ada yang miring, ngomong tidak jelas. Pengaruh minuman keras Cap Gembok dicampur abu rokok itu menambah suasana menjadi lebih muram.
Sorenya.
"Kamu kenapa mbokne?" bertanya pak Kampun pada isterinya yang duduk mela-mun di belakang.
Mbok Kampun tidak mengalihkan pandang dari arah sumur. Mbok Kampun diam tidak menjawab. Selama sekian tahun lamanya ia berumah tangga hingga mempunyai empat anak, dua lelaki dan dua perempuan, tidak pernah pak Kampun melihat isterinya begitu sedih, begitu kecewa.
Pak Kampun segera duduk di sebelahnya dan mencoba menghibur.
”Jangan melihat pilihan apa yang dijalani anakmu itu sebagai sebuah sebuah ke-keliruan mbokne, karena lahir, kawin dan mati itu merupakan rahasia Gusti Allah. Mung-kin sudah jodohnya, jadi harus diikhlaskan. Sudah takdir mau apa lagi?” hiburnya.
Sudah takdir? mbok Kampun meronta dan tidak begitu percaya. Apakah kalau su-dah takdir tidak bisa disiasati? Lagi pula yang ngomong takdir itu biasanya untuk meng-hibur diri. Kalau terbentur sesuatu yang tidak dikehendaki selalu takdir yang dijadikan paran tutuhan, dijadikan kambing hitam. Bagi mbok Kampun masalahnya jelas bukan takdir. Kalau Jasmi mau, kalau Jasmi teguh, ia tak akan terjerembab ke kubangan nista. Apa yang diperoleh setelah menjadi isteri Gimpul kalau bukan nista? Bukan nista untuk Jasmi saja, juga untuk orang tuanya.
Namun mbok Kampun menyimpan gejolak itu rapat-rapat. Matanya tidak berke-dip memandang bibir sumur? Tergoda akan masuk sumurkah mbok Kampun? O, tentu saja tidak. Hanya kebetulan saja mbok Kampun duduk dengan pandangan lurus ke su-mur.
Mbok Kampun ingat beberapa bulan yang lalu, saat mbok Rikin datang dan tanpa risih memamerkan cupang yang carut-marut di lehernya. Tentu saja saat itu mbok Kam-pun heran karena setahunya mbok Rikin itu sudah beberapa tahun menjanda, suaminya mati dalam kecelakaan di Bali, mati sia-sia karena diterjang truck yang melaju kencang dengan rem blong. Itupun suaminya mati saat berboncengan dengan wanita lain, entah siapa wanita lain itu sampai sekarang tidak diketahui jati-dirinya. Polisi tidak berhasil menguak jati-dirinya.
Kala itu,
"Dengan siapa kau melakukan yu Rikin ?" bertanya mbok Kampun sangat heran dan geli.
Yu Rikin tua, tetapi tua-tua keladi, semakin tua semakin menjadi. Mbok Rikin tersenyum bangga.
"Dengan Gimpul." jawabnya enteng.
"Hah ? Dengan Gimpul ?" mbok Kampun kaget.
Tentu saja mbok Kampun kaget karena Gimpul itu masih sangat muda, maksud-nya, kalau dibanding dengan mbok Rikin Gimpul itu layak menjadi cucunya. Mbok Kam-pun terkikik-kikik mendengar itu. Mbok Kampun tidak kuat menahan diri dan segera lari ke belakang rumah dan masuk ke jeding. Begitu berada di jeding isi perutnya tiba-tiba tumpah ruah seperti perempuan hamil muda.
Soal itulah yang menyebabkan mbok Kampun selalu terangsang untuk muntah se-tiap mendengar nama Gimpul disebut. Dasar lagi apes, Gimpul itu sekarang malah jadi menantunya.
Mbok Rikin kemudian bertutur dengan riang. Betapa hanya dengan uang lima pu-luh ribu yang dilambai-lambaikan ia berhasil mengundang kucing cluthak bernama Gim-pul itu datang ke rumahnya. Tanpa selembar lima puluh ribu itu, jangan harap Gimpul mau mendekat. Bahkan seandainya diobral gratis sekalipun, siapa orangnya yang akan mendekat? Apalagi mbok Rikin punya obsesi, jika pada umumnya para hidung belang berkelamin jantan suka daun muda, mbok Rikin tidak mau kalah. Mbok Rikin merasa perlu mengacak menu hariannya dengan lalapan seorang pemuda yang perkasa. Mbok Rikin kemudian segera menempatkan diri sebagai dendeng. Yang namanya kucing, den-deng basipun diterkam.
Pada awalnya umpan itu lima puluh-ribuan, namun berikutnya dengan selembar dua puluh ribuanpun Gimpul mau menyelinap lewat pintu belakang rumahnya.
Betapa dahsyatnya kucing itu menerkam, amit-amit, dengan tanpa risih mbok Ri-kin menceritakan dengan blak-blakan kepada mbok Kampun. Mbok Rikin tidak sadar ji-ka cerita saru yang dipaparkannya itu sebenarnya membuat mbok Kampun yang men-dengarkan mendadak sakit perut dan sekuat tenaga menahan diri supaya tidak muntah.
Di ujung ceritanya mbok Rikin menutup dengan tawaran.
"Bagaimana? Kamu mau mencoba?"
Oleh pertanyaan itu mbok Kampun tentu terlonjak seperti ada seekor ular yang ti-ba-tiba muncul dan sudah dekat sekali dengan kakinya. Mbok Kampun masih tak percaya. Mbok Kampun gemetar ketika sekali lagi mbok Rikin mengulang tawarannya.
"Kalau kau mau, aku yang akan mengatur. Kamu boleh melakukannya di tem-patku. Kujamin aman dan tidak akan ada yang mengganggu." lanjut mbok Rikin.
Mulut mbok Kampun benar-benar terkunci seperti dibelenggu sebuah gembok se-besar kepalan tangan. Dada perempuan tua itu mengombak, namun mbok Rikin sungguh tidak tanggap dengan apa yang berada di dalam dada mbok Kampun.
“Apakah kamu masih melakukan dengan suamimu?" bertanya mbok Rikin mem-buat membuat mbok Kampun kaget.
Kenyataannya sudah lama sekali mbok Kampun tidak campur dengan suaminya, entah sejak kapan mbok Kampun lupa dan bahkan tidak memikirkan lagi kebutuhan yang satu itu. Biarlah yang muda-muda saja yang butuh, dirinya sudah tidak karena sudah wa-rek , sudah tuwuk.
"Aku sudah tua yu. Masa aku masih harus memikirkan hal seperti itu. Anak sudah empat besar semua, malu." jawab mbok Kampun.
"Suamimu sudah lama tidak menyentuhmu?" desak mbok Rikin makin tidak tahu diri.
Risih sekali mbok Kampun. Wanita tua yang di masa mudanya tentu berwajah ayu karena mempunyai keturunan seperti Jasmi dan Salatun yang berwajah cantik itu, sebenarnya tidak ingin pembicaraan itu berkelanjutan. Namun pertanyaan mbok Rikin itu terpaksa harus dijawabnya meski dengan sebuah gelengan kepala.
Mbok Rikin tersenyum.
"Tidak ada salahnya kau mencoba ‘Pun. Kalau suamimu sudah malas menyentuh-mu, sebenarnya hidupmu sudah berakhir. Apa salahnya kalau kau mencoba. Gimpul itu hebat sekali, ia sanggup membuat aku menjadi seperti muda kembali dan bergairah. Un-tuk menjadi muda dan bergairah, omong kosong dengan segala macam jamu yang dita-warkan pabrik-pabrik itu. Ya Gimpul itulah jamunya, jamu yang sangat mujarab untuk kita perempuan yang sudah tua ini”
Makan jamu lelaki muda? Memang pada sebagian orang ada anggapan seperti itu. Jika ada lelaki sudah beranak-pinak dan dibelakangnya berbaris sederet cucu dan bahkan mungkin buyut, lelaki itu masih mencari perawan, maka yang dilakukannya itu, harap maklum, hanya sekedar dijadikan jamu, supaya badan sehat perkasa, hidup menjadi ber-gairah. Kalaupun karena sudah tua penampilan menjadi jelek dan tentu saja mana ada gadis cantik yang mau menanggapinya, maka ada kios-kios tertentu yang melayani penju-alan jamu seperti itu, bahkan lengkap dengan bumbu-bumbunya : shipilis dan gonorrhea, bahkan siapa tahu bumbu impor yang bernama Aids itu sudah didatangkan pula ke kios-kios seperti itu.
Tidak jauh dari Tegaldlimo ke arah Muncar, ada kios ilegal macam itu yang bia-sanya menjadi jujugan para pengojek iseng. Tentu saja untuk merasakan jamu itu harus membayar. Akan tetapi untunglah yang datang ke tempat macam itu masih pada punya pikiran waras, setidak-tidaknya niatnya ke tempat itu bukan beli jamu, tetapi sekedar membuang limbah. Bukankah dalam tatanan kehidupan, sebenarnya harus ada katup-ka-tup yang secara otomatis terbentuk sebagai sarana pembuangan limbah?
Tawaran mbok Rikin kepada mbok Kampun untuk mencoba lalapan lelaki muda itu sungguh membekas, menjadi sebuah bentuk kelainan jiwa yang diidapnya. Ingat Gim-pul mbok Kampun langsung menggigil. Bertemu Gimpul mbok Kampun ingin muntah. Bisa dibayangkan betapa siang tadi saat mbok Kampun harus bertahan menyaksikan a-naknya dinikahkan, sebenarnya dengan sekuat tenaga menahan diri untuk tidak muntah.
"Aku tak ingin dia di sini. Suruh dia pergi." mbok Kampun yang diam itu akhir-nya mau bicara.
Pak Kampun tentu saja kaget.
"Kau ini bagaimana?" tanya suaminya.
Mbok Kampun kukuh pada pendiriannya membuat suaminya bingung dan hanya bisa mengelus dada. Dengan dada mengombak suara agak serak mbok Kampun melotot pada suaminya.
"Kalau si Adol Bagus itu tidak pergi, maka aku yang akan pergi dari rumah ini."
Gawat.
Pak Kampun prihatin, karena mengusir Gimpul sama artinya dengan mengusir a-nak sendiri. Jasmi baru saja kawin, apa salahnya Gimpul berada di rumah itu. Bagaima-napun juga memang timbul sebuah pertanyaan, apa yang dilakukan Gimpul setelah dia mengawini anaknya? Apakah Gimpul akan memboyong isterinya pergi entah ke mana, atau malah Gimpul ikut numpang di Wisma Mertua Indah? Betapapun repotnya, namun pak Kampun memang harus menengahi keadaan itu.
Pada sebuah kesempatan disampaikan kemauan isterinya itu kepada Jasmi. Jasmi tentu saja kaget. Namun Jasmi rupanya bisa berfikir tenang dan tidak menanggapi ke-adaan itu dengan emosi. Jasmipun segera berbicara dengan suaminya.
Gimpul terpaksa tersenyum penuh rasa kecut. Pada awalnya ia sudah memba-yangkan bahwa sebagian dari kesulitan akan teratasi dengan numpang tinggal di Wisma Mertua Indah, namun ternyata yang namanya mertua itu keberatan ketempatan Gimpul.
Maka di saat akan maghrib Jasmi berkemas mengumpulkan pakaian yang akan dibawanya. Dalam hati Jasmi merasa sedih mengapa simboknya tega kepadanya, ikhlas melihat Jasmi pergi daripada Gimpul ikut tinggal di rumah itu. Salatunpun ikut bersedih-hati. Dengan mata berkaca-kaca Salatun membantu mbakyunya mengatur benda-benda miliknya dengan memasuk-masukkan ke dalam tas dan koper tua.
Namun Pak Kampun tetap saja seorang ayah yang tidak tega melihat anaknya per-gi dalam keadaan seperti itu. Pak Kampun merasa dadanya sesak seperti seorang lelaki yang kapedhotan sih, cemas memikirkan bagaimana nasib Jasmi nantinya. Maka tanpa setahu isterinya, Pak Kampun menyelipkan sebuah amplop yang berisi uang.
Dalam suasana yang muram suram Jasmi meninggalkan rumah itu. Dan pak Kam-pun merasa ada sesuatu yang hilang. Jasmi baginya anak yang paling dikasihi daripada a-nak-anak yang lain, hanya karena nyawa Jasmi itu nyawa saringan. Dulu waktu masih bo-cah Jasmi pernah sakit keras terkena penyakit typhus nyaris mati. Pontang-panting pak Kampun berusaha menyelamatkan anaknya itu.
Kini Jasmi telah pergi. Rasanya rumah menjadi makin suram setiap pak Kampun melihat dua anak lelakinya yang agak keblinger. Tanjir anak lelaki tertuanya, yang diga-dang-gadang bakal menjadi cagak rumah itu mempunyai kegemaran yang berlebihan terhadap judi. Sabung ayam atau domino dan remi menjadi santapannya. Pak Kampun sudah tidak bisa mengingatkan lagi karena Tanjir bisa marah kalau dilarang. Kalau sudah marah, Tanjir sanggup melakukan apapun. Sebagaimana kalau Tanjir minta uang tidak diberi, maka ancamannya, rumah akan dibakar.
Sebaliknya dengan Jayus anak lelakinya yang kedua. Bulan yang lalu Jayus jadi paran tutuhan, dicari orang karena menghamili gadis. Untung saja Jayus bisa berkelit karena yang melakukan dengan gadis itu bukan hanya dirinya tetapi beramai-ramai de-ngan teman-temannya.
Pak Kampun sungguh pusing tujuh keliling memikirkan dua anak lelakinya itu yang ternyata perkembangannya jauh dari apa yang diharapkan orang tua. Anak gadisnya yang tinggal hanya Salatun. Setelah anak-anaknya yang lain ternyata gagal, pak Kampun hanya tinggal berharap kepada Salatun. Moga-moga saja Salatun bisa menyelesaikan sekolahnya dengan lancar dan kemudian melanjutkan sekolahnya lebih tinggi di IKIP PGRI. Bukan main, mempunyai anak kuliah di IKIP PGRI betapa bangganya. Apalagi jika nanti anak perempuannya itu sudah menjadi guru dan menyandang gelar sarjana.
Hari-hari berlalu. Jasmi telah menjadi Bu Gimpul. Disebut Bu Gimpul boleh, Nyonya Gimpul juga boleh, atau mbok Gimpul boleh. Keinginannya berumah tangga telah terpenuhi. Sekarang ia seorang isteri. Sekarang Jasmi punya suami dan dengan demikian sah-sah saja ia melakukan apapun dengan suaminya. Untuk kebutuhan nafsu tidak perlu lagi melakukan zinah, segalanya telah berubah menjadi halal. Hampir sebulan sudah, Jasmi melewati hidup sebagai seorang isteri di sebuah rumah milik keponakan Gimpul di Tegaldlimo Kidul yang tak terpakai karena pemiliknya sibuk mencari uang dengan menjadi TKI di Taiwan.
Namun tetap saja Jasmi tersentak, karena angan-angannya tentang rumah-tangga tidak sesuai dengan kenyataan. Suami-suami yang lain setiap hari berangkat bekerja dan sore harinya pulang menyerahkan hasil memeras keringat pada isterinya. Uang itu ke-mudian dibelanjakan berbagai keperluan rumah tangga. Meski serba kekurangan namun dengan kebahagiaan dan rasa syukur biasanya berapapun penghasilan yang diperoleh sang suami, akan diatur sedemikian rupa oleh sang isteri. Dijereng-jereng ngalor ngidul seperti permen karet, agar cukup untuk semua kebutuhan rumah tangga.
Itulah, Si Jasmi yang dulu pernah berfikir, setelah menjadi isteri maka semuanya akan berjalan sebagaimana mestinya. Jasmi tidak mengira kalau ia akan dihadang oleh berbagai persoalan. Uang pemberian ayahnya mengucur dengan deras karena Gimpul sering minta cukup banyak yang katanya untuk modal, entah modal apa, namun besoknya semua uang itu ludes. Gimpul pulang dengan wajah kuyu kurang tidur, dan Jasmi akhir-nya tahu, Gimpul membakar uang itu dalam perjudian.
Jasmi melihat kecemasan yang pernah diutarakan Salatun dulu ternyata benar adanya. Kecemasan simboknya juga benar. Jasmi hanya bisa mengelus dada. Perkawi-nannya dengan laki-laki yang menjadi pilihan sendiri ternyata harus dihadapkan pada kenyataan yang tidak terduga. Manakala akhirnya uang habis, maka Jasmi hanya bisa sambat kepada bapaknya. Dengan kearifan seorang bapak yang sangat mencintai anak-nya, pak Kampun memberi lagi uang untuk anak perempuannya yang baru jadi temanten itu.
Lama-lama Jasmi jengkel dan risih karena dengan tidak merasa sungkan Gimpul bahkan mengambil uang di dompet tanpa memberitahu dan sembunyi-sembunyi. Biasa-nya jumlahnya cukup besar, untuk kemudian tidak bersisa sama sekali di esok harinya. Padahal uang itu pemberian pak Kampun untuk biaya hidup sebulan, bisa hangus tanpa sisa hanya dalam waktu dua atau tiga hari.
Laki-laki itu sungguh kebangeten. Lumuhnya setengah mati. Sudah berulang kali Jasmi mendorongnya agar bekerja sebagaimana layaknya suami yang harus menghidupi keluarganya, bekerja apapun asal halal, akan tetapi Gimpul mempunyai gengsi yang sa-ngat tinggi. Angan-angan Gimpul tentang kerja tidak seperti orang lain yang mengguna-kan prinsip kerja keras mumpung masih muda. Angan-angan Gimpul terlampau muluk, kerja enak di belakang meja duduk di kursi empuk dengan gaji banyak. Daripada tidak bekerja seperti yang diangankan, ya lebih baik menganggur saja sekalian, bukankah se-telah ada isteri hidupnya sekarang agak lumayan? Ada yang mencucikan pakaian, ada yang memasak menyiapkan makan, ada mertua yang memasok uang kebutuhan hidup se-tiap hari dan ada yang ditiduri. Kan sudah lumayan daripada sebelum kawin dulu?
Didorong oleh isterinya, Gimpul mencoba-coba pergi ke kecamatan dan sowan ke pak Camat. Gimpul mengajukan permohonan bisa mengabdi bekerja di kantor itu. Mak-sud Gimpul ingin bekerja yang berkaitan dengan tulis menulis padahal sebenarnya Gim-pul bisa mengukur diri, bahwa ia yang hanya lulusan SMP tidak punya kemampuan ter-hadap jenis pekerjaan yang sangat diminatinya itu. Namun Gimpul punya anggapan bah-wa semuanya bisa dipelajari, orang-orang di kantor kecamatan itu pasti akan membim-bingnya sampai dia bisa. Kalau masih juga tidak bisa, toh pekerjaan itu nantinya bisa di-limpahkan kepada yang bisa.
“Apalagi kalau punya anak buah, kan bisa tinggal perintah pada anak buah.” ber-kata Gimpul pada diri sendiri sambil tersenyum.
Gimpul barulah terpukul hatinya ketika Pak Camat mau menerima lamarannya bukan sebagai pegawai kantor yang duduk di belakang meja, tetapi sebagai tukang kebun dan pesuruh. Gimpul mencak-mencak dan pak Camat segera mengusirnya.
Bekerja apa yang bisa mengasilkan banyak uang? Ahaaa, bekerja di bank. Gimpul ingat saat ada urusan ke kantor kelurahan sempat melongok BRI Kecamatan yang ge-dungnya menjadi satu dengan kantor kelurahan itu, betapa banyak uang di tempat itu, bertumpuk-tumpuk. Dengan sangat prigel pegawai kantor itu menghitung segebok uang dua puluhan ribu dengan lima jari telunjuknya. Dulu Gimpul merasa heran dan dibuat takjub, kok bisa ya menghitung uang dengan begitu cepat hanya dengan menggunakan li-ma jari.
Sesampai di rumah Gimpul mencoba pada sebuah buku. Pada mulanya agak sulit namun semakin lama bisa. Bahkan kemudian hari ia cukup prigel menghitung lembaran kertas dengan cara itu. Kemampuan itu sering pula ia pamerkan kepada kawannya yang lain.
Suatu hari Gimpul punya lima puluh ribu yang terdiri dari seratusan semua hingga menjadi tebal. Dengan gesit Gimpul menghitung menggunakan jari, seperti sulap saja la-yaknya, membuat teman yang lain mlongo terheran-heran.
"Kok kamu bisa menghitung dengan cara seperti itu?" tanya Sukarjito heran.
"Aku dulu kan pegawai bank" jawab Gimpul dengan bangga tanpa menyebut di bank mana dulu ia pernah bekerja.
Sukarjito yang pernah melihat cara menghitung seperti itu dilakukan kasir bank, pikirnya, hanya orang yang pernah berkecimpung di bank yang bisa melakukan ketram-pilan itu. Sukarjito percaya pada bualan Gimpul. Untuk percaya pada sebuah bualan me-mang tidak perlu berfikir keras. Biar saja Gimpul membual.
Dengan modal kemampuan menghitung uang itulah, Gimpul pergi ke kantor BRI dan langsung menemui boss di sana minta pekerjaan. Gimpul telah menyiapkan uang dua puluh lima ribu yang dipinjamnya dari Jasmi untuk didemonstrasikan ke kepala BRI. O-rang nomor satu di BRI Kecamatan itu memang terkagum-kagum dengan kemampuan Gimpul itu. Kekagumannya bisa diukur dari seberapa keras ia menggeleng-gelengkan ke-pala.
Ketika lamarannya tidak ditanggapi, Gimpul langsung pergi entah ke mana sam-pai sore belum kembali.
Jasmi gelisah. Padahal tadi pagi Gimpul telah pinjam uang padanya untuk de-monstrasi di kantor BRI. Sampai hari menjadi gelap begini kok belum pulang? Ke mana Gimpul?
Ke mana lagi kalau bukan pergi ngeplek kartu?
Judi adalah saudara sekandung dengan pelacuran. Konon kabarnya, umurnya su-dah setua bumi ini.
Jika dipikir-pikir kasihan Jasmi yang telah salah pilih. Suami yang dicintainya, yang dipilih dengan pengorbanan berat itu ternyata bukan jenis lelaki yang bisa sembada dan nyembadani. Jasmi ngeres hatinya menyaksikan kenyataan yang ternyata amat pahit untuk ditelan.
Jasmi menunggu sampai malam Gimpul belum pulang juga, Jasmi yang sudah mendapatkan informasi suaminya berada di mana, bergegas menyusul. Gimpul yang se-dang asyik tentu saja tak senang. Gimpul meninggalkan teman-temannya yang melanjut-kan mengocok kartu.
"Kenapa kau menyusul kemari?" tanya Gimpul.
"Pulanglah kang." ucap Jasmi serak. Matanya kemerahan.
Gimpul tidak senang disuruh pulang. Ia sudah terlampau asyik dengan perjudian yang berlangsung, lebih dari itu ia sudah kalah banyak. Tiba-tiba isterinya datang menyu-sul, tentu saja membuat Gimpul jengkel.
"Kau membuat nasibku sial saja Jas. Aku sudah kalah banyak sekali. Aku harus menebus kekalahanku, kau malah menyusul. Disusul perempuan di saat main judi itu bisa menjadi pertanda sial, tahu?" kata Gimpul yang jengkel.
Jasmi menunduk, matanya mengambang basah. Gimpul memandangi isterinya dengan tak berkedip.
"Kau bawa uang?" tanya Gimpul.
Ditanya seperti itu Jasmi merasa dadanya tambah sesak. Kebetulan sebenarnya bagi Gimpul, pada saat ia butuh tambahan modal isterinya datang. Bahkan bukankah kalung yang dipakai Jasmi sebenarnya juga bisa dijadikan tambahan modal.
"Kang Gimpul, pulanglah."
Gimpul menyeringai.
"Tidak Jas, permainan belum selesai. Aku kalah banyak. Aku harus menebus ke-kalahan itu. Berikan kalungmu itu untuk tambahan modal. Nanti kalau menang akan kubelikan yang lebih besar, sebesar rantai sepeda."
Jasmi kecewa sekali. Pelahan Jasmi menggeleng. Matanya basah.
"Kau akan semakin kalah kang, tidak menang tetapi malah semakin kalah. Per-cayalah."
Gimpul makin tidak telaten. Di ruang tengah perjudian berhenti sejenak menung-gu Gimpul. Gimpulpun gelisah. Rasa-rasanya ia ingin membetot saja kalung kecil yang dipakai Jasmi itu. Kalau dijual kalung itu bisa laku dua ratus ribu. Lumayan.
"Aku kalah banyak Jas. Terasa menyakitkan sekali jika berhenti hanya sampai di sini. Aku harus menebus kekalahan. Jika kau punya uang, berikan padaku. Kalau tak bawa uang, lepas kalung yang kau pakai itu”
Jasmi menunduk. Dengan tatapan mata yang agak aneh ia memandang wajah sua-minya.
"Kang.” ucap Jasmi terbata-bata. “Baru saja ada orang yang datang menyusul ke rumah memberitahu kalau simbok meninggal."
***
BARATAYUDA
Gimpul sedikit terlonjak tetapi tidak terlampau kaget. Mbok Kampun meninggal dunia? Sejenak Gimpul seperti berusaha keras untuk berfikir, apakah yang dimaksud me-ninggal itu? Mengapa mbok Kampun meninggal, atau kalau sudah meninggal bagaima-na? Gimpul memejamkan mata, isi kepalanya masih terkunci karena masih tersita per-hatiannya oleh kartu-kartu remi atau kekalahan yang dideritanya.
Akan tetapi segera saja Gimpul mendapatkan jawaban, seperti ada celah di dalam rongga otaknya yang bisa dilewati. Soal meninggal dunia atau mati, bukankah setiap o-rang pasti akan mengalami jika saatnya sudah tiba. Semua orang yang berlari dalam per-juangan mempertahankan hidup akan sampai di tujuan. Akan mati, jadi apa anehnya apa-bila mbok Kampun mati? Orang sedang duduk santai saja bisa tamat. Bahkan kematian itu sebenarnya juga sangat bermanfaat. Coba kalau tidak ada orang yang mati sementara kelahiran terus berlangsung, bakal penuh sesak bumi ini. Jadi di mana letak keanehan be-rita kematian mbok Kampun itu?
Mata Gimpul agak berkunang-kunang saat memandangi Jasmi.
"Simbokmu?" tanya Gimpul.
"Ya. Gusti sudah mundhut simbok." jawab Jasmi dengan suara amat serak.
Gimpul manggut-manggut.
"Lha terus? Mau apa?" tanya Gimpul datar.
Pertanyaan Gimpul terasa aneh di telinga isterinya. Jasmi memandang suaminya dengan tatapan mata bingung. Jasmi sendiri yang kaget saat berita kematian itu ternyata tidak terlampau mengagetkan suaminya. Padahal yang mati itu mbok Kampun, mertu-anya sendiri.
"Tega kau berkata begitu." suara Jasmi terdengar amat parau.
Namun Gimpul memang punya latar belakang mengapa ia tak begitu kaget de-ngan kematian mertuanya. Gimpul tidak perlu merasa sedih, bahkan jika perlu warta ke-matian mbok Kampun itu harus disyukuri. Mbok Kampun mertua yang sama sekali tidak menghargai keberadaan menantunya. Mertua macam itu mati? Syukurlah, dengan demi-kian tidak perlu lagi berurusan dengan orang itu.
"Bagiku apa artinya? Bagaimana sikap simbokmu selama ini padaku? kau melihat sendiri bukan?" enteng sekali Gimpul berkata.
Jasmi kaget oleh argumentasi yang nyleneh itu.
"Tetapi ia simbokku kang Gimpul. Ia Ibuku. Mertuamu. Ia sudah dipundut Gusti Allah." serak suara Jasmi.
Gimpul memandang isterinya dengan tidak senang.
"Lha terus mau apa?" tanya Gimpul.
Jasmi terpaksa menahan sesak nafas. Haruskah keadaan itu dimaklumi hanya de-ngan sebuah alasan : dari mulut suaminya menyembur bau minuman keras?
Jasmi menggeleng.
"Kita disusul kang, kita harus pulang. Apa kata orang kalau kita tidak datang?"
Sebenarnya sih, di sela-sela otaknya yang tumpul karena pengaruh judi dan minu-mannya, Gimpul mampu sedikit berfikir, memang aneh kalau dia tidak datang pada upa-cara kematian mertuanya. Kalau ada orang punya gawe meski tak diundang Gimpul tanpa malu-malu pasti datang, sebaliknya apakah dalam kematian harus memerlukan unda-ngan? Apalagi itu mertua sendiri?
Gimpul gelisah memandang kalung yang dipakai isterinya, Gimpul juga gelisah karena di dalam teman-temannya menunggu.
"Kau pulang saja duluan Jas, nanti aku akan menyusulmu. Aku harus menyelesa-ikan permainan itu. O ya, tinggalkan kalungmu itu untuk tambahan modalku. Nanti kalau menang akan kubelikan kalung yang lebih mahal dan lebih besar, sebesar rantai kapal la-ut. Sumpah, percayalah."
Jasmi kecewa sekali. Begitu kecewanya Jasmi hingga ia tidak bereaksi apapun ketika Gimpul melepas kalung yang dipakainya. Jasmi menunduk untuk memberi kesem-patan airmatanya runtuh di bumi. Gimpul sama sekali tidak peduli ketika dengan langkah gontai Jasmi meninggalkan tempat itu. Jika Jasmi nantinya sampai di rumah, maka orang akan menduga tangisnya adalah tangis seorang anak yang kehilangan orang tua, padahal sebagian tangisnya karena perilaku Gimpul.
Gimpul telah kembali berkumpul dengan teman-temannya. Senyumnya merekah karena Gimpul telah memegang seuntai kalung. Dengan tambahan modal itu ia akan me-nuntaskan permainan, kekalahan harus ditebus kembali.
"Kenapa isterimu menyusul?" bertanya Supoyo, pemilik rumah yang menyediakan tempat untuk berjudi itu.
"Simboknya mati." jawab Gimpul enteng.
Semua yang berada di ruangan itu tersentak.
"Kita bubar.” kata Mulyadi.
Mulyadi sebenarnya sedang mencari alasan agar permainan itu diakhiri saja kare-na dia sudah menang banyak. Kalau permainan itu dilanjutkan, boleh jadi nasib akan be-rubah. Ia yang sudah menang bisa saja kalah.
Mendengar usulan yang tidak menyenangkan itu Gimpul meradang.
"Tidak bisa. Aku kalah banyak enak saja kau mengusulkan permainan dihentikan. Tidak bisa. Kalau bubar, bisa kubunuh kau."
Gimpul sangat emosi. Mulyadi dan Supoyo saling pandang. Bagi orang yang larut dalam judi, jatuhnya bom nuklir mungkin hanya sebuah gangguan kecil, yang tidak perlu menjadi sebab dihentikannya permainan itu, apalagi hanya sekedar matinya mbok Kam-pun, mertua yang amat dibencinya.
Namun Supoyo, meski gemar berjudi tetapi masih punya hati nurani. Setidak-ti-daknya untuk mengingatkan Gimpul, bahwa tak patut dia bersikap seperti itu.
"Yang meninggal itu mertuamu Pul, kau tetap melanjutkan permainan ini?." de-sak Supoyo.
Jawaban Gimpul membuat segenap orang yang ada di dalam lingkaran perjudian itu miris,
"Aku tak peduli siapapun yang mati. Jangankan mbok Kampun yang hanya mer-tua tidak tahu diri itu, seandainya orang tuaku sendiri yang mati, aku tak peduli."
Seandainya orang tua sendiri yang mati itu memang tidak akan pernah terjadi ka-rena mereka sekian tahun yang lalu telah mati ngenes memikirkan perilaku anaknya.
Cep klakep, tidak ada lagi yang menjawab. Mulyadi yang baru menang segera mengocok kartu. Setan burik seperti memanaskan keadaan, karena setelah mendapatkan kabar kematian mertuanya, nasib Gimpul justru menjadi baik. Giliran Gimpul yang me-nang, Gimpul mulai tersenyum. Pada kocokan kedua lagi-lagi seperti terjadi keajaiban seolah nasib baik berpindah tempat berpihak pada Gimpul. Permainan tambah panas, dan nampaknya sampai pagi sekalipun perjudian itu tidak akan selesai. Gimpul tersenyum dan tersenyum, minuman keras di gelas kembali ditenggaknya.
Gimpul glegeken. “Hoiiiiik.”
Kematian mbok Kampun memang layak ditangisi. Salatun tak henti-hentinya me-nangis. Salatun si anak ragil itu benar-benar terguncang jiwanya ditinggalkan Ibu terka-sihnya. Pak Kampun yang sekian lamanya mendampingi dan didampingi oleh isteri ter-cinta itu seperti tidak percaya isterinya pergi dengan tiba-tiba.
Tanjir dan Jayus dengan mendadak disentakkan oleh keadaan yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan. Ketika simboknya pergi, dengan tiba-tiba mereka merasa ber-dosa karena selama ini mereka banyak mengecewakan simboknya.
Akan tetapi yang paling terpukul adalah Jasmi. Jasmi punya penilaian sendiri me-ngapa simboknya mati. Jasmi merasa dirinya penyebab kematian mbok Kampun. Mbok Kampun terlampau sedih karena Jasmi kawin dengan lelaki yang amat tidak disukainya, perkawinan yang harus ditebus dengan harga yang sangat mahal. Jasmi menggigil menge-nang kematian simboknya yang jelas akibat dari perbuatannya. Seandainya Jasmi tidak ngotot kawin dengan Gimpul, mungkin simboknya masih berumur panjang.
Dalam hidupnya mbok Kampun wanita yang ramah, mudah bergaul dengan siapa saja. Jika ada tetangga punya hajat mantu, mbok Kampun pasti datang meski tidak mene-rima ulem. Jika ada kerabat desa yang meninggal, maka mbok Kampun pasti berada di antara para pelayat. Kini mbok Kampun memetik hasilnya. Tiba gilirannya mbok Kam-pun ajal, para pelayat yang berdatangan memberikan penghormatan tumplek blek meme-nuhi halaman.
Namun tak tercegah pula kasak-kusuk di antara mereka, karena belum lama ber-selang mbok Kampun mantu, kini beberapa hari kemudian mbok Kampun meninggal. Terdapat sebuah kepercayaan yang masih berlaku di masyarakat etnis Jawa tentang na-gadina, di mana perkawinan Jasmi dan Gimpul sebenarnya tidak pas jika ditinjau dengan hitungan nagadina itu. Jasmi pihak wanita tinggal di arah utara, Gimpul pihak laki-laki tinggal di selatan, maka perkawinan yang terjadi pada mereka harus ditebus dengan kematian, lihat saja dalam waktu dekat pasti ada yang mati.
Dan ternyata benar, mbok Kampunlah yang mati.
Namun ada pula yang kasak-kusuk dengan riuh karena tidak melihat Gimpul. Ma-ka wajar jika lahir pertanyaan ada apa dengan Gimpul atau di mana Gimpul kok tidak ke-lihatan batang hidungnya? Tidak begitu lama kemudian kasak-kusuk dengan tanda tanya yang besar itu ada yang bisa menjawab, Gimpul sedang berjudi.
Para pelayat banyak yang ikut bersedih mendengar kisah itu. Setiap kali Jasmi ter-lihat melintas, kasak-kusuk bagai terpancing.
Seisi rumah pak Kampun tersaput mendung, dan kebetulan layaknya, mendung yang sebenarnya sedang lewat. Burung gagak yang biasanya jarang muncul terdengar ber-kaok-kaok keras di sebelah selatan. Lagi-lagi di antara para takziah ada yang mencoba menghubungkan suara burung gagak itu dengan kematian yang baru terjadi itu.
Jasmi terus menangis. Namun nasi telah menjadi bubur. Jasmi tidak mengira be-gitu mahal harga yang harus ditebusnya untuk kawin dengan lelaki yang ternyata berasal dari golongan keblinger yang jelas menjadi penyebab kematian simboknya.
Setelah layon disemayamkan di kuburan Kampung Limo, siang hari segera di-susul oleh datangnya petang. Ternyata Gimpul belum juga muncul diri. Pak Kampun ha-nya bisa mengelus dada melihat nasib anaknya yang begitu buruk. Menantu yang satu ini benar-benar tidak ngajeni wong tuwa.
Pada sebuah kesempatan setelah tahlil dipanggilnya Jasmi.
"Ada apa pak?" tanya Jasmi.
Di hadapan bapaknya Jasmi selalu merasa mendapatkan keteduhan pengayoman.
"Bagaimana dengan keluargamu?" tanya pak Kampun dengan tenang.
Jasmi hanya bisa menunduk. Jasmi merasa bukan pertanyaan itu yang seharusnya ditanyakan bapaknya, tetapi “Mengapa suamimu belum muncul diri? Mana dia?”
"Baik pak." jawab Jasmi berusaha tenang, namun tetap tidak kuasa menahan diri, terlihat dari suaranya yang serak dan bergetar.
"Tampaknya perutmu belum isi?" lagi-lagi pertanyaan pak Kampun mengagetkan.
Jasmi yang semula menunduk itu menengadahkan diri dan memandangi bapak-nya.
"Aku minta maaf pak. Dulu aku berbohong" ucap Jasmi serasa pasrah, penuh mu-atan penyesalan.
Namun penyelasan itu artinya? Nasi telah menjadi bubur. Segalanya telah terla-njur. Dan apa yang terlanjur itu selalu tidak bisa diulang kembali, apa lagi jika apa yang terlanjur itu berkait dengan kematian, dengan noda atau penyesalan. Pepatah mengata-kan, sesal kemudian tak berguna.
"Dari semula aku memang sudah menduga kalau kau belum hamil. Tetapi tak apa , hal itu tak perlu dipersoalkan lagi. Yang penting sekarang, keadaan yang harus diperbai-ki. Suamimu sudah dapat pekerjaan apa belum?" tanya pak Kampun.
Jasmi menggeleng.
Satu-satunya pekerjaan yang dikuasai suaminya hanyalah berjudi dan membual. Jika sudah berjudi Gimpul ternyata betah melek sampai dua hari dua malam, dan sebagai tebusannya juga betah tidur ngedhur dua hari dua malam, seperti membayar lunas mele-kan yang dilakukannya. Juga dalam hal membual Gimpullah jagonya. Siapapun orangnya yang belum kenal Gimpul, tentu percaya dengan bualan Gimpul. Pernah Gimpul mem-bual yang agak keterlaluan, kepada kenalan barunya dia mengaku petugas intel.
"Kunci keluarga itu adalah adanya penghasilan. Suamimu harus kau buka mata-nya agar mau bekerja. Kalau sebuah rumah tangga tidak didukung oleh hal itu, maka ru-mah tangga itu akan gampang ambruk, akan mudah muncul godaan." Pak Kampun mem-berikan wejangannya.
Tepat. Benar apa yang dikatakan pak Kampun. Jasmi sungguh merasakan kebena-ran yang terkandung dalam ucapan bapaknya itu. Sampai jeleh Jasmi memberikan doro-ngan kepada Gimpul untuk mengubah nasib, bahkan dengan berjualan kecil-kecilan, na-mun tetap saja Gimpul bergeming. Maunya Gimpul adalah pekerjaan yang terhormat. Sa-at melihat acara televisi di rumah tetangga, sebenarnya telah mengusik keinginan Gimpul , betapa senangnya seandainya ia bisa seperti bintang dalam sinetron yang ditontonnya itu. Memakai dasi, bersepatu dan punya mobil.
Pada suatu hari Gimpul pinjam dasi pada pak Solekan Guru SMP yang setiap Jum' at dan Sabtu nyambi ngojek di Kalipahit. Dasi itu dikenakan sambil mematut diri di depan kaca.
Oleh pertanyaan bapaknya itu Jasmi tak tahan, meski sebenarnya ia tidak ingin mengungkapkan, namun akhirnya dikeluarkan juga isi hatinya.
"Bekerja apa to pak? Keinginannya bekerja hanya di kantoran, seperti temannya yang menjadi pegawai di kecamatan itu. Kalau mau mendirikan pracangan, ia malu."
"Pilih malu atau kelaparan?" bertanya pak Kampun.
Jasmi hanya bisa menghela desah.
"Begini saja Jas, simbokmu sudah tidak ada. Salatun masih kaget karena ditinggal pergi simboknya. Maka sebaiknya kau pulang saja. Kau tempati kamar yang di depan itu bersama suamimu."
Sebuah usul yang sungguh simpatik dan menyejukkan.
"Kami....pulang?" tanya Jasmi seperti tidak percaya,
"Ya. Sambil aku akan mengajari suamimu bagaimana cara berdagang. Dagang sa-pi, atau dagang kambing atau nebas sawah. Suamimu mungkin perlu dituntun agar bisa bekerja." lanjut pak Kampun.
Atas ijin dari bapaknya itu maka sepekan kemudian setelah kematian simboknya, Jasmi dan Gimpul pulang dan menempati kamar depan. Tanjir yang mendapat laporan dari Jayus mencak-mencak seperti munyuk terkena tulup. Dengan clurit di tangan kanan Tanjir berteriak. Gimpul gugup sekali.
"Jas, ke sini kamu." teriak Tanjir pada adiknya.
Jasmi datang mendekat dengan perasaan was-was.
"Ada apa?" tanya Jasmi.
Tanjir melotot, membuat Jasmi amat ngeri. Apalagi Tanjir memegang clurit.
"Siapa yang mengijinkan kau menempati kamar depan?" keras suara Tanjir.
Tanjir malang kerik, matanya yang melotot seperti akan terlepas dari embanan-nya. Gimpul yang melihat adegan itu benar-benar rontok nyalinya. Gimpul tak menyang-ka, kakak iparnya ternyata amat mengerikan.
"Memang kenapa kang Tanjir?" tanya Jasmi dengan heran.
"Kamar itu akan kutempati. Aku yang akan pakai. Kau boleh minggat ke mana kau suka, kau tidak berhak lagi tinggal di rumah ini.” meledak Tanjir.
Jasmi kebingungan dan tidak tahu harus berkata apa. Gimpul yang merasa ngeri hanya memandang dari kejauhan tidak berani menengahi. Bahkan seandainya Tanjir itu menghajar isterinya, Gimpul mungkin lari terbirit-birit.
Namun Jasmi yang telah merasa mendapat ijin dari bapaknya, apalagi kamar yang akan ditempati itu dulu adalah kamarnya, tidak mau mengalah begitu saja.
"Kau ini mendem atau bagaimana? bapak yang menyuruh aku menggunakan ka-mar itu. Aku salah seorang anaknya, aku berhak untuk tinggal di rumah ini."
Namun rupanya Tanjir punya alasan sendiri untuk tidak suka dengan kepulangan adiknya itu. Kematian mbok Kampun mewariskan kebenciannya terhadap Gimpul. Tanjir berpendapat, simboknya mati akibat lonthe lanang itu. Dulu mbok Kampun yang benci setengah mati kepada Gimpul. Dengan kematian mbok Kampun persoalan benci itu ter-nyata tidak selesai dengan kepergian orangnya, kebencian itu ternyata disuarakan Tanjir, bahkan dengan teriakan yang lebih lantang.
Tanjir semakin meninggikan malang keriknya. Suaranya kasar dan keras. Ujung hidungnya mekar. "Setelah apa yang kau lakukan, kau merasa pantas untuk tetap tinggal di rumah ini Jasmi? Apalagi dengan membawa lonthe lanang itu?"
Jasmi kaget,
"Kang,.." Jasmi merasa tercekik lehernya.
"Malam nanti kamar itu akan aku pakai." berkata Tanjir tegas, tidak memberikan kesempatan untuk tawar menawar.
"Lha aku menggunakan kamar sebelah mana?" desak Jasmi.
"Mau tidur di emperan atau di mana, terserah."
Retak hati Jasmi. Ia semakin merasa terbuang. Seolah memang tidak ada tempat baginya. Sayang sekali Jasmi menghadapi Tanjir hanya sendirian. Kalau saja ada bapak-nya, setidak-tidaknya ada yang akan membela. Jasmi melihat Jayus juga bersikap serupa. Sebagaimana Tanjir, Jayus melihat Jasmi dan suaminya yang menjadi penyebab kemati-an Ibunya.
Namun Jasmi tidak mau mengalah begitu saja. Jasmi masih mencoba melawan.
"Tak bisa kang Tanjir. Aku tak mau kau atur seperti itu. Aku juga anak pak Kam-pun, bapak sendiri sudah menyuruhku memakai kamar depan itu. Jangan main perintah seenak wudelmu sendiri."
Namun sikap Tanjir benar-benar kaku. Biasanya Tanjir memang tidak segan-se-gan menggampar adiknya itu kalau Jasmi melakukan sesuatu yang tidak disenanginya.
"Kamu dengar Jas? Kamu boleh pulang tetapi hanya kamu, tidak untuk suamimu. Kalau dengan suamimu, kau boleh tinggal di manapun tetapi tidak di rumah ini." benar-benar keras dan kasar suara Tanjir.
Jasmi merasakan dadanya makin perih. Perihal Gimpul yang menjadi penyebab kematian simboknya, itu bukan hanya pendapat Tanjir, bahkan suara hatinya sendiri de-ngan jujur mengakui, gara-gara Jasmi kawin dengan Gimpul itulah mbok Kampun jatuh sakit dan kemudian mati. Betapapun pahitnya, memang itulah kenyataannya.
Apaboleh buat, dengan hati yang perih Jasmi dan Gimpul boyongan lagi. Semua barang yang dibawa dinaikkan lagi ke atas dokar. Jasmi begitu larut hingga air matanya jatuh menitik. Gimpul mungkin jengkel karena ia sudah capek usung-usung, namun ha-rus pergi lagi, apalagi di bawah tatapan mata aneh para tetangga. Di sudut hatinya Gim-pul menyimpan sakit hati karena disebut lonthe lanang. Jika Gimpul punya keberanian, pasti akan disobeknya mulut lancang yang berani memaki lonthe lanang itu.
Para tetangga kiri kanan yang sebelumnya ikut membantu mengemas barang-ba-rang saat Jasmi memutuskan pulang, mereka kaget melihat Jasmi kembali dengan tangis tersedu-sedu. Apa yang dirasakan Jasmi barangkali bisa diibaratkan orang akan naik haji yang sudah terlanjur pamit tetangga kiri kanan namun tidak jadi berangkat karena berada dalam daftar tunggu. Malu sekali.
Esoknya, masih pagi-pagi sekali pak Kampun datang. Jasmi tidak kuasa menahan tangisnya.
"Aku sudah memarahi Tanjir. Dia tidak akan berani lagi mengusirmu." berkata pak Kampun.
Sesak tarikan nafas yang dirasakan Jasmi. Dengan mata memerah sisa kesedihan, Jasmi menggeleng. Jasmi yang terlanjur patah arang, menolak permintaan bapaknya itu.
"Pulanglah." desak pak Kampun. "Rumah menjadi kacau balau dengan kepergian simbokmu. Tak ada yang memasak dan ngurusi yang lain-lain. Salatun masih larut de-ngan kesedihannya. Kau sangat dibutuhkan di rumah”
Jasmi memandang bapaknya dengan tatapan mata tak berkedip. Tiba-tiba saja Jasmi merasa, bapaknya demikian cepat menua. Baru beberapa hari ditinggal pergi sim-boknya, rasa-rasanya rambut bapaknya berubah memutih semuanya, tulang pipinya ce-kung.
"Tidak pak. Kang Tanjir tidak menghendaki aku berada dirumah, biar saja aku i-kut suami. Lagi pula sudah menjadi kewaji¬ban seorang isteri untuk ikut suami, ke neraka sekalipun." berkata Jasmi.
Pak Kampun berusaha menelan kata-kata anaknya itu. Apabila Gimpul menantu yang sembada, pak Kampun tak akan terlampau gelisah. Tetapi malangnya Gimpul bukan lelaki yang sembada, suami yang bisa ngayomi isteri apapun yang terjadi.
Pak Kampun hanya bisa menghela resah. Sejak kematian isterinya memang ba-nyak hal yang berubah di dalam rumah. Setidak-tidaknya segala sesuatu seperti tidak ber-jalan sebagaimana seharusnya. Untuk kebutuhan makan sehari-hari, terpaksa meminta bantuan tetangga untuk memasak.
Salatun masih larut dalam kesedihan. Salatun benar-benar merasa kehilangan de-ngan kepergian simboknya. Si anak ragil itu berubah menjadi pemurung. Jasmi juga me-lihat hal itu.
“Bapak harus mencari batur." ucap Jasmi.
Pak Kampun memandang Jasmi. Namun pak Kampun tak berkomentar apapun.
Jasmi melanjutkan,
"Kang Tanjir tidak menghendaki aku pulang. Jika Salatun masih larut dalam ke-sedihannya, sebaiknya bapak ngingu batur, untuk memasak mencuci dan sebagainya."
Sebuah gagasan yang memang masuk di akal. Maka demikianlah, pak Kampun menganggap menggaji seorang bedinde memang merupakan jalan pemecahan yang se-baik-baiknya.
Atau mungkin kawin lagi? Dengan kawin lagi bukankah pemecahan masalah juga selesai? Dengan punya isteri lagi berarti ada orang yang akan menggantikan kedudukan mbok Kampun? Ahh, terlampau dini untuk kawin lagi. Isterinya mati belum genap empat puluh hari, sungguh tidak patut kalau terlintas pikiran macam itu.
Beberapa hari kemudian, hari masih pagi ketika sebuah dokar berhenti di depan rumah, mengagetkan Jasmi yang melamun. Pandangan Jasmi pada adiknya sekaligus me-njadi sebuah pertanyaan. Salatun tidak menunggu terlalu lama untuk segera menerangkan apa yang terjadi.
"Di rumah sekarang sudah ada batur. Batur yang cantik sekali." Salatun membuka cerita.
Jasmi kaget.
"O ya? Batur cantik? Siapa?" tanya Jasmi.
“Cah Rogojami, namanya Salehak. Tadi malam kang Tanjir dan kang Jayus pe-rang baratayuda gara-gara batur itu." jelas Salatun.
Jasmi kaget. Batur sampai menyebabkan dua kakaknya berkelahi, apa persoalan-nya?
Jasmi yang mengusulkan kepada bapaknya agar mempekerjakan batur, maksud-nya batur yang lumrah saja. Batur yang tidak lumrah itu ya seperti yang ada di sinetron atau film, contohnya Inem pelayan seksi itu. Artinya jika batur itu cantik, malah bisa me-njadi sumber masalah. Sudah banyak cerita tentang perselingkuhan antara majikan de-ngan babu. Juga sudah banyak cerita tentang babu cantik yang menjadi penyebab keti-dak-tenteraman.
"Kenapa?" desak Jasmi.
Salatun membuang pandang ke kejauhan, seperti membuang sesuatu yang meng-gelisahkan hatinya.
"Karena baturnya cantik dan nggregetke. Sing rumangsa dadi lanang mbingu-ngi" jawab Salatun.
Jasmi lebih kaget lagi.
"Terus?"
"Aku tidak kerasan di rumah yu. Aku ikut kamu saja. Mana suamimu?"
Jasmipun gelisah. Ayahnya telah menggaji seorang batur sebagaimana saran yang diberikannya. Akan tetapi batur itu menyebabkan dua saudaranya bertengkar. Kalau Ta-njir yang brangasan, berkelahi dengan Jayus yang juga brangasan, akan seperti apa ke-adaan di rumah? Rumah yang berubah suram itu akan menjadi sebuah neraka yang pa-nasnya mampu mengilas siapapun yang tinggal dalam rumah itu.
"Yu Jasmi, aku boleh ikut kamu di sini?." Salatun mende¬sak.
"Kamu ini bagaimana? bapak tidak ada temannya malah Kamu tinggal pergi. Ka-lau aku dan kang Gimpul, sudah terlanjur basah kuyup maka biarlah kami seberangi se-kalian. Sebaliknya kami tidak mungkin pulang dan tinggal di rumah karena kang Tanjir sikapnya seperti itu. Kami di sini hidup sengsara Tun, suamiku tak beker¬ja. Yang bekerja membanting tulang aku. Kau lihat di depan itu, aku jualan."
Salatun memandang ke arah yang ditunjuk. Di atas meja memang ada beberapa barang dagangan yang tak seberapa nilainya. Beberapa buah toples berisi permen, bebe-rapa mainan murahan yang digantung-gantung. Juga karet gelang yang diikat-ikat.
Salatun agak heran,
“Kang Gimpul mengijinkan?" tanyanya.
Jasmi mengangguk mendahului jawabnya.
“Ya, akhirnya mengijinkan. Habis mau makan apa kalau tak bekerja?, mau makan lungka?"
Namun Salatun memandang dagangan itu dengan tatapan bergairah. Bisa mem-bantu jualan mbakyunya bagi Salatun tidak ubahnya mendapatkan sebuah mainan yang menyenangkan.
“Aku ikut kau yu, aku akan membantumu jualan." berkata Salatun dengan penuh semangat. Salatun membayangkan, jualannya nanti akan laris dan semakin laris, kemu-dian akan berubah menjadi sebuah toko yang besar, dan akhirnya semakin besar seperti swalayan yang ada di Banyuwangi kota.
Jasmi menggeleng.
“Jangan Tun aku keberatan. Lebih baik kau tinggal di rumah. Setidak-tidaknya kau akan bisa menjadi air penyejuk rumah itu sepe¬ninggal simbok. Kasihan bapak kalau kau tinggal di sini." berkata Jasmi dalam keprihatinan yang berharga amat mutlak.
“Aku merasa ngeri melihat kang Tanjir dan kang Jayus penthelengan saling be-rebut perhatian Salehak batur genit itu." berkata Salatun.
Sebenarnya Jasmi heran. Seperti apakah ujut lahiriah batur itu sampai-sampai dua kakaknya sanggup bermusuhan bahkan saling ancam akan bacok-bacokan?
“Apakah dia cantik?" tanya Jasmi penasaran.
“Ya." jawab Salatun. "Sangat cantik. Aku dan yu Jasmi saja kalah cantik, Mmm, anu, wajahnya sepeti siapa ya? Mmmm, o ya, seperti bintang pilem yang membintangi iklan samphoo yang rambutnya digeraikan begini itu lho.”
Jasmi gelisah. Seberapa parah sebenarnya persoalan yang berkembang di rumah, apakah kehadiran pembantu rumah tangga itu telah menjadi api di dalam sekam yang siap berkobar setiap saat? Siap membakar hangus siapapun, menjadi provokator yang mendorong kakak beradik Tanjir dan Jayus untuk memulai perang baratayudha?”
Nampaknya memang demikian. Kehadiran pembantu bernama Salehak yang ujut lahiriahnya memang cantik itu membuat gerah seisi rumah. Pada suatu saat Tanjir baru saja dari sumur. Salehak sedang menjemur setumpuk pakaian setelah mencucinya di su-ngai. Salehak sendiri dalam keadaan basah kuyup mencetak lekuk-lekuk tu¬buhnya de-ngan sempurna. Itulah sebabnya pikiran Tanjir menjadi ngeres, gelisah dan serba salah. Begini salah, begitu salah. Laki-laki yang banyak memiliki kukul di wajahnya itu kebi-ngungan sendiri. Tanjir merasa akan menjadi gila kalau tidak mendapat kesempatan me-nyalurkan hasratnya pada pembantu rumah tangga itu.
Namun bukan hanya Tanjir yang kalang kabut. Jayus tidak kalah ngeres gara-gara melihat keadaan Salehak pada saat mengepel lantai. Lantai yang meski dari tegel namun jarang dipel itu menjadi bersih dengan kedatangan Salehak.
Sebagaimana kakaknya, maka Jayus telah sampai pada pilihan yang tak bisa dita-war, entah bagaimana caranya Jayus harus bisa memiliki pembantu rumah-tangga itu.
Bagaimana dengan Salehak? Prawan osing itu sungguh bikin gemes siapapun. Su-lit untuk dimengerti mengapa gadis yang secantik Salehak, pantat berbentuk bulat, kalau berjalan menimbulkan gempa di sekujur tubuhnya, tatapan mata yang sayu sejuk dan cara bicara yang lembut seperti putri Solo, mengapa gadis secantik itu mau jadi babu?
Salehak meski cantik bernasib sungguh malang. Belum lama berselang bapak Ibu-nya mati susul-menyusul. Sang bapak mati karena tertimpa pohon kelapa saat berteduh dari hujan. Sang isteri mungkin karena rasa cintanya menyusul kepergian suaminya, de-ngan meninggalkan Salehak hidup sendiri di dunia ini.
Apa boleh buat, karena waktu terus berjalan, segala hal terus berputar, perjalanan hidup selalu dikawal oleh berbagai kebutuhan, maka Salehak tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus bekerja, bekerja apapun bahkan sebagai babu sekalipun.
Pilihan telah jatuh. Tawaran untuk bekerja sebagai babu di rumah pak Kampun itu diterimanya dengan senang hati. Dengan bekerja membabu setidak-tidaknya bisa ma-kan setiap hari. Syukurlah jika nanti anak majikan ada yang kesengsem kepadanya dan kemudian memungutnya, menaikkan pangkat dari babu menjadi isteri.
Sebenarnya ada beberapa lelaki yang ingin mengawini Salehak. Namun kalau sudah berbicara soal lelaki, Salehak yang lembut sejuk bisa berubah menjadi judes. Salah seorang lelaki yang ingin mengawininya itu bernama Sutrimo, orang Penataban yang bekerja sebagai tukang patri kemasan dan mangkalnya di Pasar kota Banyuwangi. Sa-yang Sutrimo lelaki yang nggratil, tangan¬nya gemar ketrampilan diimbangi pula dengan mulut yang suka omong jorok.
Omongan jorok itu dibalas dengan dampratan dan segala jenis sumpah serapah o-leh Salehak. Trimo terpaksa mundur sambil membalas menyumpah-serapahi dengan se-gala macam kutukan. Sumpah serapah khas osing,
“Aja payu rabi sira ya. Muga byain pilih-pilih tebu, ‘sing entuk pucuke entuka bongkote."
Apakah serapah macam itu bisa bermuatan kutukan? Mungkin saja tidak. Namun akan menjadi lain soalnya jika berbicara dengan orang osing yang kebetulan punya jiwa bengkak seperti Trimo itu. Kalau dendam tidak segan-segan menabur tembang keme-nyan, kalau cinta ditolak, tidak segan menabur tembang jaran goyang. Dan kalau tem-bang jaran goyang bermuatan jampi-jampi japa mantra itu cukup manjur, maka boleh ja-di orang yang menjadi sasaran tembang jaran goyang itu akan berbalik tergila-gila kepada orang yang semula ditolaknya, atau bisa lebih parah malah menjadi gila, menyu¬sur jalan menyanyikan tembang kalong embat-embat, sambil menarik tali yang pada ujungnya te-rikat beberapa biji kaleng kosong, menimbulkan suara riuh di sepanjang jalan yang di-lewatinya.
Dengan keadaan seperti itulah Salehak memilih pergi meninggalkan Rogojampi dan ikhlas menjadi babu di rumah pak Kampun.
Hari-hari belum genap pada hitungan jari ke dua belah tangan, akan tetapi kehadi-ran Salehak itu mampu membuat suasana rumah pak Kampun tegang.
Tanjir yang mengetahui Jayus naksir berat pada babu cantik itu telah mengasah pedang. Jayuspun tidak mau surut. Untuk hal yang lain boleh saja Jayus menepi, namun untuk bisa menda¬patkan babu cantik bernama Salehak itu Jayus rela berkalang tanah dan mempertaruhkan selembar nyawa yang dimilikinya.
Itu sebabnya sebuah celurit diasahnya.
Celurit madura melawan caluk osing, siapa yang akan mendahului membenam-kan benda tajam itu ke dalam perut pesaingnya? Jayus ataukah Tanjir? Siapa yang bakal memenangkan persaingan perebutan piala cantik dengan jabatan babu bernama Salehak itu?
Pada sebuah saat, di mana pak Kampun sedang tidak berada di rumah, Tanjir dan adiknya telah saling berhadapan. Tanjir memandang Jayus yang memegang celurit di ta-ngan kanannya. Celurit itu diasah mengkilap. Tanjir bisa mengukur, kalau saja ayunan celurit itu menyambar kepalanya hanya dengan sekali tebas saja, maka kepala itu akan berpisah dan mengucapkan selamat tinggal kepada gembungnya. Tanjir ngeri memba-yangkan hal itu akan terjadi pada dirinya.
Namun sebaliknya Jayus juga sadar, bahwa caluk panjang di tangan kakaknya itu sangat tajam. Caluk yang terbuat dari per praho¬to itu telah diasah mengkilap. Jayus per-nah mengintip saat Tanjir melakukan tes terhadap caluk kebanggaannya. Sekali ayun pohon pisang sebesar pelukan, langsung putus. Kalau caluk itu diayun menyambar pe-rutnya, maka isi ususnya akan terburai keluar. Jayus pernah mendengar kisah tentang Haryo Penangsang yang mati dengan usus terburai dibabat tombak oleh Sutowijoyo. Ja-yus tentu tidak menginginkan hal itu terjadi pada dirinya.
Karena Tanjir melakukan tes caluk, maka Jayus mengadakan tes clurit pula, po-hon pisang yang berada di sebelahnya dibabat putus dengan sekali tebas pula.
Jika hanya ada dua pilihan yang tidak bisa dihindarinya, dibunuh atau membunuh, maka apa boleh buat, lebih baik membunuh daripada dibunuh. Seperti prinsip tentara itu, lebih baik menda¬hului membunuh musuh daripada kedahuluan mati konyol diberondong peluru musuh.
“Asu," Tanjir mengumpat kasar.
“Kamu yang asu." Balas Jayus tidak mau kalah.
“Bajingan kowe." Tanjir tidak mampu menahan emosinya. “Jancuk”
Tanjir sangat marah melihat Jayus itu menjadi pesaingnya. Tanjir agak kecewa melihat kenyataan, Salehak yang dibidiknya itu lebih dekat dan akrab dengan Jayus. Dari segi tongkrongan Jayus memang lebih tampan darinya.
Diumpat amat kasar macam itu tentu saja Jayus tidak bisa menerima.
“Kowe yang bajingan.... Ayo, kamu mau apa?" begitu ganas Jayus menjawab um-patan kakaknya itu.
Dengan amat waspada tangan kanannya menggenggam gagang celurit. Kalau Ta-njir sampai mengayunkan pedangnya, maka Jayus akan menghindar sambil balas menye-rang. Jayus yakin, ayunan celuritnya pasti akan mampu merobek perut saudaranya itu.
Akan tetapi sebagaimana Jayus yang memilih menunggu, maka Tanjir sebenarnya juga ragu. Ada rasa ngeri dan takut kalau perkelahian berebut babu itu sampai terjadi. Rupanya di balik kegarangannya, baik Tanjir maupun Jayus masih menyimpan secuil si-kap pengecut, jirih wedi getih. Pedang ataupun celurit buatan Madura dengan ujung lan-cip itu hanya sebagai alat untuk menggertak. Namun jika harus menggunakan, nanti dulu.
“Jangan kau dekati dia." ancam Tanjir.
Jayus meremehkan ancaman itu.
“Justru kau yang jangan dekati dia."
“Tak bacok kowe." ancam Tanjir.
Jayus bergeming di tempatnya.
“Bacoken, kalau ingin kubabat endhasmu, ha?"
Mendengar suara kedua kakaknya bertengkar dan masing-masing telah mengge-nggam pedang membuat Salatun ketakutan dan sebisa-bisa berusaha melerai mereka.
“Berhenti." teriak Salatun.
Teriakan Salatun itu menjadi semacam tombol yang secara otomatis menghenti-kan mereka. Baik Tanjir maupun Jayus yang sebenarnya tidak berani menanggung resiko mampus dalam perkelahian, segera saja memanfaatkan kesempatan itu untuk ngeloyor pergi. Untung ada Salatun yang memisahkan mereka, kalau tidak, betapa sulitnya men-cari alasan untuk menghindar dari perkelahian itu tanpa kehilangan muka.
Keadaan rumah macam itulah yang menye¬babkan Salatun merasa tidak betah dan pergi ke rumah kakaknya.
Rupanya Tanjir sadar sepenuhnya, bahwa segala sesuatunya tergantung pada Sa-lehak sendiri. Kalau ia berhasil menghadang Jayus, apalah artinya itu kalau ternyata Sale-hak tidak mau kepadanya. Itulah sebabnya Tanjir berusaha menanamkan pengaruh pada prawan osing bernama Salehak yang punya tahi lalat di dagu itu.
“Hmmm,.." Tanjir berdehem mengejutkan Salehak.
Salehak menabur senyum, membuat Tanjir kalang kabut.
“Ohhh, kang Tanjir? Ada apa kang?" tanya Salehak ramah.
Tanjir membalas senyum itu.
“Kau sedang apa? Okey"
Tanjir membuka percakapan dengan pertanyaan yang sangat wagu. Mestinya Ta-njir tidak perlu bertanya, karena Tanjir tahu apa yang dikerjakan Salehak. Lagi pula ke-napa harus menggunakan kata Okey?
“Aku menghangatkan makanan, kang." jawab Salatun.
Tanjir memandang babu Salehak dari ujung kepala hingga kaki dengan lahap. Sa-lehak terpaksa menundukkan wajah.
“Aku dhemen padamu Hak. Bagaimana? Okey"
Ditanya seperti itu Salehak mendongak. Cara Tanjir mengungkapkan isi hatinya terlampau kasar dan langsung tanpa diberi awalan terlebih dulu. Seolah juga bermuatan ancaman, "Awas kamu kalau tidak mau."
“Apakah kau mau dhemenan dengan aku Hak? Kita saling dhemen. Bagaimana? Apakah kau bersedia? Okey?"
Kata okey saat itu sedang populer di ruang pergaulan Tanjir. Itulah sebabnya se-dikit-sedikit Tanjir menggunakan kata-kata itu. Mesti adakalanya tidak pada tempatnya, seperti misalnya pada kalimat, “Kau okay mau ke mana ha okay?.” Sekali waktu sempat juga muncul kata-kata Mek, maksudnya Mac. Maka sedikit-sedikit Hai mek, jangan dong mek, bahkan ketika bahasa gaul anak-anak muda Jakarta begitu populer, sedikit-sedikit dong dan deh. “Ahhh, jangan begitu dong deh!” atau “Gilo le, lagi enak-enak tidur di ba-ngunan.” Maksudnya : Gila lu, lagi enak-enak tidur dibangunin.
Cemas kalau tidak berhasil Tanjir lebih memberikan tekanan. Salehak menunduk. Salehak tiba-tiba ingat Sutrimo yang juga pernah menyampaikan minatnya untuk dheme-nan. Namun Sutrimo suka misuh dan kasar. Salehak melihat sosok macam itu pada diri Tanjir. Sebenarnya kalau boleh memilih, Salehak tentu akan menjatuhkan pilihannya pa-da Jayus yang lebih tampan dan halus perangainya daripada Tanjir.
“Aku masih bocah kang, aku belum tahu apa-apa." Salehak menjawab.
Tanjir merasa ada sebuah penolakan. Tanjir cemas.
“Jangan khawatir, Nanti akhirnya kau akan tahu apa-apa. Mau ya? kau jadi kepu-nyaanku mau ya?" Tanjir memberondongkan peluru rayuannya. Rayuan yang terasa wa-gu.
Salehak menunduk, bingung dia. Tanjir menjulurkan tangan maksudnya akan me-ngelus pipi, Salehak surut selangkah. Biasanya kalau diperlakukan seperti itu, Salehak bi-sa berubah menjadi prawan beringas, akan tetapi kali ini Salehak terpaksa harus berfikir dua kali. Salehak tentu tidak mau kehilangan pekerjaan karena, misalnya sampai diusir dari rumah itu.
“Aku hanya batur kang." Salehak berbicara sambil menghindar.
Kalau hanya itu alasannya, Tanjir jelas tidak peduli batur. Bukankah batur itu bu-kan species alien yang harus dihindari. Batur bukan jenis penyakit menular yang harus di-usir? Batur itu manusia juga. Apalagi batur cantik seperti Salehak, batur secantik itu ha-rus dilestarikan.
“Tidak apa-apa.” ucap Tanjir. “Sekarang kau jadi batur. Namun nanti kalau kamu sudah jadi kepunyaan diriku, kamsudku eh maksudku menjadi isteriku, derajadmu akan naik tidak batur lagi tetapi Bu Tanjir. Mau ya jadi dhemenanku? Ingat, kalau Jayus ku-nyuk itu mencoba merayumu, kau jangan mau. Kau harus menjadi dhemenanku. Kau de-ngar itu?"
Salehak tidak menjawab, ia diam. Salehak agak takut karena dari mulut Tanjir ada bau nafas yang aneh. Bau alkohol? rasanya bukan.
“Siapapun yang akan mencoba mengusikmu, akan kubunuh. Okey?" Tanjir me-lanjutkan.
Bagaimanapun ancaman itu mengerikan. Tentu saja Salehak ketakutan. Dulu di Srono pernah terjadi dua orang pemuda saling berbunuh hanya karena berebut perhatian seorang wanita. Apakah hal itu harus terulang kembali dengan dirinya sebagai obyek yang diperebutkan?
Lebih jauh Salehak merasa ngeri kalau ingat kejadian setahun yang lalu. Sese-orang dibunuh beramai-ramai karena dituduh dukun santet. Hanya karena suka membual punya kemampuan supranatural, bisa nyantet, bisa membuat dagangan jadi laris, maka dibantailah orang itu oleh tetangganya yang sesama dukun yang merasa iri melihat kelarisan praktek dukun pesaingnya. Padahal menurut Salehak yang amat mengenal o-rang itu, dia membuka praktek menjadi dukun karena ada pasarnya, karena banyak yang membutuhkan, karena banyak orang goblok yang percaya dukun, dan terakhir karena duitnya. Apakah dia benar-benar bisa memasukkan bongkahan kaca, jarum, serpih kain ke perut orang, itu sih omong kosong.
Kebetulan juga Salehak menyimpan pengalaman mengerikan di benaknya. Sale-hak melihat dengan mata dan kepalanya sendiri seseorang dibakar massa karena keper-gok mengambil mangga milik tetangga. Celakanya mengambilnya tanpa permisi alias menyolong. Celakanya lagi beberapa hari sebelumnya di Lemahbang, tempat kejadian itu , banyak terjadi maling dan kecurian yang menyebabkan setan burik dengan gampang menempatkan diri sebagai provokator mengipasi keadaan.
0 komentar:
Posting Komentar