"Siapa tahu kang Tanjir atau kang Jayus akan masuk kamar bapak melalui jende-la." Jasmi mengemukakan alasannya.
"Tetapi bagaimana kalau mereka bertanya mengapa aku berada di luar?"
"Jawab saja sedang menikmati udara malam. Kalau mereka meminta kang Gim-pul masuk ke rumah, hal itu justru harus dicuri¬gai." jawab Jasmi.
Dengan senang hati Gimpul beranjak memenuhi kehendak isterinya. Dari arah ka-mar Salatun terdengar muntah-muntah. Jasmi mencuatkan alisnya. Beberapa hari ini Jas-mi merasa mendengar suara muntah-muntah, hal yang sebelumnya kurang mendapat per-hatiannya.
"Kenapa Salatun itu?" tanya Jasmi.
"Mungkin masuk angin." jawab Gimpul yakin.
"Kok tahu?" desak Jasmi.
"Bukankah tadi ia mengatakan kepadamu, masuk angin?"
"Apakah tadi Salatun bilang begitu ?" bertanya Jasmi.
Gimpul tertawa, mentertawakan Jasmi yang pelupa.
"Tadi kau dimintai bantuan kerokan, tetapi kau mengacuhkannya."
"Oooo, iya to?"
"Sudah, aku mau berada di luar." jawab Gimpul.
Malampun agak menukik. Ketika Gimpul mengintip ke halaman rumah, tidak ada lagi Tanjir dan Jayus di sana. Gimpul curiga. Nalurinya mengatakan ada sesuatu yang ti-dak benar. Dengan gesit Gimpul menyelinap ke halaman samping dan melakukan pe-ngintaian.
“Ternyata benar dugaanku. Mereka akan melakukan sesuatu. Apa yang mereka kerjakan itu?" bertanya Gimpul dalam hati.
Gimpul memperhatikan dengan penuh cermat. Tanjir dan Jayus tak menyadari. Rupanya Tanjir dan Jayus tengah mengintip kamar bapaknya melalui celah di cendela.
"Bagaimana?" bisik Tanjir.
"Aku tidak melihat tas itu." bisik Jayus.
"Pasti disimpan di almari." bisik Tanjir.
"Tengah malam nanti mereka pasti pulas. Aku akan menggunakan aji sirep untuk menidurkan mereka. Japa mantra dari Mbah Surip itu pasti mandi. Begitu aji sirep dira-pal, mereka pasti ketiduran.” berkata Jayus.
Gawat, untuk rencana yang disusun matang itu, Jayus agaknya melibatkan dukun segala. Dari Mbah Surip dukun yang tinggal di Sumberberas, Jayus memperoleh aji sirep dengan harga dua puluh lima ribu rupiah. Dalam dunia permalingan, aji sirep mutlak di-perlukan agar siapa yang menjadi sasaran akan pulas tertidur dibelit rasa kantuk yang luar biasa. Kini aji sirep itu akan digunakan untuk melawan bapaknya sendiri.
Gimpul melihat Tanjir dan Jayus itu kemudian mengendap-endap dan kembali la-gi ke halaman. Gimpul tersenyum. Rupanya Tanjir dan Jayus akan menggunakan cara primitif, jadi pencuri di rumah sendiri. Cara yang tentu saja kurang canggih.
Ganti Gimpul yang menyelinap.
Beberapa ketukan pada jende¬la segera mendapat sambutan. Jendela terbuka, Gim-pul masuk tanpa meninggalkan suara.
"Kau tadi muntah-muntah ?" tanya Gimpul.
"Aku tak bisa menahan diri." bisik Salatun
"Untung tadi mbakyumu bisa kuyakinkan kalau kau hanya masuk angin."
Gimpul memandangi Salatun. Salatun benar-benar sudah siap minggat bersama-nya. Gimpul bisa membayangkan, betapa gemparnya besok. Pak Kampun tentu mencak-mencak. Tanjir dan Jayus ikut mencak-mencak. Dan yang paling tragis Jasmi yang tidak menyangka seperti itu perbuatan suaminya.
Apalagi Gimpul minggat membawa Salatun.
Sebenarnya Gimpul merasa bersalah pada Jasmi, tetapi mau bagaimana lagi, Sala-tun hamil. Kalau perut Salatun dan Jasmi balapan besar-besaran, akan bagaimana nanti? Salah satu harus mengalah. Gimpul memilih Jasmi yang harus mengalah untuk memberi-kan kesempatan pada Salatun.
"Bagaimana dengan petunjuk yang kuberikan kepadamu, apa sudah kau laksana-kan?" tanya Gimpul.
"Sudah." Salatun mengangguk mantab. "Namun untuk mengambil uang itu aku ti-dak yakin bisa kang. Selain pintunya dikun¬ci, jantungku playonan."
Yang dimaksud adalah, Salatun sudah memasukkan pil koplo ke dalam minuman pak Kampun. Mengenai apakah pak Kampun masuk ke dalam jebakan atau tidak, itu ma-sih tanda tanya.
"Bagus. Selanjutnya untuk mengambil uang kita lihat saja nanti. Apakah aku yang harus melakukan, atau terpaksa kau yang harus melakukan. Ingat, jika rencana ini sampai gagal, kita benar-benar berada dalam bahaya.”
"Aku bagaimana?" desak Salatun. “Yang kulakukan sekarang?”
"Kau jangan tidur. Kalau aku berhasil aku akan mengetuk jendela.”
Gimpul memandang dan kemudian memeluk.
"Baik." bisik Salatun penuh yakin.
"Aku akan berada di luar. Jangan tidur dan tunggu ketukan pintu." ulang Gimpul.
Salatun mengangguk sebagai jawaban. Gimpul membuka jendela dan memperha-tikan suasana di luar. Merasa aman, Gimpul segera menyelinap keluar. Salatun menutup rapat jendela itu. Di antara rasa mual yang harus ditahannya, Salatun merasakan jantung-nya berlarian seperti tidak terkendali.
Di ruangan tengah, Jasmi duduk-duduk. Kelihatannya sekedar duduk-duduk, teta-pi sebenarnya sedang mengawasi Tanjir maupun Jayus. Tanjir dan Jayus tentu saja jeng-kel.
"Apa yang kau lakukan itu?" tanya Jayus.
Jayus tak senang melihat Jasmi menjadi Satpam.
"Aku hanya duduk-duduk. Kenapa?" balas Jasmi.
"Ini sudah malam. Tidurlah." kata Jayus.
"Aku ingin melekan sampai pagi. Aku sedang tirakatan." jawab adiknya.
"Tirakatan?"
Tentu Jayus tidak senang. Jayus kurang begitu pintar menyembunyikan ketidak-senangannya itu. Terlihat perubahan yang mencolok di wajahnya. Sebenarnyalah, di luar pengetahuan Tanjir, Jayus bahkan telah memegang kunci cadangan yang akan digunakan masuk ke kamar bapaknya. Rencananya jika Jayus berhasil mengambil uang itu, untuk apa harus berbagi dengan Tanjir. Jayus ingin menguasainya sendiri.
Tetapi apalah arti kunci cadangan itu jika Jasmi menjaga pintu kamar bapaknya dengan ketat. Jasmi bahkan tiduran di depan pintu kamar itu.
"Tirakatan apa kau ini?" desak Jayus.
"Hari ini peringatan geblaknya simbok." jawab Jasmi sekenanya. Padahal jawab-an itu sebenarnya tidak betul.
Anak kedua pak Kampun itu mondar-mandir seperti seterika. Melihat Jasmi du-duk seperti anjing herder menjaga pintu kamar bapaknya, Jayus semakin jengkel. Jayus ingin sekali mencekik leher Jasmi, tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan.
Jayus menemui Tanjir.
"Bagaimana?" tanya Tanjir.
Jayus menebar pandang ke gelap malam.
"Jasmi tampaknya sudah tahu rencana kita." jawab Jayus.
Tanjir kaget.
"Dia sekarang menjadi anjing herder, menjaga pintu kamar bapak." Jayus menam-bah.
"Diancuk. Anak itu kurang kerjaan." umpat Tanjir.
"Bagaimana?" desak Jayus.
“Masuk melalui jendela tidak mungkin. Satu-satunya cara untuk masuk hanyalah melalui pintu itu. Dengan mengungkit sedikit kurasa bisa masuk. Gunakan ilmu sirepmu itu” berkata Tanjir.
“Baiklah.” kata Jayus. “Akan kuulang aji sirepku.”
Jayus berkomat-kamit membaca rapal japa mantra, aji sirep yang dibelinya dari dukun mbah Surip. Jayus yang amat percaya dukun, agar menang cap ji kia minta petu-njuk dukun, agar bisa menarik perhatian cewek juga minta bantuan dukun. Dengan rapal-nya Jayus merasa yakin udara membawa partikel-partikel rasa kantuk seiring dengan ra-pal japa mantra yang telah dilepasnya itu.
Selama Jayus merapal sirep, Tanjir memperhatikan Jasmi.
“Bagaimana?” bertanya Jayus.
“Masih belum tidur.” jawab Tanjir. “Jasmi malah main dakon.”
Jayus mencuatkan alisnya. “Dakon dengan siapa?” tanyanya.
“Sendirian.” jawab Tanjir.
“Dasar anak dhemit.” umpat Jayus yang lupa, jika bapaknya demit berari dia sen-diri juga dhemit.
Waktu terus beranjak, menawarkan kegelisahan yang sangat sempurna pada anak-anak pak Kampun itu. Jasmi benar-benar memenuhi kesungguhan hatinya, untuk tidak a-kan tidur apapun yang terjadi. Padahal, untuk masuk ke dalam kamar pak Kampun selain lewat jendela hanya melalui pintu itu.
Untuk membuka jendela tanpa terdengar kegaduhan, sulit. Sebudek apapun pak Kampun, pasti bisa mendengar.
Jayus dan Tanjir benar-benar dibuat jengkel. Jasmi telah berubah menjadi seekor anjing herder yang menyulitkan. Jayus dan Tanjir makin jengkel ketika melihat Jasmi menggelar tikar tepat di depan pintu kamar itu, tidur melungker.
"Setan alas." umpat Jayus di halaman.
"Bagaimana?" tanya Tanjir.
"Agaknya kita harus ikhlas menerima pembagian itu sesuai keinginan bapak. Ti-dak mungkin mencuri uang itu kalau Jasmi seperti itu."
Waktu terus merayap, lengan detik jam dinding tua terus bergerak tidak akan ber-henti. Salatun sangat gelisah karena ketukan jendela yang ditunggu belum datang juga.
Salatun mondar-mandir di dalam kamarnya.
Jasmi akhirnya tertidur di depan pintu mendekati saat fajar. Semburat langit bela-han timur kemerahan.
"Mengapa kang Gimpul lama sekali belum memberi isyarat kepadaku? Apa kang Gimpul belum berhasil mengambil uang itu?" bertanya Salatun dalam gelisahnya.
Salatun resah. Salatun membuka jendela dan mengintip ke luar, tidak ada siapa-siapa di sana.
Langit sebelah timur terbakar. Sebentar lagi srengenge akan menerangi jagad ra-ya setelah semalaman dipeluk gelap malam. Harapan Salatun pupus ketika fajarpun ke-mudian datang. Agaknya Gimpul tidak berhasil dan terpaksa menunggu kesempatan be-rikutnya.
Salatun berbaring menghitung usuk.
Jasmi yang sempat tidur sejenak bergegas ke halaman. Hari memang sudah terang tanah. Jayus dan Tanjir bergelimpangan tidur di emper rumah. Jasmi mencari Gimpul, te-tapi Gimpul tidak ada.
"Kang Gimpul, kang." Jasmi memanggil suaminya.
Tidak ada jawaban. Jasmi menuju ke kamar, Gimpul tidak ada di sana. Di mana Gimpul?
"Kang Gimpul." panggil Jasmi sekali lagi.
Begitu pulasnya Tanjir dan Jayus yang tidur di emperan, tak terganggu oleh kece-masan Jasmi yang mulai merasa curiga. Pintu terbuka, pak Kampun nongol.
"Ada apa?" tanya pak Kampun di antara batuk tuanya.
"Aku mencari suamiku. kang Gimpul tidak ada."
"Lha memang ke mana? Semalam tidak tidur di rumah?"
"Tidak pergi ke mana-mana. Aku akan mencarinya dulu pak, mungkin ketiduran di gardu." berkata Jasmi.
"Mbok sudah tidak usah dicari, nanti kan kembali." kata pak Kampun.
"Kalau ketiduran di gardu tidak ada yang membangunkan, apa tidak memalu-kan?"
"Ya sudah sana." jawab pak Kampun.
Namun bukan hanya Jasmi yang merasa heran karena tidak menemukan suami-nya. Pak Kampun sedikit merasa aneh ketika menengok ke jeding yang terpisah di bela-kang, tidak menemukan isterinya. Ke mana Salehak?
Pak Kampun ke halaman samping, bahkan ke halaman belakang, namun isteri ter-kasih yang semalam dengan begitu bergairah melayaninya tidak ada. Pergi ke mana Sale-hak? Pak Kampun memandangi Jasmi dengan tatapan agak aneh.
"Bagaimana dengan suamimu?" tanya pak Kampun.
"Di gardu tidak ada. Bapak sendiri bingung, ada apa?" tanya Jasmi.
"Ke mana Salehak?" tanya pak Kampun.
Jasmi kaget.
"Lha ke mana?" tanya Jasmi.
“Kucari ke belakang ia tidak ada. Di dapur juga tidak ada. Masih pagi, pergi ke mana dia?"
Tiba-tiba saja prasangka buruk itu tumbuh dengan begitu meriahnya. Jasmi me-mandang pak Kampun dengan cemas yang sempurna.
“Pak...." Jasmi gelisah.
"Bagaimana?" tanya pak Kampun.
"Coba diperiksa uang penjualan sawah itu masih ada apa tidak?"
Jasmi makin tidak sabar. Kegelisahan yang segera beranak-pinak berasal dari rasa curiga itu memenuhi segenap lorong di dadanya.
"Kenapa?" pak Kampun mulai ketularan rasa cemas.
"Diperiksa dulu. Diperiksa dulu uang hasil penjualan sawah itu." desak Jasmi de-ngan gugup.
Dengan tertatih pak Kampun bergegas masuk diikuti dari belakang oleh Jasmi. Salatun yang mendengar ribut-ribut dari ruang tengah itu keluar dan ikut masuk ke kamar bapaknya. Pak Kampun memeriksa almari. Almari itu masih tertutup terkunci rapat.
Desir tajam bagaikan pedang yang menyobek dada dirasakan oleh pak Kampun saat mana almari itu dibuka, tas besar itu sudah lenyap. Pak Kampun menggigil, mulut-nya ndremimil. Betapa gugupnya pak Kampun.
"Bagaimana ini? Ooooo, bagaimana ini? Mana uang itu? Tidak ada? Mana?"
Jasmi ikut pucat. Salatun merasa lambungnya nyeri, bukan hanya lambung, perut-nya juga terasa amat nyeri.
"Ya Allah. Astaghfirullah Aladzim." bisik Jasmi.
"Uang itu kuletakkan di sini, bagaimana bisa tidak ada? Jas, bagaimana Jas? Si-apa yang mengambil? Siapa?" gugup pak Kampun mendaki.
Pak Kampun benar-benar berubah menjadi kakek buyutan. Isi almari diaduk, na-mun tas besar tempat menyimpan uang itu tak ada. Kolong tempat tidur juga diperiksa, tidak ada. Kecemasan itu makin menjadi ketika Jasmi memeriksa jendela, jendela tak ter-kunci.
"Siapa yang telah mengambil uang itu?" pak Kampun berteriak.
Pintu terbuka, semua menoleh.
"Ada apa?" Tanjir bertanya dengan alis yang njengat.
Pak Kampun bertambah gugup. Pak Kampun kebingungan bagaimana harus me-njelaskan lenyapnya uang itu.
"Njir, duwite ilang, uangnya hilang." pak Kampun suaranya bergetar.
Tanjir dan Jayus tersentak, keduanya saling berpandangan. Bersamaan pula mata mereka melotot seperti mau lepas.
"Kok bisa hilang bagaimana? Siapa yang mengambil?" Jayus tidak kuasa mena-han diri, suaranya melengking.
Tanjir melangkah mendekat. Hampir saja leher pak Kampun yang tua itu diceng-keramnya. Jasmi sibuk memapah Salatun yang tiba-tiba terhuyung. Jayus yang amat ke-cewa mengumbar perbendaharaan sumpah serapahnya. Ambrol derajad pak Kampun itu yang tidak ada nilai sama sekali di mata anaknya.
"Uang itu kusimpan di sini, sekarang kok bisa hilang ya?" pak Kampun kelihatan seperti orang bodoh.
"Siapa yang mengambil?" Jayus bertanya. Kasar dan sangar.
Tidak ada yang menjawab. Jasmi diam tidak berani berbicara. Salatun semakin lemas. Pandangan matanya kabur dan semakin kabur.
"Siapa yang mengambil?" Tanjir berteriak dan membutuh¬kan jawaban dengan se-gera,
"Mungkin..." Jasmi ragu akan menjawab.
"Mungkin siapa? Cepat katakan."
"Ada yang tidak berada di rumah saat ini, Salehak dan kang Gimpul. Mereka ti-dak ada." tambah Jasmi,
Salatun merasa matanya mulai berkunang-kunang. Bintang-bintangpun bertabu-ran. Rasa pusing luar biasa akibat darah yang tidak cukup mensuplai otak menyebabkan Salatun terhuyung-huyung dan kemudian jatuh.
Pingsan.
Tanjir melotot pada Jasmi, Jayus melotot pada pak Kampun.
Setelah pendakian yang cukup lama, pak Kampun berhasil menggapai puncak gu-nung kegelisahannya. Rumah pak Kampun bagai terbakar. Tanjir dan Jayus memenuhi sepanjang hari dan esok hari berikutnya dengan segala sumpah serapah. Sebagai orang tua pak Kampun merasa amat tak berharga di hadapan anak-anaknya.
Sedang Jasmi merasa dunia ini telah kiamat. Jasmi yang hamil tidak menyangka kehidupan rumah tangganya yang dikayuh bersama Iwan Gimpul Marjuni akan terpuruk ke dalam lakon yang sedemikian nista. Terbukti benar peringatan yang dulu pernah dibe-rikan oleh almarhumah ibunya, bahwa Gimpul itu buaya. Sayang sekali Jasmi tidak mau peduli pada peringatan itu.
Dan Salatun, gadis itu kehilangan cahaya.
***
GIMPUL DAN SODOMI
Santiago Amoral gugup. Sebodoh-bodohnya Santiago, ia masih bisa menghitung, betapa bahaya kini mengancamnya. Pertanyaan polisi itu, yang mau atau tidak mau, suka atau tidak suka harus dijawabnya, akan membongkar rahasia yang disimpannya dengan rapat, membongkar semua petualangannya. Membelejeti kejahatannya.
Bripka Budi Setyo Pramono memandang tajam.
“Punya kartu pengenal tidak?” suaranya terdengar tegas.
“Pu, punya pak.” jawab Santiago Amoral gugup.
Di sebelahnya wajah Bini Santiago Amoral memias.
Bripka Budi Setyo Pramono memeriksa KTP lusuh itu. Wajah dalam KTP itu sa-ma dengan orang di depannya, tetapi nama yang tercantum dalam KTP itu tidak sama. Seketika wajah bripka Budi Setyo Pramono berubah galak. Pencoleng macam apapun merasa ngeri menghadapi wajah yang berubah sangar itu. Biasanya bila sudah berhadap-an dengan wajah galak seperti itu, pencoleng yang bermaksud menyembunyikan sesuatu, akan kandas terbentur wajah mengerikan itu, terpaksa harus mengakui semua tindak ke-jahatannya.
Polisi berwajah galak itu manggut-manggut, memandangi wajah Santiago Amoral dan isterinya dengan amat tajam, nyaris melotot.
“Saya paling tidak suka dengan orang yang bermaksud membuat laporan palsu, yang bisa-bisa bila tidak benar akan mempermalukan polisi.” ucap bripka Budi. “Dalam KTP ini, anda bernama Gimpul, berasal dari desa Tegaldlimo, kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Pekerjaan petani. Bukan main. Saya pernah berdinas di Banyuwangi selama dua tahun, jadi saya tahu bila mustahil seorang petani punya uang seratus lima puluh juta kecuali melalui cara yang tidak beres. Lagi pula, kenapa anda mengaku bernama Santia-go Amoral? Maksud anda apa?”
Pucat pias Santiago “Gimpul” Amoral diberondong dengan pertanyaan yang tidak terduga, sepucat itu pula wajah Bini Santiago “Salehak” Amoral yang membayangkan nasib amat buruk akan menghadangnya.
Naluri polisi yang dimiliki bripka Budi Setyo Pramono memang tajam. Hidung-nya membaui aroma tak beres. Bripka Budi Setyo Pramono bergegas menuju ruang priba-dinya dan mengangkat gagang telepon dan melakukan kontak dengan polsek Tegaldlimo. Sebagai aparat polisi yang pernah dinas di Banyuwangi cukup lama, Bripka Budi Setyo Pramono seperti sedang kangen-kangenan dengan sahabat lamanya.
“Kau membutuhkan keterangan mengenai orang bernama Gimpul?” terdengar suara dari seberang.
“Ya.” jawab bripka Budi Setyo.
“Jadi dia ada di Jakarta?” suara agak penasaran terdengar dari seberang.
“Dia dan isterinya melapor kehilangan uang seratus lima puluh juta di hotel. Saya membutuhkan keterangan terkait dengan orang ini.”
Berita itu diterima dengan antusias oleh suara di seberang.
“Tangkap orang itu berdasar laporan yang sudah masuk di sini. Kejahatan yang dilakukannya adalah, mencuri uang mertuanya sebanyak seratus lima puluh juta rupiah. Ia menghamili adik iparnya dan meninggalkannya begitu saja sementara isterinya sendiri sedang hamil. Perempuan yang bersamanya kemungkinan bernama Salehak, mertuanya sendiri yang berkomplot dengannya. Tahan dia dan segera paketkan ke sini.”
“Beres.” jawab Bripka Budi Setyo Pramono.
Bripka Budi Setyo Pramono tersenyum. Orang yang menerima telepon di sebe-rang adalah bekas teman sekantornya yang sangat akrab dengannya. Bersama-sama mere-ka sering melakukan tugas memburu maling, bahkan menggagalkan perampokan. Mela-lui telepon itu bripka Budi Setyo Pramono memperoleh keterangan yang dibutuhkan de-ngan sangat rinci.
Gemetar dan pucat pias Santiago “Gimpul” Amoral yang cemas kedoknya terbu-ka. Dalam hati ia mengutuk dan menyumpah-serapahi sekaligus menyesali kebodohan-nya mengapa kehilangan uang itu harus dilaporkan ke polisi.
“Saudara Gimpul.” berkata Bripka Budi tegas.
“Saya pak pol.” gugup Gimpul.
Dijawab pak pol, bripka Budi tersinggung. “Apa kau bilang?”
Tambah gugup Gimpul. “Saya pak polisi.” ulangnya.
“Anda berdua, saudara Gimpul bersama-sama dengan saudari Salehak, yang ter-nyata bukan suami isteri, telah berkomplot mencuri uang seseorang bernama pak Kam-pun sebanyak seratus lima puluh juta. Sebagai seorang menantu saudara telah bertindak tak bermoral dan itu sesuai dengan nama palsu anda Santiago Amoral, karena telah ming-gat membawa mertua, meninggalkan isteri yang hamil dan menghamili adik ipar sendiri. Untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan binatang itu, terpaksa anda harus menginap di sini, sambil menunggu anda akan saya paketkan ke kampung halaman untuk memper-tanggung-jawabkan perbuatan anda.”
Pucat pias Gimpul menggapai puncak ketakutannya. Bibirnya bergetar seiring de-ngan tangannya yang juga gemetar. Basah tidak tercegah mengalir membasahi celananya, baunya amat pesing dan tentu saja menyebabkan bripka Budi Setyo Pramono marah bukan kepalang, dengan ketakutan yang luar biasa, Gimpul terpaksa mengepel lantai itu.
Pucat pias pula Salehak menghadapi perkembangan yang tidak terduga itu. Sele-hak menyesal setengah mati, menyesal mengapa sampai tergoda oleh bujuk rayu Gimpul. Salehak hanya bisa melolong ketika seorang polisi kemudian memerintahkannya masuk ke dalam sel khusus wanita.
Secara pribadi, bripka Budi Setyo Pramono paling benci dengan tindakan kejahat-an yang berhubungan dengan pelecehan seksual, pemerkosaan dan pelacuran. Melihat wajah Gimpul, bripka Budi Setyo Pramono seolah membayangkan adiknya sendiri yang mendapat perlakuan tidak bermoral itu, membayangkan seolah adiknya dilecehkan, dino-dai, dihamili dan ditinggalkan begitu saja.
Itulah sebabnya bripka Budi Setyo Pramono menggelandang Gimpul, menempat-kannya ke dalam sebuah sel, yang dihuni tahanan khusus. Tahanan itu bertubuh tinggi dan gempal seperti Mike Tyson, dengan hiasan tatto di sekujur tubuhnya. Di kalangan para penjahat ia mendapat julukan, si Robot Gedek dari Cakung. Kejahatan yang dilaku-kannya adalah melakukan sodomi terhadap anak-anak kecil.
Bripka Budi Setyo Pramono tidak peduli ketika sejenak kemudian dari arah sel itu terdengar jeritan yang menyayat, sebuah pembalasan yang puitis untuk semua perbuatan yang dilakukan Gimpul, itulah untuk pertama kalinya Gimpul mengenal kosa kata yang asing baginya, sodomi.
Di kantin, bripka Budi Setyo Pramono yang telah bekerja keras memesan sotomi.
banyuwangi, 24-02-2000
Berikut ini terjemahan kata-kata yang berasal dari bahasa pendukung, kosa kata berbahasa jawa dan osing ditulis menggunakan ejaan yang berlaku dalam bahasa Jawa.
Digepleng, Jawa, ditipiskan
Lumah dan murep, Jawa, bolak-balik
Nyambi, Jawa, kerja sambilan
Njlemet, Jawa, rumit
Mlongo, Jawa, mulutnya terbuka lebar, ternganga
Kipo-kipo, Jawa, (berharap) jangan sampai terjadi, jijik, tidak mau
Klesak-klesik, Jawa, rumor, isu
Lonthe lanang, Jawa, gigolo
Gandrung, Osing, jenis kesenian mirip tayup di Banyuwangi
Paju Gandrung, Osing, pengibing, atau penonton yang ikut menari gandrung
Kluncing -1, Osing, alat musik berupa besi sebesar jari tangan panjangnya kurang lebih 70 cm dibentuk segitiga.
Kluncing - 2, Osing, penabuh alat musik kluncing
Osing, Osing, nama salah satu suku asli di Banyuwangi.
Saru, Jawa, tidak pantas, tidak sopan
Babon, Jawa, ayam betina
Memeti, Jawa, birahi, akan bertelor
Hadrah Kuntulan, Osing, kesenian rebana yang amat enerjik
Klenger, Jawa, mabuk berat, kehilangan tenaga
Susur, Jawa, tembakau pelengkap orang makan sirih
Gambir, Jawa, salah satu bumbu pelengkap makan sirih
Enjet, Jawa, kapur, salah satu bumbu pelengkap makan sirih
Wanci kinangan, Osing, wadah bumbu-bumbu makan sirih
Kinang, Jawa, Osing, makan sirih
Dubang, Jawa, ludah merah karena makan sirih, singkatan dari idu abang
Kasinen, Jawa, kenyang makan asam garam isi dunia
Ngrusak pager ayu, Jawa, merusak kehormatan
Ra nggenah, Jawa, ngawur, tidak keruan
Kedanan,Jawa, tergila-gila
Gatelen, Jawa, kebelet birahi
Njaluk rabi, Jawa, minta kawin
Kecoh, Jawa, meludah
Nggebros, Jawa, menyemburkan (api)
Njondil, Jawa, kaget
Ngemban, Jawa, menggendong
Sareh, Jawa, sabar
Adol bagus, Jawa, mengandalkan wajah tampan
Wis mati pasaranne, Jawa, tidak laku
Nuthuli, Jawa, sedang makan (untuk ayam ayam atau burung)
Gendeng, Jawa, gila
Kulonuwun, Jawa, permisi
Nggloso, Jawa, duduk dalam keadaan lemas
Slonjor, Jawa, dalam posisi duduk meluruskan kaki
Sluku sluku bathok, bathoke ela elo, Jawa, tembang jawa
Butrowali, Jawa, bahan jamu yang rasanya sangat pahit
Pasrah bongkokan, Jawa, berserah diri, apapun yang akan dialami tidak akan mengelak
Nguping, Jawa, mencuri dengar
Mbobot, Jawa, hamil
Nggilani, Jawa, menjijikkan
Cluthak, Jawa, makan apapun mau
Thukmis, Jawa, dengan siapapun mau, singkatan dari asal bathuk klimis
Kempong perot jambul wanen, Jawa, sudah tua rambutnya penuh uban
Lonthe, Jawa, pelacur, binatang pemakan daun pisang
Mbecek, Osing, mendatangi kondangan
Cincing-cincing klebus, Jawa, terlanjur basah
Mencureng, Jawa, wajah suram
Berkat, Jawa, suguhan makanan dalam kenduri yang dipersilahkan untuk dibawa pulang.
Keplek, Jawa, main kartu
Udut klepas klepus, Jawa, merokok tanpa henti
Paran tutuhan, Jawa, kambing hitam, orang yang dicurigai
Cupang, Jawa, bekas ciuman (gigitan) di leher atau dada
Jeding, Jawa, kamar mandi
Kucing cluthak, Jawa, kucing yang doyan apapun
Warek, Jawa, kenyang
Kapedhotan sih, Jawa, terputus hubungan kasih sayang
Digadhang-gadhang, Jawa, diharapkan
Cagak, Jawa, tiang saka
Dijereng-jereng ngalor ngidu, Jawa, diatur sedemikian rupa
Kebangetan, Jawa, keterlaluan
Lumuh, Jawa, pemalas
Sowan, Jawa, menghadap
Ngeplek kartu, Jawa, membanting kartu, berjudi
Sembada, Jawa, bertanggung-jawab
Nyembadani, Jawa, melindungi dan selalu memenuhi
Mundhut, Jawa, mengambil, memanggil
Nyleneh, Jawa, aneh, tidak wajar
Ngenes, Jawa, menyedihkan
Cep klakep, Jawa, serentak terbungkam mulutnya
Glegeken, Jawa, bersendawa
Ragil, Jawa, anak bungsu
Ulem, Jawa, undangan
Tumplek blek, Jawa, tumpah ruah
Layon, Jawa, mayat
Ngajeni wong tuwa, Jawa, menghormati orang tua
Ngedhur, Jawa, tidak bangun-bangun
Jeleh, Jawa, bosan
Pracangan, Jawa, warung kecil
Nebas, Jawa, memborong (biasanya berhubungan dengan tengkulak)
Kunyuk, Jawa, monyet
Tulup, Jawa, sejenis anak panah
Malang kerik, Jawa, bertolak pinggang
Mendem, Jawa, mabuk, keracunan
Wudel, Jawa, pusar
Usung-usung, Jawa, mengusung bolak-balik
Ngayomi, Jawa, melindungi
Ngingu, Jawa, memelihara
Bedinde, Belanda, pembantu rumah tangga
Batur, Jawa, pembantu rumah tangga
Nggregetke, sing rumangsa dadi lanang mbingungi, Jawa, menggemaskan, yang merasa sebagai laki-la-ki kebingungan
Brangasan, Jawa, berangasan, kasar
Lungka, Jawa, bongkahan tanah
Penthelengan, Jawa, saling melotot
Kukul, Jawa, jerawat
Patri kemasan, Jawa, perajin perhiasan
Nggratil, Jawa, usil
Aja payu rabi sira, muga byain pilih-pilih tebu, ‘sing entuk pucuke, entuka bongkote, Osing, jangan laku kawin kau, semoga pilih-pilih tebu, tidak mendapat pucuknya, mendapat pangkalnya.
Bengkak, Osing, tidak punya malu
Caluk osing, Osing, sejenis pedang dengan ujung melengkung
Gembung, Jawa, tubuh tanpa kepala
Asu, Jawa, anjing
Kowe, Jawa, kamu
Jancuk, Jawa, umpatan
Jirih wedi getih, Jawa penakut
Tak bacok kowe, Jawa, kusabet pedang kau
Endhas, Jawa, kepala
Wagu, Jawa, janggal, tidak pada tempatnya
Dhemen, Osing, suka, cinta
Dhemenan, Osing, bercinta
Misuh, Jawa, mengumpat
Dijotosi, Jawa, dipukuli
Ditonyo, Jawa, dipukuli
Dijejaki, Jawa, ditendang
Bengep, Jawa, babak belur
Paklik, Jawa, paman
Nanahen, Jawa, bernanah
Manukmu, Jawa, burungmu
Ghirah, Madura, Harga diri
Wereng, Jawa, hama tanaman, pelacur
Ndeprok, Jawa, terduduk
Waringuren, Jawa, lupa diri, tidak ingat apapun
Mbabati, Jawa, menebang
Nimbali kula, Jawa, memanggil saya
Ngersaaken menapa, Jawa, menghendaki apa
Saget, Jawa, bisa
Merem melek, Jawa, membuka menutup mata
Ngladeni, Jawa, melayani
Kemelun, Jawa kuna, berasap
Sampun, Jawa, sudah
Mrengut, Jawa, suram
Nuwun Sewu, Jawa, permisi
Mletik, Jawa, muncul (gagasan)
Digremeti, Jawa, dirayapi, dirambati
Rawe-rawe rantas, malang-malang putung, Jawa, apapun yang menghadang akan disingkirkan.
Ing mangsa ketiga, Jawa, di musim kemarau
Njondil senjondil-njondilnya, Jawa, amat kaget
Gerigis, udyan gerigis, geluduke jepretan, aja sira nangis, sedela maning, arep panenan.” Osing, gerimis, hujan gerimis, petirnya bersahutan, jangan kau menangis, sebentar lagi akan panen.
Toh pati, Jawa, beradu nyawa
Gaplek pringkilan, wis tuwek pethakilan, Jawa, sudah tua tidak tahu diri
Emban, Jawa, istilah pembantu dalam keraton, abdi dalem Istana
Ndara putri, Jawa, tuan putri
Kere munggah bale, Jawa, gelandangan naik ke tempat tidur,
Rai gedek, Jawa, tidak tahu malu
Bengkerengan, Jawa, bertengkar
Wis tuwa ra nyebut, Jawa, sudah tua tidak tahu diri
Mikir dalan padang, Jawa, memikirkan akherat
Ngedan, Jawa, sengaja gila
Kesengsem, Jawa, kasmaran
Mingkema cangkemmu, Jawa, tutup mulutmu
Glendam-glendem, Jawa, tidak ada potongan
Modar, Jawa, mati, mampus
Ngompori, Jawa, memanas-manasi, memprovokasi
Malik ilat, Jawa, memutar lidah
Nglulu, Jawa, memanjakan
Ngeret, Jawa, memoroti
Cengar-cengir, Jawa, senyum-senyum
Kebangeten, Jawa, keterlaluan
Nguripi, Jawa, menghidupi
Ngukur gatel neng silit, Jawa, menggaruk gatal di dubur
Silit, Jawa, dubur
Bediding, Jawa, musim dingin
Selak, Jawa, ingkar
Ngaca raimu, Jawa, berkacalah wajahmu
Ngladeni, Jawa, melayani
Ngayani wong wedok, Jawa, menafkahi perempuan
Nglabuhi, Jawa, membela mati-matian
Mbendul, Jawa, bengkak
Nyekar, Jawa, ke kuburan menabur bunga
Kepanggonan, Jawa, ketempatan
Kinyis-kinyis, Jawa, masih baru, luar biasa
Ngrasani, Jawa, membicarakan, ngerumpi
Mrucut, Jawa, terlepas
Kesrakat, Jawa, menderita
Nelangsa, Jawa, sedih
Sanak, Jawa, saudara
Kadang, Jawa, famili
Abang-abang lambe, Jawa, manis di bibir
Panggraita, jawa, indera perasaan, menduga
Kulanuwun, Jawa, permisi
Ngaca, Jawa, berkaca
Glagepan, Jawa, gugup
Gronjalan, Jawa, tidak rata, berdegup kencang
Mbarep, Jawa, anak pertama
Deksura, Jawa, durhaka
Nggegirisi, Jawa, mengerikan
Resik-resik, Jawa, membersihkan, berbenah
Sumringah, Jawa, menarik hati
Cethek, Jawa, dangkal
Bendo, Jawa, semacam pedang
Kesambet, Jawa, kesurupan, in trance
Langgeng, Jawa, abadi
Kesrimpet, Jawa, tersendat, tersandung, terjerat
Klentik, Jawa, minyak kelapa
Nylathu, Jawa, mendamprat, memarahi
Neng-nengan, Jawa, saling mendiamkan
Mrinding, Jawa, bangun semua bulu kuduk
Kepenak, Jawa, enak, nyaman
Ngeyel, Jawa, ngotot
Jangan tempe, Jawa, sayur tempe
Jangan terong, Jawa, sayur terong
Cedhut cenut, Jawa, pusing menahan syahwat
Trocoh, Jawa, genting bocor
Brantaningtyas ingsun, Jawa halus, hasrat hatiku
Grusa-grusu, Jawa, tergesa
Wong edan, Jawa, orang gila
Kranjingan, Jawa, keterlaluan, kurang ajar
Keladuk kebat kliwat, Jawa, kelewatan, keterlaluan
Kancilen, Jawa, tidak bisa tidur, insomnia
Nganeh-anehi, Jawa, tidak seperti biasanya
Bothok, Jawa, masakan jawa berbahan baku kelapa muda dan Lamtoro
Rai gedek, Jawa, tidak punya malu, berwajah seperti dinding
Gedek, Jawa, dinding anyaman bambu
Usrek, Jawa, ribut
Dingklik, Jawa, kursi
Krenggosan, Jawa, tersengal
Pringisan, Jawa, menyeringai menahan sakit, meringis
Mbesengut, Jawa, merengut
Nggenjot, Jawa, menekan, mengayuh
Keblinger, Jawa, keterlaluan, amat salah arah
Dokoh lekoh, Jawa, lahap sekali
Serimbit, Jawa, sekalian, bersama isteri atau pasangan
Ngangsi, Jawa, sampai
Kleleran, Jawa, telantar
Ngentup, Jawa, menyengat
Ora dulur-duluran, Jawa, tidak usah bersaudara
Ngrusuhi, Jawa, mengganggu
Dikupluki, Jawa, dibohongi, dibodohi
Abuh, Jawa, bengkak
Methingkring, Jawa, menaiki, memanjat
Undo, Inggris/istilah komputer, menanggalkan
Ndugal, Jawa, nakal sekali
Pothol ndhas, Jawa, terpotong leher
Mbrakoti, Jawa, memakan/mengerikiti
Dilela-lela, Jawa, dininabobokkan
Ngrikiti, Jawa, memakan sedikit demi sedikit
Nggandoli, Jawa, mengganduli, menggayuti
Ngedum, Jawa, membagi
Emban cindhe emban siladan, Jawa, pilih kasih
Kuwalat, Jawa, kutukan, terkutuk
Nggregeli, Jawa, gemetar
Ngrimuk, Jawa, membujuk
Mrucut saka embanan, Jawa, lepas dari harapan, meleset
Sulap, Jawa, silau
Begal, Jawa, perampok
Cengoh, Osing, bodoh
Njotos, Jawa, memukul
Ndremimil, Jawa, mengoceh
Njengat, Jawa, mencuat ke atas, kaku
Mbegal, Jawa, merampok
Tirakatan, Jawa, berprihatin
Mandi, Jawa, mujarab
Playonan, Jawa, berlarian
Melekan, Jawa, begadang
Geblak, Jawa, peringatan hari meninggalnya seseorang
Srengenge, Jawa, matahari
Usuk, Jawa, kayu-kayu tumpuan genting
Duwite ilang, Jawa, uangnya lenyap
Sodomi, Inggris, hubungan seks melalui dubur