Pages

Sabtu, 23 Juli 2011

Balada Gimpul

NAMA BUNGLON ITU
Tugu Monas menjulang di sana, pucuknya yang seperti api terbuat dari emas. A-neh sekali, adakah orang yang kurang kerjaan sehingga emas dijadikan pucuk sebuah tu-gu.
“Itu emas?” bertanya wanitanya.
“Ya.” jawab si lelaki. “Sekarang kau melihat sendiri bukan, betapa hebatnya Ja-karta. Orang di sini kaya-kaya, sampai-sampai emas dijadikan puncak potlot raksasa. Pa-dahal kau tahu, berapa berat emas di sana itu?”
Laki-laki dan dan wanita itu tak mengalihkan perhatiannya dari sana. Di kampung halamannya, emas satu gram sangat bernilai. Emas satu gram itu bisa berarti beberapa ki-lo beras, bisa pula dibentuk sebuah cincin yang digepleng amat tipis hingga kelihatan besar dan lebih berat dari yang sesungguhnya.
“Beratnya satu ton. Bayangkan, emas satu ton, hanya dijadikan pucuk sebuah tu-gu, apa tidak hebat?” lanjut si laki-laki.
Laki-laki dan wanita itu kemudian saling pandang dan saling senyum.
“Di sini di Jakarta ini.” berkata si laki-laki. “Kita harus ganti nama. Nama asli ki-ta sudah tidak sesuai lagi. Kita harus menggunakan nama yang tidak kalah hebat dari na-ma orang-orang Jakarta. Pakai nama yang paling dahsyat dan jauh lebih hebat dari orang Jakarta sendiri. Aku pakai nama Santiago Amoral. Bagus kan?”
Si wanita manggut-manggut dan tersenyum merekah. “Namaku siapa?”
Santiago Amoral, sebut saja nama lelaki itu seperti itu adanya, sama sekali tidak menyadari arti nama itu adalah Santiago tidak bermoral. Baginya nama itu sungguh amat bagus dan sesuai untuknya. Santiago diambilnya dari nama pemain telenovela dari Ame-rika latin, sedang Amoral adalah pelesetan dari Amaral. Di televisi ia pernah melihat ada orang Timor Timur bernama Amaral. Rasanya Amoral lebih enak kedengaran di telinga daripada Amaral.
“Karena kau adalah biniku.” lanjut Santiago Amoral. “Maka namamu harus se-suai denganku, sekarang kau adalah Bini Santiago Amoral.”

***


MALING DAN KUITANSINYA.
Dan hotel itu juga menjulang tinggi. Bini Santiago Amoral memandanginya de-ngan amat takjub. Banyak hal di Jakarta yang membuatnya takjub. Berbagai gedung yang menjulang mencakar langit menyimpan kemustahilan, mustahil orang bisa membuat bangunan setinggi itu. Juga jalan layang dan jalan kereta api layang menjadi wacana baru baginya, yang juga menyimpan kemustahilan. Mustahil orang membuat jalan seperti itu. Kemacetan dan jumlah mobil itu sendiri, setiap hari adalah karnaval yang tak berkesu-dahan, padahal orang Jakarta membacanya : macet!!.
Semua membuatnya takjub.
“Apa yang kau lamunkan?” bertanya Santiaogo Amoral.
Bini Santiago Amoral tidak mengalihkan pandangnya. Tetap pada puncak hotel itu, pikirannya berada dalam salah satu kamar di sana.
“Kita sekarang kan kaya?” berkata Bini Santiago Amoral “Kita coba menginap di hotel itu. Kita pesan kamar yang paling atas? Dari atas kita bisa melihat ke mana-mana. Di atas kita paling dekat dengan langit, bagaimana?”
Itu gagasan yang bagus. Santiago Amoral yang merasa sebagai orang paling kaya, yang tidak kalah kaya dari orang-orang Jakarta merasa wajib merasakan bagaimana kehi-dupan orang kaya yang sesungguhnya.
Namun seorang Satpam dengan wajah garang menghadangnya.
“Hei dilarang lewat.” teriak Satpam itu. “Mau apa kalian?”
Santiago Amoral dan isterinya saling pandang. Ternyata penjaga gedung menju-lang itu tidak ramah kepadanya. Sebaliknya Satpam itu melihat sandalnya yang lusuh, juga kain dan selendang yang dikenakannya.
“Pergi.” teriak Satpam itu sekali lagi.
“Tetapi, ini hotel bukan?” bertanya Santiago Amoral.
Pertanyaan itu terasa aneh di telinga Satpam. “Ya, kenapa?”
“Kami akan menginap.” jawab Santiago Amoral.
Satpam itu memandang penuh selidik, mulai dari peci yang dikenakan, baju batik yang kumal, jenis kaca mata yang dipakai sampai sandal jepit yang lusuh dengan kakinya yang juga lusuh. Orang macam itu mau menginap di hotel berbintang lima? Mana dasi-nya?
Satpam itu melambaikan tangannya dan memanggil salah seorang temannya. Me-reka lalu berbisik-bisik sambil mata tetap penuh selidik.
“Orang macam gituan mau check in!” berbisik Satpam pertama.
“Apa dia punya duit?” balas Satpam yang ke dua. “Orang macam gituan mana pu-nya duit?”
“Kayaknya sih orang dari udik” berbisik yang pertama. “Tanyai aja, punya duit kagak?”
Satpam yang ke dua bersikap agak ramah. “Elu mau nginap di hotel berbintang li-ma, emangnya lu punya duit?”
Bini Santiago Amoral kebingungan. Bahasa orang itu kedengaran aneh di telinga-nya. “Apa maksudnya itu kang?” bisiknya.
Santiago Amoral segera membuka kopor butut yang dibawanya. Ditunjukkannya gumpalan uang dalam kopor itu, yang menyebabkan Satpam itu seketika berubah sikap-nya, biasa, rasa hormat memang selalu berbanding tegak lurus dengan uang.
Dengan pelayanan kelas satu, Santiago Amoral dan Bini Santiago Amoral diantar menuju resepsionis, diantar menemui seorang wanita yang sungguh amat cantik. Wanita itu sebagaimana sikap Satpam sebelumnya, memandang aneh pada dua tamunya. Akan tetapi Satpam itu telah membisikinya, kira-kira kalimatnya “jangan lihat penampilannya, orang ini banyak uang.” yang menyebabkan sikap resepsionis itu total ramah.
“Bapak dan Ibu mau menginap?” tanya resepsionis itu.
Santiago Amoral dan Bini Santiago Amoral menebar pandang menjelajahi sege-nap sudut di ruang itu, yang benar-benar mewah. Bini Santiago tak kalah takjub, kekagu-mannya masih tersita pada pintu kaca yang bisa menutup dan membuka sendiri.
“Mau menginap, pak?” ulang resepsionis yang cantiknya luar biasa itu.
“Mmm, ya.” jawab Santiago Amoral sedikit gugup.
“Namanya Pak?” bertanya Resepsionis itu.
Santiago Amoral nyaris menyebut namanya sendiri. Namun untunglah ia segera i-ngat pada nama baru yang digunakannya.
“Santiago Amoral.” jawabnya dengan muka amat yakin.
Resepsionis itu kebingungan. Sejenak nama itu memaksanya untuk termangu. Se-jenak kemudian rangsangan untuk ketawa datang tiba-tiba. Namun tentu tak sopan untuk tertawa apalagi mentertawakan nama tamunya. Untuk membalik badan menyembunyikan senyum juga belum cukup.
“Permisi sebentar pak.” resepsionis itu segera berlari ke toilet di sudut ruang itu.
Ternyata bukan untuk tertawa sepuasnya, tetapi untuk kencing setuntasnya. Rupa-nya resepsionis itu punya kebiasaan aneh, jika geli atau ada rangsangan tertawa, ia tidak kuasa menahan kencingnya.
Sejenak kemudian ia telah kembali.
“Mohon diulang namanya, pak.” pinta resepsionis itu.
Santiago Amoral tarik nafas lebih dulu. Ancang-ancang menyebut namanya.
“Saya Santiago Amoral dan ini isteri saya, Bini Santiago Amoral.” suaranya tegas dan jelas.
Beberapa gadis cantik yang punya tugas berbeda namun bisa mendengar pembica-raan itu cukup jelas, tidak bisa menutupi senyumnya. Hal itu ditangkap oleh Bini Santia-go Amoral.
“Apakah ada yang aneh dengan nama kita, kang?” bertanya Bini.
“Kurasa tidak.” bisik Santiago.
“Kenapa mereka tertawa mendengar nama kita?”
Gadis resepsionis itu memencet-mencet keyboard komputer untuk mengecek ka-mar yang masih tersedia.
“Ini daftar harganya pak, silahkan memilih akan menginap yang mana?” resepsio-nis itu kemudian menyodorkan sebuah datar dalam map.
“Kami mau yang paling atas.” Bini Santiago Amoral nyelonong.
Gadis resepsionis itu terhenyak. Tidak disangkanya orang yang dandanannya aneh , udik dan bau keringat itu memilih penthouse, kamar super VIP sekelas presiden. Hanya tamu-tamu kaya-raya yang menggunakan kamar itu. Hanya turis-turis dari luar negeri serta para bisnisman lokal kelas kakap yang mau menggunakan penthouse.
“Berapa semalam di kamar paling atas?” bertanya Santiago Amoral.
Gadis resepsionis itu menjawab ramah dan amat profesional. “Ruang yang di atas sendiri namanya penthouse pak, atau kelas penthouse. Semalam sepuluh juta rupiah.”
Kini giliran Santiago Amoral dan Bini Santiago Amoral yang kaget. Angka sepu-luh juta untuk menginap semalam jelas mengagetkan mereka. Menginap di hotel itu mak-sudnya mau numpang tidur, lalu tidur yang macam apa sampai harus membayar sepuluh juta rupiah?.
Santiago Amoral dan Bini Santiago Amoral saling pandang.
“Mahal sekali?” ragu ragu sekali ucapan Bini Santiago itu.
Merah padam wajah Santiago Amoral dan Bini Santiago Amoral ketika harus ke-luar dari ruang lobby hotel itu diiringi pandangan yang aneh dari semua orang. Tidak masuk akal untuk menginap dengan bayaran setinggi itu. Manakala akhirnya pasangan ini memperoleh hotel kelas lima puluh ribuan di dekat terminal Pulogadung, mereka ma-sih takjub dan geleng-geleng kepala oleh harga yang mengerikan itu.
“Menginap di hotel itu kan numpang tidur to?” bertanya Bini Santiago Amoral.
“Ya.” jawab Santiago.
“Kenapa begitu mahal? Menginap macam apa sampai harus membayar sebanyak itu, sepuluh juta semalam. Bayangkan.” Bini Santiago Amoral mengajak membayangkan.
“Inilah Jakarta, Bin” berkata Santiago. “Mulai hari ini kita menjadi bagian dari kehidupan orang-orang Jakarta. Mau ke mana saja ada taksi yang akan mengantar kita. Mau mencari hiburan, tinggal pilih Monas atau Lobang Buaya.”
Santiago Amoral dan Bini Santiago Amoral tak sadar sedang diamati orang Seba-gai pendatang dari udik yang membawa uang banyak, baunya begitu mencolok menarik perhatian preman Jakarta. Di Jakarta, siapapun bisa jadi preman, itu tergantung situasi dan kebutuhan. Moral boleh jadi baik, tetapi kehidupan dan kebutuhan yang belum ber-sahabat menyebabkan seseorang bisa memutuskan untuk menjilma menjadi preman.
Hal itulah yang dilakukan seorang room boy hotel kecil itu yang tahu tamu udik itu membawa uang banyak.
Dengan keluguannya Santiago Amoral dan Bini Santiago Amoral keluar hotel un-tuk jalan-jalan melihat Jakarta di waktu malam, melihat mobil yang bisa goyang sendiri di pantai Ancol, melihat keramaian Jalan Thamrin hingga Blok M, ketika kembali ke hotel keduanya melolong meraung-raung melihat koper bututnya sudah terbuka, uang sebesar hampir seratus lima puluh juta dalam koper itu lenyap tidak ada jejaknya. Di da-lam koper butut itu tertinggal sebuah kuitansi dengan bunyi : telah kami terima uang sejumlah seratus empat puluh delapan juta rupiah, lain kali lagi ya.
Pucat pias wajah Santiago Amoral, pucat pias juga wajah isterinya. Maka geger-lah hotel kecil itu ketika salah seorang tamunya berteriak-teriak mewartakan kehilangan-nya. Bini Santiago Amoral menangis sesenggukan, sebaliknya Santiago Amoral dengan wajah begitu sangar memaki-maki petugas penerima tamu hotel.
Akhirnya kasus pencurian di hotel itu dibawa ke kantor Polisi. Dengan kemarahan yang nyaris meledakkan isi dadanya Santiago Amoral melapor.
Polisi yang dinas jaga malam itu, Brigadir Kepala Polisi Budi Setyo Pramono na-manya melihat ada sesuatu yang tidak sewajarnya. Ke dua tamu hotel yang kemalingan i-tu mengaku kehilangan uang seratus lima puluh juta, tetapi benarkah orang dengan pe-nampilan seperti itu punya uang begitu banyak.
“Nama siapa?” Bripka Budi Setyo Pramono mulai membuat laporan. Di depannya sebuah komputer yang masih menggunakan sistem Wordstar siap menerima laporan itu.
“Nama saya Santiago Amoral pak, dan ini isteri saya Bini Santiago Amoral.” ja-wab Santiago dengan tegas.
Bripka Budi Setyo Pramono yang semula bermaksud mengetik di atas keyboard-nya terpaksa membatalkan niatnya dan dengan mata penuh selidik menatap wajah ce-lingus di depannya. Wibawa polisi itu ternyata begitu besar.
“Tolong diulang nama anda?” Bripka Budi Setyo Pramono meminta pengulangan.
Santiago Amoral gugup. Tak disangkanya, nama bisa menjadi persoalan besar.
“Nama saya Santiago Amoral pak, dan ini isteri saya Bini Santiago Amoral.” ja-wab Santiago, kali ini suaranya agak ragu. “Kami bermaksud melapor kehilangan uang, jumlahnya seratus lima puluh juta, uang itu kami simpan di koper ini, kami tinggalkan di hotel. Kami jalan-jalan melihat Jakarta di malam hari, ketika kembali uang kami hilang.”
Bripka Budi Setyo Pramono manggut-manggut sambil memandang penuh selidik. Pelapor kehilangan uang seratus lima puluh juta ini kelihatannya tidak beres. Bisa jadi u-ang yang hilang itu omong kosong, atau bisa jadi ia peroleh uang itu dengan cara tidak wajar.
“Tanda pengenal, KTP atau SIM, silahkan.”
Santiago Amoral dan Bini Santiago Amoral saling pandang.
Pandangan mata bripka Budi Setyo Pramono menyudutkan mereka seolah menja-di tersangka.
“Tolong tanda pengenalnya, bisa KTP, bisa SIM, atau surat nikah.”

***


TEMBANG MEGATRUH MBOK KAMPUN
Sisi lain dari Desa Tegaldlimo di samping kehidupan penduduknya yang makmur, menyatu bagai lumah dan murep daun sirih yang andaikata dikunyah sama rasanya, ada-lah kehidupan sebagian pendu¬duknya yang kekurangan. Itu sebabnya desa itu marak de-ngan angan-angan yang diwakili penduduknya yang pergi menjadi tenaga kerja di tanah Arab atau Malaysia, yang jika pulang maka seketika rumahnya yang semula berdinding gedek berubah berdinding tembok.
Kaya atau melarat apa ukurannya? Yang jelas tidak ada orang melarat yang takut kaya. Sebaliknya orang kaya pada umumnya takut melarat. Itu sebabnya Gunardi yang pekerjaan sehari-harinya sebagai penyuluh Keluarga Berencana masih harus nyambi ber-jualan di pasar krempyeng depan kantor Kecamatan memanfaatkan waktu sebelum jam dinas. Itu pula sebabnya di pertigaan depan masjid para pengojek riuh bercerita tentang kehidupan yang lebih enak di Jakarta, atau keberhasilan Sutinah anak pak Jiarto yang masih bekerja di Arab namun setiap bulannya selalu mengirim uang rata-rata dua juta.
Dua juta sebulan? Ha? Gaji siapa sebesar itu untuk ukuran orang Tegaldlimo? Oo, dua juta itu kecil. Paling tidak itu kata Suparjoto yang tahu persis rahasia tetangganya, Sri Munik yang sebenarnya belum cerai dari suaminya yang bekerja sebagai sopir, namun ti-dak lagi serumah. Munik sudah lima bulan yang lalu minggat meninggalkan anak dan su-aminya bekerja di Bali berjualan bakpao, dengan penghasilan lebih dari lima juta sebu-lan.
Ahh, kok Suparjoto tahu Munik jualan bakpao? Tentu saja Suparjoto tahu karena Suparjoto pernah merasakan kelezatan bakpao Munik yang bergelimang peluh dan gincu. Suparjoto harus ngedumel karena Munik menjual bakpaonya terlampau mahal. Masak pada tetangga sendiri harus membayar dua ratus ribu rupiah?
Dari situ Suparjoto bisa berhitung berapa penghasilan Munik sebulan. Itupun ti-dak perlu jauh ke Arab Saudi dan menjadi babu di sana, cukup menyeberang selat Bali.
Adalah Gimpul nama aslinya. Entah mengapa Pak Markun menamai anaknya yang sebenarnya tampan itu dengan nama yang begitu sederhana, Gimpul. Mungkin Pak Markun bukanlah orang yang terlampau njlimet dalam mencipta nama untuk anak laki-lakinya, padahal bukankah untuk mencipta sebuah nama orang tidak perlu membayar? Tetapi itulah Gimpul. Nama yang kemudian dibuang oleh pemakainya karena dianggap tidak pantas. Nama kok Gimpul, kan tidak seimbang dengan jambul dan tongkrongannya. Itu sebabnya Gimpul membuang nama itu jauh-jauh dan memakai namanya yang seka-rang Iwan Marjuni. Setidak-tidaknya Iwan Marjuni tentu lebih keren ketimbang Gimpul.
Namun tetap saja orang memanggilnya “Pul” Nama itu terlanjur populer, sudah terlanjur menjadi brand.
Gimpul pernah dua tahun merantau entah ke mana dan begitu pulang gayanya be-rubah. Sedikit-sedikit ngomong bahasa Inggris yang berlepotan. Pernah pada suatu hari ada rombongan turis yang akan pergi ke Plengkung dan kebetulan butuh informasi arah di Tegaldlimo, Gimpul dengan penuh semangat mengajak turis-turis itu berbicara, mem-buat teman-temannya yang mangkal di pertigaan depan Masjid pada mlongo takjub, beta-pa hebatnya Gimpul.
Mengenai bahasa Inggris, Gimpul sebenarnya hanya bisa sepatah dua patah, mi-salnya how are you, where are you going, no smoking, what your name dan what time. Yang paling dihafal adalah I love you. Khusus untuk I love you, Gimpul menguasai beberapa versi seperti Jepang, Cina, Belanda, Jerman, Perancis, Sunda, Jawa dan bahasa isyarat. Untuk bahasa isyarat, semisal Gimpul bermaksud mengutarakan cintanya kepada seorang gadis, ia menjejerkan dua jari telunjuknya kemudian digerakkan seperti dua orang melangkah bersama, yang kemudian diakhiri dengan jempol dijepit dengan jari telunjuk dan jari tengah. Isyarat itu pernah membuat seseorang marah dan melaporkan tindakan pelecehan itu ke kantor polisi. Akibatnya Gimpul disel beberapa hari.
Lebih dahsyat lagi ketika pada suatu hari Iwan “Gimpul” Marjuni kedatangan ta-mu, bukan sembarang tamu, tetapi bule. Konon namanya Miss Margaretha dan berasal dari Amerika. Tidak ada yang tahu bagaimana Gimpul bisa kenal dengan orang itu. Yang jelas, dengan bangganya Gimpul membawa Miss Margaretha itu keliling desanya.
Dan tentu saja semua orang memberikan perhatiannya pada, bukan Gimpul, tetapi bulenya. Rambut jagung memang jarang lewat di Tegaldlimo.
Para pengojek rata-rata takjub. Mereka tidak peduli turis itu kelihatan seperti ibu bagi Gimpul karena umurnya yang lebih tua. Yang penting turis. Yang lebih dahsyat lagi, Gimpul dengan turis itu ke mana-mana kelihatan mesra. Itu sebabnya para orang tua di desa Tegaldlimo pada umumnya kipa-kipa kalau anak gadisnya menjalin hubungan de-ngan Gimpul. Klesak-klesik menjalar di mana-mana, kata mereka Gimpul itu lonthe lanang yang mau melayani kebutuhan syahwat siapapun dengan bayaran.
Dan mimpi buruk datang dalam tidur mbok Kampun. Tidak habis mengerti mbok Kampun mengapa salah seorang anak gadisnya bisa dirayu oleh Gimpul.
"Maukah dikau menjadi isteri diriku?" bertanya Gimpul.
Itulah pertanyaan pertama yang berbau todongan diberikan Gimpul kepada Jasmi, di sela riuhnya para penonton yang menyaksikan pagelaran gandrung yang dipentaskan di tanah kosong dekat Kantor Polisi. Jasmi tentu saja berdebar-debar oleh pertanyaan itu. Geremetan tangan Gimpul di jemari tangannya menyentak-nyentak degup jantungnya.
Penari gandrung di sana meliuk gesit menghindari gerakan kurang ajar dari seo-rang paju gandrung yang berusaha menyenggolkan hidungnya. Penonton tentu gemuruh. Kluncing yang menjadi wasit menghentikan tarian sejenak dan menjatuhkan denda ke-pada pengibing yang kurang ajar itu. Denda itu masuk ke dalam kutang sang penari gan-drung. Penonton riuh bersuit-suit. Dalam hati pemegang kluncing amat marah, tidak se-orang penontonpun yang tahu penari penari gandrung itu adalah isteri si pemegang klun-cing.
”Kang Gimpul menginginkan aku menjadi isteri?" Jasmi menegas.
Gimpul terdiam. Matanya tertuju pada lantunan tembang keok-keok, tetapi de-ngus nafasnya diarahkan ke telinga Jasmi. Gimpul lelaki yang punya pengalaman, bagi-nya gadis gadis mungkin sekedar lalapan. Tetapi yang kali ini Gimpul mempunyai ren-cana yang lebih jauh lagi. Jasmi tidak sekedar dijadikan lalapan, namun pecel dengan sambal gaya osing, pedas.
"Ya. Aku ingin mengajakmu hidup berumah tangga,” jawab Gimpul. “bersama-sama kita mengarungi bahtera hidup. Suka dan duka kita hadapi bersama. Bayangkan Jas, apakah kau tak akan merasa bahagia seandainya hal itu menjadi kenyataan?"
Rayuan gombalnya benar-benar gawat. Namun wajah Gimpul nampak bersung-guh-sungguh, membuat Jasmi bimbang. Gimpul menengadah ke langit memandangi bin-tang-bintang, lalu melemparkan tatapan matanya menyapu keramaian, lalu lagi-lagi ta-ngannya geremetan.
Sekali lagi kluncing menjatuhkan denda pada penari lelaki. Kali ini gawat. Dalam gerakan yang amat gesit, dada penari itu berhasil disenggolnya. Siulan suit-suit terdengar dari mana-mana. Penari gandrung ngambek, digantikan penari gandrung lainnya. Tem-bang Warudoyong mengumandang sementara pemegang kluncing sibuk mendenda pengi-bing yang kurang ajar itu. Ternyata pengibing itu tidak punya uang, menyebabkan kea-daan sejenak geger. Siul-siul mencemooh pengibing yang tidak punya duit namun telah berani kurang ajar menyenggol dada lawan tarinya. Bukannya malu, penari yang diusir dari atas pentas itu malah mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Jari jempolnya dijepit oleh jari telunjuk dan jari tengah, sebuah isyarat yang sangat saru. Namun lihatlah, hal itu malah membuat suasana menjadi riuh rendah.
Namun Gimpul tidak peduli apa yang terjadi di sana.
"Benarkah kau bersungguh-sungguh kang Gimpul? kau tidak sedang berkhayal?"
Jasmi seperti mencari sesuatu di wajah Gimpul. Dengus nafas Gimpul semakin terasa, bahkan ujung hidungnya menyentuh daun telinganya. Jasmi hanya diam ketika Gimpul meremas jari dan jempolnya. Jasmi merasa sedikit mrinding, hatinya resah mem-buncah.
"Khayalan saja, mana bisa terujut kalau tak diupayakan supaya menjadi kenyata-an? Kau mau Jas, mau menjadi isteri diriku?" rayunya membelit.
Ajakan kawin, yang berasal dari seorang pemuda, memang selalu bikin bingung gadis untuk menjawabnya. Jika wajah Jasmi bisa dilihat dengan jelas, maka akan terlihat salah tingkahnya.
"Maksudnya, kau akan menemui orang tuaku?" kejar Jasmi.
"Ya,” Gimpul menjawab dengan tangkas “Aku akan menemui bapak dan Sim-bokmu untuk melamar¬mu."
Ada rasa senang di hati Jasmi yang seandainya dia itu ayam, maka Jasmi ayam yang sudah siap jadi babon, siap dikabruk jago, dan orang osing bilang, ayam yang ingin dikabruk itu namanya ayam memeti. Tetapi ada juga kekhawatiran karena hal yang lain.
"Tetapi, bukankah jau sudah tahu bagaimana sikap simbok¬ku padamu kang Gim-pul?" balas Jasmi dengan segala gelisahnya.
Gimpul termangu,
"Simbokmu tidak begitu suka kepadaku karena aku masih menganggur, tidak punya pekerjaan, dan karena aku tampan sehingga banyak gadis-gadis yang naksir pa-daku. Tetapi, apakah itu salahku Jas? Bukan salahku kalau aku lahir sebagai lelaki yang amat tampan. Salahkan saja gadis-gadis itu, mereka yang tergila-gila kepadaku, bukan aku yang tergila-gila pada mereka."
Gila, argumentasi Gimpul dahsyat sekali. Dan hebatnya Jasmi menelan alasan itu. Sulit dibedakan apakah sebenarnya Jasmi itu lugu atau bodoh, atau hidungnya sedang pi-lek sehingga bau akal bulus yang menyengat itu tidak dirasa.
Dengan sengaja Gimpul menghirup udara dan menghembuskannya dengan lem-but pada telinga Jasmi. Desir itu mengkili-kili wajahnya, tetapi juga mengkili-kili hati-nya.
Gimpul melanjutkan,
"Mengenai pekerjaan, masa akan nganggur terus? Suatu ketika aku pasti mene-mukan pekerjaan yang sesuai untukku. Kerja di kantoran. Dan kau boleh berbangga bersuamikan lelaki yang bekerja di kantoran"
Gimpul agak merapatkan diri, Jasmi diam berfikir.
Untuk menjadi isteri artinya jadi mempelai dulu. Untuk sementara artinya cukup-lah itu. Menjadi isteri berarti hajatan dengan tanggapan hadrah kuntulan dari Rogojam-pi, atau mengundang Gandrung Sumilah dari Penataban. Dan dalam hajatan, undangan disebar, teman-teman dan sanak saudaranya berdatangan mengucapkan selamat sambil membawa kado. Seperti arisan saja, bukankah selama ini Jasmi banyak sekali menda-tangi mantenan, ibaratnya nyelengi, menabung. Maka sekaranglah saatnya menarik kem-bali kado-kado yang dulu disumbangkan. Ya, seperti arisan itu.
"Aku masih sangsi kang. Aku sangsi apakah bapak dan simbok akan menerima pinanganmu." Jasmi berkata dengan segala kegamangan hatinya.
Gimpul terdiam, Gimpul merasa jaring telah ditebarnya dan ikan sudah berada dalam jeratan. Pertanyaan itu berarti, Jasmi sendiri sangat berminat.
Gimpul tentu telah menyiapkan tantangan berikutnya.
“Sebenarnya ada cara lain, apa kau mau?" bisik lelaki itu.
Pertanyaan itu membuat alis Jasmi mencuat.
"Cara bagaimana?"
"Kalau anak gadisnya sudah hamil, orang tua bisa berbuat apa?"
Bangkit bulu tengkuk gadis itu. Merinding punggungnya, dingin pula seketika te-lapak tangannya.
Edan. Ternyata ke situ to arahnya? Raut wajah Jasmi serentak panik mendengar jawaban itu. Namun Gimpul yang kenyang asam garam “perayuan” justru membuang pandangan ke arah yang lain, maksudnya agar sikapnya terlihat amat wajar. Agar bila Jasmi menelusuri wajahnya tidak tampak gejolaknya.
Jasmi yang selama ini berangan-angan dan membangun mimpi indah, mimpi itu adalah kemampuannya mempersembahkan kegadisannya di malam pertama hanya kepa-da sang suami siapapun suaminya nanti, dan tidak akan melakukan itu sebelum sah me-njadi seorang isteri dan melewati gerbang ijab, mendadak merasakan ajakan itu sebagai sebuah mimpi buruk.
Namun Jasmi membeku, ajakan itu memang menggodanya, setidak-tidaknya mes-ki sesaat perlu ditimbangnya.
"Apakah kau sependapat denganku?" desak Gimpul dengan berbisik, dengan wa-jah lurus ke depan, tidak menoleh.
Jasmi merasa dadanya agak bergetar, mengombak kembang kempis. Sikut Gim-pul menyentuh dadanya, layaknya seperti tidak disengaja. Beberapa kali Gimpul melaku-kan itu dan tetap saja layaknya tidak disengaja.
"Aku kurang sependapat kang Gimpul." jawab Jasmi agak bergetar. "Yang kui-nginkan, aku akan menyerahkan tubuhku seutuhnya pada suamiku, di malam pertama perkawinan. Itu angan-anganku."
Gimpul manggut-manggut, senyumnya merekah.
“Ah, soal malam pertama itu nanti atau sekarang, pada dasarnya sama saja. Yang penting adalah, hanya dengan cara itu orang tuamu tidak akan bisa menolak keinginan kita yang ingin menya¬tu dan tak terpisahkan untuk hidup bersama berdua."
Betapa bersungguh-sungguhnya Gimpul dengan ucapnya membuat Jasmi bim-bang.
Apalagi ketika Gimpul melanjutkan, "Mau ya Jas? Mari kita lakukan dengan niat itu."
Jasmi terkaget-kaget
"Di sini?" bertanya Jasmi dengan keluguannya.
Gimpul menyembunyikan rapat-rapat tertawanya. Wajahnya membeku dalam ke-sungguhan, tetapi di dalam hatinya melebihi riuh ombak laut yang menghantam tebing pantai Grajagan. Pertanyaan itu jelas menunjukkan indikasi tergoda.
"Tentu saja tidak di sini, di rumahku." berkata Gimpul.
Jasmi sangat bimbang. Di dalam dadanya terjadi perang dan peluh membasahi ke-ning. Tetapi akal warasnya masih ada.
"Jangan kang, aku tidak mau." tolaknya.
Gimpul tahu jawaban itu yang bakal diterimanya.
"Kenapa?" bertanya Gimpul.
"Aku takut." jawab Jasmi.
Gimpul memegang tangan Jasmi. Dituntunnya Jasmi menyelinap dari riuhnya pe-nonton, yang segenap perhatiannya terpusat pada paju yang sedang memburu penari gan-drung, seperti jago mengejar babon, meliuk-liuk dengan akal waras kehilangan sebagi-annya, karena pengaruh minuman alkohol. Apalagi minuman itu ciu yang konon dikulak dari sebuah tempat bernama Mojolaban itu dicampur dengan abu rokok. Jago minum macam apapun akan klenger.
“Kang,...jangan.” Jasmi menolak.
Maka kenangan itu mana bisa terhapus dari benak Jasmi. Itulah saat pertama ia terperangkap dalam pusaran persoalan yang membuatnya pusing tujuh keliling. Semala-man Jasmi sesenggukan ketika segalanya telah berakhir. Namun yang terjadi bukanlah permukaan air yang tenang kembali setelah ditepuk. Jasmi merasa ada sesuatu pada di-rinya yang telah robek dan tak mungkin kembali pada keadaannya semula. Jasmi bahkan cenderung merasa menjadi wanita yang menyandang nista.
"Mbok.." Jasmi agak ragu saat akan mengadu esoknya.
Mbok Kampun memutar susur di mulutnya. Rasa-rasanya sudah jarang orang ma-kan sirih memutar susur yang berlepotan gambir dan enjet. Ketika orang lain sudah menggunakan odol, mbok Kampun masih setia dengan wanci kinangannya. Jika kelak mbok Kampun mati, pasti tidak akan ada orang yang melanjutkan keprigelannya yang satu itu. Hanya orang yang gemar kinang yang mampu meludah memuncratkan air liur dengan kecepatan tinggi, hingga lalatpun sulit menghindar.
Crottt.
"Ada apa?" jawab mbok Kampun yang suaranya tidak begitu jelas.
Liur kinangnya muncrat melewati pintu. Dubang itu membentuk bercak merah di sana, yang menyebabkan dua anak ayam terkaget-kaget dan sibuk melarikan diri me-minta perlindungan babonnya.
Jasmi sangat ragu. Berani? Tidak?
Namun Jasmi ingat semalam, ingat dirinya telah terenggut, dan Gimpul harus ber-tanggung-jawab. Maka segera dikumpulkannya semua keberanian yang dimilikinya.
"Aku mau membicarakan sesuatu." ucap Jasmi.
"Soal apa?" tanya mbok Kampun datar, melirikpun tidak.
"Tetapi mbok, sebelumnya simbok jangan marah dulu." Jasmi menawar keadaan.
Barulah mbok Kampun menoleh, tatapannya penuh selidik.
"Ada apa to?" mbok Kampun heran.
Ketika mbok Kampun mencuatkan alisnya. Jasmi gamang, amat ragu-ragu, dan serasa serak mengganjal lehernya.
"Besok kang Gimpul akan datang kemari."
Hah? mbok Kampun terkaget-kaget. Jasmi membutuhkan tenaga dan keberanian untuk mengung¬kapkan kata-kata itu. Begitu berat, namun lolos juga dari mulutnya. Mbok Kampun tidak begitu senang, su¬surnya diputar dengan sepenuh tenaga bahkan melewati wilayah bibirnya. Andaika¬ta warna merah itu gincu, maka itulah gincu yang keterlaluan.
"Mau apa dia datang kemari?" tanya mbok Kampun
Jasmi merasa ngeri. Mulutnya terkunci.
"Mau apa dia kemari?" ulang mbok Kampun.
"Maksudnya mau...mau melamarku." balas Jasmi dengan menunduk.
Mbok Kampun terlonjak hingga susurnya mau jatuh. Perempuan tua itu segera tu-run dari amben serta mengambil jarak dari anak gadisnya sambil memandanginya dengan tatapan yang ganjil. Matanya mulai menteleng, bisa-bisa mecotot satu senti ke depan.
"Kau menjalin hubungan dengan pemuda bejat itu?" serapah mbok Kampun.
Jasmi tak punya pilihan lain kecuali membela diri.
"Simbok jangan menilai kang Gimpul hanya luarnya saja."
Mbok Kampun menggigil. Ingat Gimpul menyebabkan mbok Kampun ingat pada tetangganya yang tak jauh dari rumahnya, mbok Rikin. Entah apa yang diingatnya, tetapi sesuatu yang sanggup memaksa mbok Kampun mau muntah.
"Dari luarnya saja sudah kelihatan. Gimpul itu bukan laki-laki yang baik. Ia lelaki bejat. Dan aku tidak ingin mempunyai mantu lelaki bejad." sergahnya dengan ganas, membuat Jasmi geli¬sah.
Jasmi menjadi gamang, namun Jasmi ingat semalam, ingat dirinya telah tereng-gut, ingat dirinya telah tidak punya harga jual karena telah terenggut. Jasmi lebih mem-bulatkan tekad lagi. Jasmi memaksa dirinya untuk tidak surut, harus maju terus apapun yang akan terjadi.
"Tadi sudah kukatakan mbok, janganlah menilai orang itu hanya dari luarnya. Simbok jangan gampang mengambil kesimpulan." Jasmi membela diri.
Mbok Kampun kian mendelik.
"Simbok ini sudah tua Jasmi, sudah banyak makan asam garam. Kau belum lahir saja, simbok sudah kasinen isi dunia ini. Simbok tahu siapa si Gimpul itu. Ia memang pe-muda tampan, simbok tahu. Tetapi ia menggunakan ketampanannya itu untuk menjerat-mu, juga menjerat gadis-gadis yang lain. Janda-janda juga mau. Bahkan perempuan yang sudah tua nenek-nenek juga dirayunya. Lelaki macam apa itu namanya? Tukang ngrusak pager ayu. Apa kamu tidak pernah mendengar bagaimana tingkahnya di luar sana?"
Jasmi terpaksa menggugah keberaniannya, untuk digunakan mendebat simbok-nya.
"Itu yang dikatakan orang, itu fitnah. Kang Gimpul sendiri mengatakan kepadaku kalau semuanya itu fitnah saja. Hanya ulah orang-orang yang tidak senang kepadanya, lalu mengarang cerita ra nggenah. Padahal kenyataannya tidak sama sekali. Orang-orang itu saja yang kedanan pada kang Gimpul karena kebetulan kang Gimpul orangnya tam-pan."
Mbok Kampun seperti tersenggol setrum dan beranjak marah, nada suaranya bah-kan meninggi. Jasmi tiba-tiba ingat kalau simboknya itu punya tekanan darah tinggi.
"Kamu sendiri termasuk orang yang kedanan lanangan itu. Kamu sudah gatelen namanya. Kamu yang kesengsem karena itu Kamu tak memikirkan apapun?" sergap mbok Kampun seperti berondong jagung yang merledak meletup-letup.
Jasmi cemas.
“......Lalu bagaimana mbok?" desisnya.
"Simbok tak mengijinkan kau kawin dengan lelaki itu."
Tegas jawaban simboknya. Dan itu tidak mungkin ditawar lagi. Jasmi ngeri juga membayangkan kalau tekanan darah tinggi itu kumat, Simboknya sanggup marah tanpa kendali. Bahkan pak Lurah Brongot, orang nomor satu di desa Tegaldlimo itu pernah me-rasakan dampratnya. Segala sumpah serapah dan omongan yang paling kotor sanggup ke-luar dari mulut mbok Kampun gara-gara pak Lurah kelepasan omong jorok.
"Lurah macam apa kamu itu? Omonganmu kok seperti itu?" demikian damprat-nya kala itu.
Jasmi juga ingat ketika televisi hitam putih satu-satunya yang mereka miliki pecah berantakan dihantam bakiak gara-gara mbok Kampun tidak berkenan melihat Mi-ke Tyson menghajar lawannya hingga babak belur. Mbok Kampun begitu emosi setiap melihat Mike Tyson, mbok Kampun yakin si leher beton itu lahir dari perselingkuhan se-orang wanita dengan seekor badak, mungkin badak dari Ujung Kulon.
Rupanya pembicaraan itu didengarkan dengan baik oleh pak Kampun yang se-dang leyeh-leyeh di atas dingklik panjang yang baru saja dibuatnya. Pak Kampun berge-gas masuk ke dalam rumah dan memandangi Jasmi dengan tatapan mata yang agak aneh. Belum lagi pak Kampun mengucapkan sesuatu, isterinya sudah mendahului,
"Ini, anakmu wedok sudah gatelen lanangan."
Kalimat itu dirasakan Jasmi agak kasar.
Jasmi memprotes. "Ahhh, simbok kok ngomong begitu to?"
Dengan gupuh perempuan ubanan itu meracik kinangan yang baru. Selembar daun sirih dibukanya, diberi enjet sedikit, secuil gambir, seujung kuku buah jambe. Di-kremus-kremus seperti sesuatu yang amat lezat. Entah seperti apa sebenarnya rasa makan sirih dengan bumbu kapur seperti itu. Apalagi buah jambe yang direndam di dalam air sampai berhari-hari di mana jentik-jentik bibit nyamuk ikut berbiak di sana.
Makan sirih tidak ubahnya merokok, membuat yang gemar menjadi ketagihan. Konon menurut mbok Kampun, tidak makan sirih seperti orang yang tidak bersikat gigi sekaligus membuat badannya lemas. Lebih baik tidak makan nasi daripada tidak makan sirih. Tidak makan sirih risih.
Dengan wajah yang jelas tidak senang mbok Kampun melirik anak gadisnya. Jasmi yang bersirobok menundukkan wajah.
"Anakmu wedok njaluk rabi." ucapnya agak tak jelas karena mulut yang terganjal tembakau.
Pak Kampun memandang Jasmi.
"Rabi?"
"Ya." jawab isterinya lugas berbau sengal.
"Namanya juga sudah perawan, sudah saatnya untuk berumah tangga" ucap Pak Kampun agak bijak dan itu agak memberikan ketenangan pada anak gadisnya.
Mbok Kampun kecoh, dubangnya muncrat menerjang pintu. Seperti cat merah yang meleleh terlalu encer.
"Kamu mau mengambil Gimpul yang doyan main perempuan itu sebagai anak menantumu?" tanya mbok Kampun meledak seperti kompor nggebros, karena nggebros pula ludah merahnya.
Pak Kampun njondil kaget. Nama Gimpul disebut, memang sanggup membuat-nya miris. Pak Kampun menatap Jasmi dengan pandangan tidak percaya. Sulit percaya a-nak gadisnya bisa menjalin hubungan dengan lelaki yang pernah menggandeng sutris, eh, turis itu.
"Gimpul?" pak Kampun masih terlalu sulit percaya.
Jasmi menunduk. Jasmi menyesal karena telah terlanjur mengutarakan masalah itu. Seharusnya tak perlu disampaikan, seharusnya apa yang terjadi semalam tidak perlu mendorongnya nekad membicarakan masalah itu dengan bapak dan simboknya.
Mbok Kampun memandang suaminya.
“Apa ada Gimpul yang lain?" tanya mbok Kampun.
Pak Kampun mencuatkan alis. Takjub betul lelaki yang rambutnya sudah putih semua itu. Takjub yang sekaligus mewakili rasa cemas orang tua yang melihat anak ga-disnya berada dalam bahaya, seperti kecemasan seorang bapak yang melihat bayinya me-rangkak sampai di bibir sumur. Sedikit saja, terperosok.
"Betul lelaki itu Jas?" tanya pak Kampun.
Jasmi mengangguk.
Suaranya terbata, "Kang Gimpul akan datang untuk melamarku."
Sudah lama sebenarnya pak Kampun mengangankan kedatangan tamu untuk me-lamar anak gadisnya. Pak Kampun merasa risih melihat Jasmi sudah perawan tetapi be-lum kawin juga. Sementara anak pak Sumber yang umurnya baru lima belas tahun malah sudah ngemban bayi. Akan tetapi kalau Gimpul yang melamar anaknya? Mengapa harus Gimpul? Mengapa bukan pak Saadilah Sardi yang sudah jelas punya pekerjaan sebagai Guru SMP meski swasta. Atau mengapa bukan anak mbok Pawiro yang baru lulus dari Akmil, yang kalau pulang kampung bikin para orang tua gugup berebut ingin mengambil sebagai menantu. Mengapa Gimpul? Mengapa harus laki-laki itu?
Pak Kampun bertanya dengan nada yang agak sareh,
"Lha kok dadakan to Jas? Mengapa mendadak sekali? Selama ini kau tidak per-nah bercerita apapun pada bapak, simbokmu juga tidak pernah rembukan. Tahu-tahu kamu mengatakan, besok akan ada tamu yang datang untuk melamarmu?"
Jasmi yang menunduk menengadahkan wajah. Lagi-lagi Jasmi segera mengalih-kan pandangan ketika bersirobok dengan simboknya.
"Lha kang Gimpul menyampaikannya juga baru tadi." jawab Jasmi.
Jawaban itu menyebabkan mbok Kampun meradang. Seperti ada bisul nongol di lobang hidung, sakitnya bikin pusing.
"Pokoknya tidak boleh.” mbok Kampun marah “Aku tak mengijinkan Jasmi ka-win dengan lelaki yang bisanya hanya adol bagus itu. Lelaki macam itu kalau jadi suami-mu, hanya bikin hidupmu nanti seperti neraka."
Pak Kampun sependapat.
"Rasanya apa yang dikatakan simbokmu benar nduk. Orang berumah-tangga itu banyak godaannya. Orang berumah-tangga itu bukan untuk mainan. Orang rabi itu untuk selamanya. Sekali saja kamu gagal, maka sebutanmu sudah bukan perawan lagi, akan tetapi rondo. Janda. Itu memalukan sekali."
Jasmi gelisah. Jasmi ingat semalam. Jasmi menggigil ketika teringat tangan Gim-pul menggerayangi tubuhnya, mencubitnya dan mencangkulinya. Jasmi merasa ludah di bibirnya terasa pahit.
"Kang Gimpul mengajakku hidup berumah tangga bukan untuk mainan pak, teta-pi bersungguh-sungguh." Jasmi menawar.
Pak Kampun manggut-manggut. Orang tua mana yang tidak cemas melihat lang-kah anaknya akan melenceng. Anak gadisnya tengah bergaul dengan serigala, padahal Jasmi bukan jenis serigala. Jasmi hanya seekor anak kambing yang bisa diterkam. Kalau sudah diterkam bisa apa?
“Bapak bukan orang tua yang berfikir kuno Jas. Bapakmu tidak akan memaksa a-nak untuk kawin dengan lelaki yang dipilihnya. Terserah yang bersangkutan mau kawin dengan siapa. Biar anak cari sendiri siapa yang akan menjadi calon suaminya. Akan te-tapi syaratnya laki-laki itu harus baik. Layak untuk menjadi suami. Kalau Gimpul itu?, dia bukan pemuda yang baik. Dia sudah menjadi buah bibir semua penduduk desa ini. Wis mati pasaranne."
Jasmi menunduk. Seperti yang telah diduganya, bapaknya ternyata tidak setuju. Tak merestui.
"Untuk urusan ini nampaknya bapak sependapat dengan simbokmu. Bapak tidak akan menghalangi kau akan kawin dengan siapapun, tetapi janganlah dengan lelaki itu. Gimpul bukan lelaki yang baik." ucap pak Kampun amat sabar.
Mbok Kampun kecoh lagi, dubangnya melesat menyambar ekor ayam yang se-dang nuthuli makanan di halaman. Dua ekor ayam itu terbirit-birit. Kalau ada orang gendeng mengadakan lomba jauh-jauhan meludah, mungkin mbok Kampun tentu tak akan tertandingi, kecuali oleh almarhumah mbok Keminah, yang juga jago ngi¬nang. Mbok Kampun senang karena suaminya membela. Biasanya untuk urusan anak, Pak Kampun sering tidak sepaham.
"Nah, kau dengar sendiri itu? bapakmu saja tak setu¬ju. Tidak ada ceritanya orang tua tidak menginginkan anaknya hidup bahagia." tambah mbok Kampun.
Jasmi amat ragu, apakah harus disampaikan apa yang terjadi semalam?
"Tetapi mbok,...." desahnya teramat gamang.
Mbok Kampun melotot. Tanda-tanda tekanan darah tingginya semakin menam-pak.
"Bagaimana?" bentaknya.
"Aku sudah hamil mbok." ucapnya lirih dengan kepala ditekuk.
Gila. Akhirnya keluar juga kalimat itu. Jasmi merasakan dadanya tiba-tiba menja-di sesak, gemuruh. jawaban itu berarti petir yang meledak bagi mbok Kampun, yang ke-hadirannya tanpa kulonuwun, tanpa ada hujan atau mendung. Mbok Kampun terdiam tak bisa berbicara lagi. Akan halnya pak Kampun seperti merasa disengat oleh kelabang. Pak Kampun mengira, kisah gadis dinodai orang tidak akan terjadi pada keluarganya karena pendidikan telah ditabur dengan baik, karena pengawasan telah dijaga dengan ketat. Te-tapi bukankah tak ada pengawasan yang tak mungkin kebobolan.
Dalam kesebelasan sepakbola, penjaga gawang adalah palang terakhir yang ber-tanggung jawab agar bola tidak masuk. Tetapi gol demi gol telah menerjang dengan ge-milang di jaring gawang. Jasmi ternyata bukan penjaga gawang yang baik. Di saat Gim-pul menggiring bola, Jasmi malah mempersilahkannya.
Beberapa detik mata mbok Kampun terbelalak. Bahkan Mbok Kampun sampai tersedak hingga sebagian susurnya tertelan, sebagian yang lain jatuh ke tanah. Perempuan tua itu menggigil, tanda-tanda tekanan darah tingginya akan datang semakin kelihatan. Tarikan nafasnya mulai mengombak, Jasmi menjadi amat cemas.
"Ya Allah, Astaghfirullah aladzim, ...Jas" mbok Kampun melengking.
Susur berlepotan di mulutnya terjatuh bersamaan dengan tangannya yang menda-dak buyuten.
"Kau ini bagaimana, Jas? Kamu kok sudah hamil? Begitu mudah kau melakukan nduk? Kamu belum kawin. Apa yang kamu lakukan itu membuat malu bapak dan sim-bokmu, tidak sadarkah kau akan hal itu Jas? Bagaimana kamu ini?"
Mbok Kampun menggapai puncak kecewa. Mbok Kampun nggloso di atas tanah. Slonjor seperti prawan sunti bermain sluku-sluku bathok, bathoke ela-elo.
Jasmi menunduk dan mencoba meminta maaf,
"Aku minta maaf mbok. Aku mengaku salah, aku tak menjaga diri."
Mbok Kampun masih larut di dalam kekecewaan yang luar biasa. Membayangkan anaknya telah hamil, dihamili oleh seorang lelaki bernama Gimpul, menjadi sebuah ke-ngerian yang tiada tara, jauh lebih ngeri dari membayangkan kejatuhan seekor kerbau. Bayang bayang aib yang sangat besar seperti menari-nari, berjoget dengan iringan teta-buhan yang merusak gendang telinga.
"Lha kok begini? Kok anak kita seperti itu?" mbok Kampun gemetar.
Sebaliknya pak Kampun hanya bisa menghela tarikan nafas kecewa. Kekecewaan yang ditelan melebihi pahitnya butrowali. Butrowali memang bukan racun, tetapi pa-hitnya minta ampun.
"Kau sudah hamil?" pak Kampun bagai tidak percaya.
Jasmi menunduk. Jasmi tidak menjawab.
"Sudah berapa bulan?" desak pak Kampun.
"Sudah dua bulan." jawab Jasmi sambil menenggelamkan wajah.
Pak Kampun memang layak kecewa. Beberapa bulan yang lalu dia mencibir ke-tika mendengar anak tetangga, kebetulan tetangga yang tidak begitu disenanginya hamil karena kecelakaan. Pak Kampun bersorak senang melihat kemalangan tetangga itu. Te-tapi kini aib itu bahkan singgah pada anaknya, berlepotan sampai dua bulan pula. Te-tangga yang dilanda aib itu tentu balas menyorakinya.
Mbok Kampun merasakan dadanya semakin nyeri.
Pak Kampun menerawang pandang.
"Kok begitu gampang kau melakukan Jasmi? Bukankah kau belum nikah? Atau, apakah semua ini memang disengaja oleh laki-laki itu agar kami merestui? Begitu?"
Sebenarnya tepat benar apa yang diduga bapaknya, bahwa semuanya itu hanya a-kal-akalan agar keinginannya kawin dengan Si Gimpul direstui. Ditodong dengan me-ngaku hamil memang akan menyebabkan pak Kampun dan isterinya merasa tidak punya pilihan lain kecuali merestui. Hanya itu cara yang bisa ditempuh agar ia diijinkan kawin dengan lelaki yang telah menjadi idaman hatinya.
Jasmi membutuhkan keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya lebih jauh, ia membulatkan tekad.
"Kami saling mencintai pak, restuilah kami untuk berumah-tangga." kata Jasmi.
Kata-kata yang diucapkan Jasmi itu begitu lirih dan seperti pasrah bongkokan, mau diapakan terserah, mau dibunuh terserah. Hal itu justru membuat pak Kampun ter-sentuh. Jasmi itu anaknya, yang lahir dari tetesan darahnya.
"Kau keluar sana dulu. Bapak akan membicarakan dengan simbokmu." kata pak Kampun setelah gejolak dadanya mereda.
Jasmi meninggalkan ruangan itu menuju ke halaman. Salatun yang ternyata ngu-ping dari luar memandangi kakak perempuannya dengan tatapan mata heran. Sangat he-ran.
“Yu Jasmi akan rabi dengan kang Gimpul?" tanya Salatun.
Namun Jasmi diam tidak berminat menjawab. Ia ingat semalam Gimpul mengge-rayanginya. Sebenarnya semalam kesadarannya sempat menyelinap. Jasmi sempat me-munculkan gagasan untuk melawan. Namun Gimpul seorang laki-laki yang sudah punya jam terbang cukup panjang untuk urusan seperti itu, hingga Jasmi dengan sukses berhasil digilasnya. Tangis riuh di belakang adalah penyesalan yang tiada guna.
Di ruang tengah masih hening, mbok Kampun masih nggloso di lantai. Suaminya hanya memandangi beberapa saat tanpa melakukan sesuatu. Juga tidak mengangkat tu-buhnya agar duduk di kursi atau membopongnya ke bilik agar wanita tua itu terbebas dari lilitan tekanan darah tingginya. Kalau mbok Kampun sampai merobek-robek pakaian yang dikenakan maka itu pertanda denyut jantungnya meninggi dan pak Kampun harus waspada dan bersiap diri.
Pak Kampun melirik wanci kinangan, diambilnya selembar daun sirih, diambil-nya sedulit enjet secuil gambir secuil buah pinang, kemudian diserahkannya racikan itu pada isterinya. Perempuan tua yang klenger itu bereaksi. Baginya memang hanya kina-ngan yang bisa menenangkan dirinya, bukan suntikan dari dokter, bukan yang lain.
Maka mbok Kampun dengan lahap mengunyah racikan sirih itu.
Setelah beberapa saat berhenti, kecohnya kembali muncrat melesat cepat mele-wati pintu jatuh ke halaman. Mbok Kampun benar-benar jorok, karena di mana-mana se-nyampang berada di setiap sudut rumahnya, selalu ditemukan jejak-jejaknya.
Barulah kemudian pak Kampun menuntunnya untuk berdiri dan duduk di kursi. Makan sirih memang mujarap, sejenak kemudian mbok Kampun sudah bisa menguasai diri.
“Bagaimana?" bertanya pak Kampun dengan segudang keprihatinan yang ada di rongga dadanya. “Keadaan anakmu sudah seperti itu, apakah kita akan membiarkan be-gitu saja? Menurutmu apa yang harus dilakukan?"
Digiring seperti itu mbok Kampun emosi.
"Aku tidak mau ngurus, terserah keputusan apa yang akan kau ambil. Terserah," jawabnya dari dadanya yang sesak.
"Jangan begitu. Keadaan ini masih bisa diselamatkan. Kehamilan Jasmi baru dua bulan. Kita masih punya waktu untuk mengawinkan mereka."
"Terserah kalau kau akan mengawinkan, kawinkan saja. Tetapi aku tidak merestui. Aku tidak akan pernah merestui anakku kawin dengan lelaki yang gemar adol bagus itu." teriak mbok Kampun.
Pak Kampun berusaha tenang.
"Tetapi Jasmi hamil. Berfikirlah yang jernih apa artinya itu? Artinya aib menimpa keluarga kita. Kalau Jasmi mbobot tanpa suami apa jadinya? Semua orang akan menci-bir, menghina kita. Malu sekali."
"Terserah kau, terserah apapun yang akan kau lakukan." balas mbok Kampun.
Akhirnya mbok Kampun tak kuat lagi. Suaranya melengking meninggi.
Cerita yang pernah didengarnya dari mbok Rikin serasa terngiang kembali dan membuatnya akan muntah. Oo, bukan akan, ternyata mbok Kampun malah muntah sung-guhan. Pak Kampun gugup dan mencoba memperhatikan. Pak Kampun baru lega ketika melihat muntah berwarna merah itu bukan darah, tetapi dubang yang tercipta dari kom-binasi susur dan sirih.
Mbok Kampun mendelik-delik. Mbok Kampun berusaha menenangkan diri hing-ga apa yang diucapkannya terbata-bata,
"Undang saja naib untuk mengesahkan mereka. Aku tidak ingin mantu besar-be-saran. Kemudian aku tidak ingin rumah ini ketempatan Gimpul itu."
Pak Kampun heran.
"Jasmi bagaimana?" tanya pak Kampun.
"Jasmi boleh saja tinggal di rumah ini akan tetapi tidak untuk laki-laki nggilani i-tu." sergah mbok Kampun melalui nafasnya yang tersengal deras. "Calon mantumu ber-nama Gimpul itu lelaki yang tidak waras. Apa kau ingin pada suatu malam ia nggremeti mertuanya sendiri?"
Pak Kampun beranggapan pendapat isterinya itu terlampau berlebihan. Masak a-da menantu tega nggremeti mertua?
"Kok kau ngomong begitu?" tanya pak Kampun.
"Aku ngomong itu ada dasarnya. Gimpul itu lelaki cluthak, thukmis. Kambing di-bedaki dia juga mau. Sapi mulus putih dianggap perempuan. Kau tahu yu Rikin apa ti-dak?"
"Yu Rikin?" tanya pak Kampun heran. “Ada apa dengan yu Rikin?”
Mbok Kampun tersengal. Ada sesuatu yang merangsangnya untuk muntah. Tetapi mbok Kampun masih berusaha menahan sekuat tenaganya.
"Kau hitung, umurnya tua mana dengan aku?" tanya isterinya.
"Lebih tua yu Rikin." jawab pak Kampun. Rasa herannya semakin meningkat.
"Nah, yu Rikin yang sudang kempong perot jambul wanen itu saja laki-laki mu-nyuk Gimpul mau dengan yu Rikin. Aku tidak omong kosong pakne. Yu Rikin yang janda tua tetapi masih gatelen itu cerita sendiri kalau ia pernah mengundang Gimpul da-tang ke rumahnya dan membayar. Lumrahnya yang dibayar itu lonthe perempuan, tetapi ini lonthe lanang. Apa orang seperti itu akan kau ambil sebagai menantu?"
Pak Kampun tentu hanya bisa menghela nafas. Ternyata lelaki macam itu yang a-kan menjadi menantunya? Pak Kampun merasakan dadanya makin sesak dan perih.
Akan halnya Jasmi, sebenarnya terlonjak kaget mendengar percakapan bapak dan Simboknya yang masih bisa diikuti meski ia berada di halaman. Apa benar seperti yang dikatakan simboknya, Gimpul doyan mbok Rikin yang sudah tua itu? Apa karena mbok Rikin bertubuh gemuk sehingga Gimpul mau? Padahal mbok Rikin itu sudah tua, kalau dijerang di atas api bahkan tubuhnya yang gemuk itu dagingnya tidak akan empuk. Alot.
Tetapi lagi-lagi Jasmi ingat semalam. Ingat dirinya telah terenggut, dan Gimpul harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Apalagi kalau benih yang ditabur itu menjadi bibit. Gawat kalau ia punya anak tanpa bapak.
Salatun yang diam akhirnya buka mulut.
"Yu," Salatun bicara dengan tenang.
Jasmi menoleh, dan rasanya tidak begitu suka diajak berbicara oleh adiknya.
"Ada apa?" Jasmi balik bertanya dengan malas.
"Kau akan kawin yu? Dengan kang Gimpul?"
"Ya." jawab Jasmi mantab.
"Oooo," Salatun menggumam dengan mulut bulat.
"Kenapa?" balas Jasmi datar.
“Simbok nampaknya tak merestui." balas Salatun.
Suara Jasmi kemudian terdengar agak serak dan emosi.
"Kalau simbok tidak mengijinkan, lebih baik aku minggat saja. Tidak tinggal di rumah ini juga tidak apa-apa. Tidak dianggap anak juga tak apa-apa."
Salatun sampai terkaget-kaget oleh kesungguhan kakak perempuannya itu. Sudah diapakan Jasmi sehingga begitu ngotot? Tetapi rupanya Salatun sudah pernah mendengar kisah tentang mbok Rikin. Salatun cemas. Salatun merasa perlu mengingatkan kakaknya akan hal itu.
"Semua orang, maksudku, banyak orang di Tegaldlimo ini yang membicarakan hubungan antara kang Gimpul dengan mbok Rikin. Mbok Rikin sendiri perempuan yang tidak tahu malu, di mana-mana ia mengumbar cerita itu. Mengapa kau justru mau kawin dengan lelaki macam itu yu?"
Jasmi sebenarnya gelisah. Ia gugup dan tidak tahu harus mengatakan apa. Namun soal ini memang harus dituntaskan tanpa sisa. Jasmi merasa perlu membicarakan hal itu dengan Gimpul. Orang lain boleh bercerita macam-macam, tetapi ia baru akan percaya setelah mendengar sendiri bagaimana penjelasan Gimpul. Jasmi ragu, rasanya tak mung-kin Gimpul mau dengan perempuan yang sudah sedemikian tua dan bahkan pantas di-sebut sebagai neneknya. Apa yang akan diperoleh dari nenek tua macam mbok Rikin itu. Hal itu pasti pekerjaan orang-orang yang tidak suka dengan Gimpul, pada kenyataannya memang banyak orang yang tidak suka lalu mengarang cerita macam-macam.
Jasmi yang menunduk menoleh ke adiknya.
"Jadi menurutmu, cerita mengenai kang Gimpul dengan mbok Rikin itu benar se-hingga aku harus mempercayainya?"
Salatun memandangi kakaknya dengan tajam, sebenarnya bermuatan kecemasan kalau kakak perempuannya itu sampai tergelincir.
"Tak mungkin ada asap kalau tak ada apinya." jawabnya.
"Jadi kaupun percaya? Kang Gimpul adalah jenis lelaki macam itu? Kau tidak bisa berfikir Tun." jawab Jasmi.
Salatun manggut-manggut.
"Yu. Kupikir justru kaulah yang tidak bisa berfikir bening, Kalau boleh kuka-takan, saat ini mata hatimu justru sedang tertutup. Kau sedang kasmaran kepada kang Gimpul, sehingga kau tidak bisa lagi melihat kejelekan dan kekurangan yang ada pada-nya. Yang terlihat hanyalah yang baik-baik saja. Coba kalau tidak, maka kau akan memi-kirkan apa yang tadi disampaikan simbok. Mungkin saja benar kang Gimpul pernah melakukan sesuatu seperti yang diceritakan mbok Rikin itu. Lagi pula untuk apa mbok Rikin mengobral cerita macam itu pada simbok?”
Jasmi nampaknya tak kuat diterjang argumentasi adiknya macam itu. Apalagi saat Salatun lebih memberikan tekanan,
“Mbok Rikin pernah menceritakan hal itu pada simbok. Malah mbok Rikin mena-wari simbok kalau mau melakukan. Coba, bagaimana itu yu?" tanya Salatun.
"Ya Allah,..." Jasmi gemetar. Seluruh tubuh dan jiwanya bermetar.
Salatun makin mendesak kakaknya.
"Apakah kau benar-benar mencintai kang Gimpul yu? Yakinkah kau, atau... ja-ngan-jangan karena hal lain?"
Jasmi tidak menjawab. Kelopak matanya mulai berkaca-kaca. Ada juga penye-salan yang mengkoyak-koyak begitu kuat, mengapa semalam ia begitu lemah, begitu gampang menyerah. Mengapa ia menjadi kambing membiarkan diri diterkam serigala Gimpul itu. Jasmi bingung-ngung-bingung.
Salatun yang kritis semakin mendesak kakaknya.
"Bagaimana yu?"
Jasmi menahan sesak, dadanya mengombak. Ia butuh ruang untuk berteriak me-neguhkan isi hatinya, bahwa ia tak punya pilihan lain, kecuali harus melewati jalan yang telah tersedia. Bibir gadis yang sudah tidak gadis itu bergetar. Jiwanya gemetar.
"Sayang sekali aku tak mungkin surut." jawabnya.
Sebuah jawaban yang lirih namun penuh muatan keyakinan. Salatun terus menge-jar.
"Artinya, yu Jasmi sudah dimakan olehnya?" tanya Salatun.
Jasmi menunduk. Matanya memejam.
"Ya. Aku telah menyerahkan kegadisanku kepadanya." jawab Jasmi.
Jika sudah demikian keadaannya apa boleh buat, mau apa lagi? Ini sungguh meru-pakan pelajaran yang sangat berharga bagi Salatun. Dengan demikian Salatun akan lebih berhati-hati. Tetapi kalau hanya sekedar dinodai saja, apa salahnya disiasati. Dinodai ti-dak harus dilanjutkan dengan menuntut tanggung-jawab, apalagi dari lelaki macam Gim-pul. Lagi pula, kejadian itu bisa dibungkus rapi sebagai sebuah rahasia yang hanya dike-tahui kalangan yang masih terbatas.
Salatun bangkit dan kemudian duduk tepat di depan kakaknya itu.
"Apa yang sudah terjadi tidak perlu disesali. Yu Jasmi akan mengalami kepahitan yang berkepanjangan kalau nekad menikah dengan kang Gimpul. Meski yu Jasmi sudah dinodai lebih baik hubungan itu tak usah dilanjutkan. Jangan kawin dengan lelaki macam itu."
Wajah Jasmi memerah. Ingin dia meletupkan tangisnya, namun ia tahan letupan itu sekuat tenaga.
"Aku sudah mbobot Tun. Aku hamil dua bulan. Jika sudah seperti ini keadaanku, apa aku harus mundur?"
Salatun terlonjak kaget. Serentak Salatun memandang perut kakaknya. Rasanya tidak ada perubahan pada tubuh kakaknya itu. Jasmi terlihat segar bugar, tidak seperti pada umumnya wanita yang hamil muda, yang tampil pucat dan bahkan gampang mun-tah. Selama ini Salatun tak pernah melihat gejala-gejala hamil muda itu pada kakaknya.
"Apa iya kau sudah hamil dua bulan yu? Rasanya kau tidak seperti orang yang se-dang hamil. Perutmu kecil saja, apakah benar kau hamil yu?" desak Salatun.
Didesak macam itu menyebabkan Jasmi menjadi gugup. Jasmi cemas kalau sam-ai ketahuan dirinya tak hamil. Padahal hanya itu senjatanya untuk memaksa bapak dan Simboknya mengijinkan dia kawin dengan si kekasih pujaan hatinya, Iwan “Gimpul” Marjuni.
Salatun mendekat membusai perut kakaknya. Jasmi menepis.
"Tanda-tandanya bagaimana yu? kau sudah mual-mual begitu? Sudah ingin ma-kan yang kecut-kecut seperti biasanya orang yang nyidam itu? Kok aku tak pernah men-dengar kau muntah yu? Haa, kau bohong ya? kau pasti pura-pura hamil supaya bapak dan simbok mengawinkanmu dengan kang Gimpul?" berondong Salatun.
Jasmi amat tidak senang dengan pertanyaan itu. Ia hanya memandangi adiknya. Jasmi cemas kalau sampai Salatun membongkar rahasia bahwa ia sebenarnya tidak ha-mil. Salatun sebenarnya sangat curiga kakaknya itu tidak sedang hamil.
"Kalau kau mau mendengar saranku yu, kalau kau tidak benar-benar hamil, lebih baik batalkan saja. Kalau hanya dimakan saja, belum ada yang tahu apa yang menim-amu. Kau masih kelihatan seperti prawan. Renungkan dulu itu yu." Salatun menasehati.
Bujukan itu sangat menggoda. Apalagi saat ingat cerita tentang mbok Rikin. Jas-mi bingung dan rikuh membayangkan saat di pelaminan nanti mbok Rikin datang, mung-kin maksudnya untuk mbecek, atau sekedar bantu-bantu sibuk di dapur. Betapa risihnya. Apalagi apabila mbok Rikin nanti menyalaminya sambil melirik suaminya. Ya Tuhan.
Akan tetapi lagi-lagi Jasmi ingat semalam. Baginya, jika ada seorang lelaki telah merenggutnya, maka laki-laki itu harus bertanggung-jawab dan menjadi suaminya. Ba-gaimana seandainya yang melakukan seorang lelaki yang telah beristeri? Jasmi bahkan tidak sempat berfikir akan hal itu. Tak ada pilihan lain, maju terus pantang mundur.
"Aku sudah melakukan hubungan suami isteri itu dengan kang Gimpul, apakah aku harus mundur? Tidak Tun. Orang itu telah merenggut kegadisanku, maka ia harus bertanggung jawab. Ia harus mengawiniku. Kalau selama ini ia memang benar seperti yang didesas-desuskan orang, apa boleh buat aku menerima kenyataan itu." jawab Jasmi pasrah.
Nampaknya Jasmi hanya melihat satu pilihan. Pilihan yang lain yang bisa menjadi alternatif tidak diliriknya sama sekali. Ibarat cincing-cincing klebus, maka diseberangi-nya sekalian. Biar basah kuyup tidak apa. Apa boleh buat. Kenyataan yang dihadapi Jasmi ternyata terlampau pahit. Angan-angan selalu tidak sesuai dengan kenyataan.
Maka demikianlah,

Related Post



2 komentar:

  1. mas, saya udah baca buku ini beberapa tahun lalu...amat kocak dan menghibur...sayang sekarang perpustakaan tempat saya minjam buku ini udah ga ada...jadi ga bisa dibaca lagi deh bukunya...untung anda menyalin kembali di blog ini, sangat bermanfaat sekali....ijin copas ya untuk saya baca offline...makasih...:D

    BalasHapus
  2. Sya berterima kasih kpd penulis blog ini krn sy telah membacanya tuk bahan Tesis saya yg berjudul Hasrat Kreatif Kebebasan Tokoh dalam Novel Balada Gimpul

    BalasHapus

About Me

Powered By Blogger