Pages

Senin, 25 Juli 2011

Balada Gimpul 3

Pencuri mangga yang malang itu, Sukarjo namanya, ia digebuki massa yang se-dang beringas marah dan membutuhkan penyaluran. Sukarjo dijotosi, ditonyo, dijejaki hingga benar-benar bengep dan babak belur, yang terakhir, entah siapa yang punya gagasan, cukup hanya dengan satu liter bensin yang disiramkan ke tubuhnya dan hanya sejresan korek api, menghantarkannya melongok gerbang kematian.
Salehak ikut menyumbang menangis melolong-lolong, meratapi kematian absurd dan sia-sia itu, karena Salehak sangat mengenal Sukarjo yang adalah pakliknya sendiri, satu-satunya kerabat yang dimilikinya yang masih tersisa. Sukarjo terpaksa mencuri mangga muda karena memenuhi permintaan isterinya yang hamil muda. Sayang sekali isterinya tidak mau mangga yang bisa dibeli di pasar, mangga itu harus diambil langsung dari pohon, mengambilnya harus nyolong.
Itu ngidam yang benar-benar membunuh suami.
Itulah kenangan yang mengerikan bagi Salehak, yang menyebabkan jantungnya bisa rontok melihat orang berkelahi.
Namun Tanjir hanya bisa menggeram menahan marah yang serasa akan meledak di ubun-ubun melihat giliran saudaranya juga mendapat kesempatan merayu Salehak, si batur cantik itu. Dari balik pintu, Tanjir ingin mengetahui bagaimana Jayus merayu Sa-lehak.
“Salehak..." tiba-tiba saja Jayus muncul mengagetkan. Nada sapanya seperti intro sebuah lagu.
“Khhh, ada apa kang Jayus?" Salehak kaget.
“Tanjir tadi omong apa?" tanya Jayus.
“Kang Tanjir tidak omong apa-apa. Ada apa to?" jawab Salehak.
Salehak memulas senyumnya dengan ikhlas. Tanjir yang bersembunyi di balik pintu dan memperhatikan apa yang terjadi serasa retak dadanya. Rasa cemburu memang bisa membuat dada sesak.
“Ia tadi mengajak kau dhemenan ya?" desak Jayus setengah berbisik. “Dengar Hak, kau jangan mau. Kau tidak pantas jadi dhemenannya. Pantasnya kau jadi dhemenan-ku. Kau mau ya Hak, mau jadi milikku ya?"
Sehari dua cinta, pilihan yang manakah yang harus diambil? Merasa beruntung-kah Salehak yang hanya seorang batur atau babu, ditaksir habis-habisan oleh dua laki-laki anak majikannya? Beruntung atau malah buntung?
“Aku hanya batur kang Jayus." suara Salehak terdengar lembut.
Alasan yang sama digunakan Salehak untuk menghadapi Jayus. Namun tentu saja Jayus pantang mundur. Jayus merasa tak ada artinya hidup di dunia ini tanpa Salehak. Le-bih baik mati daripada cinta ditolak.
“Pokoknya, kau jangan mau dirayu Tanjir. Tanjir itu laki-laki yang tidak bertang-gung jawab, suka main perempuan dan banyak penyakitnya. Jika kau mau tahu, burung-nya nanahen. Dia kena penyakit. Kalau kau dengannya, kau akan ketularan."
Tanjir yang bersembunyi di balik pintu tersentak kaget, dan seketika saja ma-rahnya telah sampai di ubun-ubun. Tanjir mengumbar pisuhan yang keras dan kasar.
“Bajingan, apa kau bilang?" serapah Tanjir.
“Manukmu nanahen." jawab Jayus enteng.
“Asu kau, Bajingan kau." Tanjir benar-benar emosi. Tangan kanannya telah me-megang caluk.
Salehak ngeri. Kalau sampai terjadi perang di antara kedua laki-laki itu, dan Sale-hak menempatkan diri sebagai penyebab, waaah, itu mengerikan sekali bagi Salehak. Jayus tidak peduli meski Tanjir mencabut caluk, ia segera mengeluarkan celuritnya. Ja-yus sadar Tanjir tak akan berani menggunakan caluk itu sebagaimana dirinya juga tidak akan berani mengadu nyawa. Darah mereka tak dialiri watak orang Madura pada umum-nya yang punya budaya carok untuk membela ghirah.
“Bukankah benar yang kukatakan? Burungmu nanahen karena kau suka pergi ke-lonan dengan wereng? kau mau apa?"
Tanjir mengayun caluk melemaskan tangan, siap untuk bertempur.
“Jangan kang, jangan berkelahi" Salehak sangat gugup.
Namun Tanjir benar-benar marah karena rahasianya diobral adiknya sendiri. Kali ini Tanjir sudah tidak punya pertimbangan apapun. Apa boleh buat kalau memang harus membantai adiknya, ia akan lakukan itu. Jayus kaget oleh kesungguhan kakaknya. Jayus tidak mengira Tanjir benar-benar sangat marah. Jayus agak gugup, dan dengan segera mengayun-ayunkan celuritnya. Sale¬hak yang amat ketakutan ndeprok di sudut ruang tak bisa berbuat apa-apa.
Dua pejantan telah siap bertarung. Jayus melangkah berkisar menyusur ruangan itu sambil tangannya menggenggam erat celuritnya.
Jayus kaget ketika melihat Tanjir benar-benar mengayunkan caluknya ke arah le-hernya. Dengan amat gugup Jayus mengimbangi ayunan itu dengan sabetan celuritnya. Untungnya kedua senjata itu saling bentur. Tanjir segera mempersiapkan diri. Jayus yang tidak mau mati konyol di tangan kakaknya sendiri segera mempersiapkan diri pula.
“Gila...” ucap Jayus pada diri sendiri karena tidak mengira kakaknya benar-benar marah.
Pada saat itulah terdengar suara batuk pak Kampun yang baru pulang dari mene-ngok tanaman tembakaunya. Suara pak Kampun itu begitu besar pengaruhnya dan seka-ligus menyadarkan Tanjir yang sudah waringuten untuk menyisakan pikiran bening, la-yakkah dia berbantai dengan adiknya berebut batur? Jayus yang semula merasa dadanya sesak, memperoleh kesempatan untuk mengisi paru-parunya.
“Gila. Kang Tanjir ternyata bisa nekad.” desis Jayus gugup. Keringat mengembun di keningnya.
Tanjir ngeloyor begitu saja. Di halaman depan ia berpapasan dengan bapaknya.
“Untuk apa caluk itu Njir?" tanya pak Kampun.
“Mbabati pisang." jawab Tanjir sekenanya.
Pak Kampun memandangi Tanjir dengan tatapan mata heran, namun segera dite-lannya rasa heran itu setelah Tanjir terlihat benar-benar pergi ke kebun. Sementara itu Ja-yus juga ngeloyor begitu saja, meninggalkan ruang tengah melalui pintu belakang.
Pak Kampun mandi di sumur. Setelah beberapa hari menjadi duda emosinya yang sempat guncang mulai stabil. Pak Kampun bahkan mulai bisa menanggapi guyonan te-tangga yang menganjurkan dia untuk kawin lagi.
Kawin lagi? Ada-ada saja.
Manakala pak Kampun membaringkan diri, tetap saja ada yang terasa ganjil. Ada sesuatu yang hilang entah ke mana. Bia¬sanya jika penat begitu, pak Kampun selalu me-manggil isterinya. Meski malas dan ngedumel namun mbok Kampun pasti akan memijiti tubuh suaminya itu.
Capek sekali. Apa salahnya kalau menyuruh Salehak memijat. Dengan agak ter-gopoh Salehak masuk ke kamar pak Kampun.
“Pak Kampun nimbali kula?” tanya Salehak yang berdiri di tengah pintu.
“Ya." jawab pak Kampun pendek.
“Ngersaaken menapa pak?" Salehak ternyata mampu berbahasa jawa halus.
“Tubuhku capek semua ‘Hak. Sekujur tubuhku, rasanya pegal semua. Kau bisa memijat?"
“Saget” jawab Salehak.
“Baiklah, pijatlah aku." berkata pak Kampun.
"Dengan kerokan juga?" bertanya Salehak.
Pak Kampun memandang Salehak sambil agak mengantuk.
“Aku tidak sedang masuk angin. Aku hanya merasa tubuhku lungkrah semuanya. Aku ingin kau pijat tubuhku." jawab pak Kampun sambil menguap.
“Silahkan pak Kampun berbaring, saya akan memijat."
Salehak gadis yang lugu itu dengan senang hati melaksanakan perintah yang baru saja diberikan majikannya.
Namun yang namanya pijat, yang mampu nyerempet ke hal-hal yang "greng", me-nyebabkan pak Kampun tiba-tiba berkeinginan lain. Lelaki tua yang semula dipijat de-ngan tubuh telungkup itu kemudian telentang. Salehak batur yang lugu itu terus memijit tubuhnya. Pak Kampun merem melek.
"Pijatanmu enak sekali." pak Kampun membuka percakapan.
Salehak menunduk.
"Apa benar pak?" bertanya Salehak dengan nada lugu.
"Ya, pijatan tanganmu enak. Kau dapatkan dari mana ilmu memijat itu Salehak?" tanya pak Kampun.
Ahhh, yang benar saja. Apa ya mungkin bagi Salehak kursus memijat segala un-tuk menjadi seorang babu. Pertanyaan pak Kampun yang seperti sekedar bertanya itu ti-dak dijawabnya.
Salehak terus melaksanakan tugasnya dengan baik, memijat menyusur betis. Pak Kampun makin salah tingkah. Pikiran pak Kampun mulai ngeres. Ingat isterinya, ingat kehangatan. Ingat betapa sepinya malam-malam setelah hidup menduda. Pak Kampun merasa sisa hidupnya seperti hampa, tak ada cahaya atau api, tidak ada kehangatan yang jika dibutuhkan setiap saat, akan hadir pula setiap saat.
"Umurmu sekarang berapa?" bertanya pak Kampun.
"Saya?" Salehak membalas dengan pertanyaan.
"Ya." kata pak Kampun tenang.
Salehak rupanya punya kebiasaan, setiap kali ia ditanya selalu balas bertanya.
"Umurmu sekarang berapa?"
“Saya delapan belas tahun."
Pak Kampun tua itu lantas manggut-manggut. Seolah-olah pak Kampun tengah merenungkan usia yang baru delapan belas tahun itu. Namun yang riuh di benaknya justru persoalan lain.
Bukan hanya sejak isterinya meninggal dunia pak Kampun tidak pernah menggu-nakan aji Dewo Rengku. Namun malah sudah jauh sebelum itu, yaitu ketika pada sebuah fase di mana seorang wanita sudah tidak mau atau tidak sanggup lagi melayani suaminya, dan bahkan mempersilahkan untuk jajan saja di luar saja daripada harus ngladeni gituan, sebuah fase di mana di mata isteri, seorang suami telah berubah menjijikkan bagai mons-ter.
Pasalnya, Ajian dewa rengku yang dimilikinya selalu membuat gelisah. Bagaikan piaraan jin yang tiap hari Kamis malam Jum'at harus diberi sajian makanan kembang se-taman dan kemelun bau kemenyan. Atau seperti ajian Candhabirawa milik Salya yang harus diasapi bau bandeng bakar di malam Rebo legi, karena kalau tidak aji dewa rengku akan menyulitkan diri sendiri. Swalayan? Alamak, orang macam pak Kampun mana tahu caranya?
Mau tahu apa arti Dewo Rengku itu? Kalau Dewo Rengkak itu gedhe dawa ireng mangkak. Dewo Rengku itu gedhe dawa ireng kaku.
"Delapan belas tahun. Usiamu ternyata tidak seperti ujut¬mu. Delapan belas tahun adalah usia perawan yang sudah matang. Tetapi orang mungkin akan mengira kau baru berumur enam belas tahun atau bahkan empat belas tahun. Ternyata kau sudah delapan belas tahun. Apakah kau sudah pernah dhemenan?"
Salehak menunduk, dengan rajin tangannya terus menggerayangi dada dan pun-dak melalui pijatan pijatan lunak nyaris bisa dikatakan tak bertenaga.
"Saya?" kembali Salehak menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
Pak Kampun menyeringai, maksudnya tersenyum.
"Ya, kamu."
"Sudah pak." jawabnya pelan tak bertenaga.
"Kau sudah pernah disentuh oleh dhemenanmu itu?"
"Saya?"
"Ya, kamu.” jawab pak Kampun. “Bukankah aku tidak sedang berbicara dengan siapa-siapa kecuali hanya dengan kamu?"
"Sudah." jawab Salehak dengan tenang.
Pak Kampun terlonjak. Tidak disangkanya Salehak yang lugu itu ternyata sudah tidak gadis.
"Oo, jadi kau sudah tidak prawan lagi?"
Justru Salehak yang merasa kaget oleh tuduhan itu. Salehak merasa bulu ku-duknya bangkit.
"Saya masih perawan ting-ting kok pak" gadis itu menjawab agak kurang berke-nan. Wajahnya memerah sejenak.
"Kamu tadi bilang, kau sudah pernah disentuh pacarmu?" bertanya pak Kampun.
Salehak tersenyum. Ternyata bukan hanya Tanjir dan Jayus, di mata pak Kampun senyuman itu terasa nggregetke.
"Tangan saya dipegang, lalu jabat tangan,...."
"Oooooo?"
Semakin nikmat pak Kampun merasakan pijatan tangan lentik prawan osing ber-nama Salehak yang derajadnya hanya seorang batur itu. Pak Kampun entah mengapa, na-fasnya mulai tersengal. Matanya berkunang-kunang dan bintang-bintang serasa bertabu-ran di mana-mana.
"Sampun pak?" tanya Salehak yang kemudian merasa kecapekan.
Namun untuk kenikmatan macam itu, mana mau pak Kampun buru-buru.
"Belum, belum Salehak." jawab pak Kampun.
"Sekarang silahkan tengkurap, saya akan memijit pung¬gung"
Akan tetapi pak Kampun menggeleng. Pak Kampun kemudian malah tersenyum, yang lagi-lagi diterjemahkan oleh Salehak sebagai sebuah seringai.
Sebenarnya kasihan pak Kampun. Pada orang-orang tertentu, senyum bisa terbaca jelas sebagai sebuah senyuman. Namun kalau pak Kampun yang tersenyum orang mem-bacanya sebagai sebuah seringai. Agak berbeda dengan Tanjir yang punya wajah mre-ngut. Ceria macam apapun anak pak Kampun itu, akan selalu terlihat mrengut.
"Tak perlu tengkurap Salehak, pijatlah sebelah sini, di sini....." pak Kampun ber-bicara agak terbata.
Wajah Salehak mendadak beku, rautnya merah padam. Namun apalah daya bagi Salehak yang hanya seorang batur, sementara yang menghendaki pijatan macam itu ada-lah majikannya. Salehak melaksanakan dengan tatapan mata jengah, bahkan kemudian dengan memejamkan diri.
"Nuwun sewu" Permintaan permisi Salehak terdengar terbata.
Pak Kampun memerlukan memejamkan mata beberapa saat lamanya.
"Enak sekali Hak. Isteriku di masa hidupnya tak pernah memanjakan aku dengan pijatan tangan seperti ini. Setiap malam, aku akan memintamu untuk memijat tubuhku, apa kau keberatan?" bertanya pak Kampun.
"Saya?" balas batur itu.
“Ya, apakah kau keberatan?"
"Tidak" Salehak memberi jawaban penuh ragu.
Pak Kampun merasa kunang-kunang yang beterbangan mengelilingi benaknya se-makin banyak, kunang-kunang itu kemudian berubah menjadi kupu-kupu, bahkan ada pula yang berubah menjadi burung yang beterbangan ke sana ke mari.
Angan-angan pak Kampun makin melebar seperti melihat kelelawar bergelan-tungan di mana-mana.
“Salehak..." kata pak Kampun agak ragu.
“Saya pak?"
“Lepaslah bajumu." akhirnya pak Kampun mengutarakan isi hatinya.
Salehak terlonjak oleh permintaan yang aneh itu.
“Saya?" tanya gadis itu.
"Ya, kamu, lepaslah bajumu. Aku ingin melihat tubuhmu seperti apa."
Salehak gadis malang, Salehak tak punya siapa siapa lagi di dunia ini setelah ke-matian ke dua orang tuanya. Menjadi sempurnakah kemalangannya setelah apa yang di-perbuat pak Kampun kepadanya.
Salehak mengusap air matanya sambil membenahi diri.
Pak Kampun merasa puas, sangat puas merasakan gadis itu memang benar benar perawan.
"Bukan main,....Waah, bukan main."
Pak Kampun masih larut dengan kekaguman terhadap apa yang baru dikerjakan-nya.
"Apakah saya sudah diperkenankan meninggalkan tempat ini pak?" tanya Salehak dengan suara nyaris berbisik.
"Tidak perlu Salehak, tidak perlu." jawab pak Kampun.
Pak Kampun memandang babu Salehak dengan tidak berkedip. Sebuah gagasan mletik di benaknya. Kepergian isterinya seharusnya memang tidak perlu membuat dunia ini menjadi sepi.
"Saya? Saya harus di sini terus?" bertanya gadis itu kebingungan.
"Malam ini kau kuijinkan tidur di sini. Kau menemani aku tidur dan untuk sela-njutnya, untuk selamanya, kau akan menghiasi tempat tidur ini."
Salehak mencuatkan alis mengerinyitkan dahi. Gadis itu bingung.
"Aku akan mengambilmu sebagai isteriku Salehak. Kau mau bukan? Kau mau menjadi isteri pak Kampun, bagaimana?"
Salehak termangu, tidak tahu harus dengan cara bagaimana ia mencerna keingin-an pak Kampun itu.
Pak Kampun mengambilnya sebagai isteri? Mengangkat derajadnya yang semula hanya batur menjadi isteri dan dengan demikian juga menjadi Ibu bagi empat anak tirinya yang sudah dewasa dan bahkan berusia lebih tua dari dirinya? Gawat. Tentu saja yang gempar adalah Tanjir dan Jayus. Kedua lelaki anak pak Kampun itu kaget seperti disam-bar petir.
Mula-mula Tanjirlah yang kaget karena tidak menemukan Salehak di kamarnya. Tanjir berprasangka buruk pada Jayus.
Pintu yang dibanting keras membuat Jayus terlonjak.
"Gila, mau apa kau? Mengapa kau membanting pintu?" tanya Jayus.
Jayus langsung menyerapahinya. Akan tetapi Jayus terheran-heran melihat Tanjir membelalak kepadanya. Tanjir menggenggam caluk, Jayus segera melompat mengambil celurit yang memang telah disiapkan di bawah tempat tidur.
"Apa yang kau lakukan?" Tanjir memberondongkan kemarahan.
Tentu Jayus terheran-heran.
"Kau membicarakan apa? Apa maksudmu?" tanya Jayus.
Jayus masih tetap tak mengerti mengapa kakaknya waringuten seperti itu. De-ngan celurit digenggam erat di tangan kanan Jayus melangkah berkisar mencari tempat yang sabaik-baiknya seandainya perkelahian tidak mungkin dihindari.
Tanjir yang dibakar cemburu merasa dadanya nyeri.
"Mana dia?" tanya Tanjir sambil mengintip kolong tempat tidur.
Tanjir berfikir mungkin saja Salehak disembunyikan di bawah tempat tidur? Di-selempitkan seperti melipat barang? Jayus yang belum sadar apa yang terjadi ikut melo-ngok bawah tempat tidur dan sekalian membalikkan kasur. Tidak ada Salehak bersem-bunyi di sana.
Jayus menyeringai sebagai ekspresi rasa herannya. Akan tetapi Tanjir menangkap hal itu sebagai ejekan. Tanjir benar-benar marah, kali ini Tanjir sungguh tidak peduli. Kalau sampai ia kedahuluan, apa boleh buat, caluk yang berbicara. Jika sampai terjadi perkelahian berdarah yang mengakibatkan kematian, apabo¬leh buat.
"Mana dia? kau sembunyikan di mana dia?" Tanjir berteriak.
"Dia siapa?" balas Jayus dengan tidak kalah keras.
Jayus ikut-ikutan melotot.
"Salehak. Kau apakan dia ha?” teriak Tanjir. “Mana Salehak? Sudah aku katakan jangan ganggu dia tetapi kau tetap nekad saja. Mana Salehak?"
Jayus kebingungan. Salehak? Jadi Salehak yang hilang? Salehak yang menyebab-kan Tanjir marah dan menuduh dirinya menyembunyikan gadis itu. Kalau tuduhan itu betul dan kalau Jayus memang menyembunyikan Salehak, maka dengan senang hati dan penuh kebanggaan Jayus akan melayani apapun kehendak kakaknya.
Namun Jayus tidak merasa menyembunyikan Salehak. Jadi ke mana Salehak? Ada apa dengannya?
Jayus beringsut. Tangan kanannya masih memegang celurit, dengan celurit itu pula Jayus menuding kakaknya.
"Kau menuduh sesuatu yang membuatku bingung. Aku tak melakukan apapun."
Tanjir menganggap jawaban itu sebagai upaya untuk menghindar dari kemarahan-nya. Tanjir sudah larut dalam prasangka, hilangnya Salehak jelas karena ulah adiknya itu. Tanjir kembali melongok kolong. Memang tidak ada Salehak di kamar itu. Jadi ke mana dia?
Namun tetap saja sakit bagi Tanjir manakala membayangkan Salehak itu telah di-gremeti lebih dulu. Padahal Tanjir sudah bersumpah dalam hati, entah bagaimana cara-nya harus bisa memilliki batur yang cantik itu. Bahkan seandainya harus memperkosanya sekalipun. Rawe-rawe rantas malang-malang putung.
Tanjir memelototi Jayus, matanya melotot setengah senti.
Jayus membalas, matanya melotot satu senti.
"Salehak tidak ada di kamarnya. Kau pasti sudah nggreme¬ti dia. Kau ingin kubu-nuh atau bagaimana?" bertanya Tanjir.
Yang dituduh padahal tidak merasa melakukan tentu saja ia tidak mau menerima. Namun Jayus kaget oleh keterangan itu. Jayus manggut-manggut. Dengan awas Jayus melirik kakaknya, kalau sampai caluk itu terayun, maka sepersekian detik Jayus harus bereaksi dengan mengayunkan celuritnya.
Mungkin tangan kiri Jayus akan putus karena harus menangkis ayunan pedang, namun setidak-tidaknya ayunan celuritnya akan membabat leher. Nah, kalau tubuh Tanjir tidak berkepala bisa apa lagi dia, atau sebaliknya kalau kepala itu pisah dari tubuhnya, bisa apa pula dia?
"Aku sama sekali tidak menyembunyikan Salehak" jawabnya pendek. "Jangan sembarangan kau menuduh"
Tanjir tetap tidak percaya. Jawaban Jayus itu berbau kebohongan.
Ketika Tanjir mengayunkan caluk untuk mele¬maskan tangan, Jayus melakukan hal sama. Dua pejantan itu benar-benar sudah siap menyelesaikan persoalan rebutan ba-tur itu mela¬lui senjata tajam.
Pada saat yang demikian itulah tiba-tiba pintu terbuka. Salatun muncul mewar-takan kehadirannya dengan berdehem dan menyunggingkan senyum berbau sinis melihat kedua kakaknya siap bertarung berebut pepesan kosong. Sambil saling menjaga diri jangan sampai kecolongan, kakak beradik itu melirik Salatun.
"Kalian bertengkar mempersoalkan apa? Bingung karena kehilangan Salehak?" tanya Salatun enteng.
"Mana dia?" Tanjir tidak sabar. Matanya tetap tertuju pada Jayus.
Tanjir cemas kalau pada saat ia lengah Jayus mengambil kesempatan dengan mendahului menyerang.
Salatun merekahkan sebuah senyumnya, dengan lugas menterta¬wakan kedua sau-daranya menyebabkan Tanjir dan Jayus penasaran.
"Kau pasti bermaksud nggremeti Salehak, tetapi kau tidak menemukan dia di ka-mar belakang bukan?" tanya Salatun ringan sekali.
Senyum Salatun memang membuat penasaran.
Tanjir mendekat. "Lalu di mana Salehak?"
"Intip saja di kamar bapak," jawab Salatun pendek.

***


LAYU KEMBANG MELATI
Jawaban yang pendek itu serasa sebuah gemuruh yang menghantam dada Tanjir dan Jayus. Seperti petir yang meledak ing mangsa ketiga, ketika langit begitu bersih tak ada selembar mendungpun, mengagetkan seperti tidak ada suara kencing kok tiba-tiba terdengar tai jatuh, menyebabkan kakak beradik itu njondil senjondil-njondilnya.
Tanjir termangu karena membutuhkan waktu beberapa saat lamanya untuk men-cerna apa yang dikatakan adiknya itu. Manakala Tanjir akhirnya menyadari apa yang kira kira terjadi, seketika wajahnya merah padam. Tanjir segera bergegas menuju kamar Ba-paknya yang terpisah di bagian belakang, disusul kemudian oleh Jayus dan Salatun.
Dari celah sebuah lubang Tanjir mengintip. Dan apa yang disaksikan membuat tu-buhnya lemas. Lemas sekali, serasa tulang belulangnya melorot tidak mau lagi menyang-ga berat badannya.
Dengan langkah lunglai pula Tanjir melangkah meninggalkan tempat itu menuju halaman. Jayus yang penasaran ganti mengintip melalui lobang kunci dan menyaksikan pemandangan yang benar-benar menyakitkan hati. Di dalam sana, Salehak yang telah membuatnya tergila-gila sedang kelonan dengan bapaknya.
Gemuruh amarah seketika menggelegak. Jayus berancang-ancang akan menerjang pintu itu. Akan tetapi sapuan angin dingin dan secuil kesadaran menahannya untuk tidak melakukan itu. Dengan gontai tanpa tenaga pula Jayus melangkah ke halaman menyusul Tanjir. Salatun mengekor di belakang.
Di langit dengan cahaya bulan yang bulat sempurna tidak ada mendung sama se-kali. Suara jangkrik dan lonte pemakan daun pisang saling bersahut-sahutan beradu irama dengan cenggeret. Di kejauhan sekali entah siapa yang nembang, terdengar suara yang memelas. “Gerigis, udyan gerigis, geluduke jepretan, aja sira nangis, sedela maning, arep panenan.”
“Bajingan.” umpat Tanjir di halaman.
Sungguh serapah yang sempurna.
"Bapak ternyata bajingan." Tanjir mengutuk.
Tanjir merasa dadanya benar-benar bengkah. Untuk mengatur nafasnya yang ter-sengal susul-menyusul, Tanjir mengalami kesulitan.
Namun di sela kepahitannya, Jayus mampu memandang kejadian itu dengan su-dut yang berbeda dari kakaknya. Meskipun pahit Jayus merasa geli. Dua kakak beradik nyaris saling berbunuh, ternyata Salehak kelonan dengan bapaknya. Yang berebut nyaris toh pati, yang diperebutkan tenang-tenang saja bahkan larut dalam paduan kasih dengan bapaknya yang sudah bau tanah.
Jayus tertawa bergelak-gelak. Tawanya terasa ringan memenuhi sudut pekarang-an. Dengan sepenuh tenaga Jayus mengayunkan celuritnya. Tanjir kaget dan siap siaga. Tetapi rupanya celurit itu melesat menerobos kebun dan entah jatuh di mana. Jayus nde-prok sambil menutup wajah. Rasa gelinya tak terurai. Tanjir kemudian melihat, nasib Jayus memang tidak lebih sama dengan dirinya. Jadi untuk apa memusuhi Jayus? Bapak-nyalah yang harus dimusuhi.
Tanjir menoleh ke arah di mana bapak dan babunya tengah kelonan. Serapahnya kembali muncrat dan semburat.
“Bapak bangsat,” Tanjir berteriak. “Sudah tua tidak tahu diri. Gaplek pring¬kilan, wis tuwek pethakilan.”
Dengan bersusah payah Tanjir berusaha berdamai dengan diri sendiri. Akhirnya Tanjir makin mereda. Tanjir kemudian merasa telah salah sangka. Tidak membutuhkan waktu terlalu lama bagi Tanjir untuk merasa senasib sepenanggungan dengan adiknya itu. Dua lelaki yang semula berseteru itu kemudian duduk berdampingan. Sama-sama me-mandang bulan, sama-sama bertanya mengapa bisa demikian. Nun jauh di sana, seperti ada bayangan mbok Kampun melambaikan tangan.
Apabila Tanjir dan Jayus hanya sekedar berangan-angan atau membangun mimpi yang digantung tinggi, tidak demikian dengan apa yang dilakukan pak Kampun. Kee-sokan harinya, bahkan ketika hari masih terasa pagi, pak Kampun pergi dengan mengajak Salehak.
Dari kejauhan Tanjir dan Jayus memandang dengan rasa sakit luar biasa.
"Ke mana mereka?" tanya Tanjir pada Salatun.
"Tidak tahu" jawab Salatun pendek.
Salatun memang tidak tahu ke mana bapak dan babunya itu pergi. Salatun mendu-ga Salehak tentu diajak ke pasar Banyuwangi untuk belanja macam-macam sebagai im-balan atas layanan yang diberikannya semalam. Mungkin beli giwang atau kalung.
Salatun merasa getir. Namun ia hanya menyimpan kegetirannya itu sendiri, tanpa bisa menyampaikan pada siapapun. Salatun ingat simboknya. Salatun kecewa karena be-lum genap empat puluh hari simboknya itu pergi, bapaknya sudah macam-macam.
Jawaban atas ke mana perginya pak Kampun dan babunya pagi-pagi itu terjawab ketika matahari memanjat sampai di atas. Sarkem tetangganya datang tergopoh.
"Tadi aku berjumpa dengan bapakmu" kata Sarkem.
Jayus yang tidak begitu suka pada Sarkem hanya melirik. Namun rasa ingin tahu-nya tidak bisa dibendung.
"Di mana?" tanya Jayus.
"Di KUA” jawab Sarkem.
KUA? Itu singkatan dari Kantor Urusan Agama. Tempat orang-orang berurusan dengan soal perkawinan dan perceraian. Pak Kampun pergi ke sana dengan Salehak. Un-tuk apa?
Di petang berikutnya beberapa tetangga diundang dalam sebuah acara selamatan alakadarnya, sekaligus sebagai sebuah pengumu¬man kepada para tetangga bahwa pak Kampun sekarang tidak sendiri lagi, bahwa sudah ada mbok Kampun yang baru, yang menggantikan tugas mbok Kampun lama yang sudah kembali ke pangkuan Illahi. Para tetangga itu senang-senang saja karena di dalam bungkusan makanan yang dibagikan pada mereka terselip masing-masing sepuluh ribu rupiah.
Salatun benar-benar salah tingkah ketika babu itu sekarang menjadi Ibu tirinya. Untuk mengubah panggilan Salehak menjadi Ibu, susahnya setengah mati. Sebagaimana mengubah image yang sudah terlanjur terbentuk, semula babu lalu sekarang menjadi sim-bok, sulitnya amit-amit.
Salatun hampir tersedak saat di sebuah kesempatan sempat mendengar bapaknya itu memanggil Salehak “Mama”, dan meminta Salehak memanggil bapaknya “Papa”
Tanjir dan Jayus jangan ditanya. Wajah kakak beradik itu benar-benar merah pa-dam ketika pak Kampun memberikan pengumuman pengangkatan Salehak, yang karena dianggap sangat berprestasi, dinaikkan derajadnya yang semula hanya seorang emban itu menjadi ndara putri, Ndara Putri Kampun, atau garwa prameswari Kampun. Namun da-lam bahasa tetangga, pengumuman itu bisa berarti kere munggah bale, yang bisa saja bermakna gelandangan naik tempat tidur, atau pengemis naik tempat tidur. Pokoknya se-macam itu.
Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari yang berjalan dengan timpang dan serba sa-lah. Anak-anak pak Kampun itu merasa begini salah dan begitu juga salah.
Adalah Jasmi yang kaget manakala di sebuah pagi Tanjir dan Jayus muncul di ru-mahnya. Jasmi tentu tak bisa melupakan bagaimana sikap Tanjir, yang saat itu mengu-sirnya seperti seekor anjing yang tidak pantas berada di rumah itu lagi.
Jasmi mencuatkan alis.
"Mau apa kau ke sini?" Jasmi tidak bisa untuk tidak ketus.
Namun Tanjir cuek. Tanjir seperti tidak ingat pernah mengusir adiknya itu. Tanjir menebarkan pandang.
Jayus memperhatikan barang dagangan yang ditata di atas meja seperti mainan pasaran. Tanpa permisi Jayus membuka toples mengambil beberapa biji permen.
"Ternyata di sini rumahmu Jas?"
Tanjir bertanya sambil menyeringai. Jasmi kebingungan menghadapi sikap kakak-nya itu. Tanjir ternyata rai gedhek, tidak merasa walau Jasmi sudah bersikap judes dan amat tak bersahabat. Bahkan Jasmi tidak mempersilahkan ke dua kakaknya itu untuk du-duk.
Jasmi terpaksa memberikan jawaban.
"Ya. Kami tinggal di sini."
Tanjir manggut-manggut dan kemudian melakukan inspeksi ke semua ruang. Ja-yus hanya senyum-senyum.
"Di sini enak, hawanya sejuk.” kata Jayus.
"Ya, karena rumah kami di ujung sawah." Jasmi memberikan jawaban.
"Ke Mana suamimu?" Tanjir yang telah melakukan inspeksi ke semua kamar ber-tanya.
Ada apa Tanjir bertanya suaminya? Apa Tanjir belum merasa puas dengan me-ngusirnya dan sekarang bahkan bermaksud membuat perhitungan dengan suaminya?
"Aku tidak melihat suamimu." Tanjir kembali bertanya.
"Sedang kulakan ke pasar"
Jasmi melihat kedatangan ke dua kakaknya itu membawa persoalan penting.
"Kenapa to?" Jasmi balas bertanya. "Ada perlu dengan suamiku?”
"Aku kemari untuk memberitahu kamu. Sekarang bapak kawin lagi." ucap Tanjir lugas.
Jasmi terlonjak kaget. Seketika pantatnya kaku.
Beberapa hari yang lalu Salatun datang bercerita tentang batur yang bikin geger seisi rumah, menyebabkan Tanjir dan Jayus bengkerengan siap mengadu nyawa. Ternya-ta bukan salah satu di antara mereka yang berhasil memperoleh piala batur yang bernama Salehak itu, tetapi ayahnya.
Bukan main.
"Kau tidak kaget Jas?" tanya Jayus.
Jasmi terpaksa tertawa, seperti ada sesuatu yang patut ditertawakan.
"Jadi bapak kawin lagi?" tanya Bu Gimpul itu.
"Ya. Bapak kita kawin lagi. Sekarang kita punya simbok baru. Nama simbok kita itu Salehak. Bekas batur." jawab Jayus.
Tetapi tetap saja Jasmi sulit menerima. Masalahnya baru beberapa hari yang lalu ibunya meninggal. Bahkan masih sulit untuk menghapus wajah mbok Kampun dari kena-ngan. Tanah kuburan yang digali itu masih merah, pak Kampun sudah kawin lagi.
"Bagus itu." Jasmi menggumam. "Aku sudah tahu kalau di rumah ada batur yang cantik yang bikin geger. Gara-gara batur itu kang Tanjir dan kang Jayus nyaris bacokan, nyaris saling berbantai."
Jasmi tidak kuat menahan gelinya. "Ternyata yang dapat bapak”
Bagi Tanjir dan Jayus hal itu terasa sebagai kenyataan yang amat pahit untuk dite-lan. Bukan racun tetapi sama pahitnya. Setiap kali Tanjir ingat ulah bapaknya, kemarah-annya gampang terpancing, sumpah serapahnya begitu murah diobral ke mana-mana.
"Dasar bajingan." Tanjir mengumpat.
Jasmi kaget.
"Siapa yang bajingan?" Jasmi bertanya.
“Bapak. Wis tuwa ra nyebut. Kalau sudah tua itu mestinya hanya mikir dalan pa-dang. Kalau sudah tua ke mana perginya kalau tidak mati. Mbok mikir akhirat. Malah ngedan."
Jasmi tertawa.
Tanjir melanjutkan kata-katanya,
"Padahal aku sudah terlanjur kesengsem pada Salehak. Batur itu benar benar membuatku edan. Kalau berjalan, gempa bumi di sekijur tubuhnya, Ia cantik sekali. Aku ingin sekali menjadikannya sebagai isteriku."
Begitu gampang Tanjir berbicara. Seingatnya, setiap-kali melihat perempuan can-tik Tanjir selalu berkata begitu. Jangan kata perempuan cantik, sapi diberi bedakpun Ta-njir bisa kasmar¬an. Bahkan pada saat mabuk minuman keras, kambing dikeloninya.
Jasmi tidak tahan untuk tidak melecehkan,
"Sebagai isteri apa kendaraan?" tanya Jasmi.
"Isteri." jawab Tanjir.
"Isteri apa tumpakan?" kali ini Jayus nimbrung bertanya,
Tanjir melotot.
"Mingkemma cangkemmu." Tanjir tersinggung.
Namun bukan Jayus kalau tidak tertawa ngakak, mentertawakan semua kepahitan itu.
"Bayangkan Jas.” berkata Jayus. “Kami berdua bersaing keras. Kami bahkan nya-ris bacok-bacokan dengan caluk dan celurit. Hampir saja di rumah kita akan ada layatan lagi setelah beberapa pekan yang lalu simbok meninggalkan kita. Eeeee, bapak yang me-menangkan perlombaan. Glendam-glendem begitu ternyata masih ada kemauannya. Yang aku heran Salehak kok mau dengan lelaki tua seperti itu."
Tanjir menambahi dan memberikan tekanan. "Kok lelaki tua yang sudah mau mo-dar dipilih."
Meski konyol seperti itu, namun Jasmi tidak ikhlas kalau bapaknya diumpati de-ngan kasar. Hanya anak yang tidak tahu diri dan kurang ajar yang sanggup misuhi orang tuanya.
"Jangan kasar seperti itu kang Tanjir. Bagaimanapun juga dia bapak kita."
Namun Tanjir terus nerocos.
"Kalau aku tak ingat ia bapakku, kalau tak ingat melawan bapak itu dosa, sudah kubunuh dia."
Seperti sepakat saja, Tanjir dan Jayus tertawa bersama.
“Kang Tanjir dan kang Jayus datang ke sini mau apa?"
Jasmi segera membelokkan persoalan agar tidak terjebak pada kutukan dan ber-bagai sumpah serapah kepada orang tua. Apapun kesa¬lahan yang diperbuat pak Kampun rasanya sangat tak sopan kalau menyumpahinya.
"Kau dan suamimu, harus pulang ke rumah." jawab Tanjir.
Tentu Jasmi kaget. Tanjir bahkan sampai mengulang ucapannya untuk meyakin-kan Jasmi agar pulang. Namun Jasmi tetap saja sulit percaya, apalagi bila ia ingat bagai-mana dulu diusir seperti seekor anjing.
"Setelah kami pikir sebaiknya kau pulang, kita hadapi bapak bersama-sama."
Akhirnya Tanjir mengutarakan keperluannya, mengajak melawanbapaknya bersa-ma-sama? bapaknya harus dilawan? Dilawan karena apanya? Karena mengawini Sale-hak? Perkawinan harus dibatalkan untuk memberikan kesempatan kepada Tanjir serta Ja-yus ikut mencicipi kecantikan mantan batur itu?
Jasmi menggeleng.
“Menghadapi bapak? Kenapa bapak harus dihadapi bersama-sama? Untuk mem-batalkan perkawinannya agar kalian bisa saling berebut batur itu lagi? Semuanya sudah terjadi, babu itu sudah menjadi isteri bapak, kalau bapak meninggal atau menceraikannya , maka status babu itu jandanya bapak, lalu apa ya patut ada anak mengawini Ibu tiri-nya?”
Jasmi memandang kedua kakaknya dengan tatapan sangat sinis. Jasmi berfikir, Tanjir dan Jayus itu memang seperti belut saja. Kalau ada perlunya tak segan menjilat lu-dah sen¬diri. Lihatlah bagaimana Tanjir sekarang ngompori dirinya supaya pulang dan bersama-sama menghadapi bapak, padahal, lagi-lagi Jasmi merasa nyeri dadanya setiap ingat bagaimana dulu ia diusir dari rumah.
Namun Tanjir tidak tahu apa yang tengah berkecamuk di dalam dada adiknya itu.
"Namanya juga lelaki kalau lagi kesengsem dengan perempuan, apalagi seperti Bapak itu, ia akan lupa pada kita anak-anaknya. Oleh sebab itu, kau pulanglah Jas, tak ada gunanya kau tinggal di sini. Apalagi apa betah kau tinggal di rumah yang seperti ini?" Tanjir mengurai bujukan.
"Huh." Jasmi melenguhkan senyum sinis.
"Bagaimana?"
"Apa kang Tanjir dan kang Jayus tak ingat saat mengu¬sirku seperti binatang itu?"
Mata Jasmi berkaca-kaca ketika akhirnya berhasil melepaskan kalimat itu. Tanjir dan Jayus saling pandang.
"Ahhh, itu kan sudah berlalu. Yang sudah lalu kan harus dilupakan. Sesama sau-dara dendam itu kan tidak baik."
Enak dan enteng saja Tanjir berkata seperti itu. Padahal Jasmi dulu sangat terluka hatinya, itupun belum sembuh hingga sekarang. Enak saja Tanjir menganggapnya tidak pernah ada.
Jasmi justru meluap.
"Begitu gampang kang Tanjir serta kang Jayus malik ilat. Kau tidak mikir betapa sakit hati aku diusir dari rumah itu. Aku ini juga anaknya pak Kampun."
Tanjir tersenyum penuh arif, seolah dari senyumnya Tanjir mengaku salah dan minta maaf. Tangan Jasmi segera diraih dan ditepuk-tepuk untuk meredakan amarahnya.
"Sudahlah Jas aku khilaf saat itu.” berkata Tanjir. “Aku datang untuk minta maaf. Sekarang kau harus memikirkan hal lain yang lebih penting. Kau harus pulang dan ber-sama-sama menghadapi bapak."
“Bapak telah menjadi musuh atau bagaimana sehingga harus dihadapi dengan be-ramai-ramai?"
Jayus menggeser duduknya dan kemudian berhadap-hadapan dengan adik perem-puannya itu.
“Bapak sedang kesengsem dengan isteri baru. Bapak tidak akan ngurusi kita lagi. Kita harus bersatu padu untuk meminta warisan."
Jasmi terlonjak.
Jadi soal warisan?
Kedatangan Tanjir dan Jayus itu ternyata untuk membicarakan harta warisan. Jas-mi memandang ke dua kakaknya dan kemudian manggut-manggut seperti merenungkan sesuatu. Samar-samar Jasmi bisa membayangkan ada banyak kemungkinan yang bisa ter-jadi setelah bapaknya punya mainan baru itu. Benar kata Jayus, pak Kampun mungkin a-kan larut dan lebih tertarik pada mainan barunya dari pada anak-anaknya. Bisa jadi sub-sidi untuk keluarganya dicabut juga.
"Apa sebelumnya kau tak pernah membayangkan soal itu Jas? Bisa saja to sawah pekarangan akan dijual oleh bapak, dan uangnya tidak dibagikan pada kita anak-anaknya, tetapi justru isteri barunya itu yang mendapatkan. Kalau semua harta sawah dan pekara-ngan itu dijual untuk nglulu Salehak bagaimana?”
"Kita akan dapat apa?" Tanjir memberikan tekanan.
Benar juga apa yang dikatakan kedua kakaknya itu. Kalau sampai pak Kampun lupa diri dan isterinya adalah isteri yang suka ngeret, bisa-bisa anak-anaknya tidak akan dapat apa-apa.
"Bagaimana menurutmu?" Tanjir mendesak.
"Aku belum memikirkan apa-apa." jawab Jasmi datar.
"Apa kau tidak tahu bagaimana sikap dan perilaku bapak kalau lagi senang pada seseorang, apapun akan diberikan." Jayus menambahkan.
"Jadi?" pertanyaan Jasmi menjadi gambaran kegelisahannya.
"Jangan terlampau lama mempertimbangkan. Pulang, dan kita bersama-sama me-nuntut bapak. Warisan harus segera dibagi."
Genderang perang telah dipukul. Ditabuh oleh anak-anak pak Kampun untuk ber-sama-sama berperang melawan ayahnya sendiri.
Tanjir dan Jayus berada di rumah Jasmi tidak terlampau lama. Jasmilah yang ke-mudian merasa suaminya terlampau lama berbelanja. Jasmi gelisah. Jasmi curiga Gimpul pasti tidak pergi kulakan. tetapi menggunakan uang yang nilainya tak seberapa itu untuk membanting kartu. Apa yang diduga Jasmi ternyata benar. Dengan cengar-cengir Gim-pul pulang menjelang senja tanpa membawa apapun. Duit yang mestinya digunakan kulakan rokok, sabun dan gula itu ludes.
Jasmi merasa ulu hatinya nyeri sekali. Perjalanan rumah tangganya telah berjalan beberapa bulan, Jasmi semakin melihat kenyataan yang pahit. Benar apa yang dice¬maskan almarhumah simboknya, Gimpul bukan seorang suami yang baik, suami yang sembada dan nyembadani. Rupanya dulu Gimpul berharap dengan menikahi Jasmi, ia akan bisa numpang hidup di wisma Mertua Indah, dengan demikian beban hidupnya akan sedikit ringan. Namun ternyata Gimpul ditampik di wisma mertua indah itu, bahkan di-usir seperti anjing. Itu sebabnya adakalanya Gimpul berbuat seenak sendiri untuk menya-lurkan kejengkelannya. Tidak peduli uang siapa atau uang dari mana, jika uang sudah terpegang di tangan, Gimpul melarutkan diri ke dalam perjudian. Perkara bagaimana de-ngan besok, itu urusan besok. Bagaimana dengan lusa itu juga urusan lusa. Yang penting sekarang dulu, kalau perlu maling harta tetangga.
Jasmi mengelus dada.
"Kok baru pulang kang Gimpul?" Jasmi tidak bisa menyembunyikan kekecewaan. "Mana belanjanya?"
“Duitnya habis Jas.” kata Gimpul enteng.
Jasmi amat kecewa. Matanya menerawang dan memandang berbagai dagangan sederhana yang ditata di atas meja. Jasmi merasa tidak ada gunanya ia melakukan apa-pun. Percuma jualan. Meski Jasmi berusaha menahan namun pertahanannya ambrol juga, air matanya menitik bergulir di pipi.
"Maafkan aku Jas” Gimpul mengucapkan rasa bersalahnya.
Dengan mata memerah Jasmi memandang suaminya.
"Kau kebangeten kang Gimpul. Kau ini suami macam apa? kau benar benar keba-ngeten. Sebagai suami mestinya kau nguripi isterimu. Tetapi ini terbalik, aku yang justru menghidupimu."
Sebenarnya Gimpul tak menginginkan kehidupan seperti ini. Mestinya hidup itu tidak perlu sengsara. Bukankah Tuhan memberi kesempatan kepada umatnya untuk hi-dup sebahagia mungkin. Mau kaya boleh, tidak ada larangan untuk kaya. Namun menga-pa hidup yang dijalani harus sengsara?
Seperti seorang tertuduh Gimpul duduk menunduk.
"Sudahlah Jas. Aku mengaku bersalah. Soal duit habis gam¬pang. Toh waktu un-tuk hidup masih cukup panjang. Duit bisa dicari lagi. Jadi untuk apa disesali?"
Sebuah jawaban yang membuat Jasmi makin kecewa.
"Masalahnya, duit itu pemberian bapak. Dengan duit itu kita bertahan hidup hing-ga bulan berikutnya. Sekarang uang itu sudah kau ludeskan dengan berjudi. Bagaimana dengan besok?"
Jika pikiran jernih, Gimpul bisa berfikir jernih pula. Jeleknya kalau ditekan Gimpul bisa ngawur, menggunakan pikiran ngawur pula.
“Minta lagi pada bapakmu. Bukankah bapakmu kaya?"
Kalau sudah mendapatkan jawaban yang seenaknya seperti itu Jasmi merasa da-danya tambah nyeri. Adakalanya timbul pikiran yang jelek dalam hatinya. Mengapa tidak cerai saja. Bersuami lelaki seperti itu untuk apa?
Bercerai? Waah malunya itu. Mau diletakkan di mana wajahnya kalau sampai bercerai. Perkawinannya dengan Gimpul seperti perjudian itu sendiri. Jasmi memilihnya sebagai sebuah taruhan yang berat. Akibat dari perkawinan itu simboknya tidak kuat dan kemudian mati. Benar-benar sebuah harga yang mahal. Cerai tidak mungkin, tidak cerai Gimpul kebangeten. Seperti pepatah jawa ngukur gatel neng silit, tidak digaruk rasanya gatal, kalau digaruk kok tempatnya di silit.
Jasmi yang jengkel segera menutup warung kecilnya. Sebuah warung yang me-rana karena orang yang datang berbelanja bisa dihitung dengan jari. Dalam pelukan udara dingin dan musim bediding, Jasmi masuk kamar dan memeluk bantal. Jasmi meneruskan tangisnya tanpa suara, membentuk pulau-pulau di bantal yang kusam itu.
Gimpul mondar-mandir di ruang tengah. Rasanya saat itu Gimpul ingin sekali me-megang uang dalam jumlah banyak dan kemudian kembali menemui teman-temannya untuk melanjutkan membanting kartu. Gimpul masih tidak ikhlas pada kekalahannya. Gimpul memperhatikan semua sudut ruang sambil mencari gagasan, apakah kira-kira barang-barang yang bisa dengan segera dijadikan uang.
“He, bangun." Gimpul membangunkan isterinya dengan agak kasar.
Jasmi kaget.
"Mau apa?" tanya Jasmi ketus.
"Ayo, kau mengaku. Tadi ada laki laki ke sini ya?" Gimpul marah karena ada je-jak lelaki lain datang ke rumahnya.
“Tidak ada." Jasmi mengelak.
"Tidak ada bagaimana? kau pasti berbohong. Selama aku tidak ada di rumah kau pasti telah berbuat macam-macam. Kau pasti telah memasukkan laki-laki ke dalam ru-mah. Ini buktinya. Kau masih akan selak kalau telah memasukkan lelaki ke rumah?"
Jasmi hanya melirik, sinis senyumnya.
"Ayo mengaku. Siapa lelaki yang kau masukkan ke dalam rumah ini. Perempuan murahan." Gimpul memberikan dampratan.
Jasmi terlonjak. Seperti ulat singgat Jasmi bangkit dari tidurnya dan memandang suaminya dengan tatapan marah. Jasmi tak mengira Gimpul tega menganggap dirinya pe-rempuan murahan.
"Astaghfirullah Aladzim, kang, tega kau menuduhku begitu?"
“Ada banyak puntung rokok di sini. Ini rokok yang berbeda dengan rokok kege-maranku. Apa artinya kalau tidak ada laki-laki yang telah masuk ke rumah ini? Kalau kau lakukan itu, apa itu bukan perempuan murahan namanya?"
Jasmi benar-benar tersinggung. Diajak kasar, Jasmi juga bisa.
"Ngaca raimu di depan cermin kang Gimpul. Kau sendiri lelaki macam apa? Apa kau pikir aku bisa sempurna menutup mata mendengarkan cerita ngeres tentang hubu-nganmu dengan mbok Rikin tua itu? Juga perempuan-perempuan yang lain?"
Gimpul merasa paling tak senang nama mbok Rikin disebut-sebut.
"Jangan coba coba membelokkan persoalan. Ayo katakan, siapa lelaki yang da-tang kemari?" desak Gimpul sambil bertolak pinggang.
Jasmi tak gentar,
"Kau mau apa kalau kukatakan?"
"Akan kubunuh dia." Gimpul mengumbar ancaman. Sangar.
Gimpul benar-benar marah.
"Kau berani melakukan?" desak Jasmi.
"Kenapa tidak? kau mengira aku tidak akan berani mengha¬dapi lelaki yang berani merusak ketenangan rumah tanggaku?"
Hebat juga Gimpul. Seharusnya suami di manapun memang begitu, marah dan tersinggung bila ada lelaki lain berani mengganggu isterinya.
“Baik. Orang yang tadi datang adalah kang Tanjir dan kang Jayus, masing-masing dengan caluk dan celuritnya. Kau berani menghadapinya?"
Gimpul tersentak. Menggigil dia.
Mendengar dua nama itu disebut seketika membuat Gimpul lemes dan bahkan ce-mas. Beberapa saat lamanya mulut Gimpul beku, Jasmi tersenyum sinis.
“Jas, kau jangan bikin deg-degan hatiku. Kau berbohong." berubah suara Gimpul.
Jasmi menatap wajah suaminya. Nama Tanjir dan Jayus telah berubah menjadi ja-minan nama yang amat menakutkan bagi Gimpul.
"Aku tidak bohong, aku mengatakan yang sebenarnya. Kang Tanjir dan kang Ja-yus yang datang kemari." tekan Jasmi.
"Gila, mau apa mereka Jas?" bertanya Gimpul.
"Tak tahu. Mungkin mereka masih sakit hati, atau masih merasa tak puas sebelum menghajarmu." berkata Jasmi dengan ringan.
Memperoleh keterangan seperti itu, Gimpul segera menggigilkan diri. Gimpul masih trauma setiap ingat Tanjir dengan caluk panjangnya.
"Kau berani bersumpah?" seperti anak kecil saja Gimpul meminta isterinya ber-sumpah.
"Aku bersumpah demi Allah.” jawab Jasmi. “ Kalau kau masih tak percaya kang Tanjir dan kang Jayus yang tadi datang, tanyakan saja kepada tetangga. Lik Saekan tadi malah sempat berke¬nalan dengan kang Tanjir. Tanya saja pada Lik Saekan, siapa yang datang tadi."
"Mau apa mereka?" Gimpul bertanya lengkap dengan kegugupannya.
"Tanyakan saja pada mereka yang nanti akan datang lagi. Sekarang aku mau ti-dur." kata Jasmi cuek.
Gimpul makin gelisah.
"He. Katakan," Gimpul mendesak.
"Apa yang harus kukatakan? Dan mengapa sekarang kau ketakutan? Katanya sia-papun akan kau hadapi?" gertak isterinya.
“Cepatlah Jas, katakan ada apa mereka datang ke sini?" Gimpul menghiba.
Jasmi malas ngomong. Jasmi malas berdebat atau ngladeni suaminya yang dirasa semakin menyebalkan itu. Kalau tidak segera diberi jawaban Gimpul akan mengejar te-rus dengan pertanyaan yang lain.
“Bapak kawin lagi" jawab Jasmi pendek.
Gimpul tergaget-kaget. Pak Kampun kawin lagi? pak Kampun yang isterinya mati belum genap empat puluh hari itu sudah kawin lagi? Bukan main. Bagi Gimpul berita tentang pak Kampun kawin lagi itu merupakan berita yang amat menggemparkan ha-tinya.
"Ayahmu kawin lagi? Gila, isterinya mati belum genap empat puluh tahun, ehhhh empat puluh hari, sudah kawin lagi? Bukan main, tua-tua keladi namanya."
Tua-tua keladi makin tua makin menjadi. Sindiran macam itu memang tepat un-tuk pak Kampun yang sudah tua bau tanah ternyata masih sanggup mengedepankan nafsu birahi, tidak mau kalah dengan yang muda-muda. Gimpul benar benar geli mendengar bapak mertuanya itu kawin lagi. Berita itu mempunyai bobot kelucuan melebihi dagelan Srimulat.
"Di rumah ada seorang batur, namanya Salehak. Batur itu berasal dari Rogojampi. bapak mengawininya." Jasmi melengkapi ceritanya hingga lebih gamblang.
Apa yang dikatakan Jasmi itu lebih menggelikan. Bahwa pak Kampun kawin lagi padahal isterinya belum genap empat puluh hari pergi meninggal dunia itu, hal itu saja sudah sangat lucu. Lebih lucu lagi karena pak Kampun ternyata mengawini batur. Babu yang semula pelayan yang tugasnya disuruh ini dan itu, bahkan anak-anak pak Kampun juga mempunyai hak memerintah mengerjakan ini dan menger¬jakan itu, termasuk men-cuci celana dalam.
Babu itu naik pangkat menjadi ibu.
Gimpul tambah geli membayangkan bagaimana para saudara iparnya harus me-manggil ibu pada babu itu. Gimpul ingin tertawa terpingkal namun rasa geli itu harus di-tahannya agar Jasmi tidak tersinggung.
"Jadi sekarang kau punya ibu tiri baru yang berasal dari seorang batur naik pangkat menjadi simbokmu? Ibarat kere munggah bale. Gelandangan naik tempat tidur?"
Gimpul tertawa.
“Ini benar-benar, atau kau sedang guyonan Jas?" lanjut Gimpul.
Jasmi tidak menjawab, mulutnya terkunci. Tetapi ekspresi wajahnya itu telah me-njadi jawaban.
"Kakakmu itu aneh sekali. Mereka dulu mengusir kita seperti anjing gudigen, se-karang datang memberitahu kau kalau ayahmu kawin lagi. Ada yang tak wajar. Mestinya kalau mengingat mereka telah berbuat sangat kasar pada kita seperti itu, mereka tidak mungkin datang ke sini."
Pertanyaan Gimpul itu menggiring Jasmi bercerita mengenai warisan. Mengenai kemungkinan bapaknya akan lupa diri, lupa kalau punya anak dan kemudian mewariskan semua harta yang ada pada Salehak.
Tetapi apakah ada manfaatnya Jasmi bercerita hal itu?
Jasmi menghela resah, kepalanya digelut rasa pusing. Jasmi memang pusing me-mikirkan apapun. Mendengar bapaknya kawin lagi membuat Jasmi bertambah pusing. Menghadapi ulah suami yang tak tahu diri Jasmi juga pusing. Menghadapi bagaimana de-ngan besok, Jasmi lebih pusing lagi. Celakanya dokter yang pintar macam apapun tidak ada yang sanggup menyembuhkan pusing yang seperti itu.
"Aku tidak mau memikirkan apapun. Kepalaku pusing. Pusing oleh ulah mereka, pusing oleh ulah ayahku, pusing oleh suamiku yang ternyata bukan laki-laki."
Gimpul kaget. Kakinya seperti digerayangi kelabang.
“Kok kamu ngomong begitu?"
"Tadi aku berfikir kang, mungkin memalukan sekali karena baru saja kita kawin. Tetapi tidak ada salahnya kalau kita pisahan saja. Aku tidak kuat menghadapi kebiasaan-mu."
Sebenarnya Jasmi mengucapkan hal itu hanya sekedar sebagai sebuah pancingan untuk mengetahui bagaimana reaksi suaminya, dan akibatnya ternyata luar biasa.
"Lho lho lho, lha kok ngomong begitu. Ngomong apa kau ini?"
Gimpul terperanjat oleh tantangan cerai itu.
Kalau tantangan cerai itu dikabulkan, maka Gimpul benar-benar rugi. Rugi kehi-langan seseorang yang bisa menjadi tempat pembuangan limbahnya, yang bisa dianggap sebagai bedinde yang tanpa harus dibayar mau mencuci pakaiannya, memasak untuknya.
Dan yang lebih penting dari semua itu, kiriman uang dari orang tuanya.
"Ternyata aku tidak bisa tegar. Belum genap tiga bulan perkawinan kita aku sudah mengalami hal-hal yang menyakitkan perasaanku. Kau melakukan sesuatu yang menyakiti perasaanku akan tetapi kau menganggapnya sebagai hal yang biasa. Semes-tinya suami itu ngayani wong wedok, memberi nafkah. Tetapi ini terbalik. Kau habiskan uangku untuk judi. Kita pisahan saja."
Tantangan Jasmi itu terasa amat tegas.
Seperti ada setan burik yang ikut ngipasi suasana. “Sudah, cerai saja Jas, untuk apa nglabuhi suami seperti itu. Kau cantik, masih banyak lelaki lain Yang akan mau me-ngawinimu. Masih banyak jejaka yang akan ngantri seperti orang antre di depan loket stasiun kereta api itu.”
Diancam cerai, Gimpul kelabakan.
"Aduuh Jas, aku minta maaf Jas, jangan begitu Jas" rengeknya.
Sebenarnya dalam hati Jasmi sempat muncul keinginan untuk bercerai. Namun sayangnya yang dihadapi Jasmi adalah Gimpul, seorang lelaki yang sangat berpengala-man menghadapi berbagai jenis perempuan. Yang masih perawan belum tahu apa-apa atau yang bersuami tetapi gampangan, bahkan yang sudah tua semacam mbok Rikin se-kalipun. Dengan gampang mereka dibuat jatuh bertekuk lutut di kaki Gimpul.
Gimpul segera memeluk isterinya, tangannya merayap kesana-kemari. Dan Jasmi adalah seorang perempuan yang sedang bergairah, apalagi ia temanten baru dan sedang gemar-gemarnya bermain cinta, maka apa yang dilakukan suaminya itupun segera men-dapatkan tanggapan.
Hingga kemudian,
"Bagaimana Jas?” tanya Gimpul. “Apa kau masih ngotot akan pulang meninggal-kan aku? Kalau itu terjadi kau nanti akan kesepian. Tidak ada aku yang memberi nafkah batin kepadamu."
Di zaman emansipasi seperti sekarang ini, harusnya akan banyak orang yang ter-singgung dengan ucapan Gimpul itu. Ucapan yang mewakili kaum yang menamakan diri lelaki pada umumnya. Banyak lelaki yang selama ini beranggapan, hasratnya dalam seks terhadap isteri adalah memberi nafkah batin. Gila, memang kaum wanita kelaparan dan sangat perlu didulang seks hingga harus disebut nafkah batin segala? Apakah bukan seba-liknya kaum wanita yang memberi nafkah batin kepada para lelaki, menampung tum-pahan nafsunya, yang kalau meluber karena berlebihan tak peduli bukan muhrimnya disikat saja. Enak saja bilang memberi nafkah batin, mbok bilang sama-sama butuh kena-pa sih?
Tetapi dasar Jasmi, seks baginya benar-benar dianggap sebagai nafkah batin, di mana hanya suami yang bisa memberi. Mendapatkan nafkah batin dari donatur lain, amit amit, Jasmi tidak sanggup membayangkan. Padahal di belakangnya Gimpul mengobral nafkah batinnya itu di mana-mana, bahkan pulangnya membawa oleh-oleh untuk isteri-nya: nanah, hiiiiii.
Gimpul menggelitik pinggangnya, Jasmi menggeliat. Pada kenyataannya Jasmi memang merasa tidak mungkin pisahan dengan suaminya.
"Kau kebangeten kang." ucapan Jasmi terasa datar.
"Sudahlah Jas, aku minta maaf. Memalukan sekali kalau baru saja kita kawin tiba-tiba pisahan. Kalau hal itu terjadi, maka semua orang dari ujung ke ujung akan mem-bicarakan kita berdua. Sekarang ceritakan, apa keperluan ke dua kakakmu itu"
Sudah menjadi watak Jasmi selalu jujur dan tidak menyimpan rahasia, Jasmi se-gera bertutur apa keperluan Tanjir dan Jayus datang menemuinya.
“Kang Tanjir dan kang Jayus sangat kecewa karena bapak kawin lagi. Mengawini perempuan yang mereka perebutkan. Kang Tanjir dan kang Jayus memintaku untuk ber-sama-sama menghadapi bapak. Kalau tak segera dibagi warisan itu bisa-bisa jatuh ke ta-ngan isteri barunya itu”
"Maksudmu, kang Tanjir dan Jayus juga ikut berebut batur itu, Jas?" Gimpul ber-tanya,
Jasmi mengangguk.
Wah, itu lebih lucu lagi. Gimpul ingin tertawa terbahak. dengan sekuat tenaga e-nergi untuk tertawa itu ditekannya didalam perut dan dibuang melalui pintu yang lain.
Gimpul manggut-manggut dan kemudian diam sejenak. Jasmi yang sudah menge-nal kebiasaan suaminya tahu ia sedang berfikir.
Setelah tenang sejenak, eeee, Gimpul manggut-manggut lagi.
Jasmi menanam curiga.
"Jadi kakakmu memintamu kembali untuk bersatu-padu menghadapi bapakmu te-rutama agar warisan segera dibagi?" Gimpul bertanya.
"Ya." Jasmi menjawab pendek.
"Kukira kang Tanjir dan kang Jayus orang-orang bodoh yang tak bisa mengguna-kan otak, ternyata kepalanya ada isinya. Aku rasa pendapat mereka benar adanya. Amat mungkin dan masuk akal apabila ayahmu yang sedang kasmaran itu memanjakan mainan barunya dengan berlebihan. Kalau sudah demikian, anak-anaknya dapat apa?"
Dengan manis sistematis dan terencana, Gimpul mengipasi isterinya. Kalau Jasmi mendapatkan harta warisan, bukankah Gimpul juga mendapat keuntungan? Bukankah se-mua rencana bisa terwujut jika ada uang di tangan, semua angan-angan bisa nyata bila ada uang di genggaman?
"Jadi pendapat kang Gimpul bagaimana?"
"Tidak ada salahnya kalau terima gagasan itu. Paling tidak, kalau kau sudah me-nerima warisan, kau bisa berbuat banyak untuk dirimu sendiri. Kau akan punya rumah, kau bisa membesarkan warungmu menjadi toko dengan berjualan macam-macam, de-ngan demi¬kian kau akan banyak langganan."
Jasmi tersenyum. Hidung Jasmi menangkap bau tikus.
"Atau ada kemungkinan yang lain." kata Jasmi.
"Kemungkinan yang lain apa?" Gimpul bertanya.
"Bisa saja uangnya kau habiskan." Jasmi menyindir.
Gimpul bergegas meraih isterinya, memeluk memberikan keyakinan, bahwa kece-masan semacam itu tidak perlu terjadi. Yang penting sekarang warisan dulu. Perkara nan-ti mau diacak-acak, itu urusan nanti.
"Jangan berprasangka Jas. Salah besar kalau kau berpendapat seperti itu. Aku ber-judi selama ini adalah karena aku tidak sabar ingin memiliki duit banyak untuk modal hi-dup. Kalau dengan cara mengumpulkan sedikit demi sedikit, bisa sampai tua baru kaya. Aku tidak telaten. Aku ingin segera kaya, dan itu cara yang menjanjikan peluang. Jika a-ku berjudi itu jangan kau lihat judinya, tetapi lihatlah itu sebagai upaya jalan pintas untuk kaya."
Gila. Itu alasan yang dahsyat sekali.
Prekk.
Jasmi hanya melirik alasan itu. Yang diyakini Jasmi, tidak pernah ada orang kaya karena judi. Kalau judi akan menghantarkan orang menjadi kaya dan ada jaminan pasti bisa kaya, semua orang akan berjudi.
"Lebih baik aku tidak usah tergoda bujukan kang Tanjir dan kang Jayus itu." Jas-mi berkata datar dan kemudian tengkurap.
Gimpul memaksa membalik tubuhnya.
"Goblok kau kalau kau tidak ikut. Kau sama-sama anak pak Kampun. Kau berhak mendapatkannya. Percayalah, setelah kau punya uang hidupmu akan berubah. Tidak akan menderita seperti ini. Kita memiliki modal untuk mendirikan bengkel”
Mendirikan bengkel apa, lha wong cara memasang busi saja nggak bisa kok mau mendirikan bengkel.
Gimpul benar-benar cemas jika Jasmi tidak ikut ambil bagian. Tubuh Jasmi di-guncangnya.
"Jadi? aku harus pulang?" tanya Jasmi ragu, mewakili keraguannya sendiri.
"Kita pulang. Persoalan bagaimana sikap kedua kakakmu itu, harus kita lupakan. Dulu mereka mencaci-maki dan mengusir kita adalah karena mereka sedang mabuk atau tak bisa berfikir. Mereka sekarang bisa berfikir jernih”
"Kau tidak malu?" tanya Jasmi sekenanya.
"Malu itu di mana tempatnya Jas?"
Ahhh, Gimpul mana punya malu? Jasmi sebenarnya amat curiga pada suaminya. Pasti sua¬minya menyimpan maksud tertentu. Indera penciumannya menangkap aroma tengik kencing tikus clurut dengan tajamnya.
Namun lagi-lagi malam itu Gimpul sanggup memerankan sosok yang seolah bu-kan dirinya dengan amat baik. Jasmi merasa seperti dimanja dan dinina-bobokkan. Apa-lagi nafkah batin yang diberikan malam itu sampai tiga kali. Jasmi yang temanten baru amat gampang larut dalam olah asmara, apala¬gi Jasmi berfikir, bahwa sifat buruk suami-nya bisa beru¬bah.
Jadi apa salahnya kalau Jasmi pulang, menggalang kekuatan bersama Tanjir dan Jayus menghadapi bapaknya?
Maka demikianlah, di esok harinya Jasmi mendahului pulang. Salatun yang se-dang menjemur pakaian terlonjak melihat ojek berhenti di halaman. Salatun bergegas menyongongnya.
"Kau yu?" Salatun menyongsong. "Mana suamimu?"
"Kang Gimpul tidak ikut."

Sabtu, 23 Juli 2011

Balada Gimpul 2

Akhirnya Pak Kampun memang mengawinkan anaknya dengan si Iwan “Gimpul” Marjuni, tanpa dirayakan seperti pada umumnya tetangga yang lain, bahkan hajatan yang paling sederhana yang dihadirinya sebulan yang lalu saat Kemi dikawin Torong, hiburan-nya kaset dengan empat corong yang diarahkan ke empat penjuru, melantunkan dangdut-an yang murah meriah. Hajatan yang paling sederhana seperti itu sama sekali tidak ada.
Harapan Jasmi akan menarik arisan berupa kado-kado yang terkumpul dari para tamu tidak menjadi kenyataan. Sungguh sebuah upacara perkawinan menyedihkan. Bah-kan para tetangga bertanya-tanya dalam hati, ada apa di balik perkawinan yang aneh itu. Mengapa pak Kampun tidak mengadakan upacara perkawinan besar-besaran, apalagi me-ngingat ini mantu yang pertama baginya. Lagi pula, bukankah pak Kampun baru saja panen kedelai yang hasilnya cukup bagus?
Jasmi kawin dengan Gimpul hanya dengan selamatan yang sederhana alakadar-nya, itupun mbok Kampun selalu menekuk wajah. Dari pagi hingga sore mbok Kampun hanya mencureng dengan wajah disaput mendung tebal. Mbok Kampun sungguh kecewa melihat anak gadisnya itu naik pelaminan dengan seorang pemuda yang kehadirannya merupakan sebuah aib. Mbok Kampun kumat jantungnya saat mbok Rikin yang ikut si-buk di dapur tertawa cekikikan, mungkin geli melihat Jasmi anak mbok Kampun akhir-nya dikawin Gimpul. Padahal terakhir, sepekan yang lampau Gimpul menyelinap ke ru-mahnya, kali ini hanya dengan diiming-imingi selembar uang sepuluh ribuan untuk me-mijit tubuhnya dan selanjutnya.
Jasmi seperti tercekik ketika akhirnya pak naib mengesahkan dirinya sebagai seo-rang isteri menyandang derajad "Bu Gimpul” Baru saja upacara itu rampung mbok Rikin sudah nyelonong duluan menjadi orang pertama yang memberikan selamat kepada te-manten berdua.
"Selamat Jas, selamat Pul, selamat menempuh hidup baru." ucap mbok Rikin pe-nuh semangat.
Mbok Rikin benar-benar bikin malu dan merah wajah Jasmi, karena mengucap-kan selamat itu sambil memberikan salam tempel berupa selembar uang lima ribu. Yang lebih tak sopan karena salam tempel itu tidak dibungkus amplop. Dan mbok Rikin adalah satu-satunya orang yang menyumbang pada pernikahan itu.
Dengan merah padam Jasmi menyerahkan uang itu kepada Salatun.
Sungguh sebuah suasana yang sangat muram. Lima orang tetangga yang diundang untuk menjadi saksi pernikahan itu seperti tak tega memakan berkat yang disuguhkan.
Satu-satunya orang yang menganggap perkawinan itu harus dipestakan, hanyalah Tanjir, kakak tertuanya yang mengundang beberapa temannya untuk keplek. Saat di ru-ang depan pak Naib melantunkan nasehat dan doa, Tanjir dan teman-temannya memban-ting kartu menggilir kocokan. Yang kalah mengumpat, yang menang juga mengumpat. Udut klepas-klepus digilir dengan minuman keras cap Gembok Merah. Beberapa di an-taranya sudah ada yang miring, ngomong tidak jelas. Pengaruh minuman keras Cap Gembok dicampur abu rokok itu menambah suasana menjadi lebih muram.
Sorenya.
"Kamu kenapa mbokne?" bertanya pak Kampun pada isterinya yang duduk mela-mun di belakang.
Mbok Kampun tidak mengalihkan pandang dari arah sumur. Mbok Kampun diam tidak menjawab. Selama sekian tahun lamanya ia berumah tangga hingga mempunyai empat anak, dua lelaki dan dua perempuan, tidak pernah pak Kampun melihat isterinya begitu sedih, begitu kecewa.
Pak Kampun segera duduk di sebelahnya dan mencoba menghibur.
”Jangan melihat pilihan apa yang dijalani anakmu itu sebagai sebuah sebuah ke-keliruan mbokne, karena lahir, kawin dan mati itu merupakan rahasia Gusti Allah. Mung-kin sudah jodohnya, jadi harus diikhlaskan. Sudah takdir mau apa lagi?” hiburnya.
Sudah takdir? mbok Kampun meronta dan tidak begitu percaya. Apakah kalau su-dah takdir tidak bisa disiasati? Lagi pula yang ngomong takdir itu biasanya untuk meng-hibur diri. Kalau terbentur sesuatu yang tidak dikehendaki selalu takdir yang dijadikan paran tutuhan, dijadikan kambing hitam. Bagi mbok Kampun masalahnya jelas bukan takdir. Kalau Jasmi mau, kalau Jasmi teguh, ia tak akan terjerembab ke kubangan nista. Apa yang diperoleh setelah menjadi isteri Gimpul kalau bukan nista? Bukan nista untuk Jasmi saja, juga untuk orang tuanya.
Namun mbok Kampun menyimpan gejolak itu rapat-rapat. Matanya tidak berke-dip memandang bibir sumur? Tergoda akan masuk sumurkah mbok Kampun? O, tentu saja tidak. Hanya kebetulan saja mbok Kampun duduk dengan pandangan lurus ke su-mur.
Mbok Kampun ingat beberapa bulan yang lalu, saat mbok Rikin datang dan tanpa risih memamerkan cupang yang carut-marut di lehernya. Tentu saja saat itu mbok Kam-pun heran karena setahunya mbok Rikin itu sudah beberapa tahun menjanda, suaminya mati dalam kecelakaan di Bali, mati sia-sia karena diterjang truck yang melaju kencang dengan rem blong. Itupun suaminya mati saat berboncengan dengan wanita lain, entah siapa wanita lain itu sampai sekarang tidak diketahui jati-dirinya. Polisi tidak berhasil menguak jati-dirinya.
Kala itu,
"Dengan siapa kau melakukan yu Rikin ?" bertanya mbok Kampun sangat heran dan geli.
Yu Rikin tua, tetapi tua-tua keladi, semakin tua semakin menjadi. Mbok Rikin tersenyum bangga.
"Dengan Gimpul." jawabnya enteng.
"Hah ? Dengan Gimpul ?" mbok Kampun kaget.
Tentu saja mbok Kampun kaget karena Gimpul itu masih sangat muda, maksud-nya, kalau dibanding dengan mbok Rikin Gimpul itu layak menjadi cucunya. Mbok Kam-pun terkikik-kikik mendengar itu. Mbok Kampun tidak kuat menahan diri dan segera lari ke belakang rumah dan masuk ke jeding. Begitu berada di jeding isi perutnya tiba-tiba tumpah ruah seperti perempuan hamil muda.
Soal itulah yang menyebabkan mbok Kampun selalu terangsang untuk muntah se-tiap mendengar nama Gimpul disebut. Dasar lagi apes, Gimpul itu sekarang malah jadi menantunya.
Mbok Rikin kemudian bertutur dengan riang. Betapa hanya dengan uang lima pu-luh ribu yang dilambai-lambaikan ia berhasil mengundang kucing cluthak bernama Gim-pul itu datang ke rumahnya. Tanpa selembar lima puluh ribu itu, jangan harap Gimpul mau mendekat. Bahkan seandainya diobral gratis sekalipun, siapa orangnya yang akan mendekat? Apalagi mbok Rikin punya obsesi, jika pada umumnya para hidung belang berkelamin jantan suka daun muda, mbok Rikin tidak mau kalah. Mbok Rikin merasa perlu mengacak menu hariannya dengan lalapan seorang pemuda yang perkasa. Mbok Rikin kemudian segera menempatkan diri sebagai dendeng. Yang namanya kucing, den-deng basipun diterkam.
Pada awalnya umpan itu lima puluh-ribuan, namun berikutnya dengan selembar dua puluh ribuanpun Gimpul mau menyelinap lewat pintu belakang rumahnya.
Betapa dahsyatnya kucing itu menerkam, amit-amit, dengan tanpa risih mbok Ri-kin menceritakan dengan blak-blakan kepada mbok Kampun. Mbok Rikin tidak sadar ji-ka cerita saru yang dipaparkannya itu sebenarnya membuat mbok Kampun yang men-dengarkan mendadak sakit perut dan sekuat tenaga menahan diri supaya tidak muntah.
Di ujung ceritanya mbok Rikin menutup dengan tawaran.
"Bagaimana? Kamu mau mencoba?"
Oleh pertanyaan itu mbok Kampun tentu terlonjak seperti ada seekor ular yang ti-ba-tiba muncul dan sudah dekat sekali dengan kakinya. Mbok Kampun masih tak percaya. Mbok Kampun gemetar ketika sekali lagi mbok Rikin mengulang tawarannya.
"Kalau kau mau, aku yang akan mengatur. Kamu boleh melakukannya di tem-patku. Kujamin aman dan tidak akan ada yang mengganggu." lanjut mbok Rikin.
Mulut mbok Kampun benar-benar terkunci seperti dibelenggu sebuah gembok se-besar kepalan tangan. Dada perempuan tua itu mengombak, namun mbok Rikin sungguh tidak tanggap dengan apa yang berada di dalam dada mbok Kampun.
“Apakah kamu masih melakukan dengan suamimu?" bertanya mbok Rikin mem-buat membuat mbok Kampun kaget.
Kenyataannya sudah lama sekali mbok Kampun tidak campur dengan suaminya, entah sejak kapan mbok Kampun lupa dan bahkan tidak memikirkan lagi kebutuhan yang satu itu. Biarlah yang muda-muda saja yang butuh, dirinya sudah tidak karena sudah wa-rek , sudah tuwuk.
"Aku sudah tua yu. Masa aku masih harus memikirkan hal seperti itu. Anak sudah empat besar semua, malu." jawab mbok Kampun.
"Suamimu sudah lama tidak menyentuhmu?" desak mbok Rikin makin tidak tahu diri.
Risih sekali mbok Kampun. Wanita tua yang di masa mudanya tentu berwajah ayu karena mempunyai keturunan seperti Jasmi dan Salatun yang berwajah cantik itu, sebenarnya tidak ingin pembicaraan itu berkelanjutan. Namun pertanyaan mbok Rikin itu terpaksa harus dijawabnya meski dengan sebuah gelengan kepala.
Mbok Rikin tersenyum.
"Tidak ada salahnya kau mencoba ‘Pun. Kalau suamimu sudah malas menyentuh-mu, sebenarnya hidupmu sudah berakhir. Apa salahnya kalau kau mencoba. Gimpul itu hebat sekali, ia sanggup membuat aku menjadi seperti muda kembali dan bergairah. Un-tuk menjadi muda dan bergairah, omong kosong dengan segala macam jamu yang dita-warkan pabrik-pabrik itu. Ya Gimpul itulah jamunya, jamu yang sangat mujarab untuk kita perempuan yang sudah tua ini”
Makan jamu lelaki muda? Memang pada sebagian orang ada anggapan seperti itu. Jika ada lelaki sudah beranak-pinak dan dibelakangnya berbaris sederet cucu dan bahkan mungkin buyut, lelaki itu masih mencari perawan, maka yang dilakukannya itu, harap maklum, hanya sekedar dijadikan jamu, supaya badan sehat perkasa, hidup menjadi ber-gairah. Kalaupun karena sudah tua penampilan menjadi jelek dan tentu saja mana ada gadis cantik yang mau menanggapinya, maka ada kios-kios tertentu yang melayani penju-alan jamu seperti itu, bahkan lengkap dengan bumbu-bumbunya : shipilis dan gonorrhea, bahkan siapa tahu bumbu impor yang bernama Aids itu sudah didatangkan pula ke kios-kios seperti itu.
Tidak jauh dari Tegaldlimo ke arah Muncar, ada kios ilegal macam itu yang bia-sanya menjadi jujugan para pengojek iseng. Tentu saja untuk merasakan jamu itu harus membayar. Akan tetapi untunglah yang datang ke tempat macam itu masih pada punya pikiran waras, setidak-tidaknya niatnya ke tempat itu bukan beli jamu, tetapi sekedar membuang limbah. Bukankah dalam tatanan kehidupan, sebenarnya harus ada katup-ka-tup yang secara otomatis terbentuk sebagai sarana pembuangan limbah?
Tawaran mbok Rikin kepada mbok Kampun untuk mencoba lalapan lelaki muda itu sungguh membekas, menjadi sebuah bentuk kelainan jiwa yang diidapnya. Ingat Gim-pul mbok Kampun langsung menggigil. Bertemu Gimpul mbok Kampun ingin muntah. Bisa dibayangkan betapa siang tadi saat mbok Kampun harus bertahan menyaksikan a-naknya dinikahkan, sebenarnya dengan sekuat tenaga menahan diri untuk tidak muntah.
"Aku tak ingin dia di sini. Suruh dia pergi." mbok Kampun yang diam itu akhir-nya mau bicara.
Pak Kampun tentu saja kaget.
"Kau ini bagaimana?" tanya suaminya.
Mbok Kampun kukuh pada pendiriannya membuat suaminya bingung dan hanya bisa mengelus dada. Dengan dada mengombak suara agak serak mbok Kampun melotot pada suaminya.
"Kalau si Adol Bagus itu tidak pergi, maka aku yang akan pergi dari rumah ini."
Gawat.
Pak Kampun prihatin, karena mengusir Gimpul sama artinya dengan mengusir a-nak sendiri. Jasmi baru saja kawin, apa salahnya Gimpul berada di rumah itu. Bagaima-napun juga memang timbul sebuah pertanyaan, apa yang dilakukan Gimpul setelah dia mengawini anaknya? Apakah Gimpul akan memboyong isterinya pergi entah ke mana, atau malah Gimpul ikut numpang di Wisma Mertua Indah? Betapapun repotnya, namun pak Kampun memang harus menengahi keadaan itu.
Pada sebuah kesempatan disampaikan kemauan isterinya itu kepada Jasmi. Jasmi tentu saja kaget. Namun Jasmi rupanya bisa berfikir tenang dan tidak menanggapi ke-adaan itu dengan emosi. Jasmipun segera berbicara dengan suaminya.
Gimpul terpaksa tersenyum penuh rasa kecut. Pada awalnya ia sudah memba-yangkan bahwa sebagian dari kesulitan akan teratasi dengan numpang tinggal di Wisma Mertua Indah, namun ternyata yang namanya mertua itu keberatan ketempatan Gimpul.
Maka di saat akan maghrib Jasmi berkemas mengumpulkan pakaian yang akan dibawanya. Dalam hati Jasmi merasa sedih mengapa simboknya tega kepadanya, ikhlas melihat Jasmi pergi daripada Gimpul ikut tinggal di rumah itu. Salatunpun ikut bersedih-hati. Dengan mata berkaca-kaca Salatun membantu mbakyunya mengatur benda-benda miliknya dengan memasuk-masukkan ke dalam tas dan koper tua.
Namun Pak Kampun tetap saja seorang ayah yang tidak tega melihat anaknya per-gi dalam keadaan seperti itu. Pak Kampun merasa dadanya sesak seperti seorang lelaki yang kapedhotan sih, cemas memikirkan bagaimana nasib Jasmi nantinya. Maka tanpa setahu isterinya, Pak Kampun menyelipkan sebuah amplop yang berisi uang.
Dalam suasana yang muram suram Jasmi meninggalkan rumah itu. Dan pak Kam-pun merasa ada sesuatu yang hilang. Jasmi baginya anak yang paling dikasihi daripada a-nak-anak yang lain, hanya karena nyawa Jasmi itu nyawa saringan. Dulu waktu masih bo-cah Jasmi pernah sakit keras terkena penyakit typhus nyaris mati. Pontang-panting pak Kampun berusaha menyelamatkan anaknya itu.
Kini Jasmi telah pergi. Rasanya rumah menjadi makin suram setiap pak Kampun melihat dua anak lelakinya yang agak keblinger. Tanjir anak lelaki tertuanya, yang diga-dang-gadang bakal menjadi cagak rumah itu mempunyai kegemaran yang berlebihan terhadap judi. Sabung ayam atau domino dan remi menjadi santapannya. Pak Kampun sudah tidak bisa mengingatkan lagi karena Tanjir bisa marah kalau dilarang. Kalau sudah marah, Tanjir sanggup melakukan apapun. Sebagaimana kalau Tanjir minta uang tidak diberi, maka ancamannya, rumah akan dibakar.
Sebaliknya dengan Jayus anak lelakinya yang kedua. Bulan yang lalu Jayus jadi paran tutuhan, dicari orang karena menghamili gadis. Untung saja Jayus bisa berkelit karena yang melakukan dengan gadis itu bukan hanya dirinya tetapi beramai-ramai de-ngan teman-temannya.
Pak Kampun sungguh pusing tujuh keliling memikirkan dua anak lelakinya itu yang ternyata perkembangannya jauh dari apa yang diharapkan orang tua. Anak gadisnya yang tinggal hanya Salatun. Setelah anak-anaknya yang lain ternyata gagal, pak Kampun hanya tinggal berharap kepada Salatun. Moga-moga saja Salatun bisa menyelesaikan sekolahnya dengan lancar dan kemudian melanjutkan sekolahnya lebih tinggi di IKIP PGRI. Bukan main, mempunyai anak kuliah di IKIP PGRI betapa bangganya. Apalagi jika nanti anak perempuannya itu sudah menjadi guru dan menyandang gelar sarjana.
Hari-hari berlalu. Jasmi telah menjadi Bu Gimpul. Disebut Bu Gimpul boleh, Nyonya Gimpul juga boleh, atau mbok Gimpul boleh. Keinginannya berumah tangga telah terpenuhi. Sekarang ia seorang isteri. Sekarang Jasmi punya suami dan dengan demikian sah-sah saja ia melakukan apapun dengan suaminya. Untuk kebutuhan nafsu tidak perlu lagi melakukan zinah, segalanya telah berubah menjadi halal. Hampir sebulan sudah, Jasmi melewati hidup sebagai seorang isteri di sebuah rumah milik keponakan Gimpul di Tegaldlimo Kidul yang tak terpakai karena pemiliknya sibuk mencari uang dengan menjadi TKI di Taiwan.
Namun tetap saja Jasmi tersentak, karena angan-angannya tentang rumah-tangga tidak sesuai dengan kenyataan. Suami-suami yang lain setiap hari berangkat bekerja dan sore harinya pulang menyerahkan hasil memeras keringat pada isterinya. Uang itu ke-mudian dibelanjakan berbagai keperluan rumah tangga. Meski serba kekurangan namun dengan kebahagiaan dan rasa syukur biasanya berapapun penghasilan yang diperoleh sang suami, akan diatur sedemikian rupa oleh sang isteri. Dijereng-jereng ngalor ngidul seperti permen karet, agar cukup untuk semua kebutuhan rumah tangga.
Itulah, Si Jasmi yang dulu pernah berfikir, setelah menjadi isteri maka semuanya akan berjalan sebagaimana mestinya. Jasmi tidak mengira kalau ia akan dihadang oleh berbagai persoalan. Uang pemberian ayahnya mengucur dengan deras karena Gimpul sering minta cukup banyak yang katanya untuk modal, entah modal apa, namun besoknya semua uang itu ludes. Gimpul pulang dengan wajah kuyu kurang tidur, dan Jasmi akhir-nya tahu, Gimpul membakar uang itu dalam perjudian.
Jasmi melihat kecemasan yang pernah diutarakan Salatun dulu ternyata benar adanya. Kecemasan simboknya juga benar. Jasmi hanya bisa mengelus dada. Perkawi-nannya dengan laki-laki yang menjadi pilihan sendiri ternyata harus dihadapkan pada kenyataan yang tidak terduga. Manakala akhirnya uang habis, maka Jasmi hanya bisa sambat kepada bapaknya. Dengan kearifan seorang bapak yang sangat mencintai anak-nya, pak Kampun memberi lagi uang untuk anak perempuannya yang baru jadi temanten itu.
Lama-lama Jasmi jengkel dan risih karena dengan tidak merasa sungkan Gimpul bahkan mengambil uang di dompet tanpa memberitahu dan sembunyi-sembunyi. Biasa-nya jumlahnya cukup besar, untuk kemudian tidak bersisa sama sekali di esok harinya. Padahal uang itu pemberian pak Kampun untuk biaya hidup sebulan, bisa hangus tanpa sisa hanya dalam waktu dua atau tiga hari.
Laki-laki itu sungguh kebangeten. Lumuhnya setengah mati. Sudah berulang kali Jasmi mendorongnya agar bekerja sebagaimana layaknya suami yang harus menghidupi keluarganya, bekerja apapun asal halal, akan tetapi Gimpul mempunyai gengsi yang sa-ngat tinggi. Angan-angan Gimpul tentang kerja tidak seperti orang lain yang mengguna-kan prinsip kerja keras mumpung masih muda. Angan-angan Gimpul terlampau muluk, kerja enak di belakang meja duduk di kursi empuk dengan gaji banyak. Daripada tidak bekerja seperti yang diangankan, ya lebih baik menganggur saja sekalian, bukankah se-telah ada isteri hidupnya sekarang agak lumayan? Ada yang mencucikan pakaian, ada yang memasak menyiapkan makan, ada mertua yang memasok uang kebutuhan hidup se-tiap hari dan ada yang ditiduri. Kan sudah lumayan daripada sebelum kawin dulu?
Didorong oleh isterinya, Gimpul mencoba-coba pergi ke kecamatan dan sowan ke pak Camat. Gimpul mengajukan permohonan bisa mengabdi bekerja di kantor itu. Mak-sud Gimpul ingin bekerja yang berkaitan dengan tulis menulis padahal sebenarnya Gim-pul bisa mengukur diri, bahwa ia yang hanya lulusan SMP tidak punya kemampuan ter-hadap jenis pekerjaan yang sangat diminatinya itu. Namun Gimpul punya anggapan bah-wa semuanya bisa dipelajari, orang-orang di kantor kecamatan itu pasti akan membim-bingnya sampai dia bisa. Kalau masih juga tidak bisa, toh pekerjaan itu nantinya bisa di-limpahkan kepada yang bisa.
“Apalagi kalau punya anak buah, kan bisa tinggal perintah pada anak buah.” ber-kata Gimpul pada diri sendiri sambil tersenyum.
Gimpul barulah terpukul hatinya ketika Pak Camat mau menerima lamarannya bukan sebagai pegawai kantor yang duduk di belakang meja, tetapi sebagai tukang kebun dan pesuruh. Gimpul mencak-mencak dan pak Camat segera mengusirnya.
Bekerja apa yang bisa mengasilkan banyak uang? Ahaaa, bekerja di bank. Gimpul ingat saat ada urusan ke kantor kelurahan sempat melongok BRI Kecamatan yang ge-dungnya menjadi satu dengan kantor kelurahan itu, betapa banyak uang di tempat itu, bertumpuk-tumpuk. Dengan sangat prigel pegawai kantor itu menghitung segebok uang dua puluhan ribu dengan lima jari telunjuknya. Dulu Gimpul merasa heran dan dibuat takjub, kok bisa ya menghitung uang dengan begitu cepat hanya dengan menggunakan li-ma jari.
Sesampai di rumah Gimpul mencoba pada sebuah buku. Pada mulanya agak sulit namun semakin lama bisa. Bahkan kemudian hari ia cukup prigel menghitung lembaran kertas dengan cara itu. Kemampuan itu sering pula ia pamerkan kepada kawannya yang lain.
Suatu hari Gimpul punya lima puluh ribu yang terdiri dari seratusan semua hingga menjadi tebal. Dengan gesit Gimpul menghitung menggunakan jari, seperti sulap saja la-yaknya, membuat teman yang lain mlongo terheran-heran.
"Kok kamu bisa menghitung dengan cara seperti itu?" tanya Sukarjito heran.
"Aku dulu kan pegawai bank" jawab Gimpul dengan bangga tanpa menyebut di bank mana dulu ia pernah bekerja.
Sukarjito yang pernah melihat cara menghitung seperti itu dilakukan kasir bank, pikirnya, hanya orang yang pernah berkecimpung di bank yang bisa melakukan ketram-pilan itu. Sukarjito percaya pada bualan Gimpul. Untuk percaya pada sebuah bualan me-mang tidak perlu berfikir keras. Biar saja Gimpul membual.
Dengan modal kemampuan menghitung uang itulah, Gimpul pergi ke kantor BRI dan langsung menemui boss di sana minta pekerjaan. Gimpul telah menyiapkan uang dua puluh lima ribu yang dipinjamnya dari Jasmi untuk didemonstrasikan ke kepala BRI. O-rang nomor satu di BRI Kecamatan itu memang terkagum-kagum dengan kemampuan Gimpul itu. Kekagumannya bisa diukur dari seberapa keras ia menggeleng-gelengkan ke-pala.
Ketika lamarannya tidak ditanggapi, Gimpul langsung pergi entah ke mana sam-pai sore belum kembali.
Jasmi gelisah. Padahal tadi pagi Gimpul telah pinjam uang padanya untuk de-monstrasi di kantor BRI. Sampai hari menjadi gelap begini kok belum pulang? Ke mana Gimpul?
Ke mana lagi kalau bukan pergi ngeplek kartu?
Judi adalah saudara sekandung dengan pelacuran. Konon kabarnya, umurnya su-dah setua bumi ini.
Jika dipikir-pikir kasihan Jasmi yang telah salah pilih. Suami yang dicintainya, yang dipilih dengan pengorbanan berat itu ternyata bukan jenis lelaki yang bisa sembada dan nyembadani. Jasmi ngeres hatinya menyaksikan kenyataan yang ternyata amat pahit untuk ditelan.
Jasmi menunggu sampai malam Gimpul belum pulang juga, Jasmi yang sudah mendapatkan informasi suaminya berada di mana, bergegas menyusul. Gimpul yang se-dang asyik tentu saja tak senang. Gimpul meninggalkan teman-temannya yang melanjut-kan mengocok kartu.
"Kenapa kau menyusul kemari?" tanya Gimpul.
"Pulanglah kang." ucap Jasmi serak. Matanya kemerahan.
Gimpul tidak senang disuruh pulang. Ia sudah terlampau asyik dengan perjudian yang berlangsung, lebih dari itu ia sudah kalah banyak. Tiba-tiba isterinya datang menyu-sul, tentu saja membuat Gimpul jengkel.
"Kau membuat nasibku sial saja Jas. Aku sudah kalah banyak sekali. Aku harus menebus kekalahanku, kau malah menyusul. Disusul perempuan di saat main judi itu bisa menjadi pertanda sial, tahu?" kata Gimpul yang jengkel.
Jasmi menunduk, matanya mengambang basah. Gimpul memandangi isterinya dengan tak berkedip.
"Kau bawa uang?" tanya Gimpul.
Ditanya seperti itu Jasmi merasa dadanya tambah sesak. Kebetulan sebenarnya bagi Gimpul, pada saat ia butuh tambahan modal isterinya datang. Bahkan bukankah kalung yang dipakai Jasmi sebenarnya juga bisa dijadikan tambahan modal.
"Kang Gimpul, pulanglah."
Gimpul menyeringai.
"Tidak Jas, permainan belum selesai. Aku kalah banyak. Aku harus menebus ke-kalahan itu. Berikan kalungmu itu untuk tambahan modal. Nanti kalau menang akan kubelikan yang lebih besar, sebesar rantai sepeda."
Jasmi kecewa sekali. Pelahan Jasmi menggeleng. Matanya basah.
"Kau akan semakin kalah kang, tidak menang tetapi malah semakin kalah. Per-cayalah."
Gimpul makin tidak telaten. Di ruang tengah perjudian berhenti sejenak menung-gu Gimpul. Gimpulpun gelisah. Rasa-rasanya ia ingin membetot saja kalung kecil yang dipakai Jasmi itu. Kalau dijual kalung itu bisa laku dua ratus ribu. Lumayan.
"Aku kalah banyak Jas. Terasa menyakitkan sekali jika berhenti hanya sampai di sini. Aku harus menebus kekalahan. Jika kau punya uang, berikan padaku. Kalau tak bawa uang, lepas kalung yang kau pakai itu”
Jasmi menunduk. Dengan tatapan mata yang agak aneh ia memandang wajah sua-minya.
"Kang.” ucap Jasmi terbata-bata. “Baru saja ada orang yang datang menyusul ke rumah memberitahu kalau simbok meninggal."

***


BARATAYUDA
Gimpul sedikit terlonjak tetapi tidak terlampau kaget. Mbok Kampun meninggal dunia? Sejenak Gimpul seperti berusaha keras untuk berfikir, apakah yang dimaksud me-ninggal itu? Mengapa mbok Kampun meninggal, atau kalau sudah meninggal bagaima-na? Gimpul memejamkan mata, isi kepalanya masih terkunci karena masih tersita per-hatiannya oleh kartu-kartu remi atau kekalahan yang dideritanya.
Akan tetapi segera saja Gimpul mendapatkan jawaban, seperti ada celah di dalam rongga otaknya yang bisa dilewati. Soal meninggal dunia atau mati, bukankah setiap o-rang pasti akan mengalami jika saatnya sudah tiba. Semua orang yang berlari dalam per-juangan mempertahankan hidup akan sampai di tujuan. Akan mati, jadi apa anehnya apa-bila mbok Kampun mati? Orang sedang duduk santai saja bisa tamat. Bahkan kematian itu sebenarnya juga sangat bermanfaat. Coba kalau tidak ada orang yang mati sementara kelahiran terus berlangsung, bakal penuh sesak bumi ini. Jadi di mana letak keanehan be-rita kematian mbok Kampun itu?
Mata Gimpul agak berkunang-kunang saat memandangi Jasmi.
"Simbokmu?" tanya Gimpul.
"Ya. Gusti sudah mundhut simbok." jawab Jasmi dengan suara amat serak.
Gimpul manggut-manggut.
"Lha terus? Mau apa?" tanya Gimpul datar.
Pertanyaan Gimpul terasa aneh di telinga isterinya. Jasmi memandang suaminya dengan tatapan mata bingung. Jasmi sendiri yang kaget saat berita kematian itu ternyata tidak terlampau mengagetkan suaminya. Padahal yang mati itu mbok Kampun, mertu-anya sendiri.
"Tega kau berkata begitu." suara Jasmi terdengar amat parau.
Namun Gimpul memang punya latar belakang mengapa ia tak begitu kaget de-ngan kematian mertuanya. Gimpul tidak perlu merasa sedih, bahkan jika perlu warta ke-matian mbok Kampun itu harus disyukuri. Mbok Kampun mertua yang sama sekali tidak menghargai keberadaan menantunya. Mertua macam itu mati? Syukurlah, dengan demi-kian tidak perlu lagi berurusan dengan orang itu.
"Bagiku apa artinya? Bagaimana sikap simbokmu selama ini padaku? kau melihat sendiri bukan?" enteng sekali Gimpul berkata.
Jasmi kaget oleh argumentasi yang nyleneh itu.
"Tetapi ia simbokku kang Gimpul. Ia Ibuku. Mertuamu. Ia sudah dipundut Gusti Allah." serak suara Jasmi.
Gimpul memandang isterinya dengan tidak senang.
"Lha terus mau apa?" tanya Gimpul.
Jasmi terpaksa menahan sesak nafas. Haruskah keadaan itu dimaklumi hanya de-ngan sebuah alasan : dari mulut suaminya menyembur bau minuman keras?
Jasmi menggeleng.
"Kita disusul kang, kita harus pulang. Apa kata orang kalau kita tidak datang?"
Sebenarnya sih, di sela-sela otaknya yang tumpul karena pengaruh judi dan minu-mannya, Gimpul mampu sedikit berfikir, memang aneh kalau dia tidak datang pada upa-cara kematian mertuanya. Kalau ada orang punya gawe meski tak diundang Gimpul tanpa malu-malu pasti datang, sebaliknya apakah dalam kematian harus memerlukan unda-ngan? Apalagi itu mertua sendiri?
Gimpul gelisah memandang kalung yang dipakai isterinya, Gimpul juga gelisah karena di dalam teman-temannya menunggu.
"Kau pulang saja duluan Jas, nanti aku akan menyusulmu. Aku harus menyelesa-ikan permainan itu. O ya, tinggalkan kalungmu itu untuk tambahan modalku. Nanti kalau menang akan kubelikan kalung yang lebih mahal dan lebih besar, sebesar rantai kapal la-ut. Sumpah, percayalah."
Jasmi kecewa sekali. Begitu kecewanya Jasmi hingga ia tidak bereaksi apapun ketika Gimpul melepas kalung yang dipakainya. Jasmi menunduk untuk memberi kesem-patan airmatanya runtuh di bumi. Gimpul sama sekali tidak peduli ketika dengan langkah gontai Jasmi meninggalkan tempat itu. Jika Jasmi nantinya sampai di rumah, maka orang akan menduga tangisnya adalah tangis seorang anak yang kehilangan orang tua, padahal sebagian tangisnya karena perilaku Gimpul.
Gimpul telah kembali berkumpul dengan teman-temannya. Senyumnya merekah karena Gimpul telah memegang seuntai kalung. Dengan tambahan modal itu ia akan me-nuntaskan permainan, kekalahan harus ditebus kembali.
"Kenapa isterimu menyusul?" bertanya Supoyo, pemilik rumah yang menyediakan tempat untuk berjudi itu.
"Simboknya mati." jawab Gimpul enteng.
Semua yang berada di ruangan itu tersentak.
"Kita bubar.” kata Mulyadi.
Mulyadi sebenarnya sedang mencari alasan agar permainan itu diakhiri saja kare-na dia sudah menang banyak. Kalau permainan itu dilanjutkan, boleh jadi nasib akan be-rubah. Ia yang sudah menang bisa saja kalah.
Mendengar usulan yang tidak menyenangkan itu Gimpul meradang.
"Tidak bisa. Aku kalah banyak enak saja kau mengusulkan permainan dihentikan. Tidak bisa. Kalau bubar, bisa kubunuh kau."
Gimpul sangat emosi. Mulyadi dan Supoyo saling pandang. Bagi orang yang larut dalam judi, jatuhnya bom nuklir mungkin hanya sebuah gangguan kecil, yang tidak perlu menjadi sebab dihentikannya permainan itu, apalagi hanya sekedar matinya mbok Kam-pun, mertua yang amat dibencinya.
Namun Supoyo, meski gemar berjudi tetapi masih punya hati nurani. Setidak-ti-daknya untuk mengingatkan Gimpul, bahwa tak patut dia bersikap seperti itu.
"Yang meninggal itu mertuamu Pul, kau tetap melanjutkan permainan ini?." de-sak Supoyo.
Jawaban Gimpul membuat segenap orang yang ada di dalam lingkaran perjudian itu miris,
"Aku tak peduli siapapun yang mati. Jangankan mbok Kampun yang hanya mer-tua tidak tahu diri itu, seandainya orang tuaku sendiri yang mati, aku tak peduli."
Seandainya orang tua sendiri yang mati itu memang tidak akan pernah terjadi ka-rena mereka sekian tahun yang lalu telah mati ngenes memikirkan perilaku anaknya.
Cep klakep, tidak ada lagi yang menjawab. Mulyadi yang baru menang segera mengocok kartu. Setan burik seperti memanaskan keadaan, karena setelah mendapatkan kabar kematian mertuanya, nasib Gimpul justru menjadi baik. Giliran Gimpul yang me-nang, Gimpul mulai tersenyum. Pada kocokan kedua lagi-lagi seperti terjadi keajaiban seolah nasib baik berpindah tempat berpihak pada Gimpul. Permainan tambah panas, dan nampaknya sampai pagi sekalipun perjudian itu tidak akan selesai. Gimpul tersenyum dan tersenyum, minuman keras di gelas kembali ditenggaknya.
Gimpul glegeken. “Hoiiiiik.”
Kematian mbok Kampun memang layak ditangisi. Salatun tak henti-hentinya me-nangis. Salatun si anak ragil itu benar-benar terguncang jiwanya ditinggalkan Ibu terka-sihnya. Pak Kampun yang sekian lamanya mendampingi dan didampingi oleh isteri ter-cinta itu seperti tidak percaya isterinya pergi dengan tiba-tiba.
Tanjir dan Jayus dengan mendadak disentakkan oleh keadaan yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan. Ketika simboknya pergi, dengan tiba-tiba mereka merasa ber-dosa karena selama ini mereka banyak mengecewakan simboknya.
Akan tetapi yang paling terpukul adalah Jasmi. Jasmi punya penilaian sendiri me-ngapa simboknya mati. Jasmi merasa dirinya penyebab kematian mbok Kampun. Mbok Kampun terlampau sedih karena Jasmi kawin dengan lelaki yang amat tidak disukainya, perkawinan yang harus ditebus dengan harga yang sangat mahal. Jasmi menggigil menge-nang kematian simboknya yang jelas akibat dari perbuatannya. Seandainya Jasmi tidak ngotot kawin dengan Gimpul, mungkin simboknya masih berumur panjang.
Dalam hidupnya mbok Kampun wanita yang ramah, mudah bergaul dengan siapa saja. Jika ada tetangga punya hajat mantu, mbok Kampun pasti datang meski tidak mene-rima ulem. Jika ada kerabat desa yang meninggal, maka mbok Kampun pasti berada di antara para pelayat. Kini mbok Kampun memetik hasilnya. Tiba gilirannya mbok Kam-pun ajal, para pelayat yang berdatangan memberikan penghormatan tumplek blek meme-nuhi halaman.
Namun tak tercegah pula kasak-kusuk di antara mereka, karena belum lama ber-selang mbok Kampun mantu, kini beberapa hari kemudian mbok Kampun meninggal. Terdapat sebuah kepercayaan yang masih berlaku di masyarakat etnis Jawa tentang na-gadina, di mana perkawinan Jasmi dan Gimpul sebenarnya tidak pas jika ditinjau dengan hitungan nagadina itu. Jasmi pihak wanita tinggal di arah utara, Gimpul pihak laki-laki tinggal di selatan, maka perkawinan yang terjadi pada mereka harus ditebus dengan kematian, lihat saja dalam waktu dekat pasti ada yang mati.
Dan ternyata benar, mbok Kampunlah yang mati.
Namun ada pula yang kasak-kusuk dengan riuh karena tidak melihat Gimpul. Ma-ka wajar jika lahir pertanyaan ada apa dengan Gimpul atau di mana Gimpul kok tidak ke-lihatan batang hidungnya? Tidak begitu lama kemudian kasak-kusuk dengan tanda tanya yang besar itu ada yang bisa menjawab, Gimpul sedang berjudi.
Para pelayat banyak yang ikut bersedih mendengar kisah itu. Setiap kali Jasmi ter-lihat melintas, kasak-kusuk bagai terpancing.
Seisi rumah pak Kampun tersaput mendung, dan kebetulan layaknya, mendung yang sebenarnya sedang lewat. Burung gagak yang biasanya jarang muncul terdengar ber-kaok-kaok keras di sebelah selatan. Lagi-lagi di antara para takziah ada yang mencoba menghubungkan suara burung gagak itu dengan kematian yang baru terjadi itu.
Jasmi terus menangis. Namun nasi telah menjadi bubur. Jasmi tidak mengira be-gitu mahal harga yang harus ditebusnya untuk kawin dengan lelaki yang ternyata berasal dari golongan keblinger yang jelas menjadi penyebab kematian simboknya.
Setelah layon disemayamkan di kuburan Kampung Limo, siang hari segera di-susul oleh datangnya petang. Ternyata Gimpul belum juga muncul diri. Pak Kampun ha-nya bisa mengelus dada melihat nasib anaknya yang begitu buruk. Menantu yang satu ini benar-benar tidak ngajeni wong tuwa.
Pada sebuah kesempatan setelah tahlil dipanggilnya Jasmi.
"Ada apa pak?" tanya Jasmi.
Di hadapan bapaknya Jasmi selalu merasa mendapatkan keteduhan pengayoman.
"Bagaimana dengan keluargamu?" tanya pak Kampun dengan tenang.
Jasmi hanya bisa menunduk. Jasmi merasa bukan pertanyaan itu yang seharusnya ditanyakan bapaknya, tetapi “Mengapa suamimu belum muncul diri? Mana dia?”
"Baik pak." jawab Jasmi berusaha tenang, namun tetap tidak kuasa menahan diri, terlihat dari suaranya yang serak dan bergetar.
"Tampaknya perutmu belum isi?" lagi-lagi pertanyaan pak Kampun mengagetkan.
Jasmi yang semula menunduk itu menengadahkan diri dan memandangi bapak-nya.
"Aku minta maaf pak. Dulu aku berbohong" ucap Jasmi serasa pasrah, penuh mu-atan penyesalan.
Namun penyelasan itu artinya? Nasi telah menjadi bubur. Segalanya telah terla-njur. Dan apa yang terlanjur itu selalu tidak bisa diulang kembali, apa lagi jika apa yang terlanjur itu berkait dengan kematian, dengan noda atau penyesalan. Pepatah mengata-kan, sesal kemudian tak berguna.
"Dari semula aku memang sudah menduga kalau kau belum hamil. Tetapi tak apa , hal itu tak perlu dipersoalkan lagi. Yang penting sekarang, keadaan yang harus diperbai-ki. Suamimu sudah dapat pekerjaan apa belum?" tanya pak Kampun.
Jasmi menggeleng.
Satu-satunya pekerjaan yang dikuasai suaminya hanyalah berjudi dan membual. Jika sudah berjudi Gimpul ternyata betah melek sampai dua hari dua malam, dan sebagai tebusannya juga betah tidur ngedhur dua hari dua malam, seperti membayar lunas mele-kan yang dilakukannya. Juga dalam hal membual Gimpullah jagonya. Siapapun orangnya yang belum kenal Gimpul, tentu percaya dengan bualan Gimpul. Pernah Gimpul mem-bual yang agak keterlaluan, kepada kenalan barunya dia mengaku petugas intel.
"Kunci keluarga itu adalah adanya penghasilan. Suamimu harus kau buka mata-nya agar mau bekerja. Kalau sebuah rumah tangga tidak didukung oleh hal itu, maka ru-mah tangga itu akan gampang ambruk, akan mudah muncul godaan." Pak Kampun mem-berikan wejangannya.
Tepat. Benar apa yang dikatakan pak Kampun. Jasmi sungguh merasakan kebena-ran yang terkandung dalam ucapan bapaknya itu. Sampai jeleh Jasmi memberikan doro-ngan kepada Gimpul untuk mengubah nasib, bahkan dengan berjualan kecil-kecilan, na-mun tetap saja Gimpul bergeming. Maunya Gimpul adalah pekerjaan yang terhormat. Sa-at melihat acara televisi di rumah tetangga, sebenarnya telah mengusik keinginan Gimpul , betapa senangnya seandainya ia bisa seperti bintang dalam sinetron yang ditontonnya itu. Memakai dasi, bersepatu dan punya mobil.
Pada suatu hari Gimpul pinjam dasi pada pak Solekan Guru SMP yang setiap Jum' at dan Sabtu nyambi ngojek di Kalipahit. Dasi itu dikenakan sambil mematut diri di depan kaca.
Oleh pertanyaan bapaknya itu Jasmi tak tahan, meski sebenarnya ia tidak ingin mengungkapkan, namun akhirnya dikeluarkan juga isi hatinya.
"Bekerja apa to pak? Keinginannya bekerja hanya di kantoran, seperti temannya yang menjadi pegawai di kecamatan itu. Kalau mau mendirikan pracangan, ia malu."
"Pilih malu atau kelaparan?" bertanya pak Kampun.
Jasmi hanya bisa menghela desah.
"Begini saja Jas, simbokmu sudah tidak ada. Salatun masih kaget karena ditinggal pergi simboknya. Maka sebaiknya kau pulang saja. Kau tempati kamar yang di depan itu bersama suamimu."
Sebuah usul yang sungguh simpatik dan menyejukkan.
"Kami....pulang?" tanya Jasmi seperti tidak percaya,
"Ya. Sambil aku akan mengajari suamimu bagaimana cara berdagang. Dagang sa-pi, atau dagang kambing atau nebas sawah. Suamimu mungkin perlu dituntun agar bisa bekerja." lanjut pak Kampun.
Atas ijin dari bapaknya itu maka sepekan kemudian setelah kematian simboknya, Jasmi dan Gimpul pulang dan menempati kamar depan. Tanjir yang mendapat laporan dari Jayus mencak-mencak seperti munyuk terkena tulup. Dengan clurit di tangan kanan Tanjir berteriak. Gimpul gugup sekali.
"Jas, ke sini kamu." teriak Tanjir pada adiknya.
Jasmi datang mendekat dengan perasaan was-was.
"Ada apa?" tanya Jasmi.
Tanjir melotot, membuat Jasmi amat ngeri. Apalagi Tanjir memegang clurit.
"Siapa yang mengijinkan kau menempati kamar depan?" keras suara Tanjir.
Tanjir malang kerik, matanya yang melotot seperti akan terlepas dari embanan-nya. Gimpul yang melihat adegan itu benar-benar rontok nyalinya. Gimpul tak menyang-ka, kakak iparnya ternyata amat mengerikan.
"Memang kenapa kang Tanjir?" tanya Jasmi dengan heran.
"Kamar itu akan kutempati. Aku yang akan pakai. Kau boleh minggat ke mana kau suka, kau tidak berhak lagi tinggal di rumah ini.” meledak Tanjir.
Jasmi kebingungan dan tidak tahu harus berkata apa. Gimpul yang merasa ngeri hanya memandang dari kejauhan tidak berani menengahi. Bahkan seandainya Tanjir itu menghajar isterinya, Gimpul mungkin lari terbirit-birit.
Namun Jasmi yang telah merasa mendapat ijin dari bapaknya, apalagi kamar yang akan ditempati itu dulu adalah kamarnya, tidak mau mengalah begitu saja.
"Kau ini mendem atau bagaimana? bapak yang menyuruh aku menggunakan ka-mar itu. Aku salah seorang anaknya, aku berhak untuk tinggal di rumah ini."
Namun rupanya Tanjir punya alasan sendiri untuk tidak suka dengan kepulangan adiknya itu. Kematian mbok Kampun mewariskan kebenciannya terhadap Gimpul. Tanjir berpendapat, simboknya mati akibat lonthe lanang itu. Dulu mbok Kampun yang benci setengah mati kepada Gimpul. Dengan kematian mbok Kampun persoalan benci itu ter-nyata tidak selesai dengan kepergian orangnya, kebencian itu ternyata disuarakan Tanjir, bahkan dengan teriakan yang lebih lantang.
Tanjir semakin meninggikan malang keriknya. Suaranya kasar dan keras. Ujung hidungnya mekar. "Setelah apa yang kau lakukan, kau merasa pantas untuk tetap tinggal di rumah ini Jasmi? Apalagi dengan membawa lonthe lanang itu?"
Jasmi kaget,
"Kang,.." Jasmi merasa tercekik lehernya.
"Malam nanti kamar itu akan aku pakai." berkata Tanjir tegas, tidak memberikan kesempatan untuk tawar menawar.
"Lha aku menggunakan kamar sebelah mana?" desak Jasmi.
"Mau tidur di emperan atau di mana, terserah."
Retak hati Jasmi. Ia semakin merasa terbuang. Seolah memang tidak ada tempat baginya. Sayang sekali Jasmi menghadapi Tanjir hanya sendirian. Kalau saja ada bapak-nya, setidak-tidaknya ada yang akan membela. Jasmi melihat Jayus juga bersikap serupa. Sebagaimana Tanjir, Jayus melihat Jasmi dan suaminya yang menjadi penyebab kemati-an Ibunya.
Namun Jasmi tidak mau mengalah begitu saja. Jasmi masih mencoba melawan.
"Tak bisa kang Tanjir. Aku tak mau kau atur seperti itu. Aku juga anak pak Kam-pun, bapak sendiri sudah menyuruhku memakai kamar depan itu. Jangan main perintah seenak wudelmu sendiri."
Namun sikap Tanjir benar-benar kaku. Biasanya Tanjir memang tidak segan-se-gan menggampar adiknya itu kalau Jasmi melakukan sesuatu yang tidak disenanginya.
"Kamu dengar Jas? Kamu boleh pulang tetapi hanya kamu, tidak untuk suamimu. Kalau dengan suamimu, kau boleh tinggal di manapun tetapi tidak di rumah ini." benar-benar keras dan kasar suara Tanjir.
Jasmi merasakan dadanya makin perih. Perihal Gimpul yang menjadi penyebab kematian simboknya, itu bukan hanya pendapat Tanjir, bahkan suara hatinya sendiri de-ngan jujur mengakui, gara-gara Jasmi kawin dengan Gimpul itulah mbok Kampun jatuh sakit dan kemudian mati. Betapapun pahitnya, memang itulah kenyataannya.
Apaboleh buat, dengan hati yang perih Jasmi dan Gimpul boyongan lagi. Semua barang yang dibawa dinaikkan lagi ke atas dokar. Jasmi begitu larut hingga air matanya jatuh menitik. Gimpul mungkin jengkel karena ia sudah capek usung-usung, namun ha-rus pergi lagi, apalagi di bawah tatapan mata aneh para tetangga. Di sudut hatinya Gim-pul menyimpan sakit hati karena disebut lonthe lanang. Jika Gimpul punya keberanian, pasti akan disobeknya mulut lancang yang berani memaki lonthe lanang itu.
Para tetangga kiri kanan yang sebelumnya ikut membantu mengemas barang-ba-rang saat Jasmi memutuskan pulang, mereka kaget melihat Jasmi kembali dengan tangis tersedu-sedu. Apa yang dirasakan Jasmi barangkali bisa diibaratkan orang akan naik haji yang sudah terlanjur pamit tetangga kiri kanan namun tidak jadi berangkat karena berada dalam daftar tunggu. Malu sekali.
Esoknya, masih pagi-pagi sekali pak Kampun datang. Jasmi tidak kuasa menahan tangisnya.
"Aku sudah memarahi Tanjir. Dia tidak akan berani lagi mengusirmu." berkata pak Kampun.
Sesak tarikan nafas yang dirasakan Jasmi. Dengan mata memerah sisa kesedihan, Jasmi menggeleng. Jasmi yang terlanjur patah arang, menolak permintaan bapaknya itu.
"Pulanglah." desak pak Kampun. "Rumah menjadi kacau balau dengan kepergian simbokmu. Tak ada yang memasak dan ngurusi yang lain-lain. Salatun masih larut de-ngan kesedihannya. Kau sangat dibutuhkan di rumah”
Jasmi memandang bapaknya dengan tatapan mata tak berkedip. Tiba-tiba saja Jasmi merasa, bapaknya demikian cepat menua. Baru beberapa hari ditinggal pergi sim-boknya, rasa-rasanya rambut bapaknya berubah memutih semuanya, tulang pipinya ce-kung.
"Tidak pak. Kang Tanjir tidak menghendaki aku berada dirumah, biar saja aku i-kut suami. Lagi pula sudah menjadi kewaji¬ban seorang isteri untuk ikut suami, ke neraka sekalipun." berkata Jasmi.
Pak Kampun berusaha menelan kata-kata anaknya itu. Apabila Gimpul menantu yang sembada, pak Kampun tak akan terlampau gelisah. Tetapi malangnya Gimpul bukan lelaki yang sembada, suami yang bisa ngayomi isteri apapun yang terjadi.
Pak Kampun hanya bisa menghela resah. Sejak kematian isterinya memang ba-nyak hal yang berubah di dalam rumah. Setidak-tidaknya segala sesuatu seperti tidak ber-jalan sebagaimana seharusnya. Untuk kebutuhan makan sehari-hari, terpaksa meminta bantuan tetangga untuk memasak.
Salatun masih larut dalam kesedihan. Salatun benar-benar merasa kehilangan de-ngan kepergian simboknya. Si anak ragil itu berubah menjadi pemurung. Jasmi juga me-lihat hal itu.
“Bapak harus mencari batur." ucap Jasmi.
Pak Kampun memandang Jasmi. Namun pak Kampun tak berkomentar apapun.
Jasmi melanjutkan,
"Kang Tanjir tidak menghendaki aku pulang. Jika Salatun masih larut dalam ke-sedihannya, sebaiknya bapak ngingu batur, untuk memasak mencuci dan sebagainya."
Sebuah gagasan yang memang masuk di akal. Maka demikianlah, pak Kampun menganggap menggaji seorang bedinde memang merupakan jalan pemecahan yang se-baik-baiknya.
Atau mungkin kawin lagi? Dengan kawin lagi bukankah pemecahan masalah juga selesai? Dengan punya isteri lagi berarti ada orang yang akan menggantikan kedudukan mbok Kampun? Ahh, terlampau dini untuk kawin lagi. Isterinya mati belum genap empat puluh hari, sungguh tidak patut kalau terlintas pikiran macam itu.
Beberapa hari kemudian, hari masih pagi ketika sebuah dokar berhenti di depan rumah, mengagetkan Jasmi yang melamun. Pandangan Jasmi pada adiknya sekaligus me-njadi sebuah pertanyaan. Salatun tidak menunggu terlalu lama untuk segera menerangkan apa yang terjadi.
"Di rumah sekarang sudah ada batur. Batur yang cantik sekali." Salatun membuka cerita.
Jasmi kaget.
"O ya? Batur cantik? Siapa?" tanya Jasmi.
“Cah Rogojami, namanya Salehak. Tadi malam kang Tanjir dan kang Jayus pe-rang baratayuda gara-gara batur itu." jelas Salatun.
Jasmi kaget. Batur sampai menyebabkan dua kakaknya berkelahi, apa persoalan-nya?
Jasmi yang mengusulkan kepada bapaknya agar mempekerjakan batur, maksud-nya batur yang lumrah saja. Batur yang tidak lumrah itu ya seperti yang ada di sinetron atau film, contohnya Inem pelayan seksi itu. Artinya jika batur itu cantik, malah bisa me-njadi sumber masalah. Sudah banyak cerita tentang perselingkuhan antara majikan de-ngan babu. Juga sudah banyak cerita tentang babu cantik yang menjadi penyebab keti-dak-tenteraman.
"Kenapa?" desak Jasmi.
Salatun membuang pandang ke kejauhan, seperti membuang sesuatu yang meng-gelisahkan hatinya.
"Karena baturnya cantik dan nggregetke. Sing rumangsa dadi lanang mbingu-ngi" jawab Salatun.
Jasmi lebih kaget lagi.
"Terus?"
"Aku tidak kerasan di rumah yu. Aku ikut kamu saja. Mana suamimu?"
Jasmipun gelisah. Ayahnya telah menggaji seorang batur sebagaimana saran yang diberikannya. Akan tetapi batur itu menyebabkan dua saudaranya bertengkar. Kalau Ta-njir yang brangasan, berkelahi dengan Jayus yang juga brangasan, akan seperti apa ke-adaan di rumah? Rumah yang berubah suram itu akan menjadi sebuah neraka yang pa-nasnya mampu mengilas siapapun yang tinggal dalam rumah itu.
"Yu Jasmi, aku boleh ikut kamu di sini?." Salatun mende¬sak.
"Kamu ini bagaimana? bapak tidak ada temannya malah Kamu tinggal pergi. Ka-lau aku dan kang Gimpul, sudah terlanjur basah kuyup maka biarlah kami seberangi se-kalian. Sebaliknya kami tidak mungkin pulang dan tinggal di rumah karena kang Tanjir sikapnya seperti itu. Kami di sini hidup sengsara Tun, suamiku tak beker¬ja. Yang bekerja membanting tulang aku. Kau lihat di depan itu, aku jualan."
Salatun memandang ke arah yang ditunjuk. Di atas meja memang ada beberapa barang dagangan yang tak seberapa nilainya. Beberapa buah toples berisi permen, bebe-rapa mainan murahan yang digantung-gantung. Juga karet gelang yang diikat-ikat.
Salatun agak heran,
“Kang Gimpul mengijinkan?" tanyanya.
Jasmi mengangguk mendahului jawabnya.
“Ya, akhirnya mengijinkan. Habis mau makan apa kalau tak bekerja?, mau makan lungka?"
Namun Salatun memandang dagangan itu dengan tatapan bergairah. Bisa mem-bantu jualan mbakyunya bagi Salatun tidak ubahnya mendapatkan sebuah mainan yang menyenangkan.
“Aku ikut kau yu, aku akan membantumu jualan." berkata Salatun dengan penuh semangat. Salatun membayangkan, jualannya nanti akan laris dan semakin laris, kemu-dian akan berubah menjadi sebuah toko yang besar, dan akhirnya semakin besar seperti swalayan yang ada di Banyuwangi kota.
Jasmi menggeleng.
“Jangan Tun aku keberatan. Lebih baik kau tinggal di rumah. Setidak-tidaknya kau akan bisa menjadi air penyejuk rumah itu sepe¬ninggal simbok. Kasihan bapak kalau kau tinggal di sini." berkata Jasmi dalam keprihatinan yang berharga amat mutlak.
“Aku merasa ngeri melihat kang Tanjir dan kang Jayus penthelengan saling be-rebut perhatian Salehak batur genit itu." berkata Salatun.
Sebenarnya Jasmi heran. Seperti apakah ujut lahiriah batur itu sampai-sampai dua kakaknya sanggup bermusuhan bahkan saling ancam akan bacok-bacokan?
“Apakah dia cantik?" tanya Jasmi penasaran.
“Ya." jawab Salatun. "Sangat cantik. Aku dan yu Jasmi saja kalah cantik, Mmm, anu, wajahnya sepeti siapa ya? Mmmm, o ya, seperti bintang pilem yang membintangi iklan samphoo yang rambutnya digeraikan begini itu lho.”
Jasmi gelisah. Seberapa parah sebenarnya persoalan yang berkembang di rumah, apakah kehadiran pembantu rumah tangga itu telah menjadi api di dalam sekam yang siap berkobar setiap saat? Siap membakar hangus siapapun, menjadi provokator yang mendorong kakak beradik Tanjir dan Jayus untuk memulai perang baratayudha?”
Nampaknya memang demikian. Kehadiran pembantu bernama Salehak yang ujut lahiriahnya memang cantik itu membuat gerah seisi rumah. Pada suatu saat Tanjir baru saja dari sumur. Salehak sedang menjemur setumpuk pakaian setelah mencucinya di su-ngai. Salehak sendiri dalam keadaan basah kuyup mencetak lekuk-lekuk tu¬buhnya de-ngan sempurna. Itulah sebabnya pikiran Tanjir menjadi ngeres, gelisah dan serba salah. Begini salah, begitu salah. Laki-laki yang banyak memiliki kukul di wajahnya itu kebi-ngungan sendiri. Tanjir merasa akan menjadi gila kalau tidak mendapat kesempatan me-nyalurkan hasratnya pada pembantu rumah tangga itu.
Namun bukan hanya Tanjir yang kalang kabut. Jayus tidak kalah ngeres gara-gara melihat keadaan Salehak pada saat mengepel lantai. Lantai yang meski dari tegel namun jarang dipel itu menjadi bersih dengan kedatangan Salehak.
Sebagaimana kakaknya, maka Jayus telah sampai pada pilihan yang tak bisa dita-war, entah bagaimana caranya Jayus harus bisa memiliki pembantu rumah-tangga itu.
Bagaimana dengan Salehak? Prawan osing itu sungguh bikin gemes siapapun. Su-lit untuk dimengerti mengapa gadis yang secantik Salehak, pantat berbentuk bulat, kalau berjalan menimbulkan gempa di sekujur tubuhnya, tatapan mata yang sayu sejuk dan cara bicara yang lembut seperti putri Solo, mengapa gadis secantik itu mau jadi babu?
Salehak meski cantik bernasib sungguh malang. Belum lama berselang bapak Ibu-nya mati susul-menyusul. Sang bapak mati karena tertimpa pohon kelapa saat berteduh dari hujan. Sang isteri mungkin karena rasa cintanya menyusul kepergian suaminya, de-ngan meninggalkan Salehak hidup sendiri di dunia ini.
Apa boleh buat, karena waktu terus berjalan, segala hal terus berputar, perjalanan hidup selalu dikawal oleh berbagai kebutuhan, maka Salehak tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus bekerja, bekerja apapun bahkan sebagai babu sekalipun.
Pilihan telah jatuh. Tawaran untuk bekerja sebagai babu di rumah pak Kampun itu diterimanya dengan senang hati. Dengan bekerja membabu setidak-tidaknya bisa ma-kan setiap hari. Syukurlah jika nanti anak majikan ada yang kesengsem kepadanya dan kemudian memungutnya, menaikkan pangkat dari babu menjadi isteri.
Sebenarnya ada beberapa lelaki yang ingin mengawini Salehak. Namun kalau sudah berbicara soal lelaki, Salehak yang lembut sejuk bisa berubah menjadi judes. Salah seorang lelaki yang ingin mengawininya itu bernama Sutrimo, orang Penataban yang bekerja sebagai tukang patri kemasan dan mangkalnya di Pasar kota Banyuwangi. Sa-yang Sutrimo lelaki yang nggratil, tangan¬nya gemar ketrampilan diimbangi pula dengan mulut yang suka omong jorok.
Omongan jorok itu dibalas dengan dampratan dan segala jenis sumpah serapah o-leh Salehak. Trimo terpaksa mundur sambil membalas menyumpah-serapahi dengan se-gala macam kutukan. Sumpah serapah khas osing,
“Aja payu rabi sira ya. Muga byain pilih-pilih tebu, ‘sing entuk pucuke entuka bongkote."
Apakah serapah macam itu bisa bermuatan kutukan? Mungkin saja tidak. Namun akan menjadi lain soalnya jika berbicara dengan orang osing yang kebetulan punya jiwa bengkak seperti Trimo itu. Kalau dendam tidak segan-segan menabur tembang keme-nyan, kalau cinta ditolak, tidak segan menabur tembang jaran goyang. Dan kalau tem-bang jaran goyang bermuatan jampi-jampi japa mantra itu cukup manjur, maka boleh ja-di orang yang menjadi sasaran tembang jaran goyang itu akan berbalik tergila-gila kepada orang yang semula ditolaknya, atau bisa lebih parah malah menjadi gila, menyu¬sur jalan menyanyikan tembang kalong embat-embat, sambil menarik tali yang pada ujungnya te-rikat beberapa biji kaleng kosong, menimbulkan suara riuh di sepanjang jalan yang di-lewatinya.
Dengan keadaan seperti itulah Salehak memilih pergi meninggalkan Rogojampi dan ikhlas menjadi babu di rumah pak Kampun.
Hari-hari belum genap pada hitungan jari ke dua belah tangan, akan tetapi kehadi-ran Salehak itu mampu membuat suasana rumah pak Kampun tegang.
Tanjir yang mengetahui Jayus naksir berat pada babu cantik itu telah mengasah pedang. Jayuspun tidak mau surut. Untuk hal yang lain boleh saja Jayus menepi, namun untuk bisa menda¬patkan babu cantik bernama Salehak itu Jayus rela berkalang tanah dan mempertaruhkan selembar nyawa yang dimilikinya.
Itu sebabnya sebuah celurit diasahnya.
Celurit madura melawan caluk osing, siapa yang akan mendahului membenam-kan benda tajam itu ke dalam perut pesaingnya? Jayus ataukah Tanjir? Siapa yang bakal memenangkan persaingan perebutan piala cantik dengan jabatan babu bernama Salehak itu?
Pada sebuah saat, di mana pak Kampun sedang tidak berada di rumah, Tanjir dan adiknya telah saling berhadapan. Tanjir memandang Jayus yang memegang celurit di ta-ngan kanannya. Celurit itu diasah mengkilap. Tanjir bisa mengukur, kalau saja ayunan celurit itu menyambar kepalanya hanya dengan sekali tebas saja, maka kepala itu akan berpisah dan mengucapkan selamat tinggal kepada gembungnya. Tanjir ngeri memba-yangkan hal itu akan terjadi pada dirinya.
Namun sebaliknya Jayus juga sadar, bahwa caluk panjang di tangan kakaknya itu sangat tajam. Caluk yang terbuat dari per praho¬to itu telah diasah mengkilap. Jayus per-nah mengintip saat Tanjir melakukan tes terhadap caluk kebanggaannya. Sekali ayun pohon pisang sebesar pelukan, langsung putus. Kalau caluk itu diayun menyambar pe-rutnya, maka isi ususnya akan terburai keluar. Jayus pernah mendengar kisah tentang Haryo Penangsang yang mati dengan usus terburai dibabat tombak oleh Sutowijoyo. Ja-yus tentu tidak menginginkan hal itu terjadi pada dirinya.
Karena Tanjir melakukan tes caluk, maka Jayus mengadakan tes clurit pula, po-hon pisang yang berada di sebelahnya dibabat putus dengan sekali tebas pula.
Jika hanya ada dua pilihan yang tidak bisa dihindarinya, dibunuh atau membunuh, maka apa boleh buat, lebih baik membunuh daripada dibunuh. Seperti prinsip tentara itu, lebih baik menda¬hului membunuh musuh daripada kedahuluan mati konyol diberondong peluru musuh.
“Asu," Tanjir mengumpat kasar.
“Kamu yang asu." Balas Jayus tidak mau kalah.
“Bajingan kowe." Tanjir tidak mampu menahan emosinya. “Jancuk”
Tanjir sangat marah melihat Jayus itu menjadi pesaingnya. Tanjir agak kecewa melihat kenyataan, Salehak yang dibidiknya itu lebih dekat dan akrab dengan Jayus. Dari segi tongkrongan Jayus memang lebih tampan darinya.
Diumpat amat kasar macam itu tentu saja Jayus tidak bisa menerima.
“Kowe yang bajingan.... Ayo, kamu mau apa?" begitu ganas Jayus menjawab um-patan kakaknya itu.
Dengan amat waspada tangan kanannya menggenggam gagang celurit. Kalau Ta-njir sampai mengayunkan pedangnya, maka Jayus akan menghindar sambil balas menye-rang. Jayus yakin, ayunan celuritnya pasti akan mampu merobek perut saudaranya itu.
Akan tetapi sebagaimana Jayus yang memilih menunggu, maka Tanjir sebenarnya juga ragu. Ada rasa ngeri dan takut kalau perkelahian berebut babu itu sampai terjadi. Rupanya di balik kegarangannya, baik Tanjir maupun Jayus masih menyimpan secuil si-kap pengecut, jirih wedi getih. Pedang ataupun celurit buatan Madura dengan ujung lan-cip itu hanya sebagai alat untuk menggertak. Namun jika harus menggunakan, nanti dulu.
“Jangan kau dekati dia." ancam Tanjir.
Jayus meremehkan ancaman itu.
“Justru kau yang jangan dekati dia."
“Tak bacok kowe." ancam Tanjir.
Jayus bergeming di tempatnya.
“Bacoken, kalau ingin kubabat endhasmu, ha?"
Mendengar suara kedua kakaknya bertengkar dan masing-masing telah mengge-nggam pedang membuat Salatun ketakutan dan sebisa-bisa berusaha melerai mereka.
“Berhenti." teriak Salatun.
Teriakan Salatun itu menjadi semacam tombol yang secara otomatis menghenti-kan mereka. Baik Tanjir maupun Jayus yang sebenarnya tidak berani menanggung resiko mampus dalam perkelahian, segera saja memanfaatkan kesempatan itu untuk ngeloyor pergi. Untung ada Salatun yang memisahkan mereka, kalau tidak, betapa sulitnya men-cari alasan untuk menghindar dari perkelahian itu tanpa kehilangan muka.
Keadaan rumah macam itulah yang menye¬babkan Salatun merasa tidak betah dan pergi ke rumah kakaknya.
Rupanya Tanjir sadar sepenuhnya, bahwa segala sesuatunya tergantung pada Sa-lehak sendiri. Kalau ia berhasil menghadang Jayus, apalah artinya itu kalau ternyata Sale-hak tidak mau kepadanya. Itulah sebabnya Tanjir berusaha menanamkan pengaruh pada prawan osing bernama Salehak yang punya tahi lalat di dagu itu.
“Hmmm,.." Tanjir berdehem mengejutkan Salehak.
Salehak menabur senyum, membuat Tanjir kalang kabut.
“Ohhh, kang Tanjir? Ada apa kang?" tanya Salehak ramah.
Tanjir membalas senyum itu.
“Kau sedang apa? Okey"
Tanjir membuka percakapan dengan pertanyaan yang sangat wagu. Mestinya Ta-njir tidak perlu bertanya, karena Tanjir tahu apa yang dikerjakan Salehak. Lagi pula ke-napa harus menggunakan kata Okey?
“Aku menghangatkan makanan, kang." jawab Salatun.
Tanjir memandang babu Salehak dari ujung kepala hingga kaki dengan lahap. Sa-lehak terpaksa menundukkan wajah.
“Aku dhemen padamu Hak. Bagaimana? Okey"
Ditanya seperti itu Salehak mendongak. Cara Tanjir mengungkapkan isi hatinya terlampau kasar dan langsung tanpa diberi awalan terlebih dulu. Seolah juga bermuatan ancaman, "Awas kamu kalau tidak mau."
“Apakah kau mau dhemenan dengan aku Hak? Kita saling dhemen. Bagaimana? Apakah kau bersedia? Okey?"
Kata okey saat itu sedang populer di ruang pergaulan Tanjir. Itulah sebabnya se-dikit-sedikit Tanjir menggunakan kata-kata itu. Mesti adakalanya tidak pada tempatnya, seperti misalnya pada kalimat, “Kau okay mau ke mana ha okay?.” Sekali waktu sempat juga muncul kata-kata Mek, maksudnya Mac. Maka sedikit-sedikit Hai mek, jangan dong mek, bahkan ketika bahasa gaul anak-anak muda Jakarta begitu populer, sedikit-sedikit dong dan deh. “Ahhh, jangan begitu dong deh!” atau “Gilo le, lagi enak-enak tidur di ba-ngunan.” Maksudnya : Gila lu, lagi enak-enak tidur dibangunin.
Cemas kalau tidak berhasil Tanjir lebih memberikan tekanan. Salehak menunduk. Salehak tiba-tiba ingat Sutrimo yang juga pernah menyampaikan minatnya untuk dheme-nan. Namun Sutrimo suka misuh dan kasar. Salehak melihat sosok macam itu pada diri Tanjir. Sebenarnya kalau boleh memilih, Salehak tentu akan menjatuhkan pilihannya pa-da Jayus yang lebih tampan dan halus perangainya daripada Tanjir.
“Aku masih bocah kang, aku belum tahu apa-apa." Salehak menjawab.
Tanjir merasa ada sebuah penolakan. Tanjir cemas.
“Jangan khawatir, Nanti akhirnya kau akan tahu apa-apa. Mau ya? kau jadi kepu-nyaanku mau ya?" Tanjir memberondongkan peluru rayuannya. Rayuan yang terasa wa-gu.
Salehak menunduk, bingung dia. Tanjir menjulurkan tangan maksudnya akan me-ngelus pipi, Salehak surut selangkah. Biasanya kalau diperlakukan seperti itu, Salehak bi-sa berubah menjadi prawan beringas, akan tetapi kali ini Salehak terpaksa harus berfikir dua kali. Salehak tentu tidak mau kehilangan pekerjaan karena, misalnya sampai diusir dari rumah itu.
“Aku hanya batur kang." Salehak berbicara sambil menghindar.
Kalau hanya itu alasannya, Tanjir jelas tidak peduli batur. Bukankah batur itu bu-kan species alien yang harus dihindari. Batur bukan jenis penyakit menular yang harus di-usir? Batur itu manusia juga. Apalagi batur cantik seperti Salehak, batur secantik itu ha-rus dilestarikan.
“Tidak apa-apa.” ucap Tanjir. “Sekarang kau jadi batur. Namun nanti kalau kamu sudah jadi kepunyaan diriku, kamsudku eh maksudku menjadi isteriku, derajadmu akan naik tidak batur lagi tetapi Bu Tanjir. Mau ya jadi dhemenanku? Ingat, kalau Jayus ku-nyuk itu mencoba merayumu, kau jangan mau. Kau harus menjadi dhemenanku. Kau de-ngar itu?"
Salehak tidak menjawab, ia diam. Salehak agak takut karena dari mulut Tanjir ada bau nafas yang aneh. Bau alkohol? rasanya bukan.
“Siapapun yang akan mencoba mengusikmu, akan kubunuh. Okey?" Tanjir me-lanjutkan.
Bagaimanapun ancaman itu mengerikan. Tentu saja Salehak ketakutan. Dulu di Srono pernah terjadi dua orang pemuda saling berbunuh hanya karena berebut perhatian seorang wanita. Apakah hal itu harus terulang kembali dengan dirinya sebagai obyek yang diperebutkan?
Lebih jauh Salehak merasa ngeri kalau ingat kejadian setahun yang lalu. Sese-orang dibunuh beramai-ramai karena dituduh dukun santet. Hanya karena suka membual punya kemampuan supranatural, bisa nyantet, bisa membuat dagangan jadi laris, maka dibantailah orang itu oleh tetangganya yang sesama dukun yang merasa iri melihat kelarisan praktek dukun pesaingnya. Padahal menurut Salehak yang amat mengenal o-rang itu, dia membuka praktek menjadi dukun karena ada pasarnya, karena banyak yang membutuhkan, karena banyak orang goblok yang percaya dukun, dan terakhir karena duitnya. Apakah dia benar-benar bisa memasukkan bongkahan kaca, jarum, serpih kain ke perut orang, itu sih omong kosong.
Kebetulan juga Salehak menyimpan pengalaman mengerikan di benaknya. Sale-hak melihat dengan mata dan kepalanya sendiri seseorang dibakar massa karena keper-gok mengambil mangga milik tetangga. Celakanya mengambilnya tanpa permisi alias menyolong. Celakanya lagi beberapa hari sebelumnya di Lemahbang, tempat kejadian itu , banyak terjadi maling dan kecurian yang menyebabkan setan burik dengan gampang menempatkan diri sebagai provokator mengipasi keadaan.

About Me

Powered By Blogger